32. Kita Punya Rumah I

Lee Haechan butuh 3 kali dering alarm untuk terbangun pagi itu.

Meski secara resmi ponselnya tidak banyak berguna sejak tak mendapat sinyal, fitur lain yang tidak mengandalkan internet masih bisa berfungsi dengan baik, asal ada baterai yang menopangnya. Tak berbeda dengan suatu tim, harus ada orang yang menjadi pilar agar tim itu tidak tumbang berceceran. Bukan Haechan. Tidak pernah Haechan.

Sebab sekarang, ia tak punya lagi alasan untuk tinggal.

Sudah cukup dengan semua kebohongan ini. Haechan tak bisa lagi mencari-cari alasan untuk tidak pulang karena ketakutan yang tidak rasional. Padahal, dia memiliki ratusan kesempatan untuk mencapai rumahnya, ratusan moment dimana ia bisa mengubah arah layar dan menengok keluarganya. Tapi kekhawatiran akan apa yang menantinya menumpulkan keberaniannya. Layaknya pisau berkarat, Haechan benci mengakui bahwa kini ia bersikap layaknya pecundang.

Persetan, tidak!

Harga diri Haechan rasanya disayat-sayat memikirkannya. Dengan tekad seorang pejuang, pemuda itu mandi dan memastikan tidak ada barang-barangnya yang tertinggal. Agak aneh, dia tidak marah, bahkan nyaris merasa tidak nyaman meninggalkan kelompoknya. Jujur saja, Mark Lee, Park Jisung, termasuk Na Jaemin ternyata tidak seburuk perkiraannya meski tingkah bodoh mereka masih sering membuatnya naik pitam.

Ketika seberkas cahaya matahari pertama muncul dari timur, Haechan keluar dari rumah yang telah beberapa hari ini menaunginya...

"Mau ke mana?"

... Dan hampir terpeleset di tangga berkat suara lembut-tapi-serak milik gadis yang kemarin ia cemaskan.

"Grace?"

Sepagi ini, Grace belum mandi, dan nampaknya juga belum tidur semalaman. "Mau ke mana, Haechan?"

Bohong atau jujur? Haechan mengangkat bahu, mengambil jalur yang paling mudah. "Pulang."

"Kamu nggak bangunin yang lain?"

Haechan tertawa singkat. "Aku nggak butuh pengasuh."

Desir angin yang berhembus membelai rambut Grace dengan jari-jari tanpa berat dan mendorongnya ke depan. Sedikitnya jumlah kendaraan yang lewat di kota yang sekarat menjadikan udaranya lebih segar, walau tak selaras dengan pembicaraan mereka yang penuh beban. "Apa kamu bakal balik?"

"Mungkin. Aku belum mutusin."

Mereka sama-sama tahu itu bukan kebenaran.

Punggung Grace melengkung, bersandar di pagar kayu saat ia menengadah ke langit biru. "Boleh aku ikut, Haechan?"

"Mending jangan." Tapi 'jangan' yang ia ucapkan terdengar amat pelan.

"Kamu nggak butuh pengasuh." Grace mengingatkannya. "Siapa tahu aja kamu butuh temen. Aku bisa bantu kamu."

Tidak secara fisik melainkan mental, Haechan merasakan dirinya goyah. Pijakan keyakinan bahwa ia lebih baik sendiri mulai retak di bawah kakinya ibarat salju yang gugur lebih awal. "Gimana sama si maknae?"

Satu-satunya alasan yang mengikat Grace untuk tetap berada di kelompok Mark tak lain adalah Park Jisung, dan selama tidak melepas jangkar itu, kapal Grace tidak akan bisa berlayar bebas. Selamanya tertambat karena belenggu kasih sayang terhadap adiknya.

Grace berpaling dari gumpalan awan seputih kertas dan menatapnya dengan sorot mata khas para murid pembangkang. "Kenapa soal Jisung? Dia tidur kok."

Mata itu. Mata sialan itu! Haechan tak berkutik di bawah tatapannya. Dia tak tahu sejak kapan gadis mungil ini, seniornya di sekolah, punya pengaruh penting baginya, atau apakah dia ingin melawan pengaruh itu sebelum dirinya benar-benar jatuh.

Yang Haechan tahu, di kafetaria sekolah sejak mereka membantai zombie bersama yang jelas jauh dari kategori kencan ideal, Haechan sudah terpikat semudah rumput bergoyang mengikuti kemana angin mengarahkan.

"Terserah kamu." Haechan takluk. "Tapi jangan ngerengek minta pulang karena khawatir sama Jisung."

Grace tak berkomentar. Mengherankan. Dia berderap ke rumah tanpa suara. Semenjak kemarin dia jauh lebih pendiam. Tak sampai semenit, dia kembali menenteng tongkatnya dan menutup pintu yang memisahkan mereka dari Mark Lee yang tertidur sungguhan. "Apa kita harus cari kendaraan dulu?"

"Nggak perlu. Aku punya kunci Ducati ini."

"Kapan kamu minta kuncinya ke Renjun?" Ketika Haechan hanya menatapnya, pipi Grace merona semerah mawar. "Oh. Maaf."

Dibanding marah, Haechan lebih ingin tertawa. Masa lampau kadang memang mengganggunya, namun tidak hari ini, saat Haechan merasa seperti berada dalam kepompong solid dan tak tersentuh kenangan buruk. "Ayo." Haechan menuntun motor sampai beberapa meter dari rumah, lantas menghidupkannya dengan kick starter.

Mesin Ducati mengaum lebih merdu dari bunyi bel istirahat, memberi si pengemudi sensasi menunggangi singa yang menggila. "Wow. Keren kan?"

"Cowok dimana-mana sama aja, eh?" Baru saat itulah Grace tersenyum. Dia bertumpu pada bahu Haechan dan mencari posisi yang nyaman.

"Udah?"

"Hm." Penumpangnya mencondongkan tubuh mendekat, napasnya menggelitik leher Haechan. "Kamu bisa ngebut nggak?"

"Kamu mau aku ngebut?"

Pantulan Grace di kaca spion mengangguk bersemangat. "Ya, bisa kan?"

"Pegangan." Haechan menerima tantangan itu, memutar tuas gas di sisi kanan sampai knalpot memuntahkan asap sekaligus suara raungan yang memanjakan telinga. Motor merah tersebut lepas landas, seolah mampu menandingi kecepatan cahaya, melindas segala macam sampah menggunakan bannya yang sewarna dengan bayangan.

Pagi itu, bagi Lee Haechan dan Grace Moon, dingin dan hangat berpadu seperti kopi dan gula yang diracik dengan sempurna.

"Woohoo!" Grace setengah berdiri, dan berteriak pada keheningan. Rambutnya berkibar mirip bendera, suaranya mengalun seperti gelombang. Tapi Haechan tak peduli, karena entah Mark Lee mendengarnya atau tidak, dia takkan bisa mengejar mereka. "Haechan, aku seneng banget!"

"Apa?"

"AKU BILANG AKU SENENG BANGET!"

"AKU JUGA PENGEN SARAPAN!"

Grace tertawa, dan masih tertawa saat duduk kembali lalu memegangi bahu Haechan dan kali ini tidak melepasnya. "Kita jadi kayak orang idiot."

Bibir Haechan terangkat melawan gravitasi. "Aku juga seneng, Grace."

Sayangnya kesenangan itu berumur pendek.

Tidak lebih tahan lama dari krayon anak-anak yang gampang patah. Ombak rasa takut menerjang pantai benak Haechan tanpa ampun dengan kekuatan yang semakin dahsyat tiap detiknya hingga berjarak 9 rumah dari rumahnya, dorongan untuk berhenti tidak tertahankan.

Lingkungan rumah Haechan sekarang terlihat seperti kota mati yang dihantui, terasa keliru dan ganjil sampai Haechan merinding. Tidak ada manusia. Tidak ada remaja-remaja tanggung yang duduk di terasa sambil memetik gitar. Tidak ada apa-apa kecuali kekosongan yang mencekik, seakan sebelumnya ada lubang besar yang menyedot habis keceriaan, kegembiraan, dan kebahagiaan lalu menggantinya dengan aura kematian yang pekat di udara.

"Haechan." Grace memanggil, menyentuh lengannya sekaligus menariknya dari lamunan. "Kamu oke?"

Untuk sementara Haechan tidak yakin pada perasaannya sendiri, jadi dia tak menjawab. "Kamu keberatan kita mampir ke rumah temenku?"

"Kamu punya temen?"

Simpul ketegangan Haechan mengendur. "Kenapa kaget gitu?" Dia menambahkan diiringi tawa. "Sini, ini rumah Kak Winwin, mahasiswa dari China yang 3 tahun lebih tua dari aku. Dan..."

Dan rumah itu kosong.

Haechan menelan ludah. Tenggorokannya bagai diganjal batu besar. "Barangkali dia udah ngungsi bareng tetangga lain."

Grace terlalu baik untuk tidak menanggapi upaya menyedihkan Haechan menghibur diri. Haechan sedang bermain-main dengan benang tipis harapan dan Grace memilih membiarkannya. Gadis itu beringsut ke dalam, mengecek buku-buku, tas, kertas catatan yang ditinggalkan, serta foto seorang pria 20 tahun yang di kompleks ini diincar ibu-ibu untuk dijadikan menantu mereka. "Ini orangnya? Winwin?"

"Ya." Wajah Winwin dalam foto balik menatapnya dan Haechan membuang muka. Ada dirinya juga di foto itu, dalam versi lebih muda, berangkulan di pesta ulang tahun Raon. Keluarga Winwin berada jauh di Wenzhou, jadi ibunya kerap mengundang Winwin di berbagai acara.

Sejak pindah ke Uinam, dia dan Winwin selalu jadi teman. Haechan menertawakan kosakata Winwin yang salah, Winwin mengejek perutnya yang one pack dan bulat. Jika kebetulan ada pertandingan sepak bola internasional, mereka akan menontonnya bertiga dengan ayah Haechan dan bersorak untuk tim yang berlainan. Di waktu luang, Winwin akan mengajarinya cara bermain gitar, dan Haechan mengajaknya ke toko sepatu yang murah.

Bagi Haechan, Winwin adalah kakak yang tidak bertalian darah dengannya.

Grace mencopot foto itu dari dinding, dan memasukkannya ke tas bersama makanan yang bisa ia temukan. "Ayo. Kecuali kamu masih mau di sini...?"

Tidak ada gunanya menunda lebih lama. Haechan menggeleng. "Rumah aku udah deket."

Mereka melanjutkan perjalanan dalam suasana yang mencekam. Langkah Haechan melambat, bibirnya bungkam. Tiba di depan rumah 2 lantai dengan pekarangan yang luas, dia menyetop laju motornya. Mobil ayahnya terparkir miring di garasi, apakah itu pertanda buruk? Tidak biasanya ayahnya seperti itu.

"Nggak apa-apa, Haechan." Grace berusaha meyakinkannya. "Nggak apa-apa."

Haechan tersenyum一setidaknya mencoba一dan memijakkan kakinya dengan hati-hati agar tidak menginjak mainan adik-adiknya yang tumben-tumbennya tidak dibereskan. Satu, dua langkah. Satu, dua langkah. Kini dia berdiri persis di hadapan pintu rumahnya.

Kegelisahan Haechan pastilah terpancar sangat jelas sebab Grace bertanya, "Kamu mau aku yang buka?"

Tawaran yang menggoda, tapi keinginan untuk terlihat lebih berani dari yang ia rasakan mencegah Haechan menerimanya. "Aku bisa."

Jadi Haechan memeluk gagang pintu dengan jarinya, seinci demi seinci menggeser pintu itu selagi napasnya berubah pendek-pendek dan sulit. Haechan ketakutan, jauh lebih takut daripada saat digiring ke penjara. Ini adalah jenis ketakutan yang melumatnya, merasuk ke inti keberadaannya dan一

Pintu terpentang lebar. Genangan darah di lantai menyambutnya.

Haechan limbung, pegangannya di hidup ini lenyap dan dia terperosok ke jurang tanpa dasar bernama kehampaan. Ini neraka. Ini adalah akhir untuknya. Dia membeku, dari kepala ke kaki, ketika tangan tak kasat mata meremas jantungnya dengan kejam dan mengirisnya perlahan-lahan dari dalam. Kakinya gemetar, tak sanggup menopang beban tubuhnya sekaligus beban tambahan yang mengancam akan mencabik-cabiknya.

Sepasang zombie dewasa di ruang tamu menoleh dengan mata nyalang karena rasa lapar, tanpa menunjukkan tanda-tanda pengenalan terhadap wajahnya. Mereka bukan一dulu一monster. Mereka bukan sembarang zombie. Mereka adalah...

Orang tuanya.

Di balik kemeja abu-abunya yang tipis dan asing, Haechan menggigil. Tapi pusat kehidupannya justru terasa kebas dan mati. Paru-parunya lumpuh. Otaknya menolak memperoses kenyataan tak terelakkan ini. Dia tak bisa bergerak. Tak mampu sekedar bernapas. Poros semestanya tengah runtuh tak berbentuk namun yang sanggup ia lakukan hanyalah menyaksikan.

Mama. Ayah. Mereka meninggal.

Setetes air mata panas bergulir turun di pipi Haechan, terus mengalir mewakili rasa sakit yang terlampau banyak untuk ditampung hati. Duka membakarnya, mencambuknya, membuatnya remuk redam sampai menjadi kepingan. Saat di luar sana matahari sedang bersinar cerah, burung-burung berkicau riuh rendah, dunia kecil Haechan justru luluh lantak. Pintu lain, menuju ngarai yang curam, terjal, dengan kegelapan absolut yang membutakan, terbuka, dan ia terpuruk di sana tanpa daya.

Jangan orang tuanya.

Tuhan, jangan orang tuanya.

"Haechan! Haechan!" Suara Grace berupaya menjangkaunya, saat zombie yang lebih mungil一ibunya一merayap mendekatinya. "Haechan, sadar!"

Potongan-potongan percakapan itu tak ubahnya cahaya yang memantul percuma di permukaan kaca. Haechan sebatas berdiri terpaku, balas memandang mata keruh sang ibu. Syaraf-syaraf kemerahan tampak menonjol di kulitnya yang pucat一kulit dari seorang mayat.

"Haechan, habis keluyuran ke mana? Cepet makan, Nak."

Sebilah pisau menikamnya, terbuat dari tumpukan sesal dengan ujung tajam rasa bersalah. "Mama..."

Kemudian sebuah tangan ramping sekurus ranting merenggut blouse katun ibunya, menusuk kepalanya memakai tongkat besi dari belakang yang tembus ke dahinya. Ibunya jatuh tergeletak di lantai, mati seketika. Dingin dan tak bernyawa.

"Jangan." Lirih, Haechan memohon belas kasih. "Berhenti..."

Pemilik tangan itu tidak berhenti. Giliran ayahnya yang berniat dijadikan korban. Ayahnya, jangkung dan kekar dan kerap menyumbang lelucon payah kala makan malam. Ayahnya, yang semasa ia kecil menggendongnya di pundak dan berjanji akan mengajaknya menengok hiu lewat akuarium raksasa saat pekerjaannya libur.

"Emangnya Haechan nggak takut? Nanti di makan gimana?"

"Nggak dong, cowok kan harus berani!"

Kata selanjutnya keluar dari mulut Haechan berupa raungan yang menggetarkan. "AKU BILANG BERHENTI!"

Terlambat. Tangan yang sama telah beraksi lagi, menciptakan lubang di kepala ayahnya yang langsung membuat pria itu ambruk.

Sesuatu dalam diri Haechan terputus一entah benang harapannya atau tali terakhir pengikat kewarasannya. Kejadiannya kabur, diburamkan bulir-bulir air mata yang tak terhitung. Yang Haechan tahu, ia bergumul dengan gadis yang sesaat berada di luar ingatannya, mendorongnya, menyakiti bahunya. Dia melontarkan deretan umpatan terburuk, menjeritkan banyak hal yang ia sendiri tidak paham. Dia kalap.

"Haechan..." Anehnya gadis itu terlihat tenang, sangat tenang untuk ukuran gadis yang terkurung di penjara lengan pemuda 17 tahun yang nyaris tidak Haechan kenal. "Mereka bukan orang tuamu lagi, Haechan. Orang tuamu udah pergi ke tempat yang lebih baik. Aku minta maaf, aku ikut berkabung, tapi mereka udah meninggal dan ini realita yang harus kamu terima."

Pekik protes dan murka pada Sang Waktu yang merebut orang-orang tercintanya meluncur dari bibir Haechan. Sepekan yang lalu ia takkan percaya bahwa kesedihan punya kuasa untuk membunuh seseorang, tapi inilah dia, inilah buktinya; Haechan hancur一sepenuhnya.

Jujur aja ya manteman, w bikin ini seharian, sambil dengerin lagu2 cengeng, ditambih ngemil kulit duren (lah?) Ya intinya semoga dapet feel-nya deh 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top