45. Kita Melawan III
"Dari mana kalian dapet motor itu?"
Dari banyaknya pertanyaan yang mungkin diajukan Aru, Mark Lee bisa menyebut 3 yang menjadi tebakan jitunya; siapa kalian? Apa-apaan ini? Atau sederhana saja, apa hubungan kalian sama para sandera?
Dari mana kalian dapet motor itu? tidak masuk daftar. Mark tidak bisa menemukan benang merah yang menghubungkan rasa penasaran Aru dengan kendaraan Haechan. Sebab meski menonjol, mencolok, dan sebagainya, itu tetaplah motor biasa yang diperoleh Grace dan Renjun saat berburu sarapan.
Setidaknya itulah yang mereka katakan.
Aru maju, memutari temannya yang sudah meninggal, 4 temannya yang belum meninggal, dan mengerem sekitar 3 meter dari Haechan. "Dari mana? Atau apa harus aku tanya, dari siapa?"
Baik Haechan dan Grace kompak tidak mengacuhkannya. Perhatian mereka tersedot oleh hal lain yang lebih penting. Mereka tadi tidak melihatnya, fokus pada anggota yang babak belur dan gadis-gadis baru, sehingga terlambat menyadari adanya anggota yang sudah terbujur kaku.
"Chenle?" Nama itu diucapkan Grace seumpama ada penghalang di tenggorokannya. Dari roman mukanya, dia jelas tidak siap dengan apa yang ia temukan.
Jisung menelan ludah. "Chenle ... Meninggal."
Jawabannya seketika dihadiahi sepakan keras di bahunya. Pria ke-5 menginjak Jisung, menekan pipinya ke aspal tidak rata yang menggoresnya dalam-dalam. "Tutup mulut, bocah."
"BERHENTI!" Grace meraung, melontarkan ancaman yang akan menggetarkan bahkan pria dengan otot-otot paling liat sekali pun. "Jangan ganggu dia!"
"Kalau nggak kenapa?" Rim menggeser sang rekan minggir. Melengserkan posisinya, dia menarik Jisung berdiri dan menodong pinggang anak itu tepat di bawah tulang rusuknya. Jika dia menembak, pelurunya pasti mengoyak hoodie tipis Jisung dan merobek 1 dari 5 organ vitalnya. "Kalau nggak, apa cowok di depanmu bakal nusuk mata orang pakek garpu?"
Aru menunjukkan minatnya dengan cara memiringkan kepala. "Temen lama, Rim?"
"Oh ya. Dia si bangsat yang bikin mataku luka permanen. Apa kabar, Lee Haechan?"
Seandainya beberapa hari seatap dapat dijadikan landasan untuk mengklaim kamu mengenal seseorang, maka Mark akan meringkas pendapatnya dalam 1 kalimat saja; Haechan memang cenderung temperamental, tapi dia memiliki sifat kontradiktif mahir menyembunyikan emosinya saat diperlukan. Seperti dalam bejana, segalanya teraduk rata. Oleh karena itu mata Haechan yang membeliak lebar terasa membingungkan dan tidak benar.
Haechan terkesiap. "Cho Jae Rim?"
Rim memahat senyum yang akan diukir seekor anjing yang telah memangsa anak burung. "Kebetulan kita reuni di sini. Udah berbulan-bulan sejak di Juvie."
Lagi-lagi Mark ketinggalan kereta.
Tidak cermat menilai situasi memberinya kesan lamban. Gajah di sampingnya pun takkan tertangkap mata kalau ia menatap ke arah yang salah. Terlalu memusatkan diri pada Aru membuatnya tidak menganalisis Rim dengan semestinya. Padahal di antara mereka ber-6一atau 5 sekarang一Rim-lah yang terlihat paling hijau. Posturnya yang kekar membuatnya mudah disalahpahami, namun sebenarnya dari segi wajah, dia masih muda. Sangat muda.
Cukup muda untuk ... Masuk penjara di periode yang sama dengan Haechan.
Untungnya Haechan cepat menguasai diri. Dia memungut kepingan-kepingan ketenangannya di moment yang sama paru-parunya menghirup oksigen. "Belum terlalu lama. Lepasin bocah itu, Rim."
"Seberapa berharga dia buatmu?" Rim memprovokasi, menaksir nilai Jisung dan, sekedar ingin tahu, mengetes apakah kakak serta pelatihnya bersedia menebusnya. "Jantung, ginjal. Ginjal, jantung. Mana yang harus aku tembak lebih dulu?"
Grace tidak bersedia melakukan tawar-menawar. Dia tak mau berkompromi mengenai nyawa adiknya. Kedua kali diangkatnya senjata. Dengan ringan, tanpa keraguan, seakan itu adalah buku yang kerap ia baca.
Namun sebelum terjadi pengulangan, Aru melepaskan tembakan peringatan ke udara. Semua orang terlonjak, tidak siap dengan beralihnya pusat perhatian. Khususnya Jisung, dia sampai mundur ... Dan melalui gerakan yang nyaris tidak kentara, meraba tempat ia meletakkan pisaunya.
"Oh, ada apa ini?" Aru bertanya dengan wajah yang dibuat lugu. "Cantik? Turunin FAMAS-mu. Aku lebih suka kamu nggak ngebunuh temen-temenku selagi kita bicara."
Tidak sudi diperbudak orang lain, Grace bergeming. Mark tentunya tidak lupa bagaimana nasib pria di rumah pertama yang mencoba mendiktenya. Sesungguhnya, ingatan itu masih segar di benak Mark.
"Ayolah." Bujuk Aru halus, berhasil terdengar persuasif tanpa memaksa sama sekali. "Jangan jahat. Apa ruginya kita ngobrol-ngobrol santai?"
Akhirnya usai perdebatan internal yang menggugah ketegangan, Haechan menutupi moncong senjata Grace, FAMAS itu, dan memintanya menunda serangan. Pemikiran Grace terbelah antara menuruti keinginan pribadi dan berdiplomasi, tapi ia terlampau mempercayai Haechan untuk membantahnya. "Apa yang kalian mau?"
"Apa yang kita mau?" Kepala Aru berputar ke samping, memandang teman-temannya seolah ia butuh penjelasan atas kalimat singkat Haechan. Satu persatu teman Aru pun pulih. Pria ke-3, yang membantu Aru melancarkan aksi curangnya membungkuk pada koleganya yang tewas, dan dengan ketidakpedulian yang membuat merinding, merebut senjatanya. "Pertanyaan itu seharusnya ada di pihakku, bukan pasangan yang seenaknya eksekusi orang. Jadi izinin aku nanya, apa mau kalian?"
"Aku mau mereka." Petunjuk pertama bahwa Haechan tidak melakukan ini secara sukarela tertuang dari suaranya yang hanya setengah berminat, sebagian lagi kental oleh kekesalan. "Walaupun mereka sering bikin otakku panas."
"Dan kalau aku nolak?"
Mata sayu Haechan mengerjap. Mark baru menyadari saat poninya tersibak. Haechan dikaruniai bentuk mata yang tidak lebar, tidak pula sipit, tapi kelopaknya konsisten selalu tampak agak turun, yang berefek mempertajam tatapannya. "Kayaknya ada miskomunikasi di sini. Ini bukan pertukaran atau penawaran. Kalau aku bilang aku mau mereka, aku harus dapet semuanya."
"Ah," desah Aru kecewa. "Di titik itu kita nggak sepakat. Aku lebih suka nembak mereka karena kalian udah bunuh Youngmin. Kebetulan, ada banyak yang bisa aku pilih buat ganti rugi. Coba kita lihat, ada si anjing liar." Aru menyeringai pada Jeno yang tengkuknya memerah dan lebam. "Si kelinci yang mungkin udah patah lengan." Dia menendang Jaemin, meledeknya dalam setiap alunan tawa. "Masih hidup kan? Si pirang yang tenaganya boleh juga. Ryujin, favoritku. Giselle, yang pengen nyusul Karina. Nggak lupa si pendek yang tadi nyoba nembak aku." Sebelah mata Aru mengedip pada Mark. "Dan gagal.
"Terakhir..." Aru menengadah menghadap Grace. Satu lirikan kilat dan Rim langsung menundukkan Jisung dengan cara menjambak rambutnya. "Bocah itu, bocah patung itu. Ini salahmu, cantik. Seseorang harus bayar perbuatanmu."
"Apa, dan kamu yang bakal jadi algojonya?" Sudah Mark duga, Grace yang keras kepala enggan merendah pada Aru. Negosiasi tak berjalan mulus, dia tersenyum angkuh. "Berhenti bercanda, kamu mirip anak-anak yang main-main jadi polisi."
"Bukan bakal, tapi pasti." Aru bukanlah Aru bila tidak tertawa. Dia sinting, tak lebih dari orang gila berpakaian dan berambut rapi. Gelak tawanya berkumandang layaknya gelas yang retak di ruang kelas yang menyelenggarakan ujian.
Namun, kali ini, terdapat perbedaan.
Menyusul 5 tembakan, mendadak terdengar suara-suara lain yang tak kalah lantang. Ada yang menggeram, dalam jumlah besar. Suaranya dekat, terlalu meremehkan untuk disebut beberapa orang saja. Deretan pertokoan di sekeliling Mark bagai hidup dan menggeliat, dengan bunyi desisan-desisan berisik yang tidak asing. Kegaduhan mengusir ketenangan, seperti malam yang mengkudeta siang. Kemudian dari gang-gang sempit berhias kubangan-kubangan air kotor di sana-sini, muncul segerombolan zombie.
Salah satu dari mereka menganga, senada dengan rahang Rim yang terbuka. "Bangsat, itu kanibal一"
Saat itulah Jisung menyerang. Helai-helai rambutnya tercabut dari tangan Rim ketika dia tiba-tiba berbalik. Kedua kakinya bahkan belum pas menemukan keseimbangan kala dia menyabetkan pisaunya ke tempat leher Rim sempat berada. Jisung tidak punya strategi, atau ide yang ia perhitungkan matang-matang, ia semata-mata bertindak memanfaatkan kelengahan lawannya.
Kaget setengah mati, Rim berupaya berkelit yang sayangnya tidak cukup cepat. Tanpa aba-aba adalah kuncinya, serangan yang tidak terprediksi berpeluang tinggi berhasil. Pisau Jisung menyayat tulang selangkanya. Tidak cukup dalam untuk menempatkannya di posisi yang mengancam keselamatan, tapi menimbulkan goresan parah yang kontan mencabik kemejanya.
Jeritan Rim selanjutnya tidak jelas apakah karena kesakitan atau kemarahan atau dua-duanya. Rim memekik, "Kamu bisa nambah luka mataku, tolol!"
Diselimuti kemarahan, Rim melingkarkan tangannya di lengan Jisung seerat lilitan rantai. Satu tonjokan di pipinya dan kepala Jisung tersentak ke belakang. Dia menahan kuat-kuat supaya Jisung diam, namun tidak menunggu waktu lama mendaratkan pukulan berikutnya. Lutut Rim menubruk perut Jisung 2 kali, sedikit ke atas mengenai dada dan menghambat aliran napasnya.
Bunyi berdebam mengiringi kejatuhan Jisung ke tanah. Ia mengerang, mulai bernapas dengan intensitas yang memprihatinkan. Jisung terbatuk, darah memercik dari sudut bibirnya.
Sementara itu, para zombie tidak peduli walau manusia berkelahi satu sama lain. Bagi mereka ini, merupakan ladang berburu yang bagus. Mereka mengepung, mengunci celah untuk kabur. Bahaya datang dari 2 mahkluk sekaligus.
Hal ini mengakibatkan si jaket kulit yang menginjak punggung Mark dilanda bingung. Keahlian menembaknya yang cemerlang akan sia-sia kalau ia terpaku laksana macan tanpa taring. Saat ini, dia terlampau panik untuk beraksi. Rekannya yang lain, pria ke-5, atau si pecundang yang menyukai trik rendahan, berteriak histeris. 5 zombie mengerumuninya membentuk pagar hidup. Sesudahnya si jaket kulit tersadar, dan segera berlari memberi pertolongan.
Mark yang memperoleh kembali kebebasannya meludah, lagi dan lagi sampai ia yakin mulutnya bersih. Bercak-bercak basah darahnya mengotori aspal. Tetapi rasa lega Mark tidak berumur panjang.
Hiruk pikuk medan perang kian menjadi-jadi saat Giselle berteriak. Di tengah-tengah kekacauan, Giselle terlupakan dan terpojok ke Mercedes mereka. Senjata apapun akan sulit ia ambil, terutama berkat seorang zombie yang tersaruk-saruk mengejarnya.
Mengandalkan sisa-sisa tenaga, Mark berjuang bangkit. Matanya jelalatan kesana-kemari, mencari G2-nya sambil berulang-ulang berbisik pada diri sendiri; jangan ada korban lain, jangan ada korban lain, jangan一
Ketemu!
Sebuah pistol meletus mendahuluinya.
Zombie yang mengincar Giselle tumbang. Huang Renjun berdiri, tangan kirinya melayang ke kepala sedangkan tangan kanannya menggenggam pistolnya. Renjun terlihat sempoyongan, meski itu tidak menghentikannya untuk jadi pahlawan. Dia melirik Ryujin, mengarahkan dagunya ke bagasi mobil. "Sekop, sekop! Di situ!"
Keputusan bijak, Ryujin menuruti sarannya.
Di sisi lain, Jeno yang turut luput dari penjagaan bergegas menghampiri adiknya. Dia berperan ganda merangkul Jaemin dan melindunginya di saat yang sama. Peluru demi peluru berlomba-lomba keluar dari Browning yang ia gunakan, membantai musuh yang serasa tak habis-habis. Jeno berputar 360 derajat, mewaspadai semua titik, dan hanya membungkuk saat meraih Glock Jaemin.
Untuk sementara Mark tahu mereka aman. Renjun bisa bekerja sama dengan Ryujin. Keadaan si kembar pun lumayan terjamin karena Jeno menyimpan 1 magasin cadangan. Mark batal ke sana dan mengubah tujuannya. Dia mengumpulkan tabung-tabung inhaler yang tidak terinjak dan buru-buru mendekati pemiliknya.
"Jisung?"
Seluruh tubuh Jisung basah kuyup oleh keringat. Dia kesulitan merespons, napasnya pendek-pendek dan tersengal-sengal. Mark tidak tahu faktor apa saja yang memicu asma, tapi dia tahu cara memakai inhaler sebab pernah memperhatikan Jisung melakukannya.
Maka dengan jari-jari yang juga dibanjiri peluh, Mark membuka tutup botol tersebut dan mengocoknya. Dia menuntun bagian mouthpiece pada Jisung dan menyaksikan bocah itu menghisapnya beberapa kali. Mula-mula, kerja obatnya lambat, namun tak lama, kondisi Jisung perlahan-lahan membaik.
Suanasa dunia di sekeliling mereka masih riuh, diramaikan suara-suara tembakan dari 2 tim yang sejenak menyingkirkan permusuhan. Bau busuk yang menyaingi makanan basi seminggu menyebar di udara, bercampur dengan aroma menyengat bubuk mesiu. Kombinasinya membuat Mark mual. Penyebab lain adalah kecemasan yang mengocok-ngocok perutnya. Sang pemimpin merasakan masam dan pahitnya ironi, saat kelompoknya dan kelompok Aru tanpa sadar saling bahu-membahu.
Lalu dia menunduk, bertanya, "Kamu bisa bangun?" Jisung mengangguk. "Bagus. Ayo, waktunya pergi dari sini."
Baru berjalan 2 langkah, seseorang yang mendengar rencana itu menghadangnya. Itu pria ke-3, teman Aru yang tidak sering unjuk kebolehan tapi kini punya 2 senjata dari rekannya yang meninggal. "Kenapa buru-buru, jagoan? Pestanya belum selesai."
Setenang mungkin Mark mengangkat kedua tangannya. "Udah selesai, oke? Ini udah selesai."
Derai tawa pria itu pecah. "Menurutku belum. Taruh pistolmu."
Mark tidak bergerak.
"Tuli, ya? Aku bilang taruh pistol一"
Kepala pria itu keburu meledak sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Kilatan cahaya merah dari 2 peluru yang lepas landas sesaat seperti akan membutakan Mark. Pria itu terkapar telentang. Darah, serpihan tulang, dan suatu materi berwarna keabu-abuan muncrat darinya.
Mark menoleh. Tentu saja一Grace! "Jisung, pergi dari sini!" Grace harus mengeraskan suara agar pesannya bisa menjangkau adiknya. "Mark, tolong bawa Jisung一"
3 tembakan beruntun dari senjata semi-otomatis memborbardir Grace yang sukses menghindar tepat waktu. Grace berjongkok, tasnya terjatuh menampakkan koleksi senapannya yang beragam, yang dipandang Aru dengan tatapan tamak. "Wah ... Aku mau tas itu."
Pemilik lain tas itu mencabut senjatanya sendiri, sebuah pistol kecil yang barangkali variasi Glock, dan balas mengirimkan hujan peluru pada Aru. Si sinting merunduk, berlindung di bodi mobilnya. Haechan meliuk-liukkan Ducati dan menyambar pinggang Grace. "Naik. Kita juga harus pergi."
"Gimana sama Jisung?"
"Pergi, Noona!" Jisung berseru, berusaha mengenyahkannya dan kegundahannya. "Jangan khawatirin aku, pergi!"
"Grace, ayo!" Ditambah Haechan yang mendesak, Grace terjepit dan tak memiliki pilihan lain. Ia meloncat ke boncengan motor dan memeluk Haechan. Pemuda berkulit eksotis itu memutar tuas gas. Dalam sekejap, Ducati-nya lenyap meninggalkan kepulan asap.
Aru keluar dari lokasi persembunyiannya, terkikik-kikik entah karena apa. Tangannya mendarat di bemper dan mengelus liang-liang mungil yang ditorehkan Haechan. "Kejar mereka."
Rim melesat melewati Mark membawa 2 senjata yang ia renggut dari korban Grace. Si jaket kulit dan si pecundang membuntuti. Mereka kehilangan 2 orang yang tewas di tempat. Aru lekas masuk ke mobil, mengisi kursi pengemudi. Dia menyalakan mesin, lantas mengatur senjatanya menyemburkan tembakan triple lagi ke arah yang berbeda.
Semakin banyak zombie yang hadir memenuhi undangan itu.
Tapi Aru belum puas. Dari kaca depan mobil biru metaliknya dia tersenyum culas. "Aku punya hadiah terakhir buat kalian. Selamat dinikmati." Dengan kata-kata itu dia menggenapkan tembakannya menjadi 4. Hadiah Aru melintas di atas kepala Mark dan si kembar, terus, terus, melaju bak malaikat maut yang terbang dan berhenti setelah menembus perut seseorang.
Bunga merah mekar di blus orang itu. Dia tertegun, terhuyung-huyung mundur. "R-ryujin..."
Giselle pun gugur.
Ak punya ide, mulai sekarang karakter yang mau meninggoy foto atau gif-nya bakal nongol di bagian paling depan wkwkwkwk *buru2 kabur* 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top