36. Kita Bisa Menerima

"Kamu tahu, Jisung?"

Duduk di aspal yang condong ke sisi yang membahayakan, Jaemin dan Chenle sedang membongkar tas-tas mereka, membuang apa saja yang tak diperlukan一plastik pembungkus makanan, pakaian anak-anak yang tidak sengaja terbawa, sapu tangan一agar nantinya beban mereka lebih ringan. Jeno ada di depan, setengah tubuhnya membungkuk ke mesin mobil, berusaha menemukan apa yang salah. Sedangkan Renjun berada di kursi pengemudi, asyik memeriksa tas sekolahnya sambil menguping.

"Rumah itu bukan tentang tempat, tapi orang, dan buat nyari rumah yang tepat, seringnya kita butuh perjalanan panjang."

Ada pula Mark Lee dan Jisung, yang duduk di penutup bagasi mobil, namun tidak saling pandang saat berupaya menerima keadaan.

"Aku nggak akan bilang aku ngerti keputusan Grace," lanjut Mark murung. "Tapi aku bakal nyoba nerima itu, karena kadang-kadang, yang bikin kita betah di suatu rumah bukan sekedar keamanannya, tapi juga kenyamanan."

"Jadi Noona nggak nyaman sama kita?"

"Nggak一" awalnya Mark ingin menjawab, lalu setelah pertimbangannya sesaat, dia membatalkannya. "Mungkin..."

Dua orang yang ditinggalkan itu kompak tertunduk muram. Mark, yang muak dengan dusta, dan Jisung, yang memperoleh jawaban yang hanya semakin menyakiti hatinya. Usai kemarahannya padam, Mark diterjang banjir kesedihan. Tidakkah Grace memikirkan ini一orang-orang yang ia buat menderita一sebelum melompat ke motor bersama Haechan? Grace terlalu tergesa-gesa menetapkan pilihan. Dia menukar banyak hal demi seorang pemuda yang nyaris tidak ia kenal.

Seakan bisa membaca pikirannya, Jisung kembali bicara mengumumkan keprihatinan yang identik. "Tapi gimana kalau mereka kenapa-napa? Kota nggak aman buat tim yang cuma terdiri dari 2 orang. Aku takut mereka nggak bisa bertahan."

"Oh, kalau mereka pasti bisa." Sambil terus membalik halaman-halaman bukunya, Renjun berucap semerdu cuitan burung-burung di musim semi. "Haechan tahu banyak tentang senjata, dan kakakmu cerdas. Mereka serasi."

"Yah, dan mereka udah buktiin itu kan?" Sambung Jaemin dari posisinya di tengah jalan. "Gila, aku masih nggak ngerti gimana caranya mereka ngebobol kantor polisi tadi, padahal peluru Haechan mestinya udah sisa sedikit."

Tadi, selisih beberapa detik, mereka ber-6 bergegas pergi mengantisipasi kemungkinan dikepung zombie. Sejujurnya Mark ingin memanggil Grace, menjangkaunya dengan setiap sel di tubuhnya, tapi suaranya tertahan sebelum sempat keluar. Keputusasaan menjegal usahanya, didukung oleh kesadaran tentang betapa sia-sia dan terlambat upayanya meminta Grace tinggal. Grace memilih pergi一bahkan Jisung tak mampu mencegahnya.

Terdiam sebentar, anak itu mengukir pola-pola abstrak tak beraturan di celananya. "Berarti kita nggak akan nyusul mereka?"

Berat sekali rasanya mengangguk, namun itulah yang Mark lakukan. "Jisung," ujarnya hati-hati pada bocah yang dipaksa dewasa terlalu cepat itu. "Ini beda dari kasus Renjun. Masalahnya aku yakin mereka nggak mau disusul."

"Lagian apa yang kamu takutin?" Renjun muncul mengacungkan selembar kertas berisi coretan yang dia cari. Mereka sudah berputar-putar di kota selama seperempat jam ketika tiba-tiba mobil mogok dan Mark tersadar, tak ada satu pun dari mereka yang tahu cara ke Jeju.

Sebelumnya, tak ada yang menyebut-nyebut seberapa besar peran Haechan dalam tim, tapi kini, mereka harus mengakui bahwa si lidah tajam itu merupakan anggota yang sangat penting.

Beruntung, Renjun ingat Haechan pernah menggambar peta di bukunya dan mereka bisa mengikuti peta itu untuk tiba di tujuan. Renjun terkekeh geli. "Jisung, kita semua nggak akan berhenti temenan sama kamu karena Grace nggak ada. Kamu udah punya tempat di kelompok ini, jadi tukang mikir."

"Wah, Renjun-hyung," sahut Jeno iseng, sengaja membuat suaranya terdengar kekanak-kanakan. "Kalau aku perannya apa kira-kira?"

Ketegangan berkurang. Hanya dengan beberapa patah kata dari Jeno, kesedihan memudar dan larut seperti cairan yang bisa berubah warna di kelas kimia.

"Si montir?" Cetus Renjun asal.

"Bakat utamaku bukan benerin mobil."

"Kalau gitu tukang reparasi?"

Chenle tersenyum. "Nyaris nggak ada bedanya."

Keduanya tidak mendapat persetujuan, Jeno menggeleng menolak usulannya. "Kayaknya aku juga nggak pantes dipanggil tukang reparasi. Ini." Dia menutup kap mobil. "Aku nggak bisa benerin."

Mark langsung berdiri. "Kamu nggak bisa?"

Bahu Jeno yang belum sepenuhnya sembuh terangkat dalam isyarat rasa bersalah. "Oli transmisinya bocor. Kita nggak punya alat dan komponen cadangannya."

Duh, sial bagi mereka. Kendala ini hadir di moment yang benar-benar tidak pas. Tempat mereka terdampar sekarang adalah jalanan luas yang hiasannya tak lebih dari sampah dan rerumputan layu yang sekarat. Sepi dari makhluk hidup, sepi pula dari kendaraan. Sepertinya wilayah ini dilewati begitu saja oleh penyintas lain, mirip rest area yang keberadaannya diabaikan.

Semakin memperburuk keadaan, langit juga mengancam menurunkan hujan. Gumpalan awan kelabu menyekap mentari dan tak memperbolehkannya menyinari bumi. Siang jadi terkesan seperti menjelang malam. Kilat menyambar, yang selama sedetik membuat segalanya tampak lebih terang.

Ini buruk.

Mark menghela napas, lantas menyarankan, "Renjun, mending kamu pakek jaket. Yang punya pistol kokang senjata kalian. Jisung dan Chenle, minimal pegang pisau, ya? Kita cari mobil baru, ayo."

Anggotanya dengan patuh menuruti instruksi. Tanpa diminta, semua orang selain Jeno yang tidak Mark izinkan mengambil sebuah tas untuk disandang. Jadi, layaknya mengejar kereta, mereka mulai berjalan agak cepat.

Sambil merajut langkah di deret belakang, Mark memegang catatan Haechan di 1 tangan dan membacanya. Catatan itu berisi tulisan besar-besar dan tebal yang seolah mewakili kepercayaan diri sang penulis. Sesekali Haechan mengukir garis-garis melengkung ke kanan atau kiri untuk menggambarkan belokan mana yang harus diambil. Selingan yang membuatnya tidak monoton adalah nama-nama jalan yang mendetail dan sesekali huruf X yang tidak diberi keterangan.

Apa ini, Haechan?

Jika ada di sini, Mark yakin Haechan akan menjawab pertanyaannya setelah mengejek pengetahuannya yang kurang. Namun itu pun masih lebih baik daripada dia pergi dan mengajak Grace dengannya.

Di sampingnya, Jeno turut meneliti objek yang sedang ia pelototi. "X?" tanyanya bingung. "Kenapa dia nulis X sampek 5 kali?"

"Ini," ujar Mark dengan suara yang darinya memancar rasa lelah, "Bisa apa aja. Mungkin ini tebakannya tentang tempat pengungsian. Mungkin ini alamat temennya, mungkin juga ini kantor polisi yang mau dia jarah."

"Ini pasti penting. Pasti. Aku nggak akrab sama Haechan, tapi dilihat dari caranya yang selalu merhatiin semuanya di kelas, aku ragu ini cuma coretan yang nggak ada artinya."

"Kita nggak tahu apa ini tempat yang perlu kita datangi atau justru tempat yang harus kita hindari."

"Periksa atau nggak?" Persoalan utama itu berenang-renang di antara mereka. Jeno menelusurkan jarinya di tanda X yang paling dekat dengan lokasi mereka saat ini. "Kalau kita udah dapet mobil, nggak ada salahnya一Ren!" Dia berhenti, menjatuhkan kertas, mengeluarkan seruan terkejut saat hampir menubruk bahu lebar Renjun yang mengerem mendadak. "Ada apa?"

Sesuatu membuat Renjun berputar-putar layaknya jarum kompas yang berusaha menentukan arah. "Ada yang teriak minta tolong. Kalian nggak denger?"

Mark yang hanya mengenakan kaus tipis menggigil. Selain dari raut wajah, dia juga bertanya-tanya dalam hati apakah sengatan udara dingin sanggup menyebabkan orang berhalusinasi. "Renjun, aku nggak denger apa-apa kecuali suara angin."

"Ada!" Renjun bersikeras. "Semuanya diem. Dengerin baik-baik. Itu suara cewek."

"Grace Noona?" Celetuk Jisung cemas.

Terdiam sejenak, Renjun larut dalam kegiatannya mendengarkan apa yang tidak bisa didengar orang lain. Bak mengikuti tali tak kasat mata, dia mendongak, telunjuknya terangkat, menghadap jembatan yang jauh, dan tinggi, tinggi, di atas mereka. "Bukan. Suara ini lebih lembut dan sumbernya dari sana."

"Dia serius?"

Jaemin, teman yang setia, rekan yang selalu percaya, tersenyum pada Mark. "Kalau soal ini, percaya aja sama dia."

Jembatan yang ditunjuk Renjun adalah jembatan yang membentang sepanjang lebih dari 8 meter, dibangun untuk mengurai kemacetan dan memberi napas lega bagi pekerja yang bosnya tidak bisa menoleransi keterlambatan. Lempengan-lempengan baja yang kokoh menyangga konstruksinya yang megah, seperti jaring laba-laba berpola silang menyilang. Pemerintah pikir tak perlu ada penghematan untuk fasilitas penunjang kehidupan ibu kota, maka jadilah, simbol kebanggaan lain penduduk Seoul dengan anggaran yang tidak main-main.

Di hari biasa, jembatan itu merupakan jalur yang sibuk, seringkali padat meski tetap teratur, dipenuhi manusia yang lalu lalang.

Hari ini, di hari yang tidak biasa, hadirnya manusia digantikan para zombie yang berduyun-duyun mengitari sebuah mobil ambulans putih. Selapis asap tipis menguar dari motor yang berada semeter darinya, tapi zombie tidak mengacuhkan. Yang mereka inginkan adalah makanan, bukan kendaraan, dan makanan itu bertengger di atas mobil ambulans tersebut.

Dua orang gadis, agaknya sebaya dengan Mark, susah payah mempertahankan nyawa mereka yang berada di ambang kematian一dari merekalah teriakan minta tolong berasal.

Yang pertama, rambutnya semerah api, mengayunkan kapaknya dengan membabi-buta pada tangan, kepala, atau bagian tubuh siapapun yang bisa ia raih. Dia mencincang, memotong-motong zombie seperti koki makanan ekstrim. Gadis kedua berambut lebih panjang, dan jelas tidak seberani rekannya karena lebih banyak menangis. Air matanya mengalir sederas bendungan sungai yang meluap.

Seorang zombie menarik ujung celana gadis pertama, menyeretnya ke bawah ke kumpulan monster yang menunggunya dengan lapar.

"Ryujin!"

Gadis itu memekik, tapi tubuhnya terlanjur tergelincir一

Dor!

Pistol Renjun meletus sekali, lalu lagi dan lagi menjadi sebuah pengulangan berantai. Si kembar menyahut dengan bunyi yang mirip. Mark menatap kedua gadis itu一yang persis kelinci yang gemetar ketakutan一lantas mengangkat G2-nya ikut membantu. "Mundur." Dia memperingatkan. "Mundur, jaga jarak!"

Dengan demikian kelompoknya bisa menembaki zombie tanpa membahayakan hidup mereka sendiri. Setiap kali ada yang terlalu dekat, mereka menghindar, tak pernah membiarkan makhluk-makhluk kotor itu berjarak kurang dari 2 rentangan tangan. Lengan mereka tersentak-sentak seiring efek recoil dari peluru yang keluar.

Mayat-mayat tercecer di lantai hitam jembatan secepat kedatangannya. Tubuh-tubuh tak berjiwa berubah menjadi tubuh-tubuh tak bernyawa. Daging mengendalikan mereka seperti wayang. Di hadapan penyakit baru yang masih belum jelas ini, manusia berubah menjadi boneka tanpa kehendak bebas.

Si pemimpin kali ini menjalankan peran dengan baik. Mimik muka serius terpasang di wajahnya saat ia memborbardir zombie dengan keahlian yang tak ia sangka ia punya. Setengah diri Mark yang tersimpan rapat dalam peti terkunci tak dipungkiri menyukai aktivitas ini. Bukan bagian membunuhnya, melainkan adanya perasaan dia memegang kendali di tangan一yang hampir sesolid benda nyata.

Sebuah ceruk kecil terbentuk di jari telunjuknya saat ia mengganti posisi siaga ke posisi yang lebih santai. Mark menurunkan lengan, lalu meminta yang lain melakukan hal yang sama. "Berhenti."

2 zombie masih belum mati.

Jeno menyuarakan kekhawatirannya. "Ini belum selesai."

"Aku bilang berhenti." Lebih kuat, mustahil mengartikan kalimat Mark menjadi apapun kecuali perintah mutlak. "Chenle dan Jisung, urus mereka."

"Ah." Desah samar terlontar dari Jeno ketika ia akhirnya memahami. "Apa ini aman?"

Mau tak mau mereka akan segera tahu. Namun pelajaran entah apa yang diturunkan guru Haechan unjuk gigi melalui sikap Jisung yang tak lagi dilanda keraguan. Ada kepastian dalam setiap langkahnya, nyaring berbunyi saat Jisung meliuk-liuk di celah antara 2 mobil. Dengan cermat dia memeriksa mobil-mobil itu tanpa melepaskan target dari pandangan, lalu sewaktu yang dicari didapatkan, dia menghantam zombie yang mengikutinya dengan pintu depan mobil pertama yang bisa ia buka.

Dahi dan kaca beradu seperti 2 batu. Batok kepala zombie itu retak bersimbah darah, dan diselesaikan dengan manis saat Jisung menusuk otaknya.

"Bagus." Jaemin mengapresiasi, tersenyum.

Chenle adalah perkara yang berbeda, lebih menegangkan dan menggoyangkan kapal ketenangan. Aksi yang dipraktikkan Jisung telah mengilhaminya. Dia berkelit, mencoba menyusup ke punggung buruannya, tapi gagal.

Inilah kenyataan, tentang skenario takdir yang tidak selalu berjalan lancar. Zombie itu berputar, menebas udara dimana kepala Chenle sedetik sebelumnya berada. Anak itu mundur, keningnya ditetesi butiran-butiran peluh.

Chenle melirik para penontonnya, lalu sadar selagi ada Mark kemungkinan mereka tidak akan mengambil lakon sebagai pahlawan. Dia pun mengulang usahanya, maju dalam gerakan coba-coba yang masuk dalam kategori nekat.

Disambarnya leher si zombie dengan 1 tangan lantas berjuang menusuk kepalanya memakai tangan lain yang bebas.

Zombie itu menggeram, mendorong Chenle sampai ia terpaksa mundur kedua kalinya. Paduan upaya untuk menghindari cakaran sekaligus menyerang mengakibatkan remaja 16 tahun itu kewalahan.

"Chenle..."

"Jangan, Jisung." Ancaman disampaikan, Mark menggeleng tidak suka.

"Aku pikir itu cukup一"

"Aku nggak apa-apa." Chenle terengah, terbata-bata. Kemudian balas mendorong lebih keras bersama teriakan tertahan putus asa dan kemarahan yang rupa-rupanya berhasil menjatuhkan lawan.

Dia tak pernah memberi kesempatan zombie itu bangkit lagi.

"Bagus." Mark meniru Jaemin, menepuk masing-masing bahu 2 anggota termudanya, sebelum ia berjalan menghampiri gadis-gadis yang kakinya belum memijak tanah. "Kalian bisa turun sekarang."

Di sisi kanan ambulans terdapat koper-koper yang ditumpuk menjadi semacam tangga, dan melalui benda itulah kedua gadis turun dari atap.

Gadis yang memegang kapak, yang dipanggil Ryujin, menjaga temannya agar terlindung dari pandangan sekelompok laki-laki asing yang tak ia kenal. "Siapa kalian?"

Renjun yang mendengar getar rasa takut di suaranya tersenyum hangat. "Cuma murid-murid SMA biasa. Aku tebak kalian juga?"

Gadis kedua membenarkan. "Aku Giselle, dan dia Ryujin."

Selanjutnya hujan turun mengguyur bumi, dan Mark mendongak pada langit yang tersedu melalui kiriman guntur. "Mau ikut kelompokku buat neduh, Giselle dan Ryujin?"

Ini versi blind item/? yang lebih jelas dari part sebelumnya buat yang kemaren salah nebak, ehehehehehehe ketipu kalian yak 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top