26. Kita Bertindak
Sekitar 2 tahun lalu, di sore temaram yang masih kental akan suasana tahun ajaran baru, Mark Lee pulang ke rumahnya dengan perasaan campur aduk dan langsung bergegas ke perpustakaan.
Di rumah Mark, buku lebih sering dibaca daripada TV dinyalakan. Seperti lelucon saja, Mark pikir TV ada hanya untuk hiasan semata. Di perpustakaanlah, keluarganya sering bercengkrama dan di sana pula Mark menemukan orang tuanya duduk saling berhadapan bersama laptop dan buku yang bertebaran.
"Guess what?" Dia membuka percakapan. "I'm afraid I've got some bad news to talk about." Dan dengan kalimat itu dia bercerita bahwa dia terpilih menjadi ketua kelas.
Ayahnya memberinya selamat, bingung mengapa Mark menggolongkan prestasi itu sebagai berita buruk. Mark tak dapat mengungkapkan secara gamblang bahwa dia khawatir mengecewakan orang lain, gagal menunaikan tugasnya dengan baik, lebih-lebih lagi takut pada tanggung jawabnya.
Tapi insting seorang ibu terbukti lebih tajam dari pedang manapun. Ibunya memahami apa yang disimpan Mark dalam hati, lantas menghadiahinya buku Simon Sinek yang merupakan konsultan kepemimpinan asal Inggris.
"Hope it helps you," begitu tulis ibunya di selembar post-it biru. "Xoxo, Mom!"
Dalam buku itu, Mark membaca beberapa baris kutipan yang begitu mengguncangnya hingga ia bisa mengingatnya sampai sekarang, "The great leaders are not the strongest, they are the ones who are honest about their weaknesses. The great leaders can’t do everything; they are the ones who look to others to help them. Great leaders don’t see themselves as great; they see themselves as human."
Sinek telah menegaskan bahwa pemimpin bukan budak, mengerjakan semua tugas demi mendapat hormat. Tidak, pemimpin lebih bermartabat dari itu. Tugasnya adalah mengenali tiap anggotanya dan membantu mereka mencapai tujuan bersama-sama. Kadang bahkan menggali potensi yang tak mereka sadari mereka punya. Itulah kenapa "pemimpin" tidak dapat disamakan dengan "bos" yang hanya bisa memerintah.
Dan untuk alasan yang serupa, sambil merapalkan kutipan tersebut layaknya mantra, Mark duduk tenang ketika kegemparan pecah.
Jaemin mondar-mandir panik, kala mendapati mobil beserta kuncinya lenyap dari halaman. "Kita harus cari mobil baru."
Saudaranya menimpali, "Terus apa? Haechan dan Jisung bisa ada di mana-mana."
"Kita susuri daerah di deket sini dulu." Chenle mengusulkan. "Mudah-mudahan mereka nggak jauh."
"Ngapain sebenernya Haechan bawa Jisung?" Pesaing utama Haechan mencubit batang hidungnya. "Lempar dia ke zombie dan ngaku itu kecelakaan?"
Ekspresi ketiganya seketika diliputi kengerian saat menyadari seberapa besar peluang itu terjadi. Haechan marah pada Jisung. Dia nekat, dan lebih dari mampu bersikap jahat. Ditambah lagi bila sudah menyangkut balas dendam, dia sepertinya tidak punya batasan yang jelas.
Di titik ini, Mark merasa ia harus angkat suara. "Rileks, Jaemin. Haechan cuma mau ngajarin Jisung beberapa hal yang dia anggep berguna."
"Tahu dari mana?"
"Dia bilang ke aku kemarin." Mark berujar dengan mantab, tidak tergoyahkan tatapan mereka yang terperanjat. "Boleh dikata, dia semacam minta izin."
Orang pertama yang mengerti maksud tersirat kata-katanya adalah Chenle. "Mark-hyung, itu artinya ... Kamu tahu kalau..." Dia tak sanggup menyelesaikan.
Sesungguhnya, mengakui dirinya tak sebaik yang anggapan orang-orang juga sulit bagi Mark. Tapi jika tidak jujur, itu hanya akan menempatkannya dalam jajaran pengecut. "Ya, aku ngebiarin Haechan karena menurutku Jisung perlu sedikit dorongan buat berkembang. Itu keputusanku."
Bagi Lee Haechan yang menjadikan jalan-jalan tidak sekedar hobi melainkan juga media untuk membuang stres di kepala, mudah saja membayangkan tempat ini dalam keadaan yang lebih baik, lebih ramah, dan lebih menyenangkan sebelum wabah virus melanda.
Dulunya, kawasan ini memang tidak ramai, tapi biasanya ada beberapa anak-anak yang bermain di halaman, dibatasi pagar yang memisahkan properti pribadi dan jalan raya. Mereka akan berlarian, saling mengejar satu sama lain, menenteng boneka atau menendang bola yang kerap bergulir ke jalur pengendara yang sial. Di pagi hari, setelah mengantar kepergian suami, Haechan yang berangkat sekolah biasanya melihat ibu-ibu melepas gulungan selang dan menyiram tanaman mereka sambil bersenandung riang.
Dulunya, belum terlalu jauh di belakang, tempat ini pernah dipenuhi canda tawa dan bunyi hiruk pikuk kehidupan ala penduduk perkotaan.
Haechan mendesah, merindukan masa-masa tidak sempurna tapi normal yang pergi terlalu cepat, dan menyesali perubahan drastis yang datang tanpa diharapkan. Katanya, manusia itu kaum perusak; kita membabat hutan, membuang sampah di sungai, dan mencemari udara yang kita hirup, jadi mungkin ini adalah bagian dari lingkaran sebab-akibat yang tak terelakkan.
Seperti ketika kamu bermain api, rumahmu bisa terbakar. Kamu bermain di laut dan kamu tenggelam. Atau saat kamu mencopet, bukan mustahil一seahli apapun dirimu一kamu tertangkap dan masuk penjara keparat. Haechan menempelkan rokok ke bibirnya lagi, bara api di benda itu bersinar merah terang. Oh ya, dia sangat mengenal konsep karma一itu sudah jadi bagian dari hidupnya.
Haechan masih ingat, waktu itu一
Seperti butiran pasir yang tersapu ombak, semuanya mendadak hilang tak bersisa. Bunyi ribut berkesinambungan mengusik Haechan yang terhanyut dalam gelombang nostalgia. Pemuda itu menggerutu, bangkit dan berjalan ke jendela yang sudah tidak utuh. Dilihatnya Park Jisung sedang menghindar, tidak mengambil sikap menyerang meski pisau siap sedia di tangannya.
"Apa-apaan kamu ini? Ngajak mereka nari?"
Park Jisung berkelit ke samping, memutari sebuah sofa sementara 3 zombie mengejar一jumlah yang belum berkurang sejak dia masuk ke rumah. "Aku一aku nggak bisa."
"Harus bisa. Ini sederhana, kamu mau selamat atau nggak? Kalau iya, bunuh mereka."
"Tapi一"
"Tusuk kepalanya." Nada suara Haechan tak menunjukkan apa-apa kecuali ketegasan mutlak yang akan membuat orang lain segan membantahnya. "Kamu kira aku tertarik nolong kamu, Park Jisung? Bahkan walau mereka ngunyah kakimu, jangan harap aku sudi bantu."
Bocah itu terantuk sesuatu yang tercecer di lantai. Dia tersandung, tak dapat menyahut. Zombie berniat menjatuhkan diri di atasnya, merobek kerongkongan dan mengakhiri hidupnya saat itu juga, tapi dia mengelak. Gerakannya cepat, refleksnya bagus, dan Haechan mau tak mau berpikir, hm, jauh dalam dirinya, andai dia mampu mengusir rasa takutnya, dia pasti bisa jadi hebat.
"Sekarang!" Seru Haechan, sang penonton yang antusias. Zombie ayah tertelungkup di sana, bagian belakang kepalanya yang nyaris botak terpampang jelas. Keluarganya yang lain tidak sesigap dia dan berada di sudut lain ruangan. "Sekarang, maknae!"
Namun Park Jisung dan khayalan bodohnya tentang perbedaan zombie dan manusia tidak segera beraksi. Dia melirik zombie yang masih jauh, lalu pada zombie ayah, dan balik ke mereka, khawatir akan ancaman disergap diam-diam. Dia terlalu lama. Zombie di lantai akhirnya bangkit, sedangkan peluangnya terbang menjauh seraya mengucapkan selamat tinggal.
Park Jisung mundur.
Haechan mengerang. Susah payah dia berjuang menahan kakinya agar tidak bergerak dan menghambur masuk, lalu membantai mereka ber-4 sekaligus. Dia begitu marah sampai sanggup berbuat hal-hal di luar nalar. Darahnya seakan mendidih di kepala, yang bertanya-tanya untuk kesekian kalinya, apakah benar bocah naif itu adik dari Grace yang pemberani? Astaga!
"Gulingin sofanya." Seru Haechan putus asa, yang kini beralih peran menjadi pelatih yang geram. "Itu bisa memperlambat mereka. Jangan banyak mikir, Park Jisung, demi Tuhan, jangan. Banyak. Mikir!"
Bocah itu melakukan seperti yang diminta. Tubuhnya kurus, tapi dia cukup kuat. Sofa yang dimaksud terguling, menjegal zombie yang terlalu tolol untuk melompati halang rintang tersebut. Zombie ayah terjerembab lagi, kukunya menimbulkan suara yang membuat ngilu saat mencakar ubin keramik rumahnya. Setidaknya selama sekian detik, dia butuh waktu untuk bangkit kembali一
"Bertindak!"
Tanpa basa-basi, Park Jisung menjambak rambut zombie itu. Dia memantapkan pegangannya supaya si zombie tidak memberontak dan dalam sekali tarikan napas, menancapkan pisau dalam-dalam ke dahinya. Perlawanan zombie itu pun tamat, dia terkulai mati tak berdaya.
"Satu." Haechan tersenyum lebar. "Selesai."
Mesinnya perlahan-lahan panas, layaknya beruang yang terjaga dari tidur panjangnya. Saat zombie kedua, sang ibu, berusaha menggapai bahunya, Park Jisung berputar dan memukul tangannya hingga terhempas kasar. Dia membungkuk merebut pisaunya一atau pisau Haechan一dan memindahkan logam tersebut ke target yang tepat saat ibu itu hendak menerkam wajahnya.
Itu bisa dibilang di luar dugaan, tindakan yang tidak terprediksi tapi membanggakan. Haechan tertawa. "Dua selesai."
Giliran si anak, gadis kecil bergaun bunga yang rambutnya terselip jepit berwarna kuning cerah. Langkah-langkah mungilnya membuat pergerakannya mudah diimbangi. Ketiga kalinya, pisau diangkat setinggi dada, tapi一lagi!一Park Jisung membuang waktu yang berharga untuk berdiam diri, bengong menatap ruang kosong di tembok. Dia menggeleng, seolah menyingkirkan sarang laba-laba yang hinggap di rambutnya, lalu mendorong sofa tunggal yang lebih ringan ke anak itu.
"Mau apa kamu?"
Pertanyaan Haechan tidak digubris. Park Jisung memancing si anak sedemikan rupa ke dinding, kemudian saat momentumnya pas, namun sebelum pemahaman bahwa, ah, dia meniru kakaknya, menghampiri otak Haechan, dia sudah memojokkan zombie anak-anak itu memakai sofa tanpa sekalipun menyentuhnya. Si gadis kecil kontan terjepit dari kaki ke perut yang menyebabkannya tak bisa bergerak bebas.
Rahang Haechan mengeras. "Bunuh dia, Park Jisung."
Bocah itu menggeleng ulang, keras kepala. "Dia masih anak-anak. Lihat dia. Umurnya mungkin nggak lebih dari 10 tahun."
"Ya, terus kenapa?"
Park Jisung terperangah. "Aku nggak bisa sesadis itu sama anak-anak."
"Anak-anak?" Haechan melintasi jarak di antara mereka dan bergabung dengannya. "Mana anak-anak yang kamu omongin, maknae? Dia cuma zombie yang laper dan pengen makan dagingmu kalau kamu lengah. Aku nggak lihat anak-anak di manapun."
"Jangan paksa aku ngelakuin itu..."
"Sayangnya, Park Jisung." Pistol yang bersemayam di saku Haechan dikeluarkan. Satu-persatu pengamannya dilepas dengan cekatan. "Aku emang maksa. Bunuh dia atau aku yang bunuh kamu. Ini perintah, bukan permintaan."
Mata Park Jisung terbelalak menatap moncong pistol tersebut. "Kenapa?"
"Aku mau kamu berubah. Aku mau kamu jadi orang yang berguna. Aku mau kamu sadar tentang realita dunia yang baru ini. Pilih jawaban yang kamu suka."
"Apa perubahan itu ngeharusin aku jadi orang yang nggak punya hati?"
Tidak ada Haechan yang baik atau lembut seperti yang di beberapa kesempatan ia perlihatkan pada Grace. Haechan yang kini tampil adalah sosok yang liar dan kejam. Ini Haechan yang sama dengan yang muncul di rumah pertama, yang saat berkata akan membunuh orang, bisa dijamin dia tidak sekedar membual. "Aku kasih kamu waktu 3 detik. Dia atau kamu? Kamu atau dia? Kamu yang pilih. Satu, aku bukan Grace."
Jari telunjuk Haechan bergeser ke pelatuk.
"Dua, aku nggak mungkin meleset di jarak sedeket ini. Dan tiga一"
Pistol meletus, memuntahkan sebutir peluru yang otomatis mengurangi amunisi Haechan menjadi 10. Asap mengepul dari benda itu, lebih tebal dari asap rokoknya yang ia hisap dan telah ia injak di luar.
Pemuda itu menurunkan senjatanya, mengangguk puas pada Park Jisung yang sedetik lalu sudah melompat ke sisi si anak dan menghujamkan pisau ke keningnya. Maknae di kelompoknya itu jatuh berlutut, memohon pengampunan pada orang-orang yang nyawanya ia renggut.
"Keputusan bagus."
Di hadapan Haechan, bocah itu menangis tanpa suara. Air mata menuruni masing-masing pipi putihnya yang pucat.
Hampir melenyapkan orang yang berada di ambang 'kenalan' dan 'teman'nya, nyatanya tak membuat Haechan banyak terpengaruh. Ekspresinya tetap acuh tak acuh. "Setelah ini kamu mungkin nganggep aku orang jahat, tapi aku nggak pernah ngelakuin sesuatu tanpa alasan, dan suatu hari nanti, kamu bakal ngerti alasan itu."
"Ngerti bukan berarti suka. Ini." Park Jisung melambaikan tangan ke seluruh ruangan, pada darah yang menggenang, dan 3 orang yang tergeletak dengan mulut terbuka, menjerit dalam keheningan. "Aku nggak suka metode kayak gini."
Perkataannya terdengar seperti lelucon menggelikan di telinga Haechan. "Kamu mestinya udah tahu kalau hidup nggak melulu berpihak ke kita, dan kita nggak bisa bertahan dengan ngelakuin hal yang kita suka aja. Kasih tahu aku, Park Jisung, apa ada metode lain yang lebih baik? Dan kapan rencananya kamu mau belajar kalau nggak dipaksa?"
Bocah itu membisu.
"Udah aku duga." Tawa di bibir Haechan belum lenyap saat ia keluar dari rumah itu dengan langkah-langkah tanpa beban. Dia mendongak, memayungi matanya dengan tangan. Ini hari yang cerah, hari yang cocok untuk mencari seorang kawan yang hilang. Dia berbalik. "Hei, maknae, periksa lemari es di dalem一"
Ucapan Haechan disela oleh Park Jisung yang menubruknya, dikendalikan amarah bukannya akal sehat. Haechan merasakan tubuhnya miring, menimpa kaleng buah beku yang pinggirannya menciptakan luka goresan panjang di lengannya. Saat dia sadar apa yang terjadi, dia hanya sempat melindungi wajahnya dari pukulan yang bersarang bertubi-tubi.
"Aku bisa mati di situ! Aku bisa mati di situ! Apa itu tujuanmu yang sebenernya Haechan-hyung? Buat bunuh aku, hah?!"
Ini ortu Mark di bayangan gua, makanya gua jadiin mamanya penulis wkwkwk 😳👉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top