48. Kita Berubah II

Zhong Chenle tersenyum.

Jika suasananya bagus dan mereka beruntung menemukan tempat berlindung, dia memang sering tersenyum, bahkan tertawa nyaring karena perkara yang tidak seberapa. Belakangan tidak banyak hal yang bisa ditertawakan. Dunia sudah rusak. Monster berkeliaran. Keluarga mereka lenyap. Tapi Chenle tampaknya selalu punya alasan untuk menepis kesedihan, sekecil apapun alasan itu bagi orang lain. Benar kata pepatah, tak ada badai yang berlangsung selamanya. Mau sekelam apapun badai itu, akan muncul orang-orang seperti Chenle yang tawanya menular.

"Chenle?" Jeno memanggilnya, tak lupa ikut mengukir senyum supaya tak terkesan mengintimidasi. "Keberatan kita ngobrol sebentar?"

Itu beberapa jam yang lalu.

Di sebuah mobil Subaru WRX STI berwarna silver yang ia dapatkan setelah menempuh perjalanan ke timur, Jeno mengusap wajah dan lehernya dengan beberapa helai tisu. Sebenarnya ia merasa ini sia-sia. Ia merasa aroma darah akan terus menempel di tubuhnya tak peduli berapa kali ia mandi, tapi ini masih lebih baik daripada memikirkan hal yang tak bisa diubah. Chenle meninggal, titik, karena Aru datang dan mengacaukan segalanya. Atau Chenle meninggal karena mereka tak bisa menyelamatkannya.

Pada saat ini, kedua pernyataan itu tak jauh berbeda.

Jeno membungkuk, dengan penuh rasa syukur meraih sebotol air yang diwariskan pemilik sebelumnya. Ini hari yang panjang, mungkin malah hari terpanjang di hidupnya. Dia sangat haus namun hanya berani minum seteguk, berkat ingatan mengenai adiknya dan 4 kepala lain yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mark pergi, praktis hanya dialah yang tersisa.

Puas telah sedikit meredakan dahaganya, Jeno dan mobil barunya bergulir menyusuri tempat ia meninggalkan teman-temannya. Mereka masih di sana, untungnya. Dengan sekali lompatan, Jeno turun dari kendaraan dan mengoper botol airnya pada sang adik.

Jaemin minum, lantas menyeka mulutnya. "Sekarang apa?"

Dalam hitungan 1 sampai 5, Jeno terdiam. Dia mencoba mempertimbangkan apa yang harus dilakukan dari sudut pandang Mark, atau tepatnya apa yang akan dilakukan seorang Mark Lee, tapi dia bukan Mark, dan memutuskan solusi terbaik adalah menangani krisis ini dengan caranya sendiri.

Pertama, mereka tak mungkin terus tinggal di jalanan.

"Kita pergi dari sini. Bantu aku pindahin tas-tas kita, Jaemin. Mercedes itu udah tamat."

"Tunggu, Mark-hyung gimana?"

"Nanti aku ke sini lagi jemput dia."

Angkat bahu, Jaemin tak mampu menyumbang pemecahan masalah yang lebih bagus, tapi gerakan kecil itu membuatnya kesakitan. Dia membuang muka, segan membocorkan kelemahan. Gigi-giginya dirapatkan membendung keluhan.

Alis Jeno terangkat naik. "Sakitnya parah?"

"Nggak apa-apa." Jeno bisa mengendus banyaknya usaha yang Jaemin kerahkan untuk berpura-pura baik-baik saja. "Aku bisa periksa sendiri. Calon dokter, inget?"

Cengiran lemah menghiasi wajah Jeno. "Lulus SMA aja belum." Dia membiarkan Jaemin, menghampiri adik orang lain yang keberadaannya lagi-lagi menjadi misteri. Grace hilang untuk kesekian kalinya, yang kali ini terjadi sebab gadis itu dan Haechan membantu mereka padahal keduanya bisa memilih mengabaikan. "Jisung."

Menyebut Jisung murung agaknya kurang tepat. Lebih dari itu, kesedihannya terlalu menumpuk untuk dirangkum dalam sepatah kata. Sepertinya mustahil ada sebutan untuk kesedihan seberat ini. Batin Jeno ingin tahu, seberapa besar takaran derita yang perlu kita terima demi menjadikan kita lebih dewasa dan kuat?

Jisung masih belia, dan dia telah mengalami berbagai hal buruk termasuk kehilangan teman terdekatnya. Karena melindunginya. Kakaknya pun tak diketahui rimbanya. Jika Jeno saja yang adik dan sahabatnya hidup dilanda letih, tak terbayangkan neraka macam apa yang anak ini sedang lintasi.

"Jisung." Jeno mengulang panggilannya, sembari membayangkan dirinya di usia 15 tahun.

Di usia semuda itu, kehidupan jeno berkisar pada bermain dan berlatih yang berupaya ia seimbangkan sebaik-baiknya. Ia sibuk jadi murid rajin dengan rapor cemerlang di sekolah. Lari secara rutin supaya kebugaran tubuh terjaga. Bersepeda hingga ia cukup umur untuk mengikuti kursus mengemudi. Sesekali bertengkar dengan Jaemin yang iseng memasukkan sepatunya ke mesin cuci. Dan membujuk ibunya agar mengizinkannya memelihara kucing lagi.

Proses pendewasaan Jisung jauh, jauh, lebih rumit.

"Hei, denger. Aku tahu keadaannya sulit, tapi semuanya pasti perlahan-lahan membaik. Buat sementara kita tunggu Mark-hyung dulu. Sejam lagi, kalau dia belum balik, aku bakal nyusul mereka. Kita bisa cari Grace sama-sama, oke?"

Sorot mata Jisung tampak redup. Matanya mengingatkan Jeno pada mata sosok-sosok pudar dalam lukisan di museum seni; indah, mati, hampa. Jeno menatapnya lekat, mengantisipasi dia histeris atau meraung atau keduanya sekaligus yang wajar diperbuat orang-orang yang berduka.

Yang mengherankan, Jisung diam. Dia mengangguk samar dan kembali diam.

Di sisi lain, Renjun mencoba sebisanya menenangkan Ryujin. Bagi Ryujin, ini bukan yang pertama dan setiap kali selalu semakin berat. Aru sudah memberantas seluruh keluarganya yang terhubung dengannya tidak melalui darah, menyisakan hanya dia sendiri yang bertahan. Tanpa teman, mulai detik ini dia akan mengarungi arus deras takdir bersama orang-orang asing. Tanpa teman, benarkah esensi kehidupan ini berkurang?

"Ryujin." Renjun tidak memaksa, masih bicara dengan nada ramah. "Biarin aku pindahin Giselle, ya? Kita cari tempat yang nyaman buat peristirahatan terakhirnya. Aku janji bakal hati-hati. Boleh?"

Ryujin menggeleng, mendekap Giselle di dadanya dan memandang Renjun seolah tidak mengenalnya.

Kepala Jeno serasa berputar-putar, seakan ia berlari puluhan kilometer seorang diri dan tidak kunjung menemukan garis finish di manapun. Antara Jisung yang membatu dan terlihat hancur, atau Ryujin yang menangis tak terkendali, dia tidak tahu siapa yang kondisinya lebih mengkhawatirkan.

Seutas sulur berduri melingkari paha Lee Haechan, ujung runcingnya menusuk dagingnya dalam-dalam dan membelitnya kian kencang saat ia bergerak.

Jangan tertipu adegan film, menelan ilusi tak realistis mereka mentah-mentah seperti balita. Orang yang dihujani peluru atau "sekedar" tergores, tidak akan sembuh dengan berbaring sejenak lantas bangun lagi dan menjadi jagoan. Tertembak adalah pengalaman yang mencekam. Menit-menit awal sangat menentukan. Bagaimana penanganan pertama dapat mengubah hidupmu selamanya. Kamu tidak bisa tertembak dan hanya mengaduh, tanpa berpikir, beginikah hidupku akan berakhir?

Bukan main sakitnya. Tidak terkatakan.

Ini lebih buruk dari retak engkel kaki yang ia peroleh saat bermain sepak bola semasa kecil. Setidaknya cedera tulang tidak mengeluarkan darah. Kini ada darah. Ada begitu banyak darah yang berceceran. Haechan memaksa bergerak lebih jauh, namun kakinya tak sanggup. Kaki itu menolak membawanya melewati tiang lampu jalan yang ia gunakan untuk bersandar lemas.

"Haechan?" Grace tergeletak semeter darinya, lebih dekat pada Ducati mereka. Suaranya terdengar sangat pelan, Haechan nyaris tidak percaya. Sama tak percayanya pada kebodohan dirinya yang berjalan-jalan bak murid sekolah dasar di wilayah yang rawan. Inilah harga yang harus ia bayar, karena luput memperhatikan keadaan sekitar.

"Grace..."

Grace duduk. Matanya melebar ngeri menengok darahnya yang mengucur. "Oh." Gadis itu tertatih-tatih menghampirinya. Ada luka guratan panjang di lengan atasnya. Beberapa koleksi gelangnya juga rusak. Grace bersimpuh, menekan luka di pahanya. Rasa takut yang menguar di udara adalah kepunyaan mereka berdua. "Tahan. Tahan sebentar. Luka ini nggak separah kelihatannya一"

"Romantisnya." Seseorang menyela. Suaranya melengking seperti anak-anak yang belum pubertas. Sedikit serak, perpaduan yang membingungkan. Pemilik suara itu keluar dari pintu pengemudi mobil ungu. Rupanya perempuan. Masih muda, dan merupakan salah satu perempuan paling tinggi yang ditemui Haechan. Tinggi mereka hampir atau malah sama. 2 pria mengikutinya dari belakang, memberi ilusi dialah ratu dan mereka tak lebih dari pengawalnya. "Aku nggak bercanda. Kalian romantis."

Sosok jangkung perempuan itu yang sampai bisa menghalangi sinar mentari membuat Grace terkejut. Dia mengerjap beberapa kali, lalu tersadar dan mencari-cari pistolnya. Tidak ada. Pistol dan tas mereka terlontar ke udara di saat yang sama keduanya terpental dari motor. Nekat meraihnya, perempuan itu dapat menghabisinya bahkan tanpa kontak fisik. Dia menenteng sebuah senjata asal Rusia, Makarov.

Perempuan itu menunduk, mengamati luka Haechan. Tindak-tanduknya anggun dan terstruktur. "Nggak teliti, Aru?"

Jadi nama si orang gila adalah Aru, dan dia tergelak. "Yuma, Sayang, kamu selalu tepat waktu."

"Kamu meleset." Ada celaan dalam suara gadis Yuma itu.

"Nggak penting." Aru menyahut tak acuh. Pengucapannya sempurna, dibarengi dialek Gang-won yang kental. "Kamu tahu arteri femoralis?" Dia bertanya pada Haechan. "Itu arteri yang posisinya di paha. Kalau putus, darah bakal nyembur. Kehilangan volume darah 40℅ berpotensi bikin organmu rusak, atau kamu kena syok hipovolemik atau meninggal. Intinya, proses kematianmu bisa luar biasa menyiksa."

"Mungkin aku bisa ngasih belas kasihan." Rim menawarkan, bertingkah seolah dirinya malaikat. "Gimana menurut kamu, Haechan?"

"Persetan." Dikelilingi 7 orang lawan yang posisinya lebih diunggulkan, Grace sama sekali tidak gentar. Dia melepas sebelah tangannya, menggenggam sesuatu di sana erat-erat. "Kamu mending tutup mulut."

Tanggapan Rim ialah seringai geli. "Pacarmu boleh juga."

Bagaimana pun, seringai itu segera musnah ketika Grace tiba-tiba melemparinya dengan sebuah batu berukuran sedang, di titik di antara kedua matanya. Si mata empat mundur kalang kabut, mungkin mengira itu peluru. Refleks menutup mata, Rim menjadi kikuk. Dia tersandung, dan Grace membuat momentum itu kian memalukan dengan tinju keras yang rasa-rasanya mampu mematahkan hidung. "Bedebah!"

Ada peluang, Haechan mencabut Glock di pinggangnya. Dia mengangkat senjata itu, menegakkan tubuhnya. Telunjuknya bergeser menemukan lengkungan pelatuk dan一

Trik tanpa kreatifitas takkan bisa mengelabui orang-orang cerdas.

Aru tidak terperosok ke lubang yang sama. Dia menangkap niat Haechan dari sudut matanya dan menyapu pistol itu dengan sekali terjangan kakinya. Pistol melayang. Diinjaknya tangan Haechan, menghukumnya dengan ancaman meremukkan jari-jarinya. "Aku kasih kamu nilai A buat sikap keras kepala."

Yuma menyambar Grace dari Rim, melerai keduanya. Dengan sepatu high heels-nya, seharusnya mustahil dia bisa bergerak leluasa. Tapi dia bisa, mengingkari tebakan Haechan.

2 perempuan yang sama-sama berambut panjang itu bergelut, tapi Yuma lebih mahir. Dia menyentakkan kepalanya ke samping saat Grace menyerang, sehingga serangan itu tidak pernah mengenainya. Diteruskan dengan membungkuk cukup rendah. Satu manuver, hanya satu manuver saja, dia memukul Grace di perut dengan kekuatan yang efeknya bagi Haechan sendiri terlihat menyakitkan.

Kaki Grace tertekuk dan ia jatuh berlutut. Tenaganya berkurang drastis. Rambutnya jatuh menimpa wajahnya namun tidak menutupi ekspresi kesakitannya.

"Grace一" Haechan mati-matian ingin bangun.

Tumit Aru lebih dulu menghajar dadanya sebelum keinginan itu terkabul. Oksigen sontak terkuras darinya, dia tersengal-sengal. Rasa sakit membakar pahanya dengan intensitas yang lebih dahsyat. Kegelapan, pekat dan absolut, mendadak mengetuk-ngetuk pintu kesadarannya, mendesak diperbolehkan masuk.

"Dong Ryul." Aru berkata tanpa menoleh, menganggap Haechan sama seperti Jeno, terlalu berbahaya untuk diloloskan dari pengawasan. Salah seorang rekan Yuma maju, menyerahkan sebuah tongkat bisbol. Aru tersenyum一ilustrasi yang pas untuk makhluk rupawan dari neraka. "Tidur."

Tongkat bisbol itu terayun ke dahi Haechan. Tinta lengket bagai tumpah di kepalanya. Suara gemerisik statis mirip panggilan telepon yang tidak tersambung merampas pendengarannya. Kegelapan itu menang, dia kalah. Haechan mencoba mempertahankan kesadarannya dengan mengingat adik-adiknya, kemudian Grace. Yomi, Raon, dan Grace. Tapi kegelapan tersebut menariknya menuju perairan tanpa cahaya, samudera terdalam, tempat maut siap merentangkan tangan menyambutnya.

Haechan pingsan, gagal melarikan diri dari cengkeramannya.

Sore itu hujan, persis hari ketika mereka pergi dari sekolah.

Kapankah itu?

Sepekan? 8 hari? 9? Waktu melesat terlalu cepat baginya. Waktu berlalu ibarat per besi yang merenggang dan mengendur sesuka hati. Mark Lee tidak dapat mengingat waktu tepatnya. Kilasan-kilasan peristiwa buram menggantikan gambaran jelas yang semula sejernih air sungai.

Tanah di bawah kaki Mark berubah jadi lumpur, mendesain ulang warna putih alas kakinya menjadi cokelat tua khas dedaunan musim gugur. Sebagian merembes ke celah sol sepatunya yang terbuka, menyengat seluruh tubuhnya yang sudah membeku. Hujan sebegitu lebatnya sampai-sampai terasa seperti tusukan jarum. Seandainya masih memiliki akal sehat, ia akan minggat dari situ, mencari tempat terdekat yang layak dipakai berteduh.

Tidak penting. Tidak ada lagi yang penting.

Mark menatap benda persegi panjang pipih di tangannya, sebuah plat nomor yang awalnya ia sangka bagian dari bebatuan alam. Hujan dan kabut bukanlah kombinasi yang bagus. Tanpa ampun duo sekawan itu menghapus jejak asap merah yang Mark buntuti dan meminimalisir jarak pandang. Secara resmi, Mark tersesat. Terlalu jauh untuk berputar balik, terlalu riskan untuk meneruskan perjalanan. Pilih, pilih. Dia membulatkan tekadnya. Sumpah yang telah ia ikrarkan mencegah dia menyerah dalam sekali percobaan.

Inilah yang dia temukan.

Selain plat nomor, koin-koin yang sedikit lebih besar dari kuku jempolnya bertebaran di aspal. Danau darah terbentuk di dekat salah satu tiang lampu jalan一encer, kemerahan, melimpah. Mark tak tahu mesti merasa lega atau tidak karena tidak adanya mayat dimana-mana. Barangkali itu berita bagus. Namun dengan berkurangnya darah sebanyak itu, bagaimana seseorang bisa bertahan? Puncaknya, dia menemukan seuntai benda berkilau setengah terkubur di genangan darah yang sama. Redup tetapi ada. Kecil tapi berharga. Mark mengenalinya di detik pertama jarinya menyentuh benda itu; gelang ceri Grace yang terputus kaitnya.

Jadi beginikah semuanya selesai?

Tak perlu dijelaskan, entah menit atau detik, keterlambatannya membuat Mark gagal menolong 2 orang yang paling ingin ia selamatkan.

Coba bayangin ini Aa' Jeno waktu dia bersih2 dari darah zombie. Bukan garang tetapi gemoy 🤧 :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top