39. Kita Berteman II

Saat seseorang menceritakan suatu kejadian yang menyisakan trauma di hatinya, biasanya dia akan menunjukkan 1 dari 3 respon ini, atau bahkan ketiganya sekaligus; menangis merutuki takdir, marah pada sang pencipta, atau mencoba tegar sebab tahu masa lalu tidak bisa diubah.

Tapi Ryujin tampak cukup tenang untuk ukuran orang yang kehilangan 3 temannya一jika dia tidak berdusta一mengingat Grace si gadis baja saja pernah menangis tersedu-sedu.

Gadis yang berbeda, reaksi yang berbeda pula. Mark Lee harus menyadarkan diri bahwa mereka adalah 2 individu yang tidak sama. Bahkan tidak mirip secara fisik. Ryujin lebih tinggi, tipe gadis yang akan diincar agensi permodelan, berambut pendek sebahu, dengan wajah lebih tirus dan bentuk bibir yang lebih mungil.

Sedangkan Grace kebalikannya dan pasti menyahut ketus jika diperlakukan seolah dia pelaku tindak kejahatan dan mereka adalah polisi yang menagih keterangan.

Setelah Renjun berkata, "nggak, bukan apa-apa", perihal oknum bernama Aru, atau sesungguhnya menghindar secara halus, Ryujin melanjutkan ceritanya. "Sebelumnya aku harus bilang, aku nggak akrab sama mereka ber-4. Aku kenal mereka di bis, waktu berangkat sekolah di hari yang kelihatannya biasa aja. Tapi ada kejutan yang nggak disangka-sangka, ada kerusuhan yang nyegat kita sebelum sampek di tujuan."

Ryujin berhenti, dan Mark tiba-tiba ingat Midspa terletak persis di tengah kota, tidak seperti sekolahnya yang berada di utara. Midspa dibangun di wilayah elit tempat para orang tua tak segan menghamburkan uang untuk menyekolahkan anak mereka di institusi yang bergengsi. Puluhan apartemen mewah berjejer rapi sebagai perlambang kehidupan ideal, dengan penthouse, puncak emasnya, diperebutkan demi meningkatnya status sosial.

Murid-murid yang mendaftar ke Midspa adalah kaum ningrat yang menata rambut mereka di salon-salon Gangnam, memakai sepatu rancangan Manolo Blahnik, Roger Vivier, atau Andre Perugia. Namun syukurlah, berkat tradisi yang dipegang teguh dan belum luntur, mayoritas murid-murid di bawah umur berangkat dan pulang dengan kendaraan umum sehingga polusi udara tidak semakin menumpuk.

Diam-diam, sealami mungkin, Mark melirik kolong meja tempat Ryujin menyimpan alas kakinya. Yap, orang kaya. Dia mengenali desain sepatu itu sebagai salah satu produk unggulan sepatu wanita Tom Ford yang kerap dibeli ibunya.

"Aku masih inget kejadiannya. Kemacetan pagi itu berubah jadi bencana. Dari rumah sakit pusat, mendadak keluar segerombolan monster. Mereka manusia, tapi juga bukan. Manusia yang waras nggak akan makan sesamanya. Suasana seketika tegang. Sopir bis niatnya puter balik, sayangnya kehalang sama kendaraan lain. Semua penumpang pun turun. Dari belasan orang, sisa 5 aja yang selamat."

"Itu kalian, kelompokmu," ujar Renjun berlandaskan tebakan.

Giliran Giselle yang berbicara. "Ya. Tanpa banyak diskusi, kita mutusin buat jadi 1 tim. Ada Karina yang tegas, Sungchan yang dewasa, Shotaro yang selalu optimis, Ryujin yang keras kepala, dan aku."

"Mulanya semua lancar," sambung Ryujin yang dijuluki kepala batu minus rasa tersinggung. "Kadang-kadang keadaan emang kacau, tapi kita bisa ngatasin itu walaupun sulit. Masalah terbesar muncul 2 hari yang lalu. 8 orang cowok nyergap rumah yang kita jadiin tempat singgah."

"Kenapa?" Keingintahuan Mark terusik di situ. Dia tipe orang yang percaya takkan ada asap jika tidak ada api yang disulut. "Kalian nyari ribut sama mereka?"

"Sama sekali nggak!" Sembur Ryujin cepat, kilatan kemarahan terpantul di matanya. "Kelompokku selalu tinggal di rumah kosong. Makan dan minum kita dapet dari mobil atau toko yang nggak berpenghuni. Kita nggak pernah ngambil hak siapapun, Mark, kalau itu yang kamu maksud."

Bendera putih dikibarkan, Mark mengangkat kedua telapak tangannya menghadap ke depan, menyerah. "Oke, oke, maaf. Aku nggak bermaksud nuduh kalian."

Menetralkan atmosfer sebelum terlanjur memanas, Giselle berdeham. "Mereka dobrak pintu, bawa pistol一"

"Kayak gini?" Renjun memperlihatkan Glock yang ia tarik dari saku.

Gadis berambut panjang itu menggeleng. "Bukan, lebih besar. Aku nggak tahu namanya. Pokoknya, mereka ngancem kita buat nyerahin seluruh makanan dan senjata. Shotaro nolak. Dia ngelawan, jadi ketua mereka, Aru, nembak dia 2 kali di dada. Dan..."

Suara Giselle goyah, kalimatnya terpatah-patah disusupi gelombang tangis yang hendak tumpah. Insting alami wanita atau semata-mata rasa sayang, membuat Ryujin menggenggam tangan temannya dan menggeser posisinya menyampaikan bagian konflik dari kisah kelam tersebut.

"Yang bikin aku paling ngeri, orang yang dipanggil Aru ini nembak Shotaro seakan Shotaro boneka yang nggak ada artinya. Dari raut mukanya, dia jelas nggak ngerasa bersalah. Dia sering senyum. Semua buat makanan. Cuma buat makanan yang bisa mereka cari di berbagai tempat tanpa harus ngerampas punya tim lain. Aru nganggep makanan lebih penting dari nyawa manusia yang makin hari makin sedikit. Bisa kalian bayangin itu?"

Sejujurnya Mark bisa, dan sedikitpun dia tidak menyukainya. Bukankah hal yang sama hampir terjadi pada kelompoknya, meski ada unsur keteledoran dan lebih banyak lagi kesialan? Intinya sama saja, kejadian yang dialami 2 tim berbeda ini meneriakkan fakta yang sama; orang egois yang memprioritaskan perut mereka sendiri ada dimana-mana.

Tidak menjawab, Mark ganti menyuarakan sebaris tanya. "Gimana caranya kamu dan Giselle lolos?"

Setitik air mata yang meninggalkan bekas berupa aliran tipis di pipi Giselle turun, dan ia terburu-buru menghapusnya. "Pintu belakang. Sungchan dan Karina ngalihin perhatian mereka sementara aku dan Ryujin kabur."

"Mereka biarin gitu aja?"

"Mereka ngejar." Ryujin mengenang dengan secercah kengerian yang belum hilang. "Kita lari dan lari. Hampir jatuh dan ketangkep beberapa kali. Waktu mereka berhenti, aku sempet ketipu dan ngira mereka nyerah. Tapi aku salah. Ternyata mereka berhenti karena rute yang kita pilih malah nganter kita ke sarang monster. Ada puluhan, barangkali ratusan. Kita selamat setelah sembunyi di ruang bawah tanah seseorang, lebih dari 24 jam lamanya."

"Abis itu kalian ke jembatan." Renjun kembali berasumsi.

Dan Ryujin kembali tertunduk sedih. "Aku yang salah, aku terlalu gegabah ngajak Giselle ke sana dan kurang jeli ngawasin keadaan sekitar. Itu nggak akan kejadian seandainya Karina masih ada."

"Apa dia, Karina, dan ... Sungchan?" Mark harap dia mengejanya dengan tepat. "Udah meninggal?"

"Mungkin."

"Kamu nggak tahu pasti?"

"Banyak kemungkinan yang bisa ditelusuri, tapi aku nggak mau berharap lebih. Harapan rawan berujung ke sakit hati, dan nimbun harapan di saat genting bukan keputusan yang baik." Ryujin mengakhiri buntut opininya dengan seulas senyum ragu. Kebiasaannya memintal kalimat-kalimat puitis sepertinya keluar spontan tanpa ia perhatikan.

Anak sastra. Tak usah ditanya. Mark dibuat lebih menyukainya sebagai seseorang yang tumbuh besar di antara buku-buku koleksi orang tuanya. "Kalian bisa santai sekarang. Nggak akan ada yang main tembak-tembakan di sini, aku jamin, kecuali berhadapan sama zombie."

"Artinya aku dan Giselle boleh numpang tinggal bareng kalian?"

"Boleh aja, kebetulan ada ruang kosong di mobil sejak Grace dan Haechan pergi一"

Ups.

Terlalu deras, informasi yang Mark beri bagai banjir bandang. Ia secara tak sengaja telah membuka peti rahasia yang ingin ia simpan, dan Ryujin menangkapnya ibarat hiu yang mencium bau darah. "Siapa Grace dan Haechan?"

Model rambut alami Lee Haechan sejak lahir adalah ikal, dengan tekstur yang meski lembut diakui ibunya susah diatur. Dalam foto-foto masa kecil yang terpajang rumahnya, ia selalu tampil sebagai bocah laki-laki berpipi tembam yang nyengir nakal ke kamera. Giginya menjiplak kelinci, rambutnya menggumpal mirip mentega yang dikeruk memakai sendok dari wadahnya, nyaris keriting sempurna.

Menjelang dewasa, usai ikal-ikal halus itu dipotong teratur, rambutnya secara ajaib menjadi lebih lurus dan patuh pada pemiliknya. Kecuali ada angin kencang. Kecuali ia berkendara tanpa pelindung kepala.

Seperti sekarang.

Berkat ngebut seenak jidat tanpa perlengkapan yang sesuai, setibanya di rumah sementara mereka Haechan terlihat seperti orang yang nekat menerjang angin topan. Atau tersengat listrik bertegangan tinggi, atau sungguh, berguling-guling di tanah 100 kali. Kekusutan rambutnya benar-benar tak tertandingi. "Harusnya aku bungkus Pomade tadi." Ia mengeluh. "Lupa."

Tawa sarat ejekan Grace bergaung dari dapur. "Potong aja biar rapi."

"Bukan seleraku."

"Lebih bagus kalau cowok rambutnya pendek lho." Tak lama Grace muncul beserta corndog yang masih panas. "Kayak Ji一"

"Jisung?"

Grace mengunci bibirnya rapat-rapat. Taktik Grace jika merasa tidak nyaman adalah diam atau marah-marah. Haechan sudah hafal.

"Nggak apa-apa ngaku kangen dia, Grace. Kamu kakaknya. Itu wajar."

Masih diam, Grace menutup pintu yang menjadi akses ke perasaannya di depan wajah Haechan dan beranjak ke kamar. "Lihat," katanya dengan keriangan yang tidak nyata. "Aku nemu Pomade di situ. Sini, aku rapihin rambut kamu."

Sambil makan, Haechan membiarkan tangan mungil gadis itu menari-nari di sela-sela rambut dan kulit kepalanya. Bila lebih panjang lagi, Haechan yakin, ia akan harus mengikatnya supaya tidak mengganggu penglihatan. "Kamu nggak mau bahas ini?"

Konsentrasi Grace terpusat total pada gel dan rambut saja. "Nggak. Dan kamu nggak perlu ngerasa bersalah. Ini pilihanku, inget itu."

"Si maknae pasti sedih."

"Dia nggak butuh aku. Nggak terlalu."

Mengunyah makanan membuat Haechan tidak bisa segera berkata bahwa Grace terkesan meyakinkan dirinya sendiri. Ia harus menelan makanan di mulutnya lebih dulu. "Menurutmu gitu? Menurutmu dia nempel ke kamu cuma karena alasan sepele butuh perlindungan?"

"Sssstt."

Haechan tidak mau diam, atau sudah lupa caranya diam. "Pe-nge-cut."

"Iiih." Grace mencibir, namun tak menemukan cukup alibi untuk berkelit. "Aku bukan salah satunya. Makan aja yang banyak, jangan berisik."

"Kamu juga. Bentar lagi kita latihan."

"Tiba-tiba?"

Pelatih Haechan tersenyum pongah. "Kenapa harus nunda-nunda?"

Semua orang pasti mengira bahwa setelah badai kehilangan yang pertama, maka badai selanjutnya dapat dilewati dengan lebih mudah.

Hal itu tidak berlaku bagi Mark, terlebih karena masa tenang hanya berlangsung dalam beberapa kali kedipan mata. Sama halnya dengan keahlian bersepeda yang tidak bisa dikuasai dalam sekali kayuhan, merelakan juga tidak segampang yang diucapkan lisan. Sebab tak peduli sekejap atau selamanya, seminggu atau sehari, akan selalu ada orang-orang yang kepergiannya kamu tangisi.

Ryujin dan Giselle kompak tercengang begitu Mark selesai menuturkan siapa Grace dan Haechan, jasa-jasa mereka, apa yang menyebabkan keduanya tidak betah. Sang penggemar kebebasan pergi untuk terbang lebih tinggi. Semuanya diungkap dengan gamblang, tanpa ada yang disembunyikan. Meski alih-alih memuaskan, penjelasan Mark malah melahirkan pertanyaan lain dari Ryujin.

"Sebentar," kata gadis itu gusar. "Aku nggak paham. Kamu mau bilang waktu orang lain mati-matian nyari komunitas, si Grace ini justru berusaha misahin diri?"

"Itu keputusannya." Renjun berseru mewakili Mark, serta一mungkin一sedikit menyindirnya. "Dan itu yang ngebedain kita dari pohon, kalau kamu nggak betah di tempat tinggalmu, kamu leluasa buat pindah."

"Pindah? Pindah ke mana? Tindakannya berbahaya."

Bahaya kini merupakan sajian rutin yang harus mereka telan, Grace hanya memilih untuk menghadapinya dengan siapa. Mark terlambat sadar bahwa dia sudah dicoret dari daftar. "Begini, Ryujin." Terangnya pelan-pelan. "Grace nggak sendiri. Haechan ada sama dia. Kamu nggak kenal Grace, tapi jangan bayangin dia kayak cewek yang cuma bisa nunggu bantuan tanpa berkontribusi apa-apa. Grace lebih dari itu."

"Tetep aja, dengan pergi dia ninggalin adiknya kan?"

Kepala Mark terangguk pasrah. Dia mulai bertanya-tanya di mana Jisung dan kenapa bocah itu tidak kunjung masuk ke rumah dari acara jalan-jalannya. "Soal itu一"

"Itu jahat." Suara lembut Giselle terdengar seperti bunyi tebasan pedang tajam yang memotong udara hampa. Gelembung kata yang tidak berani disentuh siapapun telah dipecahkan olehnya. "Kakak macam apa yang ngelakuin itu ke adiknya?"

Benar. Kakak macam apa? 2 orang yang paling pantas mendebat Giselle sedang tidak ada.

Ini persoalan pelik mengenai Grace yang bersikap kontradiktif pada seseorang yang dengan enggan ia sebut adik. Melindungi dan pergi. Menyelamatkan dan membuang. Kepedulian Grace terhadap Jisung terasa membingungkan karena ia terlihat ingin menyayanginya di saat yang sama berusaha menjaga jarak. Apa itu lantas membuatnya terlempar dari kategori baik dan menjadikannya kakak yang jahat?

Mark tidak bisa memutuskan. Kata jahat menetes-netes di benaknya ibarat air dari keran yang rusak. Siapa yang jahat, Mark Lee? Batinnya bertanya, namun dalam bentuk suara Haechan.

Siapa yang menurut kamu jahat?

Dia tersenyum, pahit dan pedih. "Sebenernya aku pikir kita yang jahat, bukan mereka. Kita ber-6 udah bikin mereka ngerasa tersisih dan terabaikan. Aku gagal, ngambil peran pemimpin yang baik buat semua orang. Jadi kalau kamu dan Ryujin masih minat gabung, aku ucapin selamat datang di tim yang nggak sempurna ini."

Haechan long hair? Ini 3 contohnya 😳👉

(Plis kulitnya cantik banget kalo kagak diedit putih 🤧)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top