33. Kita Punya Rumah II

Katanya, orang yang bisa bangkit lagi setelah jatuh adalah orang yang kuat.

Tapi Lee Haechan tidak merasa kuat sama sekali, dan dia juga belum bangkit. Dia masih berada di ruang tamu rumahnya, duduk bersama rokok yang sudah habis setengah. Asap dari rokok itu, bunyi desisan api yang menyisakan abu di lantai berlapis karpet berbulu, adalah satu-satunya teman yang ia miliki saat memandang jasad orang tuanya yang telah pergi dari dunia ini.

Tahukah kalian jika salah 1 pucuk rokok itu manis?

Kalau kamu penasaran apakah seseorang merupakan perokok pemula atau perokok yang berpengalaman, tengok saja ujung batang yang ia hisap. Mereka yang baru coba-coba biasanya menyangka rokok itu pahit, sehingga ketika mencicipi dan merasakan sensasi yang berbeda dari perkiraan, tanpa sengaja mereka akan mengulumnya seperti permen dan membuatnya basah.

Rokok adalah kehidupan一ada pahit, ada manis. Penderitaan kadang diawali dari kebahagiaan.

Haechan memberi dirinya rokok lagi. Hirup, hembuskan. Hirup, hembuskan. Dia tak ubahnya alat pemanggang yang terus mengepulkan uap. Melalui racun nikotin itu, ia melarikan diri dari kenyataan kejam di sekelilingnya, mengisap lebih banyak rokok dari yang normalnya ia konsumsi selama sepekan.

Setelah semuanya habis, kotak rokoknya kosong, barulah dia berdiri. Secercah harapan rapuh menyala, jadi secara berurutan ia memeriksa kamar adik-adiknya. Dua-duanya sepi, berantakan sebagaimana kamar anak-anak di bawah umur 10 tahun. Tidak ada mayat, pula tidak ada darah一itu berita baiknya. Lenyapnya mereka dan para tetangga pastilah berarti sesuatu. Harus. Jika tidak, Haechan takkan punya apa-apa lagi untuk dipertahankan.

Kemudian, Haechan sadar, salah, dia sebenarnya masih memiliki 1 pegangan.

"Grace?" Haechan memanggil. Sejujurnya dia tidak ingat kapan Grace pergi, segalanya kabur saat ia berada di garis tepi antara kegilaan dan kewarasan. "Grace?"

"Di belakang!"

Haechan menemukan gadis itu berada di halaman belakang, tengah menggali lubang sedalam 3 meter memakai sekop yang entah ia dapat dari mana.

"Hai." Grace menyapa, tampak agak gugup dilatari sinar matahari siang. Dia bereaksi seperti tidak yakin apakah Haechan akan marah atau menyerangnya, seolah Haechan hewan buas, dan Haechan benci mengingat apa yang telah ia perbuat pada makhluk cantik mungil ini. "Kamu udah ... Ehm, baikan?"

"Apa yang kamu lakuin?"

"Oh, ini." Grace mengisyaratkan sebuah lubang yang sudah jadi dan lubang lain yang fokus ia kerjakan. "Buat orang tua kamu. Kita nggak bisa biarin mereka gitu aja kan? Tapi kalau kamu mau ngubur mereka di tempat lain..."

Haechan menjilat bibirnya, mengangguk perlahan-lahan. "Nggak. Aku pikir di sini cukup."

Tak ada tempat yang lebih baik untuk beristirahat dibanding rumah, benar?

Mereka bekerja dalam diam, memindahkan tubuh orang tuanya dengan susah payah. Kebanyakan pemakaman tidak diurus oleh 2 orang saja, itu sebabnya mereka kesulitan. Ditambah lagi, Haechan sering merenung, menangis, diam-diam mengusap air mata dengan kemejanya, hingga prosesi itu berlangsung cukup lama. Dalam setiap ayunan sekop yang mengubur ayah dan ibunya, ia merasa seperti sedang menoreh luka baru di hatinya, sekaligus belajar bahwa sejatinya, rasa sakit itu tidak memiliki batas.

Makam orang tuanya ditandai hanya dengan sebilah kayu tipis dan sekuntum mawar putih yang Grace bilang ia peroleh dari halaman tetangga. Lama-lama, seiring berjalannya waktu yang tak terhentikan, temperaturnya naik, udaranya semakin panas. Namun keduanya kompak belum mau beranjak. Haechan sekedar duduk bersandar di tembok rumahnya, menutup mata, berharap.

Hingga tiba-tiba sentuhan lembut senyaman selimut kesayangan mengejutkannya. Saat membuka mata, ia mendapati Grace yang bimbang menggenggam tangannya yang jauh lebih besar. "Aku ikut sedih."

"Makasih, dan maaf."

Senyuman kecil merekah di wajah Grace. Meski Haechan tidak menolak sentuhannya, dia tetaplah seorang gadis pemalu yang sungkan melanjutkan kontak fisik mereka. "Sama-sama dan nggak masalah."

"Bahu kamu nggak apa-apa?"

"Untungnya nggak patah." Grace bergurau, demi mencairkan suasana. "Tapi Haechan..."

"Hm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Pertanyaan sederhana itu seakan melempar Haechan ke masa lalu. Di kantor polisi, para petugasnya rata-rata berwajah masam dan abai dan sok berkuasa. Tidak ada yang seramah Grace, jadi kelembutannya terasa bagai kemewahan. "Nanya apa?"

"Kenapa kamu nyopet?"

Di Korea, berkat peraturan mengenai penampilan yang lebih longgar, Mark Lee seringkali memanjangkan rambutnya, meski ia berhati-hati agar tak sampai melewati batas leher. Orang tuanya memberinya kebebasan, tapi bahkan pada dirinya sendiri, Mark menerapkan disiplin ketat. Ketika bangun tidur, kadang dengan bekas air liur, dan rambut semrawut yang mirip sarang burung, ibunya akan memanggilnya "baby lion".

Dan kurang-lebih begitulah keadaannya manakala ia terbangun pagi itu, pada jam pelajaran kedua seharusnya di mulai seandainya sekolah masih baik-baik saja. Mark menguap, menggeliat. Beberapa anggota lain rupanya juga sudah terjaga, mereka adalah triple J; Jaemin, Jisung, dan Jeno. Renjun tidak, mungkin belum selesai dihajar rasa lelah. Chenle, Haechan dan Grace juga sama. Hanya ada suara air yang mengucur dari balik bilik gadis itu.

"Kakakmu masih mandi?" Mark menyapa Jisung.

Bocah itu terlihat kebingungan. "Masa? Noona udah mandi dari tadi."

Mereka saling pandang dan sama-sama tersenyum geli tanpa kesepakatan. "Dasar cewek."

"Mending di cek deh." Cerocos Jaemin yang menghadap kompor, asyik menggoreng sesuatu berbau harum. "Soalnya bunyi airnya nggak berhenti-berhenti."

"Aku jadi curiga." Jeno melanjutkan ucapan adiknya seolah mereka berbagi pemikiran. "Jangan-jangan Grace tenggelam." Lalu tergelak. "Bercanda!"

"Apa mungkin dia ketiduran?" Bukannya itu tak pernah terjadi sebelumnya. Grace punya bakat unik bisa tidur dimana saja, termasuk di pelajaran guru yang ditakuti murid-murid lain. Jika ditegur, dia akan berkata sedang tidak enak badan karena menstruasi dan sang guru akan salah tingkah. Dari Grace, Mark belajar bahwa keahlian bermain kata adalah kemampuan yang harus diasah.

"Biar aku yang cek." Mark memutar arah, dan mengimbuhkan, "Aku nggak bakal macem-macem." Karena Jisung menyipitkan matanya yang sudah sipit itu. Si kembar serempak tertawa. Ya ampun. Dunia ini memang telah rusak, tapi otaknya tidak. Dia pun mengambil langkah mundur, kembali ke kamar yang sudah ia lewati.

"Grace?" Kesopanan yang utama, Mark mengetuk dulu. "Grace, boleh aku masuk?"

Tak ada jawaban.

Mark meningkatkan volume ketukannya. Gawat. Sepertinya Grace benar-benar terlelap meski Mark tidak tahu bagaimana dia bisa tidur di bawah guyuran air shower sederas itu. Apa dia tak kedinginan? "Grace, kamu nggak apa-apa? Aku cuma mau ngasih tahu kalau ini waktunya sarapan. Kita nggak harus ngobrol kalau kamu keberatan, oke?"

Tetap tak ada jawaban.

Mark menunggu, mengamati kamar Grace yang bersih, yang semuanya tertata rapi. Seprainya ditarik sampai kencang, pengatur suhunya disetel di angka 18 dan barang-barangnya ... Mark baru sadar tongkat besinya, yang ia bawa kemana-mana layaknya penuntun orang buta, musnah.

Saat itulah alarm yang menandakan ada sesuatu yang keliru menyala. Mark mengambil resiko dipukuli sampai babak belur dan menerobos masuk. Begitu menjejakkan kaki, betisnya seketika basah kuyup. Tirai putih dengan pengait berbentuk cincin yang memisahkan tempat itu menjadi 2 terhempas pelan akibat angin yang ia timbulkan. Bathtub dipenuhi air, meluber dari pinggiran bahan marmernya ke saluran pembuangan di pojok ruangan. Cermin separuh tubuh yang tertempel di samping lemari kecil berisi berbagai keperluan mandi wanita tampak berembun. Ruangan itu dingin, sepi, dan sekosong kotak perhiasan yang sudah dikuras habis isinya.

Mark mengeluarkan suara geraman yang sama sekali tidak menyerupai dirinya. "Grace nggak ada!"

"Apa? Grace ... Kenapa?" Mark tak yakin seberapa keras ia berteriak sampai Renjun terseok-seok keluar dari kamarnya, masih mengantuk. Rambut pirangnya mencuat ke atas mirip ekor rubah.

Jisung bisa dibilang melesat dari dapur dan mengajukan pertanyaan yang lebih lengkap. "Apa maksudnya? Noona ke mana?"

Dalam pencarian menyangkut jawaban, Mark memeriksa kamar ke-3 di rumah itu, kamar Haechan yang tak berani didekati siapapun dan gagal merasa terkejut saat mendapati kamar itu sama sepinya seperti milik Grace. "Haechan," gumamnya. Tentu saja! Bersama siapa lagi Grace akan kabur sepagi ini? "Haechan pasti ngajak Grace pergi."

Ataukah kebalikannya?

Dalam senyap, Haechan mencoba menatap rumahnya dari kacamata orang yang tidak pernah mampir kemari sebelumnya.

Terdiri dari 2 tingkat dengan masing-masing 3 kamar di tiap lantai, rumah itu terkesan lebih mungil dari ukuran aslinya, berkat perkawinan silang arsitektur barat dan Hanok yang berlangit-langit rendah. Gentingnya hitam, tapi di bawahnya dominan warna-warna matahari terbenam yang ramah di mata; oranye, krem, kuning, sampai ke sepasang tiang identiknya yang kecokelatan. Rumah itu bagai sebuah pulau elegan, indah, dan unik yang mengapung di antara rumah-rumah lain yang mengusung konsep modernitas.

Di sekitarnya, ibunya menanam berbagai macam tanaman dan semak-semak sebagai pemisah dari garis batas properti tetangga. Jumlah dan jenisnya tak tanggung-tanggung. Bagi sang ibu, berkebun tidak hanya hobi, melainkan juga gaya hidup sehingga ia rela merogoh kocek demi membeli bibit-bibit yang sebagian lebih mahal dari pakaian Haechan; monstera variegata, anthurium yang mirip telinga gajah, philodendron, sampai anggrek hitam Papua yang diimpor langsung dari Indonesia.

Tiba-tiba segalanya tampak jelas. Haechan mengerti mengapa Grace bertanya. Gaya minimalis rumahnya tidak dapat menutupi besarnya pendapatan sang kepala keluarga. Ini jelas bukan rumah dari seorang remaja yang terpaksa harus mencopet untuk makan. Ini rumah orang berada.

Namun, siapkah ia menceritakan kepingan masa lalunya? Haechan menjatuhkan pandangan pada kedua tangannya yang kotor karena tanah, lantas menghela napas. "Kadang-kadang aku pikir aku terlahir buat jadi bajingan, Grace. Dari kecil aku punya potensi buat jadi berandalan. Orang tuaku berusaha sekuat tenaga buat ngedidik aku, tapi tingkahku lebih banyak melenceng dari ajaran mereka. Anggep aja aku ini produk gagal."

Grace menyandarkan sekopnya tanpa melepas Haechan dari pandangan. "Mereka baik?"

"Orang tuaku?" Si pencerita tertawa. "Wah, nggak sebatas baik, mereka sempurna. Kamu salah kalau ngira aku rusak karena orang tuaku abusive, gila kerja dan suka nyiksa anaknya. Nggak, malah, mereka manjain aku一dan itu nggak berubah walau aku punya 2 adik."

"Oke." Grace mencerna informasi itu dengan seksama. "Jadi gen 'nggak beres' ini bukan berasal dari orang tuamu, tapi udah ada di otakmu?"

"Panggil itu pakek nama apapun yang kamu mau." Haechan tidak bisa marah, hanya tersenyum kecut. "Aku sendiri lebih suka nyebut ini ... bakat langka."

"Uh, aku yakin polisi bakal setuju itu bakat yang nggak boleh dikembangin, Haechan."

"Peduli setan sama polisi. Kamu lihat ini?" Haechan memamerkan kuku jari tangan kanannya yang dipotong pendek, kecuali jempol dan telunjuk yang ia biarkan tumbuh agak panjang. "Dengan ini aku bisa buka pengait jam tangan atau gelang apapun sebelum kamu sadar aku nyentuh tanganmu."

Secara naluriah, Grace menunduk ikut memperhatikan. "Buktiin."

Bahu Haechan mengedik acuh, saat ia dengan malas-malasan mengangkat seuntai gelang stainless steel berhias ceri mungil menggunakan tangan kirinya yang tadi sibuk bekerja. "Udah."

"Apa yang...?" Menyenangkan sekali-kali mengintip ekspresi lain, contohnya kaget, dari Grace yang kerap berwajah datar itu. "Kapan kamu ngerebut ini?"

"Waktu kamu fokus dengerin aku cerita." Haechan memaparkan apa adanya, terlalu lelah untuk terus bersikap bangga. "Kamu nggak merhatiin, itu kesalahanmu, dan kesalahan orang lain di luar sana yang biasanya sibuk sama ponsel mereka. Ada yang namanya pengalihan, Grace. Para pencopet biasanya nabrak dan megang pundak korbannya, abis itu nyelipin tangan mereka ke tas sambil ngoceh minta maaf. Tahu-tahu, abis copet itu jauh, si korban baru sadar dompetnya ilang."

"Gimana caranya?"

Masih sambil memegang gelang Grace, Haechan mengatur agar bagian lengan kemejanya menutupi seluruh pergelangan tangannya. "Taruh hasil rampasan ke sini." Saat lengan Haechan dibengkokkan, gelang itu meluncur ke sikunya dan zimzalabim, hilang! "Kalau rame, tekuk sikumu, pura-pura garuk muka supaya barangnya nggak jatuh. Kalau sepi, tahan barang itu sebentar pakai jari tengah, dan oper ke saku secepatnya."

"Semudah itu?" Grace lebih terdengar kagum terhadap demonstrasinya daripada terganggu. "Siapa yang ngajarin kamu?"

"Itu lucunya." Haechan kembali menggulung kemejanya dan mengembalikan gelang ceri itu pada si pemilik. "Nggak ada guru. Aku belajar otodidak. Pernah lihat orang tua gelindingin koin ke lantai supaya anaknya nggak nangis? Mamaku bilang aku nggak pernah nyoba makan koin itu. Aku selalu minta koin buat mainan. Dia kira itu nggak berbahaya一seenggaknya awalnya.

"Makin gede aku makin berani. Aku tahu aku punya tangan yang lincah dan beberapa kali nantang diri sendiri. Aku ngambil jam tangan tetangga dan bilang nemu di lantai. Aku nyuri gelang sepupu dan bilang itu jatuh. Mereka nggak pernah sadar."

Benang merah cerita ini mulai teraba dalam kegelapan. Grace mencengkeramnya dan memasuki kolam pemahaman. "Lama-lama kamu jadi sombong."

"Ya." Haechan tidak mengelak, tidak di depan makam orang tuanya yang masih basah. "Nyopet itu gampang. Kamu cuma harus tahu dimana target nyimpen dompet mereka, dan aku akuin ini jadi hobi yang nggak sehat. Suatu hari aku ketahuan, bukan sama korban tapi sama saksi yang lewat. Dan akhirnya..." Mata Haechan berkabut, begitu tebal, keruh dan pekat sampai-sampai seakan tak tertembus. "Aku dikeluarin dari sekolah dan masuk rumah tahanan remaja."

Grace diam saja. Dia tidak berkata apa-apa dan moment itu berlalu tanpa suara saat sepatutnya memang tidak memerlukan kata-kata.

Hening. Sinar matahari mulai melata berupaya mencapai kaki mereka, seperti selembai tirai, atau dunia lain yang bisa diseberangi dalam 1 lompatan. Sementara mereka berada di negeri bayangan, jutaan kenangan turun ibarat hujan. Jeruji besi, lantai putih kotor yang dingin. Koinnya dirampas, tak ada kesenangan. Petugas dengan kunci yang begitu mudah diraih mondar-mandir menjadi godaan. Ada pengacara. Anak berwajah sangar yang membasahi setelan cokelat jeleknya dengan sup lantas beralasan tidak sengaja...

Haechan membuka mulut, tiba-tiba tahu apa yang ingin ia katakan. "Masalahnya, Grace, bagian paling buruknya bukan ketangkap basah, tapi apa yang terjadi setelahnya. Mamaku dateng tiap hari, nggak nyerah meskipun aku sering nolak kunjungannya. Dia nanya, apa pernah aku ngambil uang seseorang? Nak, kita harus ganti uang itu, dan aku bilang nggak karena kenyataannya nggak dan karena aku nggak pernah kekurangan. Dia nanya lagi, kenapa? Aku kasih tahu dan dia percaya. Katanya..."

Suara Haechan pecah. "Mamaku bilang ini nggak ngubah apapun. Aku tetep anaknya dan dia tetep sayang aku. Apa yang paling bikin aku nyesel, Grace, bukan vonis hakim, tapi fakta kalau aku udah ngecewain orang tuaku."

Dan sudah, begitu saja, Haechan menangis, merunduk menyembunyikan wajah di antara lututnya. Punggungnya bergetar, isakannya teredam bibir yang ia gigit kuat-kuat. Grace mengelus bahunya namun rasa sakit itu tidak hilang. Haechan melihat air matanya lenyap diserap tanah dan bertanya-tanya, apalagi yang harus ia lakukan untuk bertahan? Siapa lagi yang akan meninggal?

Jalan2 di fb dapet foto editan Mark kalo rambutnya panjang, ganteng euyyyyyy 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top