24. Kita Berusaha
Badai bernama Amukan Haechan sudah mereda, tapi ketegangannya一sisa-sisa kerusakan yang belum dibereskan一masih enggan beranjak pergi.
Mark Lee duduk termenung di teras, lari dari konflik di dalam rumah yang terlampau rumit. Jari-jarinya dirapatkan menjadi 1 selagi ia memikirkan hal yang lebih penting; hakikat kehilangan. Katanya, kita takkan bisa memahami sesuatu, misalnya kesedihan dan duka, kecuali merasakannya sendiri. Tapi peristiwa paling traumatis yang pernah terjadi pada Mark hanya kematian neneknya saat ia masih terlalu kecil untuk mengingat.
Setelah itu, berturut-turut, kehilangan yang ia alami tak lebih dari benda-benda remeh yang penggantinya mudah di cari; pulpen, sisir, kaus tim sepak bola favoritnya.
Tidak pernah seorang teman一ini pengalaman baru baginya.
Terlebih 2 orang teman.
Siapa yang harus disalahkan di sini? Jisung? Jaemin? Atau dirinya yang mengirim mereka keluar tanpa persiapan yang memadai?
Setengah jam berlalu, tapi jawabannya tidak kunjung muncul. Mark memungut kerikil di kakinya dan melemparnya ke tong sampah. Persetan!
"Mark-hyung?" Suara berisik yang ia timbulkan rupanya mengundang Jeno, bukannya kawanan zombie.
Mark mendongak, tidak menawarkan penjelasan atas tindakannya.
Jeno duduk di sebelahnya. "Haechan masih ngamuk soal Grace. Dia nuntut pengen tahu semuanya, dan bilang mau cari Grace sendiri karena menurutnya orang lain nggak becus. Apa kita ikut nyari pakai kendaraan terpisah? Atau bujuk Haechan supaya mau 1 mobil?"
"Aku nggak tahu, Jeno."
Mengapa Jeno bertanya padanya? Mengapa orang lain mengandalkan dia di saat Mark kadang-kadang ingin balik bersandar dan mengistirahatkan pikirannya yang penuh beban? Pasti enak kalau begitu, tidak usah pusing memikirkan segala resiko dari perkataannya dan terbebas dari rasa bersalah.
Jeno, sosok yang Mark anggap paling stabil sekaligus dewasa di kelompoknya menghela napas. "Aku minta maaf tentang Jaemin, tapi aku yakin andai ada peluang sedikit aja dia bisa nolong Grace dan Renjun, dia pasti nggak akan kabur kayak pengecut. Jaemin itu banyak hal, tapi pengecut bukan salah satunya."
Mark masih tidak menoleh. "Aku nggak nyalahin Jaemin."
"Itu ... Bagus." Jeno sepertinya bingung harus berkata apa lagi.
Mark pun sadar, tidak seperti biasanya, dia bersikap dingin dan tidak semestinya pemimpin bertingkah seperti ini. Namun untuk sementara ia ingin melepas gelar itu dan sekedar menjadi ... Mark saja. Tidak kurang, tidak lebih. Dia tidak mau berkata, "Nggak apa-apa, nggak masalah." Karena ini bukannya tidak apa-apa dan jelas merupakan masalah.
Saat itu, Mark bukan pemimpin, dia tak lebih dari pemuda normal yang baru saja kehilangan gadis yang ia kenal selama 3 tahun.
Dan Renjun ... Mark belum lama berteman dengannya, tapi sejak awal, Renjun yang menghadapi konflik dengan berdiri di sisi netral, tak pernah protes ketika diberi tugas, dan tidak suka mengeluh, sudah membuat Mark menyukainya.
Sekarang mereka tidak ada.
Mungkin malah sudah mati.
Jangan kira Mark tidak tahu. Dia mendengar setiap kata keterangan Jaemin, secara lengkap tanpa ada yang terlewat, sebab Jaemin bicara dari ruang duduk, yang hanya dibatasi sebuah pintu dari lokasi Mark melamun. Bedanya, Haechan berkomentar, sedangkan Mark diam. Kemarahan Mark adalah jenis awan hitam yang datang menggandeng kebisuan, mencekam dalam keheningannya.
Seolah tahu sedang dipikirkan, Haechan berjalan keluar dari rumah membawa kunci mobil, melangkah tegap ke kendaraan itu.
Mark membuat keputusan cepat dan menyusulnya. "Aku ikut, Haechan."
Dia tidak mengatakan apapun pada Jeno, tidak pula menitipkan pesan. Karena untuk sekali ini, Mark ingin mereka mengurus diri mereka masing-masing.
Lee Haechan adalah pengemudi yang sembrono.
Tidak adanya polisi yang akan menilangnya memberi dia keleluasaan untuk melaju dengan kecepatan seperti pembalap yang memperebutkan gelar juara. 2 kali, dia menabrak zombie meski jalanan luas dan dia bisa menghindarinya. Tapi Mark tidak komplain. Dia tahu bagaimana rasanya begitu marah sampai kamu ingin melempar barang-barang untuk melampiaskannya.
Mereka tiba di apotek tak lama kemudian, mendapati tempat itu tidak hanya "kotor" seperti pengakuan Jaemin, tapi juga kacau balau. Pintunya pecah berantakan, dan mayat beberapa zombie bergelimpangan di tempat parkir yang penuh sampah.
Keduanya masuk, mengecek rute pelarian yang disinggung Jaemin.
Seraya menghadap matahari, Mark bergumam, "Zombie pasti dateng dari sana. Mereka panik. Mereka nutup pintu. Sayang, pintu ini一" Penilaiannya tertunda saat dia berjongkok memungut pecahan kaca yang berserakan di kakinya. "Nggak terlalu tebel. Dengan 30 zombie yang ngedobrak, paling lama mungkin bertahan 10 menit. Jadi Grace bikin variasi strategi di sekolah."
"Ini omong kosong." Haechan menolak mengakui bahwa itu satu-satunya cara. Sikapnya yang pantang menyerah terasa mengharukan sekaligus mengagumkan. "Renjun dan Jaemin bisa nembak mereka, kalaupun nggak semua, seenggaknya bunuh beberapa sampai dapet mobil baru. Tadi ada banyak mobil nganggur di jalanan. Jaraknya cuma sekitar 5 kilometer dari sini."
Bayangan Mark di cermin mengernyit. "Gampang diskusiin ini karena kita nggak ada di tempat kejadian. Lagian Jaemin dan Jisung udah nyari mereka. Dua-duanya udah berusaha tanggung jawab."
"Hasilnya mereka gagal." Pungkas Haechan sadis, tak memberi toleransi pada kesalahan sebesar ini. "Dan itu nggak ada gunanya. Semua gara-gara si Park Jisung."
Bukan 'maknae' lagi? Mark bertanya-tanya apakah perubahan panggilan itu pertanda buruk. Dia menggeleng. "Bahkan kalau Jisung sehat, Jaemin tetep bakal berangkat nyari obat buat Renjun."
"Aku nggak peduli sama Jaemin." Benda-benda kecil yang masih digenggam Haechan menandakan dengan spesifik siapa yang tepatnya ia pedulikan. "Harusnya aku nggak pernah nyaranin apotek sial ini ke Grace."
Jika sudah begini, tidak keliru bila Mark berpikir menyalahkan diri sendiri adalah sifat dasar yang dimiliki setiap laki-laki. "Ini bukan salah siapa-siapa. Bukan kamu. Bukan Jisung. Marah-marah nggak akan bikin Grace dan Renjun balik."
"Tapi rasanya enak." Haechan berjalan ke meja kasir dan dengan gerakan sambil lalu merobohkan komputernya. "Pernah mukul orang, Mark Lee?"
Mark, si anak baik yang waktu luangnya dihabiskan dengan membaca, tidak pernah sekalipun memikirkan kekerasan, selain di situasi genting yang mengancam jiwanya. "Buat apa aku ngelakuin itu?"
Seorang zombie mendengar suara-suara percakapan mereka dan memutuskan bergabung. Dia masuk melalui pintu di bagian belakang, langsung berhadapan dengan Haechan yang menendang perutnya ke dinding dan menikam dahinya sebelum Mark berancang-ancang membantu.
Zombie itu mati, tapi Haechan belum selesai dengannya. Dia terus-menerus menginjak kepalanya sampai otaknya berubah menjadi cairan menjijikkan menyerupai bubur yang hancur dan bau.
"Nah." Dia melanjutkan percakapan setelah puas. Cipratan darah menempel di dagunya. "Berarti kamu harus nyoba. Itu nggak akan ngubah keadaan tapi bisa bikin kamu lega. Ada beberapa orang yang kayaknya pengen di pukul, paham kan? Dan beberapa orang lagi harus dikasih pelajaran khusus."
"Pelajaran khusus?" Getaran tidak nyaman merambat seperti sulur anggur ke sekujur tubuh Mark.
Haechan membenarkan. "Ya, anggep aja itu les istimewa. Park Jisung dan Gucci boy, biar aku yang ngajarin mereka nanti, setuju?"
"Apa yang mau kamu lakuin, Haechan?"
"Oh, banyak hal." Haechan mengumumkan dengan keriangan yang mencurigakan. Tiba-tiba dia senang. Mendadak dia gembira. "Terutama cara supaya mereka berkembang. Aku bakal jadiin Park Jisung yang pertama. Besok."
"Haechan, jangan一" Mark mulai protes. Hari esok datang kurang dari 13 jam lagi, dan apapun rencana yang Haechan siapkan tampaknya bukanlah sesuatu yang baik. Namun kemudian dia berubah pikiran. Mark mengunci kembali mulutnya dan meninggalkan topik itu di apotek hingga mereka pergi dari sana.
Tidak ada pembahasan lebih jauh. Mark sedang memainkan permainan seru bernama penyangkalan yang melibatkan pura-pura tidak mendengar kalimat Haechan.
Hari itu mereka berkeliling ke daerah sekitar selama berjam-jam, mencari tanda-tanda kehidupan一dan kematian一baik dari Grace dan Renjun, tapi tak berbeda dengan Jaemin dan Jisung, keduanya juga tidak beruntung.
Hari itu, 2 dari 8 anggota kelompok Mark secara resmi dinyatakan hilang.
6 februari 2021, hari kedua Grace dan Renjun hilang.
Meski sudah berjuang meyakinkan dirinya sendiri bahwa Renjun punya kemampuan dan Grace punya otak yang pintar untuk bertahan, nyatanya, Haechan yang tidak tenang hanya bisa tertidur sebentar.
Kekhawatiran adalah siksaan berat bagi manusia, dan tidak banyak yang bisa lolos darinya. Saat kamu khawatir, kamu ibarat menggadaikan akal sehatmu, beserta siklus tidur dan terkadang nafsu makan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Untuk menebusnya, tak pelak lagi, Haechan harus mengurus beberapa hal jika tidak mau hal ini terus membuntutinya seperti bayangan.
Pagi-pagi sekali Haechan bangun. Dia mandi, berlama-lama di bawah pancuran meski itu membuat pipinya terasa perih. Sejak mendapatkan luka itu, Haechan memang tak melakukan tindakan apa-apa untuk membuatnya baikan. Dan sekarang di tengah berbagai masalah yang mendera nyaris tanpa jeda, goresan kecil di pipinya pun dikesampingkan.
Yang peduli justru Grace.
Dasar gadis bodoh. Bisa-bisanya dia memilih plester luka yang gambarnya kekanakan begini? Apa dia salah mengira usia Haechan 7 tahun alih-alih 17?
Haechan tetap memakainya, menempelkan benda seukuran setengah jari telunjuknya yang bermotif一astaga, Grace!一matahari tersenyum itu ke luka yang melintang di bawah matanya.
Matahari tersenyum. Konyol.
Selanjutnya dia berderap ke dapur, berniat mengawali hari dengan secangkir kopi. Tapi niat itu meredup saat ia mendapati sosok tinggi kurus duduk di salah satu kursi meja makan dengan pandangan menerawang.
"Nggak bisa tidur?" Sindir Haechan lantang. "Kata orang penyesalan emang bikin kita susah tidur."
Kehilangan orang yang kamu sayang itu memilukan, namun kehilangan mereka karena kesalahanmu ratusan kali lebih parah sensasinya. Park Jisung jadi tampak bagai cangkang kosong tanpa jiwa, dengan luka di sudut bibirnya一karya Haechan.
"Apa kamu mau terus-terusan kayak gitu?" Dirabanya bagian atas lemari es, mencari dan menemukan kunci mobil yang kemarin ia letakkan di situ. "Nggak ada salahnya berdoa, Park Jisung, tapi Tuhan nggak ngabulin semua doa karena Dia mau hambanya berusaha. Doa tanpa usaha itu sia-sia."
"Aku tahu." Bisikan bocah itu nyaris saja tidak terdengar. "Aku cuma nggak tahu harus apa."
Kepasrahan, terlebih pada kaum laki-laki, selalu membuat Haechan naik pitam. Orang-orang yang menyerah pada hidup tidak menggugah belas kasihannya, melainkan hanya membuat ia ingin menghajar mereka sampai sadar. "Jangan diem dan jadi patung一itu saran gratis dariku. Kalau kamu punya sedikit aja keberanian, kamu pasti bakal usaha lebih keras. Jangan lemah. Jangan jadi orang yang menyedihkan. Kamu harus berkembang, Park Jisung."
"Gimana caranya?" Mengatakan kalimatnya dengan nada putus asa, adik Grace itu menunduk seolah jawabannya tertulis di telapak tangannya.
Padahal bukan. Jawaban yang ia butuhkan, jalur menuju perubahan, sejatinya ada di genggaman Haechan. "Ikut aku." Haechan menggeram. "Bangun, berengsek."
Park Jisung benar-benar mengikutinya, persis seseorang yang tersesat dan melihat seberkas cahaya yang ia harap dapat menuntunnya dari kegelapan. Ia terlalu mudah percaya一kesalahan pertamanya.
"Tunggu." Haechan mengisyaratkan, mereka mampir ke kamarnya dan mengambil perbekalannya, ditambah satu benda yang baru ia persiapkan hari ini; tali darurat dari pakaiannya kemarin. Dia menunggu, namun si maknae tidak bertanya.
Oke, boy, itu kesalahan keduamu.
"Ayo." Keduanya berjalan melewati Mark Lee yang masih tidur di sofa macam gembel yang tersingkirkan. Dia tidak mendengkur lagi, dan saat Haechan mengamatinya, ia berani bersumpah memergoki kelopak mata Mark Lee bergetar.
Mungkin ini hanya imajinasinya一ilusi yang hadirnya terlalu nyata. Tapi jika benar, itu membuktikan kalau manusia yang terlihat bagai malaikat juga punya sisi gelap.
Tak ada yang mencegatnya sampai mereka sudah masuk ke mobil lalu duduk dengan nyaman di sana. "Kamu nggak bawa senjata?"
Park Jisung menyentuhkan gigi atasnya ke bibir bawah. "Apa harus? Aku udah ngasih pistolku ke Mark-hyung."
Sumpah serapah berhamburan dari bibir Haechan. "Kenapa kamu ngelakuin itu?" Dia melempar pisaunya. "Dasar bego. Ambil ini. Hari ini kita mau belajar beberapa hal."
"Belajar?" Ulang rekannya heran.
"Ya." Haechan menstarter mesin mobil seraya merinci rencananya. "Satu, jangan mikirin orang lain dan一diem!" Dia membentak begitu Park Jisung membuka mulut untuk membantah. "Pasang telingamu dan dengerin. Dua, jangan ngarepin orang lain buat nolong kamu, bahkan Grace walau dia kakakmu. Kamu harus mandiri, kamu harus bertindak. Teriak-teriak waktu ada zombie itu nggak keren. Sampai sini paham?"
Murid Haechan itu menelan ludah. Kegelisahan memancar dari setiap gerak-geriknya sejelas tinta hitam di kertas putih tanpa noda. "Apa pelajaran ketiganya?"
"Oh itu?" Haechan membelokkan mobil ke kanan. Ada setengah lusin zombie yang mengejar, tapi ia melesat terlalu cepat. Ini hukum alam sederhana; bila kamu bergerak, kamu tidak akan tertangkap. "Nanti. Kita cari hiburan dulu sebelum nyari Grace. Kamu pasti suka."
Haechan tidak mengatakan bahwa bocah itulah yang akan menjadi bintang utama hiburannya, buat apa merusak kejutannya? Haechan tersenyum一tampan, lihai dan berbahaya.
Satu, dua, tiga. Waktunya bermain sudah tiba.
[Siapa 1/3]
Mark dan Haechan, si good boy yang bijak sama si bad boy yang pinter omong. Lebih suka siapa hayoooo??? 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top