31. Kita Bisa Mencari Solusi

Mandi tengah malam itu tidak enak.

Walaupun saat itu belum tepat disebut jamnya Cinderella, tapi nyaris tidak ada bedanya. Dan dibanding berkutat dengan kaus putih yang sudah berubah warna menjadi merah 5 menit lebih lama, Mark Lee lebih suka mengguyur tubuhnya dengan segalon air dingin. Sangat disayangkan air hangat tidak termasuk layanan istimewa di rumah itu. Selalu ada ketidaksempurnaan, selalu ada kekurangan, mengikutimu kemana-mana seperti kulit kedua yang tak bisa dilepas.

Setelah merasa lebih segar, Mark duduk di ruang tamu, mengikuti jejak Jeno, Jisung dan Chenle yang telah selesai membersihkan lantai dari darah. Rumah terasa sepi. Udara pekat oleh bau anyir darah yang menusuk rongga hidung.

"Mana Haechan dan Jaemin?"

"Di luar." Jeno mengarahkan jempolnya ke pintu yang terbuka. "Ngurus mayat-mayat."

Mark terdiam, memasang telinga dengan seksama, namun tak bisa mendengar apa-apa. Entah 2 anggotanya itu terlalu jauh atau secara ajaib mereka kompak tidak ingin memecah kesunyian malam. "Mereka nggak berantem?"

"Mungkin lagi males."

"Oh."

Satu lagi kejutan yang mencengangkan. Tinggal seatap dengan orang yang tidak kamu suka biasanya akan mengantarmu ke 2 kemungkinan; kamu dan dia menjalin keakraban, atau sebaliknya, kamu dan dia semakin memupuk kebencian. Dan karena adu mulut itu melelahkan, barangkali diam-diam Haechan sudah memilih jalan damai.

Jeno tersenyum, bulan sabit khasnya terbentuk mengiringi. "Bahkan Haechan pun bisa berubah, pelan-pelan."

Lagipula, siapa bilang berkelahi itu tidak butuh energi?

Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Haechan sudah jarang melontarkan kalimat hinaan atau sindiran yang di sekolah ia sebar seperti orang lain membagikan permen di hari Halloween. Dia bersedia mengajari Renjun caranya mengisi ulang peluru saat Renjun meminta, dan ketika Mark bertanya, dia menjawab dengan lugas tanpa berputar-putar.

Memang, perubahannya tidak drastis seperti sulap dalam film para penyihir, bahkan sebenarnya hampir tidak kentara, tapi ya, Jeno benar; dia sudah berubah.

Sedikit demi sedikit.

Selang beberapa menit kemudian, yang dipikirkan tertangkap indra penglihatan. Na Jaemin berjalan masuk, Lee Haechan juga, menyeret sekop Grace di sepanjang lantai yang mengirimkan bunyi tidak nyaman ke telinga. Sekop itu ia letakkan di belakang pintu, saat ia memilih untuk duduk. "Nah?" katanya. "Lawakan macam apa yang mau kalian omongin?"

"Mark-hyung." Tatapan Jaemin tampak sendu. "Apa harus?"

Sebagai permulaan, tahu ini takkan mudah, Mark meregangkan jari-jarinya. "Aku juga nggak mau ngelakuin ini, tapi bisa aja di luar sana ada zombie lain yang bakal datengin kita. Mungkin zombie-zombie itu udah dalam perjalanan sekarang. Tadi 3, gimana kalau selanjutnya 13? Atau 23?"

"Mungkin Grace juga." Intonasi suara Haechan naik setidaknya 1 oktaf. "Serius, Mark Lee, kamu takut?"

"Menurutmu gitu, Haechan? Apa aku kelihatan takut?"

"Menurutku kamu kelihatan kayak pengecut."

Pancing dia, dan sang singa akan bangun. Mark sudah menduga inilah yang akan dia dapat sejak sebelum pembicaraan di mulai. "Terserah kamu nyebut aku apa, tapi orang yang kamu panggil pengecut ini cuma mau kalian selamat. Kalian semua一tanpa pengecualian."

"Jadi kenapa," Jisung bertanya, "Noona dipinggirin? Kalau ini tentang 'kita semua', kenapa Noona dan Renjun-hyung nggak masuk hitungan?"

"Jisung, bukan itu maksudku一"

Park Jisung meluruskan punggungnya, dengan tangan beristirahat di lutut. Suaranya yang biasanya mencicit seperti hamster berubah lebih tegas. "Aku tahu, Mark-hyung. Aku tahu. Aku nggak senaif yang kalian kira, tapi apa nggak bisa kita nunggu lebih lama? Ini baru 2 hari."

"Kita nggak akan berhenti nunggu mereka. Kita cuma cari rumah ke-3, pindah ke tempat yang lebih aman."

"Dan," sahut Chenle. "Di mana kira-kira rumah itu?"

Haechan tersenyum mencemooh. "Yah, di mana itu, leader? Kamu mau bawa kita jalan-jalan di malam hari? Kedengerannya asyik."

Mark heran tak ada asap yang keluar dari kepalanya saat ini, hasil dari pembakaran kesabarannya yang kerap diuji. "Di sebelah utara dari sini ada perumahan, aku udah ke sana bareng Chenle buat nyari baju, dan lingkungan itu kelihatannya relatif aman. Kamu kira aku tipe orang yang nyaranin sesuatu tanpa solusi, Haechan?"

"Tapi 'kelihatan' lain sama 'pasti'. Apa bedanya kita di sini atau di sana?"

"Karena di sini lebih beresiko!" Mark kehabisan napas, tak sadar sudah mencetak rekor pribadi dengan sekali lagi lepas kendali dan berteriak. Ini bukan dirinya. Bukan sosok yang diakrabinya. Mark yang lama memiliki pegangan moral sekuat baja dan emosi yang terkontrol ketat. Tapi Mark yang lama juga tak perlu bertanggung jawab atas 7一atau 5一nyawa teman-temannya.

Ini penyimpangan, dan Mark yang itu telah menghilang.

"Coba pikirin begini." Mark merinci. "Kalau gerbang dari besi aja bisa roboh. Apa yang bikin kalian ngira pagar dari kayu nggak akan bisa ditembus? Andai ada cara supaya Grace dan Renjun bisa balik bareng kita, aku pasti ngelakuin cara itu tanpa ragu. Tapi dengan sempitnya lahan pencarian, peluang kita juga menipis, jadi terpaksa kita pergi tanpa mereka. 6 nyawa." Mark memaparkan. "Itu yang tersisa dari kita sekarang, dan aku nggak mau jumlah itu berkurang."

Dengan itu pidatonya selesai, Mark kembali duduk tenang, tapi Jisung tidak. "Belum ada yang pasti, Mark-hyung. Itu keputusan yang terlalu terburu-buru."

"Sebenernya dia ada benernya, Jisung." Jeno menyergah. Suaranya yang berat jatuh bagai sebongkah batu di tumpukan kapas. "Bukan berarti aku suka, tapi mungkin kita bisa nyari jalan tengah?"

"Apa misalnya?"

Bohlam lampu ide menyala, Mark menepukkan tangannya sekali. "Kita tulis catatan buat mereka?"

Usulannya ditepis Jaemin seperti pemain bola yang memotong umpan crossing lawan. "Lupain aja. Biar aku tinggal di sini一itu lebih baik dari catatan."

"Kalau gitu aku juga." Jisung mengajukan diri. Aura ketegasan yang masih terasa asing menyelimuti tubuhnya secara tak kasat mata, namun mustahil tidak terlihat bagi mereka yang sebelumnya mengenalnya sebagai bocah 15 tahun yang penakut. "Aku nggak mau noona ngira kita ninggalin dia."

Amarah yang mendidih nyaris membuat Mark menggebrak meja一jika saja ia yang dalam pengaruh kemarahan merupakan tipe orang yang mendramatisir keadaan. "Kita nggak ninggalin Grace. Nggak dengan sengaja. Kita cuma pindah rumah dan nulis catatan supaya dia bisa nyusul."

Gelak tawa Haechan mengudara. "Kamu belum kenal Grace juga, ya?"

Atmosfer di ruangan itu menjadi semakin panas dan lebih panas menyerupai tungku api neraka. Mark dan Haechan, pemuda yang ekspresif dan pemuda lain dengan kecenderungan emosi yang meledak-ledak, lagi-lagi bersilangan pendapat dan sama-sama merasa paling benar. Kata berunding seolah tidak eksis, asap pertikaian mereka terlalu pekat untuk diusir.

Haechan menukas, "Kita nggak akan pergi dari sini." Kata-katanya terdengar final. "Kasih lebih banyak waktu buat Grace dan Renjun. Ini bukan sesuatu yang bisa kamu putusin sendiri, Mark Lee. Bukan begini caranya jadi pemimpin."

"Apa salah kalau aku mau kalian aman?"

"Letak salahnya ada di sifat kamu yang一"

Entah Mark harus merasa bersyukur atau mengamuk, celaan apapun yang hendak disampaikan Haechan terpotong saat pintu diketuk lembut yang menghasilkan irama staccato yang teratur. Ssstt, ada yang datang. Derap langkah ringan itu tandanya. Tamu berkunjung di saat yang salah. Ke-6 laki-laki di ruangan kontan saling melirik resah. Butuh segenap pengendalian diri bagi Mark agar tak menyerah pada kesombongan dan berseru angkuh, "Apa aku bilang!"

Sampai Jaemin akhirnya memilih berpisah dengan kenyamanan sofa dan menegakkan badannya. "Biar aku aja."

Diiringi tatapan was-was yang lain, pemuda itu menggenggam pistolnya di samping tubuh, lalu mengangkatnya setinggi dada usai pengaman dilepas sepenuhnya. Mark, dan mereka dengan senjata serupa meniru tingkahnya saat ketukan meningkat semakin kencang. Jaemin menarik napas. Tak ada yang semudah merayu para gadis. Setiap persoalan sekarang menyangkut hidup dan mati.

Satu tarikan napas lagi yang lebih panjang dan dia meraih gagang pintu ke arahnya. "Jangan一"

Gerak refleks seseorang yang lincah menghindari todongan pistol itu ke wajahnya, dan menurunkan tangan Jaemin ke bawah secara paksa. "Hei一woah! Ada apa ini, Jaemin?"

Dalam keremangan malam yang senyap, Jaemin mengedipkan matanya beberapa kali. "Renjun?"

Huang Renjun nyengir lebar. "Kangen aku?" Grace Moon ada di belakangnya.

Mark pikir dirinya berkhayal.

Skenario tentang Grace dan Renjun yang kembali sudah sebegitu rutin berputar di benaknya dalam berbagai kemungkinan situasi yang masuk akal atau hiperbola, sehingga ketika itu benar-benar terjadi, peristiwanya justru terasa tidak nyata. Sulit dipercaya一kelompok ini kini lengkap berkat pulangnya 2 anggota yang hilang.

Tentu saja, sempat ada keributan saat Grace melihat Jisung dan kaget mendapati luka di wajahnya yang sebelumnya mulus tak bercela. Kemarahannya tersulut. "Orang tolol mana yang berani mukul kamu?!"

Pujian layak disematkan pada Haechan karena dia bahkan tak bereaksi sedikitpun. Saat Mark menatapnya, Haechan justru memasang tampang, "Aduin aja kalau berani, berengsek."

Jisung gelagapan. "Bukan apa-apa. Ini luka kecil kok."

"Kamu mungkin bakal tetep ngomong nggak apa-apa seandainya ketabrak buldozer kan? Jujur, siapa yang mukul kamu?"

Ayo, Grace, menolehlah. Mark separuh gemas dan separuh geram, berharap Grace berpaling pada Haechan dan memergokinya tengah menahan senyum.

Grace tidak menoleh dan Jisung masih setia berpegangan pada dustanya. "Aku serius, Noona. Ini nggak parah dan nggak penting. Sebenernya ... Aku jatuh."

Air muka Grace tampak sangsi. "Jatuh?"

"Ya, aku berantem sama Chenle karena aku bilang masakannya nggak enak."

Chenle membulatkan matanya. "Tunggu, Jisung, kenapa nuduh aku一"

Protesnya diabaikan, Jisung mengangguk mantap. "Dia nggak sengaja dorong aku dari kursi, makanya pipi aku luka kena lantai."

Haechan terbatuk-batuk mencurigakan. Jaemin berdeham membersihkan tenggorokannya. Jeno dengan kikuk merapikan rambut.

"Bener itu?" Chenle yang malang (dan tak bersalah) jadi korban tatapan laser Grace. "Chenle?"

"Yah, bukan gitu, Noona, tapi一" Tapi Jisung memberinya sinyal lewat bahasa tubuhnya saat Grace lengah dan pilihan Chenle jadi terbatas antara berterus terang atau setia pada pertemanan. "Ehm, iya. Biasalah."

Wajah Grace melembut. Dengan main-main dia memukul puncak kepala sobat karib adiknya. "Kalian kayak anak kecil."

Setelahnya, seperti artis saja, keduanya digiring ke meja makan untuk ditawari makanan dan dimintai penjelasan. 48 jam bukan waktu yang singkat. Bertahan hidup di antah berantah yang berakhir dengan muncul disertai memar-memar pastilah menyimpan banyak cerita petualangan. Semua orang ingin tahu apa yang mereka alami, semua orang ingin mereka berbagi.

"Sebenernya nggak seseru yang kalian kira." Kilah Renjun malu-malu. "Aku dan Grace kecelakaan." Dia memamerkan lengannya yang diperban dan sedang dipriksa Jaemin yang bertugas sebagai dokter dadakan. "Gara-gara zombie, siapa lagi? Tapi lumayan, nambah pengalaman."

Sang dokter berdecak, tidak menyetujui antusiasmenya yang salah kaprah. "Kenapa nggak sekalian masuk lubang kelinci?"

"Takut nyasar ke Wonderland." Renjun tergelak, jauh dari kepanikan.

"Abis itu?" Mark mengarahkan pembicaraan kembali ke ranah netral. "Kenapa kalian butuh 2 hari buat pulang?"

"Hmm, tentang itu..."

Lain Renjun yang rikuh, lain pula Grace yang sama sekali tidak terganggu. "Renjun teler karena demam, aku pingsan. Di hari pertama, aku dan dia kompak nggak sadar. Untungnya ada rumah di deket situ dan persediaan obat yang bisa kita pakek."

"Dan motornya..." Tutur Jisung yang selalu memperhatikan.

"Itu Ducati." Kondisinya terlalu gelap untuk membaca nama label yang dirajahkan ke bodi motor itu, namun Jeno mengetahuinya hanya berbekal mengintip sekilas tampilan luarnya. Otomotif merupakan salah 1 bidang yang ia gemari. "Kalian dapet mainan bagus dari mana?"

Satu lirikan kilat dari Renjun dan Grace pun mengambil alih. Roda kemudi topik ini berada di tangannya sedangkan Renjun lebih sering membisu. "Kita nemu motor itu waktu nyari sarapan. Bensinnya banyak, tapi aku dan Renjun harus mampir ke pom yang kosong karena nyasar, makanya lama."

"Dasar kuper." Dengusan Jaemin beriringan dengan tepukannya ke tangan Renjun yang cidera. "Dia jarang keluar rumah sih."

Interaksi mereka tak pernah gagal membuat Mark terhibur. Utuhnya jumlah timnya juga menimbulkan desir kehangatan di dadanya. "Syukur kita ber-8 udah ngumpul. Besok kita bisa berangkat ke Jeju."

Para laki-laki memberi respon penerimaan, berbeda dengan Grace yang diam. Malah, sepertinya Grace mengelak melakukan kontak mata dengan Mark.

Isyarat itu dipahami Haechan, menjadi petunjuk baginya bahwa ada yang keliru pada diri gadis yang sudah meluluhkan hati mereka. "Kamu oke? Kamu kelihatan kayak orang yang mikirin hutang."

"Cuma capek." Grace mengaku, kurang meyakinkan. "Jisung, obatin lukamu biar nggak infeksi dan ngerepotin. Aku mau istirahat dulu."

Mark yang ingin berbuat lebih dari sekedar bertanya berdiri. "Grace, bisa kita ngobrol sebentar?"

Dalamnya luka yang terlukis di sepasang manik mata Grace membingungkan Mark. Terdapat rasa sakit di sana, banyak sekali. Berpadu dengan kesedihan yang berpusar bersama pedihnya kekecewaan. Grace menggeleng, menolaknya. "Maaf, Mark. Nanti aja."

Hal itu menimbulkan tanda tanya di kepalanya; sejak kapan Grace dan Renjun berada di balik pintu sebelum mereka mengetuk?

Di part awal book ini ada reader yang komen dia kagak rela anggota tim Mark meninggal. Yasuda, w kabulin, tapi buat gantinya ada konflik internal di antara mereka wkwkwkwk 😏
Sisi positifnya, Haechan dan Jaemin mulai temenan dong yeaaayy! 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top