25. Kita Belajar

6 februari 2021, pukul 07.21.

Kalau kamu diberi sehari dimana 1 doamu pasti sampai ke langit dan dikabulkan, kira-kira apa yang akan kamu minta?

Mereka yang hidup dalam jerat kemiskinan mungkin akan meminta kemewahan berupa tempat bernaung dan makanan yang selalu tersaji di meja sehingga mereka tak perlu lagi mengorek tempat sampah. Bila kamu menawarkannya pada calon mahasiswa, barangkali dia akan minta diluluskan ujian masuk universitas. Tapi bila kamu bertanya pada Mark Lee, sederhana saja, dia hanya ingin jadi orang yang lebih baik.

Sebab, sejak menyaksikan sendiri teman-temannya berguguran seperti nyamuk yang diberi obat, Mark tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa di suatu titik, ada rantai kekacauan yang bisa dia putuskan, kalau saja dia duduk tenang dan mencermati tindakannya.

Seperti yang dicetuskan pepatah, a tree known by it's fruit. Seseorang dikenal karena perbuatannya. Lebih khusus lagi, wibawa seorang pemimpin dapat dilihat dari caranya menangani situasi pelik dan membuat keputusan yang sulit.

Mark baru mengetuai tim ini selama 4 hari, tapi rentetan kesalahannya, jika diurutkan, akan mengungguli daftar belanja bulanan ibunya. Kini, kemanapun Mark menoleh, dia mendengar bisikan jahat yang berucap bahwa dia tidak cukup baik, tidak layak, dan bahwa setelah kehilangan 2 anggota, sudah sepatutnya dia mundur dari posisinya.

Lagipula, dia tidak menginginkannya kan?

Mark membuka lemari es dan mengambil sebotol air. Haechan impulsif, dan dalam banyak hal, gegabah. Jaemin belum matang. Namun Jeno yang selalu berpikir rasional akan cocok menggantikannya. Jeno juga dewasa. Dia kandidat yang sempurna. Mark ingin tahu apa pendapatnya jika mereka membicarakan ini. Akankah dia bersedia?

Belum lagi Mark menyelesaikan rancangan ide tersebut di kepalanya, Jaemin muncul dari kamarnya dengan wajah kuyu dan langkah lesu tanpa semangat sedikitpun. Dia turut mengecek lemari es, memandanginya sekian detik, lantas menutupnya kembali. "Bahan makanan mulai habis."

Mark menarik diri dari lamunannya. "Nanti aku cari. Rumah-rumah di sekitar sini belum kita periksa."

"T-tapi Renjun? Dan Grace?"

"Kita cari mereka juga."

Jaemin menghenyakkan dirinya di kursi di depan Mark dan menyisir rambut tebalnya dengan jari. "Aku nggak maksud ninggalin mereka, Mark-hyung. Aku nggak serendah itu buat manfaatin temen-temenku sendiri supaya aku bisa kabur."

"Jaemin? Jaemin?" Mark menunggu sampai si pemilik nama mendongak sebelum ia melanjutkan, "Kamu nggak perlu jelasin apa-apa, aku percaya kamu."

"Yah, masalahnya." Suara Jaemin tercekat. Di atas meja, tangannya yang lain yang menganggur, terkepal erat seiring ledakan emosinya yang memuncak. "Aku nggak bisa berhenti nyesel tentang kejadian itu. Kalau aja aku cabut kuncinya, Jisung nggak perlu kehilangan kakaknya dan Renjun bisa tidur nyenyak."

"Kamu lupa." Dengan hati-hati Mark mengatur agar suaranya netral, tidak mengandung secercah pun penghakiman. "Itu manusiawi, Jaemin. Maafin dirimu sendiri, tapi jadiin itu pembelajaran. Dan inget, kamu berhasil bawa Jisung pulang dengan selamat. Kamu nyelametin 1 nyawa一itu tindakan yang mulia."

"Aku cuma nepatin janjiku ke Grace."

Botol air di genggaman Mark berputar searah jarum jam. Cairan di dalamnya berguncang mengikuti gerakannya. "Aku yakin Grace bakal ngehargain itu seandainya dia di sini."

Kepalan tangan Jaemin melonggar. Harapan timbul seperti mekarnya sekuntum bunga di matanya. "Mereka masih hidup kan? Grace dan Renjun, mereka terlalu tangguh buat meninggal se ... Secepat ini. Iya kan, Mark-hyung?"

Lidah Mark mendadak terasa kelu. Tanda tanya yang sama telah berenang-renang di benaknya sejak semalam. Dia menunggu dan menunggu, tapi Grace tidak kunjung pulang, dan Mark tidak bisa berpura-pura itu tidak mengkhawatirkan. Benar bahwa Grace tangguh一itu tak perlu dipertanyakan一jadi masalah apapun yang menghambat gadis itu untuk pulang pastilah tidak bisa disepelekan. Terlebih sudah 24 jam berlalu.

Rasa takut menggerogoti tepi-tepi kewarasan Mark yang tidak suka berdusta. Akan tetapi, dia tidak sampai hati一tidak sanggup一memupus harapan Jaemin yang lebih mirip ratapan yang sarat kesedihan. "Aku yakin gitu, Jaemin. Mungkin ... Mungkin mereka ngungsi sementara, nunggu keadaan aman, dan ... Dan ketiduran."

Kebohongan yang lemah itu ditertawakan Jaemin. "Ya, semoga. Kita berangkat sekarang?"

"Nyari makanan?"

Bibir Jaemin mengerucut. "Apa pikun di umur 18 tahun itu normal?"

"Tolong jangan niru Haechan. 1 anggota yang hobi ngomong sarkastik udah cukup."

Tawa sekali lagi berkumandang. "Omong-omong Haechan belum bangun?"

"Dia..."

"Mark-hyung?" Koki mereka berlari tergesa-gesa ke dapur hingga nyaris tersandung. Kecemasan menggelayuti wajahnya layaknya gumpalan awan kelabu. "Ada masalah."

Mark dan Jaemin bertukar pandang, sama-sama tidak menyangka akan ada masalah baru ketika yang lama saja belum selesai. "Chenle. Kenapa?"

Chenle memberi isyarat agar 2 pemuda yang lebih tua itu mengikutinya. "Kemarin, Jisung bilang mau tidur di kamar Grace Noona, tapi waktu aku cek一" Dia menekan kenop pintu dan mendorongnya ke dalam. "Kamarnya kosong."

"Mungkin dia keluar sebentar?" Jaemin menebak, tertular pemikiran Jeno yang selalu positif. "Bisa aja Jisung olahraga di deket sini karena bosen nggak ada yang bangun."

"Aku ragu soal itu." Chenle menggeleng. "Haechan-hyung juga nggak ada, dan menurutku itu gawat."

6 februari 2021, pukul 06.19.

Seberapa tipis batas antara kebenaran dan kebohongan?

Setipis kertas? Setipis benang? Atau justru setipis balon yang kulitnya sudah ditiup hingga meregang dan bisa meletus kapan saja?

Pantas, banyak yang melakukannya semudah mengedipkan mata一para politikus dengan janji-janjinya yang menyilaukan, dokter yang berkata semua akan baik-baik saja pada pasiennya yang sekarat, dan tentu, Lee Haechan. Haechan, yang berkata pada adik Grace mereka akan mencari hiburan dan membawanya ke daerah sepi namun bukan berarti tidak berpenghuni.

"Tempat apa ini?" Park Jisung was-was. Jauh dalam dirinya, tampaknya ada sesuatu yang memperingatkannya bahwa semua ini salah. Insting manusia tak kalah hebat dari hewan, terutama menyangkut bertahan hidup.

Inilah yang hendak diuji Haechan, pelajaran nomor 3 dari serangkaian materi 'cara agar kamu menjadi orang berguna', yang akan ia ajarkan. "Ini masih di Uinam, tenang. Yang di sana itu, bangunan oranye, kamu lihat? Itu kantor pos. Dan lebih jauh lagi, ada kantor polisi."

"Apa kita mau ke situ?"

"Apa kamu mau ke situ?" Membolak-balik pertanyaan adalah permainan lain yang disukai Haechan selain trik-trik kecil koinnya.

Lucu juga, melihat air muka Park Jisung berubah kebingungan. Dia begitu belia, polos, dan naif. Tiap langkah ia ambil dengan hati-hati, penuh pertimbangan, seakan aspal yang mereka pijak bukanlah benda padat, melainkan lapisan es yang rapuh dan mudah retak. "Aku pikir一"

"Jangan banyak mikir. Kamu cuma harus bertindak."

Tanpa melambatkan laju kakinya, bocah itu terdiam sekejap. "Haechan-hyung, apa gitu caranya supaya kita nggak takut? Jadi kalau ada zombie semata-mata kita harus bereaksi, bertindak, tanpa mikirin konsekuensinya?"

"Konsekuensi apa?"

"Maksudku ... Zombie sekalipun dulunya manusia. Nusuk kepala mereka otomatis jadiin kita pembunuh."

Haechan berbelok ke sebuah rumah bercat biru dan menaiki 3 anak tangga menuju terasnya. Dia membuka pintu, mengetuk-ngetuknya memakai laras pistol untuk memancing siapapun yang ada di dalam, tapi nihil. Rumah itu kosong. "Park Jisung." Dia menutup pintunya lagi. Ouch, sayang sekali. "Zombie bukan manusia, mereka udah berhenti jadi manusia, jadi jangan pernah ragu-ragu di situasi yang ngancem nyawamu. Apa kamu takut?"

Sadar dirinya sedang diobservasi, adik Grace itu sempat terbelah antara menjunjung tinggi harga diri atau membuat pengakuan yang berlandaskan kejujuran. Lalu, katanya, "Ya, aku nggak seberani orang lain."

Tak jadi soal. Dia jujur atau tidak Haechan tetap menertawakannya, sebagian karena geli dan sebagian lagi karena ia menangkap gerak refleks bocah itu yang mundur saat ada tanda-tanda hadirnya konflik. "Payah kamu, seenggaknya jangan tunjukin itu secara terang-terangan."

"Aku masih nggak ngerti gimana caranya."

Seringai Haechan lolos dari pengamatan Park Jisung saat ia berjalan selangkah di depannya. "Nanti juga kamu belajar. Kamu bawa pisaunya?"

"Ya."

"Bagus."

Dengan itu petualangan dilanjutkan. Ada rumah yang dicari Haechan namun bukan sembarang rumah. Dia menginginkan rumah berpintu ganda yang menjelaskan alasan ia mengantongi tali daruratnya.

"Kita mau ke mana?" Berada di ruang terbuka jelas membuat si bocah tidak nyaman. Seasam lemon, ketakutannya nyaris saja bisa Haechan sesap di lidahnya.

"Ssst, diem."

"Tapi, Haechan-hyung, ini bahaya一"

"Itu dia." Wajah Haechan berseri-seri oleh semburan kegembiraan saat ia berdiri di depan rumah lain yang sesuai kriterianya; besar, dengan pintu yang sesuai, dan tambahan suara geraman seorang zombie yang sekali ini jadi musik yang merdu di telinganya. Tidak, bukan hanya seorang, rupanya ada beberapa zombie di sana, dan tidakkah itu membuat segalanya semakin meriah?

Selamat datang di taman bermain kematian.

Cap tangan berdarah di tembok luarnya adalah pengganti tanda dilarang masuk dalam bentuk yang berbeda. Jendelanya pecah. Secarik kain bermotif bunga-bunga, kemungkinan milik anak perempuan, tersangkut di bingkai kayunya. Gabungkan semua, dan itu akan menjelma jadi formula yang efektif membangkitkan rasa takut Park Jisung. "Ada zombie..."

"Yah, kenapa?"

"Kita harus pergi."

Jawaban yang salah. Bukan itu yang Haechan harap ia dengar. Dia bersedekap dan memutar tubuhnya dengan marah. "Buang sikap pengecut itu jauh-jauh, Park Jisung. Kamu nggak bisa lari selamanya, kadang-kadang hal yang paling baik dilakuin itu ngelawan. Apa gunanya pegang pisau kalau kamu nggak gunain benda itu?"

"Hm, buat pertahanan diri?"

Memdadak Haechan ingin melempar pisau tersebut ke apel yang diletakkan di atas kepala bocah itu sebagai sasarannya. "Setengah pinter dan setengah bego, otakmu dan Grace sama-sama nggak beres. Ayo. Rumah ini gede, orang kaya biasanya nyimpen banyak camilan."

"Kenapa kita nggak nyari makanan di rumah yang kosong aja?"

Jemari Haechan mendarat di kenop pintu, sekedar coba-coba sekaligus mengetesnya. Tidak dikunci. Dia menghirup murninya kepuasan mutlak ketika takdir merestui rencananya. "Karena aku bilang gitu."

Lantas dia menunggu, sabar dan telaten, sementara bocah itu, sungkan dan canggung, memposisikan diri di sebelahnya. "Menurutku itu nggak aman. Buat apa kita nantang bahaya yang nggak perlu?"

Tawa buas Haechan yang tidak ditahan-tahan volumenya bergema ke seluruh pekarangan. "Nggak ada 'kita', Park Jisung."

Lonceng kepanikan berbunyi nyaring. "Apa?"

Pisau disarungkan. Tali dikeluarkan dari sakunya, menjuntai di ubin seperti ular mamba hitam. Sebelah mata Haechan mengedip jahil. "Ini kencan romantis buat kamu. Mana mungkin aku ganggu? Park Jisung," suaranya kian rendah hingga menjadi bisikan. "Di pelajaran nomor 3 kita bakal langsung praktek, kamu penasaran?"

Setelah itu dengan gerakan cepat nyaris kabur yang hanya bisa didapat dari latihan rutin dari waktu ke waktu, Haechan meraih bahu bocah itu dan dengan tangannya yang bebas membuka pintu. Dia mendorong, mengakibatkan Park Jisung jatuh tersungkur seperti yang pernah ia perbuat pada kakaknya tempo hari tanpa sengaja.

Kini, ia melakukannya bukan tanpa tujuan. Haechan sedang berjudi; bila menang, hasilnya luar biasa serta bisa dimaafkan. Park Jisung tidak hanya akan lebih tangguh, lebih berani, tapi juga berhenti menarik diri tiap kali ada keributan yang terjadi. Namun jika ia kalah, harga yang harus ia bayar adalah nyawa, dan kebencian Grace, dan一

Nanti.

Haechan beringsut ke jendela sebelum Park Jisung bahkan berkedip beberapa kali. Dia mengetuk-ngetuk kacanya, lalu bersiul, berteriak, "Hei, kalian. Keluar! KELUAR! Ada daging segar buat sarapan!"

Merespon panggilannya, 2 zombie berjalan terseok-seok dari ruangan lain rumah itu. Mereka sepasang, wanita dan pria, bersama anak kecil yang mungkin adalah buah cinta mereka. 3 melawan 1, bukankah itu masih cukup adil dan relatif mudah ditangani? Senyum Haechan mengembang. "Ada tamu buat kalian," dendangnya. "Tamu istimewa."

Tamu yang ia maksud menggedor-gedor pintu dengan brutal. "Haechan-hyung! Haechan-hyung, buka! Tolong buka pintunya!"

Baik pintu itu dan Haechan diam saja. Tali yang terikat kencang menyatukan dan mencegahnya memberi celah yang diperlukan untuk keluar.

Haechan duduk, mengeluarkan kotak rokok dan mengguncangnya hingga sebatang meluncur ke telapaknya. "Urus mereka, Park Jisung."

Suara bocah itu seperti orang yang tercekik, dihimpit ketakutannya sendiri. "Aku nggak bisa, mereka terlalu banyak!"

"Kalau gitu kamu mati." Dengan tenang, Haechan menyalakan rokoknya, tenggelam dalam kenikmatan isapan pertama yang adiktif dan menghembuskan asapnya sembari menengadah pada langit.

Aaaah ... Sungguh hari yang indah.

[Siapa 2/3]
Kalo kalian bisa bawa bias kalian ke cerita ini, entah itu cewe atau cowo, maunya siapa? Kali aja bisa jadi cast tambahan 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top