35. Kita Berakal

Pada suatu ketika di masa hidupnya, Michael Jackson idola Haechan pernah berujar, "When 1 person believes in something, it's a dream. When 2 persons share the same dream, it's the beginning of a new reality."

Realita yang dihadapi Haechan sekarang adalah, dia punya terlalu banyak makanan dan stok air tapi terlalu sedikit amunisi. Sisa peluru di pistolnya hanya berjumlah total seluruh jari tangannya, jadi suka tidak suka ia dan Grace harus mencari persediaan baru.

Masalahnya, di mana?

Ada 1 tempat yang terlintas di benak Haechan. 1 tempat yang tepat dan kebetulan dekat. Jaraknya bisa ditempuh dalam hitungan menit, lalu mereka akan sampai...

"Hoi!" Tepukan dari belakang memotong tali lamunan Haechan. Grace muncul memakai pakaian sepupunya yang feminim berupa atasan crop top berlengan pendek, celana jeans yang menyulap kakinya menjadi lebih jenjang, serta sepatu olahraganya yang usang namun nyaman. "Pompanya udah kamu teken?"

Dia terlihat cantik, seorang pejuang yang siap beraksi, dan itu saja cukup membuat Haechan bengong beberapa detik. "Oh, lupa."

Diiringi senyum malu, ia menekan bulatan hitam di pompa sedot yang tertancap ke mobil Lexus ayahnya sedangkan lainnya terhubung ke sebuah jerigen merah. Melalui selang beningnya, mereka menyaksikan bensin yang beraroma menyengat perlahan mengalir dan berpindah tempat.

"Itu otomatis?"

"Untungnya. Ayah beli ini waktu liburan ke luar kota, jadi kita nggak perlu ribet ganti kendaraan tiap bensinnya habis."

Menghela dirinya naik, Grace duduk di atas jok hitam mengilap Ducati yang panas usai ditinggal di luar berjam-jam lamanya. "Kenapa nggak pakek mobil aja?"

Bila mau jujur, Haechan akan berkata dia sudah terlanjur menyukai motor yang mengantarnya kemari itu. Mirip cinta pandangan pertama, tapi pada kendaraan. Hanya saja agar terkesan lebih berwibawa, dia beralasan, "Motor lebih praktis kalau kita terpaksa lewat jalan yang sempit atau jalan yang penuh sama bangkai mobil."

"Oh." Bagian paling menyenangkan dari Grace adalah dia mendengarkan, selalu mendengarkan, dan tidak pernah ambil pusing menyangkut hal-hal yang tidak penting. Penjelasan Haechan ia tanggapi dengan anggukan. "Sebenernya aku nggak suka motor ini, tapi terserah kamu."

"Nggak suka motor? Kenapa?"

"Khusus yang ini."

"Kenapa?" Ulang Haechan kedua kalinya.

Seolah bukan perkara yang serius, Grace mengangkat bahunya sekilas. "Urusan masa lalu. Omong-omong peluru di pistol kamu tinggal berapa?"

Tepat seperti yang dipikirkan! "Sepuluh. Sebelumnya ada 11 sih..."

"Yang ke-11 ke mana?"

Tak mungkin Haechan mengungkap bahwa peluru itu hampir meledakkan kepala si Park Jisung. Bisa-bisa Grace mengajaknya berkelahi di sini. Haechan nyengir. "Urusan masa lalu."

Grace memutar bola matanya. "Itu nggak cukup. Kita harus cari lebih banyak. Bukannya di sekolah kamu pernah bilang rumahmu deket sama kantor polisi?"

"Kamu mau ke sana?" Kebiasaan lama sulit dihilangkan, Haechan membolak-balik pertanyaan pada yang mengajukannya.

"Boleh." Grace tak gentar. "Siapa tahu kita bisa dapet mainan yang bagus."

Belum-belum Haechan sudah dibuat lebih menyukainya.

Dengan satu lirikan gundah dan lama terakhir ke makam orang tuanya, Haechan menggali sakunya mencari kunci yang ia curi. Saat menoleh, ia nyaris bisa melihat ibunya mengaduk pupuk bagi bunga-bunga tercintanya. Ayahnya akan duduk di teras, sambil merokok, mencuri-curi sedikit kesenangan sebelum beraktivitas.

Mereka di sana, Haechan berpikir, dan akan tetap di sana untuk waktu yang lama. Orang tuanya tinggal, Haechan-lah yang harus meninggalkan rumah, seperti kebanyakan remaja lain yang pergi dari tempat yang melambangkan masa kecil mereka demi menyongsong kedewasaan. Ini tak bisa dihindari, Haechan hanya tak mengira takdir memaksanya pindah lebih cepat ketika ia merasa pijakannya belum mantap.

Selamat tinggal, ayah, mama.

Pada mereka, ada sumpah yang diikrarkan Haechan untuk menemukan adik-adiknya dan terutama, bertahan tanpa kehilangan jati dirinya. Takkan ia biarkan arus deras kehidupan menenggelamkannya, terlebih memaksanya menyerah. Ia kuat, jauh lebih kuat dari yang disangka para tetangga bermulut besar, polisi yang memanggilnya sampah masyarakat, atau bahkan dirinya sendiri. Haechan ingin mengatakan itu supaya mereka tidak khawatir, tapi ia yakin orang tuanya sudah mengerti.

Maka dari itu, sampai jumpa lagi di kemudian hari saat Tuhan memanggil.

"Aduh." Grace memelankan suaranya menjadi bisikan dan meringis. "Aku nggak tahu harus nyebut ini kurang beruntung atau justru sial luar biasa."

Duduk di atas singgasana Ducati yang relatif aman, Haechan bersungut-sungut sebal. "Ini namanya bukan keberuntungan, Grace, tapi apes secara beruntun."

Sebab tidak sampai 100 meter dari mereka, kantor polisi yang berbeda dari apa yang diingat Haechan membentang layaknya kapal menjelang karam yang porak poranda. Bangunan kusam yang menempati lahan pemerintah itu terlihat seolah baru saja diacak-acak orang gila. Halamannya menyerupai lantai rumah jagal yang belum dibersihkan. Belasan kendaraan malang melintang dalam posisi tak beraturan dari dan ke sana一mereka jelas bukan orang pertama yang mengharapkan bantuan dari para pihak berwenang. Sebuah tiang yang menyangga bendera nasional Korea Selatan terpancang tegak, mengepak-ngepak tertiup angin, tapi tak ada satu pun orang yang memberi hormat.

Polisi-polisi yang semestinya menertibkan keamanan telah terinfeksi.

Tidak bertugas, mereka kini hanya mondar-mandir menanti mangsa, bergabung dengan warga sipil menjadi sekumpulan makhluk tak berakal. Yang menyebabkan Haechan dan Grace berkecil hati, seluruh petugas itu mengenakan pelindung lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki, termasuk tameng meski sudah tidak terpakai lagi.

Dari balik sebuah mobil pick up berkaca buram, Haechan memberengut kesal. "Itu seragam anti huru-hara, kita nggak akan bisa nusuk kepala mereka."

"Kalau gitu nggak usah."

"Apa, dan biarin mereka nyakar perut kita?"

Grace terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tidak sadar betapa jarang Haechan mengucapkan kata 'kita' saat masih berada di tim Mark. "Haechan, Tuhan ngasih kita otak supaya bisa kita manfaatin. Jangan selalu pakai kekerasan."

Kekerasan adalah jalan termudah, dan seringkali berhasil dengan memuaskan, namun Haechan mengalah. "Aku serahin bagian mikirnya ke kamu."

"Menurutmu seberapa kuat kaca mobil patroli?" Grace menunjuk mobil yang ia bahas tak jauh dari mereka, yang agak terlalu dekat dengan trotoar tapi pintunya terbuka dan mengundang.

Haechan merenungkannya. "Entah, itu kan bukan kendaraan taktis atau lapis baja. Setahuku, mobil patroli cuma mobil biasa buatan pabrik yang jadi keren karena ada sirenenya."

"Sirene!" Grace memekik gembira. "Itu yang kita butuhin. Oke, ini rencananya, aku bakal masuk ke mobil itu."

"Sukarela jadi umpan?"

Grace menyodok punggungnya dari belakang. "Sebenernya aku ngasih kamu tugas yang lebih berat karena kamu yang harus masuk ke dalem."

"Wah, sial." Tapi anehnya Haechan malah mengukir senyum. "Beberin lagi, sexy brain."

Dengan itu Grace turun dari motor dan berjongkok di tanah, membuka tas Winwin dan menyodorkan sekaleng red bull pada Haechan. "Habisin ini dulu."

Red bull merupakan minuman favorit yang kerap dikonsumsi Haechan saat ia hendak bermain game komputer di kamarnya, ia berhasil menghabiskan isi kaleng itu dalam waktu singkat. "Nah?"

Tidak menjawab, Grace mengeluarkan beberapa kelereng dari dasar tas dan dengan hati-hati, amat pelan, memasukkan mereka ke kaleng melalui lubangnya yang seukuran kuku jempol. "Aku nemu kelereng ini di kamar adek kamu."

"Punya Raon." Haechan mengetahuinya sebelum diumumkan. "Apa gunanya itu?"

"Ini granat darurat kita."

"Kelihatannya nggak terlalu canggih, ya?"

Jika melotot mampu melubangi dahi seseorang, Haechan pasti sudah terkapar mati akibat garangnya tatapan Grace yang ditujukan padanya. "Haechan, apa udah ada yang bilang kalau tiap buka mulut kamu selalu bikin orang naik darah?"

"Yah, kira-kira 200 orang, kenapa?"

"Tambahin aku ke daftar. Oke," ulang gadis itu lagi, mengelap keringat ke celananya. "Aku harap kamu punya lengan yang bagus. Lempar granat ini sejauh-jauhnya dari mobil dan pintu masuk, sementara aku lari. Begitu aku udah di mobil dan nyalain sirenenya, zombie di kantor pasti keluar, dan itu kesempatanmu. Masuk selagi aku bikin mereka sibuk. Paham?"

"Dan seandainya sirenenya rusak?"

"Oh, aku bisa mainin klaksonnya atau gedor kaca atau konser. Suaraku bagus kok." Sejenak mereka menyemburkan tawa. "Gimana? Lumayan?"

Haechan mengangguk. "Kamu mau tuker senjata biar lebih aman?"

Tongkat besi yang nyaris tak pernah dilepas Grace一tindakan yang diam-diam membuat Haechan tersentuh一ia genggam semakin erat. "Nggak, kamu lebih butuh, tapi kalau ini gagal dan aku mati, aku bakal gentayangan dan ganggu kamu sampai kamu nyusul aku lho."

"Serem juga. Kita mulai sekarang?"

Grace tersenyum一monster kecil yang sadis. "Ya."

8 zombie polisi dan 5 zombie warga sipil itu sama sekali tidak tahu apa yang akan mereka alami.

Sebelumnya, mereka hanya asal berkeliaran, tanpa arah dan tujuan, akibat minimnya rangsangan nyata yang membuat mereka aktif bergerak. Mereka menginjak dompet, menendang sepasang sepatu seharga 500 dolar, melibas boneka yang tergeletak salah tempat. Ke manapun melangkah, mereka menyeret teror yang tak kunjung usai.

Sebelumnya, mereka lebih banyak diam, tapi saat sebuah kaleng biru-putih red bull melayang di udara, disertai suara benturan kelereng yang saling beradu lantang, mereka jadi lebih antusias.

Zombie-zombie itu langsung berkerumun mengerubungi kaleng, tak awas pada sekitar sehingga melewatkan begitu saja seorang gadis mungil yang berlari dengan gerakan seanggun penari. Gadis itu dengan luwes melompati sampah-sampah yang tercecer, membawa tongkat besi dan alas kakinya di tangan kiri, sambil sesekali membungkuk atau melipat tubuh.

Kaleng masih berguling, ibarat bola nakal yang susah ditangkap, ketika gadis itu tiba di mobil yang ia inginkan dan menutup pintu. Dia menyeringai. Haechan melihatnya dengan jelas saat dia memasang kembali sepatunya dan mencari pemicu yang sesuai. Bingung sebentar, dia menghabiskan beberapa detik untuk coba-coba lalu ... Bagus, Grace. Tombol start sudah dinyalakan.

Sirene berbunyi, cahaya merah dan biru bersinar menyilaukan.

Para zombie seketika mengubah target dan berbalik. Beberapa yang ada di dalam kantor berbondong-bondong keluar, mengelilingi mobil dari berbagai sisi. Mereka mencakar, menggeram, berusaha mendobrak, tapi Grace membiarkannya. Grace perlu itu untuk meredam bunyi langkah kaki Haechan, dan Haechan memerlukannya sebagai pengalih perhatian.

Barulah setelah sebagian misi tuntas, ctak, sirene pun dimatikan.

Haechan sudah di dalam.

Berhasil, astaga, mereka berhasil! Haechan merasakan desakan untuk tertawa yang hampir tak tertahankan. Sekali saja, untuk sesaat yang singkat, takdir sepertinya sedang bosan bersikap jahat, dan sebagai gantinya menghadiahi dia arena bermain yang harus ditelusuri untuk berburu harta karun tersembunyi.

Bagian dari dirinya yang waras tahu hadiah itu bisa diambil tanpa peringatan, jadi Haechan lekas memacu langkah. Diawali dari sebuah lorong panjang yang membosankan, ia menemukan kamar mandi, deretan meja berhias berkas, ruangan seorang kapten yang disesaki foto liburan keluarganya, dispenser yang dilengkapi selusin bungkus kopi (ia mengambilnya), kemudian sel.

Sel-sel kotor berwarna gelap dengan jarak hanya beberapa senti di setiap bilah besinya itu penuh dengan tahanan yang berdesak-desakan dan menjulurkan tangan mereka berupaya meraihnya. Mereka telah berubah一semuanya. Tak ada yang selamat.

Haechan tak pelak lagi akan bergabung bersama mereka jika bencana ini terjadi saat ia masih ditahan.

Pemuda itu terbelit kakinya sendiri kala ia mundur, tercekik rasa jijik dan ngeri yang berbaur. Tuhan mengizinkan dia hidup lebih lama一entah itu kutukan atau berkah, ia akan mencari jawabannya nanti saja. Berbelok ke lorong selanjutnya, masuk lebih dalam, Haechan melihat lemari kunci dan akhirnya, tempat penyimpanan senjata.

Berbagai jenis senjata berjejer rapi di situ, jauh melebihi ekspektasinya; ada Revolver, assault rifle yang meliputi M16 andalan militer Amerika, STG 44 produksi Jerman, FAMAS, Baretta AR X160 (gila!), trio shotgun paling unggul; AA-12, Saiga-12, Benelli M4, tidak ketinggalan pula Glock 18, MP7, dan oh ya ya ya, Daewoo K3! Haechan nyaris tak mempercayai keberuntungannya saat memegang sebuah Desert Eagle dan Sig Sauer M17.

Mau tak mau dia tertawa.

Dia bergegas memasukkan mainan-mainan keren itu ke tas yang kebetulan berada di ruangan yang sama. Tak ada waktu untuk merapikan, dia sekedar menumpuk asal. Diiringi siulan girang, Haechan mengemas Glock, lantas menggantinya dengan senapan serbu yang lebih mematikan.

Kenapa tidak sekalian bergaya, eh?

Ketika Haechan keluar lagi ke bawah naungan sinar matahari, dia berteriak, "Grace, nunduk!" Dan memberi gadis itu jeda 3 detik sebelum mengangkat sebuah AK-47.

Senjata itu memuntahkan 30 peluru dalam semenit, tanpa jeda maupun halangan, menghasilkan semburan darah dan otak yang membasuh jalan dengan warna merah pekat. Tubuh-tubuh bergelimpangan yang tengkoraknya retak adalah peninggalan mereka untuk tempat itu, sewaktu keduanya kabur dari kejaran zombie yang masih 'hidup'.

Sesuai rencana, mereka menciptakan peluang untuk satu sama lain, jadi setelah zombie di sekitar mobil terdistraksi, Grace melangkah keluar sembari mengibaskan pecahan kaca dari rambutnya. Di wajah Grace, ada secercah senyum, mewakili rasa bahagia yang tak terbendung. Dengan bunyi lonceng kemenangan yang hanya terdengar di telinga mereka, keduanya berlari sambil tertawa membawa setumpuk hasil jarahan.

Biarin couple ini bahagia dulu~~ Next, SYUDAH SIAPKAH KALIAN BERTEMU TOKOH CIWI BARU?
Biar asique gua kasih 2 orang sekaligus, ini bocorannya :


Silahkan tebak2 ya (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top