22. Kita Saling Bantu
Pagi itu adalah pagi yang cerah.
Temperaturnya hangat untuk ukuran bulan februari, dengan hembusan angin yang menyejukkan alih-alih membekukan. Hari yang cocok untuk berfotosintesis, ibu Renjun pasti akan berkata demikian. Tapi ah, Ma, ini bukan saat yang tepat untuk bersantai, terlebih meninggal. Ada nyawa yang harus dipertahankan dan untuk itu dia tidak bisa diam saja.
Tanpa merenungi lebih dalam tindakannya, Renjun melepaskan tembakan yang seketika memecahkan kaca belakang Hyundai. Kaca itu bukan tandingan pelurunya. Sinar mentari yang tak terlalu terik memudahkan Renjun untuk membidik, namun hidup kadang merupakan rangkaian kekecewaan.
Pengemudinya tidak terluka.
"Hei! Berhenti!" Renjun menembak lagi. Peluru keduanya mendarat beberapa senti dari mobil sebelum kendaraan itu berbelok ke kiri ... Mengenai seorang zombie yang menatapnya seolah ia rusa dan mereka adalah singa.
"Renjun!" Panggil Jaemin di belakangnya.
Zombie-zombie peninggalan pria berkemeja biru mengepungnya kian rapat dari segala sisi. Entah darimana pria itu mendapatkan teman-temannya yang tidak ramah ini, dia telah meninggalkan mereka untuk dihadapi kelompoknya. Tangan Renjun masih siaga. Dia berjalan mundur sambil memberondong mereka dengan tembakan. 3 kali lagi dan pelurunya pun habis.
Haechan sudah memberinya les tambahan cara mengisi ulang pistol, namun Renjun harus mengamankan diri lebih dulu, jadi ia masuk ke apotek. Jaemin, Grace dan Jisung segera menutup akses utama tempat itu usai pintu sukses menelan tubuh Renjun.
Tapi seolah puluhan zombie yang menyerbu masih kurang menantang, dunia sedang ingin bercanda dengan membuat pintu itu tidak bisa ditutup sepenuhnya.
"Bajingan itu kabur?" Jaemin mengerang muak, selagi mengerahkan tenaga maksimal membendung serangan zombie dari luar. "Berengsek."
Renjun yang tangannya gemetar mengisi kembali pistolnya. 1 magasin masuk, 1 lagi di saku. Gerakannya canggung. Dia memang tak seahli Haechan di bidang ini, namun bunyi memuaskan ketika ia mengokang senjatanya menandakan semua caranya sudah benar. "Jaemin, apa ada kunci pintu di meja kasir? Kalau pintunya bisa dikunci, itu bakal ngasih kita waktu beberapa detik, mungkin bahkan menit."
"Nggak ada kunci apapun, udah aku periksa."
"Kamu yakin?"
Dengan raut penuh penyesalan, Jaemin mengiyakan. "Kita bisa lari dari pintu kedua, mungkin ada mobil yang bisa kita pakai."
"Beresiko," sanggah Jisung. "Mereka pasti ngejar kita, dan di luar sana pasti ada zombie lain."
Jaemin mengganti taktik. Matanya bergerak-gerak gelisah dari 1 titik ke titik yang lain, menelaah dan mencari solusi di situasi sulit ini. "Gimana kalau kita geser rak-rak itu? Jisung, pindah ke sini, biar aku dan Renjun yang kerja一"
"Nggak akan sempet." Grace mematahkan harapan Jaemin dengan ucapannya. "Rak itu terlalu berat dan kaca ini terlalu rapuh. Kita butuh solusi lain."
"Oke, duo genius, berarti pilihan terakhir kita tembak mereka? Aku bawa semua一"
Kedua kalinya, perkataan Jaemin terpotong, bukan disebabkan Grace melainkan retakan yang dibuat para zombie dengan hantaman kepala mereka. Kedengarannya seperti palu yang memukul-mukul kayu. Kedengarannya seperti sebuah akhir yang tak terhentikan.
Bintang dengan sudut tidak beraturan terbentuk di bagian tengah kaca itu saat dorongan mereka semakin menggebu-gebu, haus darah dan maut. Kaki Jaemin sempat terdorong ke depan dan ia hampir saja jatuh. Celah sepanjang separuh siku pemuda itu terbuka, digunakan zombie untuk menyelipkan tangan mereka ke dalam.
Dominasi kekuasaan dengan cepat berpindah pada mereka.
Kini, level bahayanya naik dan satu-satunya hal yang harus mereka lakukan adalah menghadapi. Renjun menyiapkan pistolnya, memastikan ulang semua pengaman sudah terlepas. "Ayo, Jaemin. Grace kamu bawa pisau kan? Kamu bisa bantu, dan Jisung, sembunyi di belakang."
"Tunggu." Wajah Grace menunjukkan penentangan akan ide yang ia cetuskan. "Mereka banyak, Renjun, dan mereka nggak akan nyerang kita 1 lawan 1. Seandainya suara tembakan kalian malah ngundang lebih banyak zombie, kalian mau apa?"
Sisi negatif pistol tanpa peredam, suaranya memang sangat mengundang perhatian. Benda itu tidak dirancang untuk beraksi dalam senyap, keheningan bukan kawannya. Renjun sudah memperhitungkan itu, meski tak pernah memasukkan pisau dalam skema rencana. "Kita nggak bisa ngelawan mereka cuma berbekal pisau, Grace."
"Nggak, nggak bisa." Grace setuju. Bila di mata Jaemin ada secercah kepanikan, di mata gadis ini justru ada kilatan khas seorang pemecah masalah. "Tapi aku punya rencana yang mungkin bisa berhasil."
"Apa itu?" Lagi-lagi dia dan Jaemin kompak mengajukan pertanyaan yang serupa.
"Kalian bertiga sembunyi di meja kasir, biar aku yang kali ini jadi umpan."
Tiba-tiba setelah kalimat itu meluncur dari mulutnya, dia tidak lagi terlihat bagai dewi dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, melainkan sosok dungu yang gegabah dan tidak berpikir jernih.
Renjun mengangkat pistolnya sebagai tanda penolakan. "Grace, kamu gila. Rencana itu gila. Aku lebih suka nembak mereka, daripada ngebiarin cewek berkorban demi aku. Jangan tersinggung, ini nggak ada kaitannya sama seksisme."
"Tapi, Renjun." Rasa frustrasi merambat di suara Grace. "Ini nggak segila yang kamu kira. Ada sepeda di luar. Aku bisa pakai sepeda itu buat kabur terus balik ke rumah, sedangkan kalian lari dari pintu depan. Itu nggak buruk kan? Aku juga tahu jalannya!"
"Nggak aman," sahut Jaemin, mengucapkan kata yang menggambarkan keseluruhan situasi mereka sejak pergi dari sekolah. "Itu bikin kamu rentan."
"Dan aku nggak setuju sama ide itu." Jisung seperti bukan Jisung ketika dia tak sepasif biasanya dan mengeluarkan emosi lain yang Renjun pikir tidak dia miliki; kemarahan. "Apa-apaan, Noona? Rencana itu nggak bisa diterapin lagi karena kita nggak punya kendaraan. Jalan-jalan sama sepeda bukan solusi, itu bunuh diri! Aku nggak ngerti kenapa Noona dan Haechan-hyung, sama-sama bosen hidup dan pengen cepet mati!"
Mereka, termasuk Grace, terperangah, tidak menyangka Jisung yang pendiam bisa merangkai kalimat sepanjang itu.
Grace sampai tergagap meresponnya. "Jisung, denger一"
"Aku nggak mau denger apa-apa." Gen keras kepala turut mengalir dalam nadi bocah Park itu. "Dan walaupun aku nggak suka ide pertama Jaemin-hyung, ide itu yang paling layak kita coba. Aku lihat di jalan tadi ada banyak mobil yang bisa kita manfaatin."
"Kamu yang bilang sendiri itu beresiko." Grace mengingatkannya dengan lembut. "Kalau nggak keburu dapet mobil dan kita ketemu gerombolan zombie lain, kita bakal terjebak di tengah-tengah mereka."
"Apa dengan naik sepeda ngejamin kita aman?"
"Temen-temen." Renjun berdeham kikuk. "Aku nggak bermaksud ngerusak moment persaudaraan kalian yang romantis, tapi bisa dipersingkat aja perdebatannya?"
Suara gigi dan gigi yang saling beradu timbul saat Grace merapatkan bibirnya. "Perdebatan selesai. Kalian bertiga cepet sembunyi, duduk yang tenang. Zombie tertarik sama gerakan, jadi mereka pasti ngejar aku kalau aku lari."
Semudah sungai berarus deras yang menghanyutkan sehelai daun kering, ketenangan Jisung pun buyar. "Jangan, Noona." Dia mencengkeram lengan Grace, berusaha bertahan dari aliran sungai itu yang mengancam hendak membawa pergi kakaknya. "Kalau Noona mau ngelakuin ini, ayo kita lakuin berdua. Ada hal-hal yang nggak bisa dikerjain sendirian."
Mustahil tidak terpengaruh luapan kasih sayang sebesar itu. Ini tidak hanya omong kosong tanpa makna, sebab Jisung tidak segan membuktikannya. Renjun ragu pada Grace一sulit menebak pemikirannya一tapi ia sangat yakin Jisung menyayangi gadis itu. Ini adalah caranya untuk berkata, jika kamu meninggal, aku tidak akan berada di dunia ini terlalu lama untuk merasa kehilangan.
Maka Renjun tak terkejut saat memergoki mata Grace berkaca-kaca. "Kamu lihat sendiri sepedanya buat 1 orang."
"Kamu serius, Grace?" Renjun memastikan, berharap dia bersedia berubah pikiran. "Apa menurutmu nggak ada cara lain?"
Jaemin menegakkan tubuhnya dengan bahu yang tampak kaku. "Biar aku yang nemenin Grace. Renjun sakit, dia aja yang sembunyi bareng Jisung."
"Nggak boleh!" Gagasan Jaemin agaknya tak pernah disambut positif oleh Grace. "Justru karena itu aku butuh kamu, Jaemin. Aku mau kamu bawa Jisung ke tempat yang aman karena kamu satu-satunya yang bisa nyetir."
Secara tak langsung diremehkan, Renjun mendengus, sesaaat lupa pada gentingnya posisi mereka. "Grace, aku bisa dan lancar nyetir motor一"
Grace menyuruhnya diam dengan lambaian tangan. "Ini." Dia meraih 2 buah benda dari sakunya dan memindahkannya ke telapak tangan Jaemin. "Kasih ini ke Haechan. Buat luka di pipinya. Tolong jaga Jisung. Tolong bantu dia supaya tetep hidup. Kamu harus janji, Jaemin. Laki-laki sejati selalu nepatin janjinya kan?"
Tatapan Jaemin nanar. "Nggak sekedar janji, kamu punya sumpahku, Grace."
"Berarti jelas." Renjun mengambil peran yang pemuda itu tinggalkan. "Aku umpan nomor 2."
Semua orang tidak memprotes.
Semua, kecuali Jisung yang tak bisa menerima pembagian tugas itu. "Berhenti ngomongin aku seolah aku barang, Noona. Oper aku ke sana, oper aku ke situ. Aku manusia, dan pendapatku juga penting. Kapan Noona mau dengerin aku?"
Grace membungkamnya dengan cara yang paling menghancurkan hati, bukan hardikan terlebih tindakan kekerasan lainnya, namun sesuatu yang sederhana sekaligus berarti; Grace memeluknya. "Kamu selalu penting, itu sebabnya kamu mesti selamat. Sana, ikut Jaemin. Buka freezer di rumah, ada hadiah kecil buat kamu, di belakang botol air." Suaranya bergetar. "Selamat ulang tahun yang ke-15, Park Jisung."
Amarah Jisung seketika berubah menjadi tangis. "Noona..."
"Bawa dia, Jaemin."
"Ayo, Jisung." Jaemin awalnya berupaya menggamit lengan Jisung dengan halus, namun saat Jisung bersikeras diam di tempatnya, dia beralih menarik lebih kencang. Memaksa dan tak menyerah, dia tidak mengendurkan pegangannya terlepas dari Jisung yang terus memberontak. Tinggi badan yang unggul ia gunakan untuk menyeret anak itu, tidak berhenti hingga mereka membungkuk di meja kasir dan ujung kepala mereka tak terlihat.
Renjun lantas menoleh pada Grace. Usai ditinggalkan keduanya, menahan pintu jadi tugas yang lebih berat. "Aku nggak kuat lagi, Grace. Kamu siap lari?"
Grace menghirup napas dalam-dalam. "Ya. Ayo kita lomba sama orang-orang jorok ini."
Cengiran Renjun terbit, lebih indah dari kemilau seluruh bintang-bintang yang digabungkan. "Di hitungan ketiga, ya? Satu, dua, tiga!"
Ketika mereka sepakat berlari, kaca pintu masuk pun pecah berkeping-keping.
Para zombie menyerbu masuk, sebagian terjatuh menimpa pecahan beling yang tersebar tak merata di sepanjang lantai, yang lain menginjak-injak tubuh rekannya agar bisa lewat. Mangsa yang bergerak, apa lagi 2 orang, membangkitkan semangat mereka dan mereka mengejar dengan ketekunan yang mematikan.
Hal terakhir yang Renjun saksikan sebelum ia membuka pintu belakang apotek adalah Jaemin yang berjongkok sambil menutup mulut Jisung.
Setelah itu hanya ada dirinya, Grace, zombie, dan lingkungan asing yang dipenuhi teror tanpa akhir.
Berlari dalam keadaan tidak fit terbukti tidak efektif.
Dalam beberapa menit saja, napas Renjun sudah tersengal-sengal dan kakinya nyeri minta ampun. Padahal normalnya, dia kuat mengelilingi sekolah 2 kali di pelajaran olahraga. Orang yang tidak mengenalnya cenderung menyepelekan Renjun karena perawakannya kecil, kadang bercanda ia akan terbang terbawa angin. Saat itulah Renjun suka mengejutkan mereka.
Hari ini ia tidak ingin memberi kejutan pada siapapun, Renjun hanya ingin tidur.
"Kamu punya tempat yang bisa kita tuju, Grace?"
Grace yang sepertinya juga payah perihal berlari menggeleng. "Nggak tahu!"
"Jadi kita harus terus lari dan berharap mereka ketinggalan?"
"Maaf, Renjun." Jawaban gadis itu terdengar lesu. "Rencanaku cuma sampek sini."
Mereka, lebih dari 30 zombie di belakang, sayangnya tidak mengalami masalah stamina yang sama. Zombie-zombie terus berjalan, lambat tapi konstan sedangkan Renjun dan Grace kecepatannya semakin berkurang. 2 manusia itu belum makan sementara para zombie menunggu makanan mereka lelah dan berhenti. Dilihat dari kondisi Grace, kelihatannya itu tak lama lagi.
Renjun jadi cemas. "Kamu nggak apa-apa?"
Grace menekankan tangan ke posisi di mana lambungnya berada. "Nggak jago olahraga, selain itu一lihat!" Dia mendadak berseru gembira. "Ada motor!"
Aha! Bukti kebaikan Tuhan tersaji di hadapan mereka. Sebuah motor terparkir kokoh di halaman minimarket yang jaraknya tak lebih dari beberapa jengkal. Kuncinya tergantung manis di tempatnya, layaknya undangan terbuka. Renjun dan Grace berbagi senyum, lantas memacu langkah seakan sudah disuntik energi tambahan.
Pertama-tama Renjun menguji mesinnya, tak ingin kejadian dengan Hyundai terulang. Untungnya tak ada yang salah dengan mesin motor itu, jadi Renjun buru-buru naik disusul Grace yang memilih memegang bahu, bukannya perutnya一tipe gadis pemalu. "Jalan, Renjun!"
Tanpa diminta 2 kali, Renjun memulai dengan kecepatan tinggi, mengarahkan motornya melesat meninggalkan kumpulan zombie yang gagal sarapan gratis. Mereka hanya dapat mencicipi asap knalpot saat si pejuang dan si petarung berlalu secepat angin yang melecut-lecut.
"Mereka udah jauh kan?"
Grace melepaskan tangannya dari bahu Renjun. "Ya, syukur deh."
Keduanya terdiam sejenak mengatur napas. Letih dan lapar menghapus minat untuk bicara, sebelum Renjun sadar masih ada topik yang perlu didiskusikan. "Kita mau ke mana?"
"Hmm ... Ke Uinam?"
Si pemuda China mengakui, "Aku nggak tahu rutenya."
"Aku juga."
Kerutan terbentuk di dahi Renjun. "Tapi kamu bilang一"
Grace menggaruk sisi samping dagunya. "Yah, soal itu, aku bohong biar Jisung nggak khawatir."
Tertawa mungkin bukanlah reaksi yang tepat di situasi ini, namun itulah yang Renjun lakukan sambil berpaling pada penumpangnya. "Dasar kamu一"
"Renjun, awas!"
Motor berbelok tajam menghindari seorang zombie yang berdiri di tengah jalan. Bannya yang sudah tua selip, ketika sang pengemudi tak mampu mengendalikannya. Kemiringan yang curam akhirnya menjatuhkan mereka ibarat batu yang terlempar dari ketapel.
Kepala Grace terbentur aspal dengan keras dan ia langsung tak sadarkan diri.
Jan bayangin zombie di sini macem TTB / World War Z, soalnya gua jadiin zombienya lebih mirip di The Walking Dead yang lemot tapi bahaya pas udah gerombolan wkwkwk kasian tokoh2nya ntar kalo dibikin ganas 🤧
[+ Kenapa kagak pakek mobil Jeep di parkiran? 1, gua kagak pernah ngasih deskripsi mobil itu ada kuncinya. 2, mereka ceritanya masih SMA yang kagak tahu caranya ngebobol mobil dan semacamnya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top