47. Kita Berubah I
Lee Haechan baru berusia 7 tahun saat ia menyaksikan pertandingan sepak bola pertamanya secara tatap muka. Haechan takkan menyebut dirinya anak jenius dengan ingatan super, namun sungguh, ia masih ingat bagaimana sensasinya. Ayah bilang hari itu mereka akan jalan-jalan, menonton pertandingan Big Match antara "FC Seoul vs Seongnam".
Mama tidak ikut. Tidak pernah suka kegiatan yang berkaitan dengan bola baik yang dimainkan dengan kaki maupun tangan. Dan karena waktu itu belum ada Yomi dan Raon, jadi mereka berangkat berdua saja. Selama tahun-tahun awal hidupnya, dialah pangeran dalam keluarga. Segala yang Haechan pinta pasti dikabulkan. Masa kanak-kanaknya adalah masa keemasan, sukar dilupa, dan selalu ingin ia ulang.
Ayah menggiringnya ke loket, menjelaskan mereka harus mengantre dulu untuk bisa masuk ke stadion. Tiket mereka perlu diperiksa, katanya, oleh petugas ramah yang mengajaknya tos dan memintanya tidak nakal. Sehabis itu mereka mencari tempat duduk di tribun reguler utara. Jantung Haechan kecil berdebar-debar menunggu pemain keluar dari ruang ganti. Ia menyukai FC Seoul, walaupun bila ditanya dia akan menjawab dirinya adalah pendukung sejati Jeju United.
Para pemain akhirnya menginjakkan kaki di lapangan, seperti biasa tim favorit keduanya mengenakan seragam hitam-merah berhias lambang naga di dada. Permainan berjalan menegangkan, tapi FC Seoul berhasil mengakhirinya dengan kemenangan. Stadion berkapasitas sekitar 66 ribu orang itu kontan riuh oleh pekikan girang suporter, hingga beberapa merayakannya dengan menyalakan flare gun yang mudah didapat.
Seseorang yang ingin membeli flare gun tidak wajib mengurus izin kepemilikan yang berbelit-belit. Syarat utamanya kamu harus menyentuh usia legal dan yah, punya uang. Dalam game, benda itu digunakan untuk mengabarkan posisi. Dalam kehidupan yang sebenarnya, perannya tidak jauh berbeda. Dalam dunia virtual dan dunia nyata, flare gun memiliki fungsi yang sama; memberi sinyal, memanggil bantuan.
Pertanyaannya, dimana mereka? Akan datang dari mana?
Sepuluh tahun kemudian, Haechan di usia 17 tahun fokus menyortir isi kepalanya yang sama sekali tidak tertuju pada sepak bola. Tangannya memutar tuas gas. Sejauh ini dia masih memimpin. Namun hanya Tuhan yang tahu entah sampai kapan. Keributan konstan di belakangnya menandakan pengejarnya belum menyerah. Si orang gila sering harus menerobos berbagai halangan yang menambah banyak penyok di bemper Nissan.
Haechan menoleh kesana-kemari mencari petunjuk dimana ia dan Grace berada. Nihil tanda-tanda papan penunjuk jalan, tapi jika perhitungannya benar, mereka masih ada di Sillim-ro. Di depan sana terdapat persimpangan, satu mengarah ke kawasan perindustrian, yang lain ke ... Perumahan? Ia tidak yakin. Kanan atau kiri?
Harus ke mana? Harus ke mana?
Sebutir peluru melintas, begitu dekat di telinga hingga Haechan bisa menangkap bunyi desingannya. Peluru kedua menyusul, lebih rendah, tak sampai 30 senti dari kakinya. Salah seorang rekan si orang gila yang memakai jaket kulit memutuskan menambah keseruan. Dibukanya jendela lebar-lebar dan ia membidik.
Haechan mengutuk-ngutuk, buru-buru berkelit ke samping tanpa membuat motor oleng terlalu banyak. Peluru yang nyaris mengenai bahunya meleset, terpuruk di pagar besi rumah warga yang tak ikut berpartisipasi. "Sialan! Semua oke, Grace?"
Grace tak merasa perlu menjawab. Dia setengah berbalik, memegang FAMAS seberat lebih dari 3 kg itu dengan 2 tangannya dan mengingatkan mereka bahwa bukan mereka saja yang memiliki senjata. 2 selongsong peluru luruh ke aspal. Berikutnya, retakan panjang menyebar di kaca Nissan lantas meremukkannya menjadi ratusan keping. Rim menjerit, seperti anak kecil.
"Bagus." Haechan memuji, bersamaan dengan itu berbelok ke kiri. Dalam tempo sedetik, tiba-tiba pendapatnya tentang apa yang bagus berubah.
"Oh sshh一" Grace turut mengumpat tertahan.
Tidak seberuntung tadi, di jalur kiri rupanya telah terjadi kecelakaan yang melibatkan beberapa mobil dan sebuah bis. Rekonstruksi di kepala Haechan memunculkan gambaran ini: satu dari kendaraan itu ugal-ugalan melanggar aturan lalu lintas, dan menubruk kendaraan lainnya. Cepatnya kejadian itu menyebabkan orang-orang kaget dan terlambat mengerem, hingga terjadilah tabrakan maut yang meluas bagai menara domino yang tersenggol.
Tangki bensin salah satu atau dua kendaraan pertama bocor, diikuti percikan api biru yang berlompatan dari mesinnya. Udara mengobarkan api itu, menyulut keringat dan membakar hidup-hidup penumpang yang tidak sempat keluar. Bis itu meledak, meski tidak semua korban serta-merta meninggal.
Beberapa masih hidup dalam keadaan tanpa jiwa, berkeliaran memblokade jalan. Baju-baju mereka yang koyak sewarna lumpur. Jepit dan dasi menempel tak teratur. Kepala-kepala dengan rambut kusut masai berputar terusik suara Ducati. Mereka serentak mendekat, mengepungnya.
Tangan kotor mereka terangkat, berniat mencakar一
Selamat datang di roller coaster keputusasaan.
Tanahnya gersang, jangan harap kamu akan menemukan tunas-tunas kebahagiaan. Di taman hiburan itu musik pengiringnya adalah sedu sedan dari jiwa-jiwa yang dibekap penyesalan. Kerangkanya terdiri dari lempengan-lempengan besi duka yang susun menyusun membentuk kesedihan berantai. Untuk bisa menaikinya kamu perlu diikat sabuk trauma. Kamu harus tenang, tak boleh memberontak bahkan saat angin panas meniup jiwamu yang kering kerontang.
Selang beberapa detik atau menit一kamu takkan mengetahui kapan persisnya一roller coaster itu akan bergerak menuju puncak lara. Alih-alih menyuguhkan keceriaan, wahana itu justru akan melemparmu ke jurang derita. Di situlah kamu akan menghabiskan keabadian, meluncur terus tanpa mencapai apa-apa, selain menumpuk pedih dalam dada, sebab jurang itu tidak mempunyai dasar.
Inilah roller coaster keputusasaan, dan Mark Lee pikir ia sedang menunggu giliran jatuhnya.
Di bawah bentangan langit biru dengan sedikit noda asap merah misterius, Mark berjongkok dan tertawa hampa, antonim dari Ryujin yang sejak tadi setia meratap, "Giselle, bangun. Jangan tinggalin aku. Ayo, bangun. Aku mohon ...."
Giselle tidak akan mendengarnya meski Ryujin memohon sampai suaranya habis.
Pembunuhnya, Aru, sudah pergi sejak tadi. Dia tidak bercanda saat mengaku menyukai orang-orang lemah, ekspresinya saat dia menginjak-injak tim Mark memamerkan suatu kepuasan mutlak yang memuakkan untuk dilihat. Bahkan dengan kesempurnaan khas patung itu, Mark tak bisa memungkiri adanya kobaran kegilaan di matanya. Andai Rim tidak mengingatkannya perihal tujuan yang lebih besar, Mark yakin Aru akan tinggal, menanti orang terkahir tersudut dan dikunyah oleh monster-monster yang ia sebut kanibal.
Kanibal. Yang benar saja. Mark terkekeh sendiri, khawatir keabnormalan Aru menular padanya.
Butuh waktu lama mengurus hadiah-hadiah si sinting itu. Banyak peluh, kurangi mengeluh. Mark menguras seluruh isi G2, dan setelah pistolnya hanya mengeluarkan suara klik klik mirip bunyi detak jarum jam, ia beralih memakai sekop peninggalan satu-satunya gadis yang pernah membuatnya merasa cemburu.
Siang menjelang sore kala itu Mark tenggelam, di pekerjaan kotor dan kelam menumpas puluhan mayat. Ia memisahkan kepala dari badannya. Membelah otak. Menusuk, membunuh. Tak mengizinkan dirinya beristirahat, hingga yakin tugasnya selesai. Karena Mark tahu, sekali berhenti, ia akan hancur berantakan.
Kehilangan dua anggota sekaligus dalam sehari.
Masih layakkah ia melabeli dirinya Sang Pemimpin?
Tawa Mark membahana semakin keras, sekarang lebih menyerupai orang yang cegukan. Dia tersedak. Tersesat. Sesak. Dia tidak bisa bernapas, rongga dadanya bagai menyempit dan mencekiknya dari dalam.
"Mark-hyung?" Sudah tidak heran, wajar saja Jeno dengan cemas mempertanyakan kondisi mentalnya. "Ayo, kita pergi dari sini."
"Ke mana?"
Seketika, Jeno diam, tidak ucap apa-apa. Mau bilang, 'ke tempat yang aman' pun rasanya seperti sepenggal lelucon yang diserukan untuk menghasilkan efek tenang bohongan. Sepekan lalu mereka di sekolah, jadi murid SMA biasa. Selanjutnya ke rumah pertama dan berurusan dengan sekelompok preman. Beberapa jam lalu mereka masih bersantai-santai makan enak, sekarang malah sudah mirip gelandangan. Tanpa rumah, tanpa keluarga, hanya 6 remaja dari 3 suku bangsa yang berbeda. Ini pahit tapi harus diterima; tak ada lagi tempat yang aman.
Tawa belum lenyap dari bibir Mark. Dia berdiri, semua mata mengikutinya kecuali Ryujin yang belum puas menangis. Jisung duduk bersama Jaemin, tampak kuyu. Renjun menyamankan dirinya bersandar di mobil, tampak layu. Yang mulanya 8 kini menyusut jadi 6. Apa yang telah dicuri takdir mustahil bisa ia rebut kembali. Chenle tetap meninggal. Giselle juga.
Tapi selagi keputusan Tuhan belum final, bukan berarti Mark tidak akan melawan.
"Tunggu di sini, Jeno." Ia berpesan pada wakilnya. "Jaga mereka."
"Mau ke mana?" Kalimat ini berpindah mulut. Jeno tersandung-sandung menyusulnya. "Lebih aman kalau kita tetep sama-sama一"
Mark menyusup masuk ke mobil kuning yang bagian belakangnya ringsek parah.
"Ada apa ini?" Kini Renjun ikut waspada. Dia mengetuk-ngetuk kaca jendela yang Mark tutup di depan wajahnya. "Jangan ceroboh, kita nggak butuh lebih banyak kematian."
Mark berlagak tuli一si tuli yang berani mati. Tangannya hinggap di kunci mobil yang tidak Jeno ambil dan memutarnya. Hanya karena kebiasaan ia menyilangkan sabuk pengaman. Ia memasukkan persneling, dan membuang segenap sisa-sisa kewarasannya yang berbisik ini tak semestinya dilakukan.
Persetan, ini justru hal yang paling benar untuk dilakukan. Rasa kemanusiaan tiada guna, mengingat yang ia hadapi bukanlah manusia. Aru adalah iblis, dalam wujud yang paling murni dan keji. Oleh karena itu dia harus dihentikan一dengan sekop, pistol, atau metode apapun yang ia miliki.
"Pikirin ini baik-baik." Suara Jeno terdengar mendayu-dayu. Masuk akal dan rasional. "Jangan bikin keputusan waktu kita marah, itu nggak bijak."
Mark pilih tidak menjawab dan lekas pergi. Lidahnya kelu merakit kata, terlebih dipakai menjelaskan kalau ia tahu namun tidak peduli. Lagipula tak ada waktu, dia perlu bergegas lantaran sebelum Aru lenyap Mark melihatnya mengeluarkan sebuah HT dan mengocehkan lokasinya pada seseorang.
"Yuma, ke Sillim-ro, sekarang."
Yuma. Chae Yuma, gadis yang dari cara Aru mendeskripsikannya sepertinya merupakan kekasihnya. Cewek paling luar biasa yang aku kenal. Kartu AS-ku. Eksekutorku. Dia nggak di sini, tapi dia nggak jauh.
Aru sudah merenggut nyawa 2 orang yang ia anggap teman, Mark menolak diam saja saat si sinting itu terancam mengambil nyawa Grace dan Haechan pula.
Mobilnya melejit, menembus kabut putih tebal tanpa polusi, yang terbentuk ketika manusia mengurangi intensitas pemakaian kuda-kuda besi.
Berdasarkan pengalaman, instrukturnya di tempat kursus pernah berkata, suara pistol, meriam, dan senjata-senjata sejenisnya, bisa mencapai 155 desibel, sedangkan batas yang mampu ditolerir manusia adalah di bawah angka 85. Lebih dari itu, apalagi jika berkesinambungan, bisa menyakiti atau merusak indera pendengaran.
Pantas saja saat ini Haechan merasa akan tuli. Grace, yang duduk hanya dipisahkan sebuah tas darinya, menembak tanpa henti. Setiap tembakan mengguncang gendang telinga Haechan, meski Grace cukup pintar untuk tidak menaikkan FAMAS tinggi-tinggi. Terlalu dekat, namun mereka kehabisan pilihan. Motor memang dapat melesat di jalanan yang sempit. Kekurangannya, sulit menawarkan perlindungan yang mumpuni.
Mau tak mau Haechan harus menurunkan kecepatan, enggan mengambil resiko terjatuh dan diterkam sampai meninggal. Ban Ducati berdecit. Haechan menunduk ketika sebuah tangan berayun ke pipinya, sebelum Grace membereskan pemilik tangan itu dengan 1 peluru yang ditujukan ke kepala.
Di belakang, si orang gila tidak direpotkan dengan masalah serupa. Ia tidak usah menghambur-hamburkan amunisi, monster yang menghambat ia serempet hingga menyingkir. Dia sabar, tidak tergesa-gesa. Satu tangan si orang gila menggenggam sebuah benda persegi. Dari gerak bibirnya yang aktif, Haechan tebak ia tengah bertukar informasi.
Pertanyaan yang sama kembali timbul di benaknya,
Di mana mereka?
Akan datang dari mana?
Para zombie akhirnya terlewati. Haechan tidak melamun terlalu lama untuk mengurai persoalan yang tidak pasti. Ia menyetir ke barat, di bawah deretan lampu-lampu penerangan jalan yang mati. "Tembak mereka, Grace."
"Pelurunya hampir habis!"
"Kalau gitu pakek M16."
"Apa?" Selalu, kesulitan teknis yang dipicu faktor alam.
"M16," ulang Haechan. "Yang ada scope一"
Masih asyik menjelaskan, mendadak mobil berwarna ungu yang semula Haechan kira tak lebih dari sekedar mobil lain yang terlantar bergetar hidup, dan menyeruduk mereka ibarat hantaman rahang hiu pada sebuah perahu. Pegangan Haechan pada grip motor terlepas. Kemudian tubuhnya melayang. Ia terpental disertai suara berdebum keras.
Ducati tergeletak tumbang, terlempar sejauh beberapa meter tak ubahnya gelas bekas. Kaca spion langsung pecah dalam sekali benturan. Sekejap mesinnya meraung menyedihkan, lalu padam, diam, kecuali bannya yang berputar pelan. Papan hitam bercampur putih plat nomor copot, gagal tetap melekat di tempatnya.
Berbaring di tanah, lebih dari terkejut, Haechan merasakan efek disorientasi sesaat yang membuatnya linglung. Lalu dia mendengar suara erangan wanita dan segera bangun. "Grace? Grace, kamu一"
Sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Dari balik dinding debu, Nissan menghentikan laju. Pintu pengemudi mobil biru terbuka, si orang gila melangkah keluar dari sana. Pistolnya menyalak, dan tiba-tiba seluruh dunia jadi miring tak tentu arah. Haechan bahkan tidak sempat berteriak ketika lututnya goyah dan kehilangan daya untuk menopangnya. Dia jatuh tertelungkup, menatap langit dengan raut bingung.
Butuh waktu baginya untuk sadar, bukan dunia yang miring tapi dirinya yang tak sanggup lagi berdiri.
Bukan kecelakaan yang mengakibatkannya kakinya berdarah, melainkan si orang gila yang beraksi.
Orang gila itu berhasil.
Pelurunya yang kesekian sukses menggores paha Haechan.
Kagak usah terkejoed, karakter Haechan dan Grace mungkin hebat, tapi mereka tetep manusia dan wajar sekali2 gagal wkwkwkwk 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top