44. Kita Melawan II
Ikatan antara kakak-adik adalah salah satu ikatan rumit一kalau bukan yang paling rumit一yang bisa diharapkan dari manusia.
Tidakkah menakjubkan rasanya, saat orang tuamu pulang dari rumah sakit membawa buntalan selimut berisi bayi yang mereka beri julukan 'adikmu'? Betapa manis bayi itu; kakinya yang seukuran tangkai bunga, pipinya yang kemerahan, senyumnya. Dia adalah teman baru yang kelak akan membutuhkan tuntunanmu untuk belajar berjalan dan bertahan di dunia luar yang keras.
Tapi lalu dia dewasa. Dalam kurun waktu yang bagai beberapa kali kedipan mata, dia tumbuh menjadi pesaing beratmu dalam hal unjuk prestasi dan merebut kasih sayang orang tua. Lama-kelamaan kamu tidak menyukainya sebesar dulu. Kamu menyebut dia pengganggu. Terutama karena dia unggul di bidang yang bagimu justru adalah kekurangan. Bagian terburuknya, kamu membayangkan dia tak pernah ada meski kamu tahu itu bukan salahnya.
Jadi sebelum kekasih, rekan kerja, atau sahabat, Lee Haechan pikir saudara adalah orang pertama yang mengajari kita bahwa kita bisa membenci dan mencintai orang yang sama.
"Haechan?"
Inilah yang ada di benak Haechan, saat ia mengecek sumber keributan yang tadi menggemakan 3 tembakan. Melalui telescopic sight, atau scope saja pendeknya, ia bisa mengamati mereka seraya menjaga jarak. Scope adalah alat yang dirancang untuk memata-matai, menembus ke depan, jauh, jauh, dari yang sanggup dilakukan mata normal. Kejutan, separuh dari orang-orang yang terekam lensa scope adalah kelompok lamanya. Atau barangkali ia tak perlu terkejut. Pada titik ini, Haechan curiga terlibat masalah merupakan bakat terpendam Mark Lee.
"Haechan, apa yang kamu lihat?" Grace mengulang pertanyaannya, berdiri setenang singa betina yang kenyang. Atas inisiatif Grace-lah mereka kemari, tapi dia tidak tahu apa-apa. Dia belum tahu. Senjata mereka yang dilengkapi scope hanya ada 1.
"Itu..." Haechan bimbang.
Tentu lebih mudah bila ia berdusta, mengarang-ngarang cerita tentang 2 kelompok tak dikenal yang bertengkar. Grace akan percaya一Grace tak punya alasan untuk tidak percaya. Mereka bisa pulang, menyeduh kopi, dan melupakan segalanya. Selesai. Lagipula apa pedulinya pada mantan anggota kelompoknya? Dia sudah mengambil jalan yang berbeda.
Masalahnya itu tidak terasa benar.
"Ada apa sih?"
Benang pemikiran Haechan memanjang ke Yomi, Raon一adik-adiknya tersayang. Jika sesuatu terjadi pada mereka, ia pasti ingin mengetahuinya dan membenci siapapun yang sengaja menyembunyikan informasi itu. Hal yang sama berlaku bagi Grace. Dia berhak tahu kondisi Jisung, terlepas dari seberapa besar kadar timbangan sayang dan bencinya pada si adik.
"Sini." Grace menagih giliran. "Aku mau lihat juga."
Keparat! Haechan menyerah, dan menyerahkan M16 padanya. Dia menyaksikan Grace mengatur letak scope. Grace berkedip. Berkedip. Tak berapa lama, bibirnya terbuka. Wajahnya berubah pias. Darah surut ke kakinya dan menjadikannya pucat. "Nggak mungkin. Itu..."
"Timnya Mark Lee, ya."
"Jisung ada di situ."
"Ya buat kedua kalinya." Haechan memaparkan fakta yang tak terbantahkan. "Semuanya."
Ekspresi Grace tampak kosong. Akan ada waktu untuk menangis, memaki takdir, namun jika terdapat golongan orang yang tahu bahwa air mata takkan menyelesaikan apa-apa, Grace termasuk di antaranya. Kafetaria, rumah pertama, petualangan bersama Renjun一deretan peristiwa itu membiasakannya dengan keadaan darurat. Moment perdana selalu sukar. Yang kesekian akan lebih mudah. Sekarang saja, Haechan melihatnya memeras otak demi mencari jalan keluar.
Kemudian, Grace berjongkok, menyisihkan tongkat besinya, dan mengacak-acak tas senjata mereka. "Mana yang kapasitas pelurunya paling banyak?"
"Apa yang mau kamu lakuin? Jangan tolol, Grace."
"Aku nggak minta pendapatmu, Haechan."
Jemari Haechan menyusup masuk ke sakunya, meraba puluhan keping koin dari minimarket dan menyambar 1 yang jarinya anggap paling nyaman. "Sekedar saran, maju secara gegabah nggak akan bawa dampak positif. Kamu lebih pinter dari ini." Dia mengimbuhkan, "Biasanya."
Sementara Grace menimang sebuah Desert Eagle, mengetes bobotnya sejenak, dan mencampakkan benda itu. Mungkin karena terlalu berat. Desert Eagle memang berat, yang dikompensasi oleh daya rusaknya yang luar biasa. "Apa kamu nyaranin aku supaya diem dan nonton Jisung disiksa sama entah siapa mereka itu?"
"Aku nyaranin kamu supaya nggak bunuh diri."
"Wah, sejak kapan nyawaku jadi urusanmu?"
Koin di jari telunjuk Haechan yang tengah dalam perjalanannya ke jari manis terhenti. Koin itu terjatuh, dan Haechan menarik Grace berdiri sampai tatapan mata mereka saling beradu. "Apa kamu serius nanya itu? Apa kamu serius?! Grace, kamu urusanku. Di dunia yang fana ini nggak banyak orang yang kematiannya bisa bikin aku berduka, tapi sialan, kamu salah satunya! Aku nggak bisa biarin kamu setor nyawa ke mereka."
Grace menempelkan tangannya ke dada Haechan dan mendorongnya, lebih kencang dari yang diperlukan. "Kalimat yang romantis, Haechan, sayangnya aku nggak minta izin. Aku nggak butuh izin kamu, jadi minggir dari jalanku."
"Aku tanya sekali lagi, apa yang mau kamu lakuin?"
"Aku nggak punya waktu jelasinnya. Setiap detik berharga."
"Tekad aja nggak cukup, Grace Moon!" Habis sudah kesabarannya, Haechan meledak marah, menyemburkan kata-kata bernada membentak. Gagasan gadis ini yang hendak menyelesaikan masalah dengan masalah lain membuatnya naik pitam. "Keberanian tanpa keterampilan nggak ada gunanya. Sejarah nggak ditulis sama orang-orang idiot yang ngira mereka bisa nyetop tank berbekal keyakinan!"
"Oh ya?" Grace tidak mendengarkan. Atau setidaknya berpura-pura mendengarkan. Dia sudah kembali berjongkok, memilah-milah senjata jadi 2 tumpukan. "Kalau kamu sepinter itu, kenapa kamu nggak bantu aku nyari solusinya?"
"Aku nggak bisa."
"Kamu一apa?" Saking kagetnya Grace tergagap.
Rahang Haechan mengeras. "Aku tahu apa yang kamu pikirin. Kamu mau nembak mereka ala sniper kan? Mending kamu mundur. Keahlian sniper bukan sesuatu yang bisa dipelajari dalam beberapa menit yang singkat. Tentara yang cita-citanya masuk unit sniper harus diseleksi dan digembleng habis-habisan. Ini nggak sesepele kelihatannya."
"Kamu nggak bisa?"
Gelengan tegas Haechan menjawabnya. "Nggak." Dia mungkin menyombongkan diri dalam banyak hal, namun itu hanya karena ia yakin dirinya bisa. Seorang Lee Haechan tak pernah mengada-ada untuk mendapat pujian. "Skill menembakku cuma bagus di kisaran jarak dekat atau menengah. Aku udah nyoba, dan sialnya aku masih sering salah sasaran. Itu nggak sesuai sama prinsip sniper yang one shoot, one kill. Maaf, Grace, ini di luar kemampuanku."
Usai gelombang keterkejutannya mereda, Grace menerima bahwa Haechan memiliki kelemahan dengan tenang. Terlalu tenang, hingga nyaris tidak masuk akal. "Kamu nggak usah ikut. Aku bakal ke sana sendirian."
"Nggak akan berhasil."
"Haechan." Lebih mendesak, lebih menuntut, intonasi suara Grace mengungkap betapa enggan ia diberi belas kasihan. "Kamu juga seorang kakak, kamu sepatutnya paham. Selama ini aku berusaha ngeyakinin diri sendiri kalau Jisung baik-baik aja一aku salah. Aku nggak sejahat itu balik badan di saat dia butuh bantuan."
"Baca situasinya dulu, Kak." Haechan berunding, sengaja mengawali dengan sindiran sekental jus tanpa air. "Alasan kenapa sniper selalu ngincar target dari atap gedung tinggi atau hutan lebat nggak lain biar tembakan mereka nggak gampang di lacak. Dengan begitu peluang lolos pun lebih terbuka. Sedangkan di sini? Apa kamu lihat gedung tinggi dimana-mana?"
Mengangkat kepala, berputar, Grace memeriksa sekelilingnya 2 kali mengharap perubahan ajaib, seolah ada ibu peri yang mendatanginya menawarkan ramuan yang bisa memunculkan gedung pencakar langit. Tapi bukan begitu cara kerja alam. Tidak ada ibu peri, atau labu yang membengkak jadi kereta. Jika ingin mengubah takdir, kamu diwajibkan betindak bukannya menanti bantuan orang lain.
Dunia ini kejam. Bumi takkan berhenti berotasi walau kamu kesusahan. Suka atau tidak, Grace harus mengakui tempat mereka berada tidaklah strategis. Jalanannya sempit, terbagi menjadi 2 jalur dengan barisan toko yang saling mengapit. Petak-petak toko itu tak kalah kecil, rata-rata terdiri dari 2 tingkat yang menyatu dengan rumah pemiliknya. Sniper yang nekat beraksi di sini akan menemui nasib tragis, dengan 2 kemungkinan ditawan musuh atau terbunuh.
Grace akan berpendapat sama, bahkan mendukungnya, seandainya dia tidak terlampau kalut mencemaskan nyawa adiknya. "Nggak peduli. Aku nggak peduli seberapa besar peluangku, yang aku tahu, aku nggak bisa sebatas nonton dari jauh."
"Kamu kira berpartisipasi nggak beresiko, ya?"
"Apa maksudmu?"
Dengan gemas, Haechan menjejalkan lagi M16 ke genggamannya. "Hitung berapa orang di sana."
"6 cowok."
"Gimana posisi si maknae?"
"Jisung duduk ... Tunggu." Wajah Grace diselimuti kengerian. "Seseorang narik dia berdiri."
Merasa memperoleh celah untuk menyerang logika Grace, Haechan tidak menyia-nyiakannya. "6 cowok, eh? Itu lumayan. Apa tindakanmu? Nembak mereka sekaligus?"
"Ya! Ada senapan serbu di tas一"
Tawa Haechan menyeruak ke permukaan. "Jangan remehin refleks manusia. Mereka nggak akan bengong patuh nunggu kamu selesai. Setelah 2 atau 3 tembakan, mereka pasti tiarap. Anggaplah 4 orang selamat, menurut kamu apa mereka seketika nyerah dan nangis-nangis minta ampun?" Grace membisu, jadi Haechan yang menyahut, "Ada 2 prediksi; mereka bales kamu, atau mereka nembak kelompok Mark Lee dan teriak, 'Keluar sebelum kita habisi temen kalian satu-persatu!'. Mana yang kamu pilih?"
"Kalau aku, Grace, jelas aku pilih yang ke-2. Itu lebih praktis. Oh, dan aku lupa bilang si maknae berpotensi kena peluru nyasar. 2 cewek itu? Kita nggak tahu mereka kawan atau lawan. Tapi mereka bisa aja berbahaya, kan?"
"Ya." Grace memeluk dirinya sendiri, tampak menggigil menerima paparan sinar mentari yang terik. "Ini jalan buntu. Kamu bener."
"Kamu mulai sadar rupanya."
"Tapi aku harus ke sana. Harus, Haechan."
Terperangah, Haechan memandang Grace dengan pandangan yang mempertanyakan di mana otaknya dan apakah otak itu telah rusak. "Kamu gila."
"Aku segila kakak lain yang adiknya dalam bahaya."
"Sebentar, Grace. Grace! Ah, berengsek!" Lintang pukang Haechan lari mengejarnya, tak percaya gadis semungil Grace yang kerap berjalan santai ternyata bisa melesat cepat. Butuh beberapa langkah lebar, agar Haechan mampu menyusul dan memaksa mata mereka bertautan. "Apa kamu serius pengen ke sana?"
Grace menarik napas dengan tak sabar. "Jangan halangin aku, Haechan. Percuma."
"Kamu gila." Haechan rasa mengucapkannya sekali saja masih kurang. "Tapi kalau kamu serius, kita lakuin ini sama-sama. Berdua atau nggak sama sekali. Aku punya rencana."
Cuping telinga Grace memerah. "Dan kenapa kamu nunda ngasih tahu aku?"
"Rencana ini berbahaya. Buat kita."
"Aku udah bilang aku nggak peduli."
"Lucu. Kayaknya malah aku yang lebih peduli sama nyawamu. Oke, ini dia." Sadar waktu mereka semakin menipis, Haechan buru-buru meraih sebuah assault rifle asal Perancis. Panjang larasnya tidak main-main, namun itulah yang membuatnya mudah dikenali. Seahli dokter yang membedah pasiennya, Haechan mengisi senjata itu dengan magasin berkapasitas 25 butir peluru. Dilanjut menggeser pengokangnya yang terletak di bawah carry handle. "Ini namanya FAMAS, senjata yang berpihak ke orang kidal. Jarak efektifinya sekitar 300 meter. Setelah kita sampai di sana, aku mau kamu nembak orang yang pegang senjata paling panjang."
"Sniper?"
"Pinter. Kita nggak tahu keahlian yang lain, tapi sniper mesti diwaspadai. Buat sniper, jarak itu bukan masalah. Dia yang aku khawatirin. Jangan ngomong, jangan ngancem, langsung hajar dia. Ngerti?"
Kesungguhan terpancar di manik mata Grace kala ia mengangguk. "Aku nggak akan ngecewain kamu, Haechan."
"Dan aku percaya kamu." Haechan tidak merayu, dia benar-benar mengatakannya dengan tulus, dari dasar lubuk hati yang pernah ia sangka sudah mati. "Aku ngandelin kamu, karena susah nembak sambil nyetir. Rencananya sederhana, kita pancing mereka ngajauh. Semoga aja otak Mark Lee aktif dan dia manfaatin itu buat kabur."
Grace tersenyum kecil. "Semoga."
Untuk dirinya, Haechan berjaga-jaga dengan menyimpan Glock yang sempat digunakan Grace. Dia menyelipkannya di pinggang, lantas menutupinya memakai pakaian. Saat ia membungkuk, seperti sulap, pistolnya hanya menimbulkan sedikit kerutan. "Siap?"
Kali ini Grace tidak menolak uluran tangannya. "Selalu."
"Kalau gitu ayo kita ke pusat badai."
Mata dibalas mata.
Gigi dibalas gigi.
Skornya kini kembali seri.
Mark Lee membeku tak bergerak melihat salah satu teman Aru, pria ke-4, tumbang dengan isi kepala yang berceceran. Sikap congkaknya hilang, sekarang ia tak lebih dari seonggok daging tanpa kehidupan. Prosesnya cepat, sangat cepat sampai Mark mengira itu khayalan belaka.
Namun Grace dan Haechan tidak lenyap ibarat uap kopi yang telah dingin. Mereka di sana, senyata rasa sakit di sekujur tubuhnya. Asap dari senjata Grace belum memudar, Haechan pun masih bersiaga di motornya. Dia terlihat menimbang-nimbang apakah harus menurunkan standar atau tidak, lantas memutuskan itu tidak perlu.
Aru juga tak lagi tersenyum. Aru marah, meski rautnya terpantau datar. Amarah itu berkobar layaknya kegelapan yang bentuknya memadat. Kamu tidak bisa menyentuh kegelapan tersebut, namun kamu pasti bisa merasakan tekanan rasa takut yang dihasilkannya. Ada kilatan berbahaya di mata Aru ketika dia menelisik Ducati merah yang dikendalikan Haechan dan berhenti lama di plat nomornya. "Dari mana kalian dapet motor itu?"
Motor?
Adakah yang pernah nonton mv Golden Child yang Burn It? Itu tentang zombie juga lho, dan liriknya romantis, cocoque jadi backsound Haechan-Grace 😳 Gimana, dah mirip Harley & Joker belom? 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top