16. Kita Beradaptasi II
Hanya dengan melihat saja, Mark bisa merasakan kegugupan mereka.
Terdapat jurang yang lebar antara pisau dan pistol. Kalau memakai pisau dan kalau kamu mengeluarkan cukup tenaga, kamu bisa saja menebas kaki atau leher seseorang. Dampak yang dihasilkan terkadang memang fatal, tapi jarak jauh menjadi kelemahannya.
Di sisi lain, pistol adalah senjata yang berbeda, diciptakan untuk 1 tujuan, yakni melumpuhkan一sementara atau selamanya tergantung pemakainya一dan jangkauannya lebih luas. Pistol ratusan kali lebih berbahaya dari gunting yang selama ini mereka gunakan. Memilikinya merupakan tanggung jawab yang besar, tidak boleh sembarangan.
Namun tanpa keahlian yang mumpuni, di tangan seorang pengguna amatir, senjata sekelas pistol hanya akan sebatas jadi mainan bayi.
Jaemin mengokang senjatanya. Bila dibandingkan dengan Haechan, gerakannya terlalu kaku dan lambat, mencerminkan identitas aslinya sebagai pemula. Zombie masih berjarak 10 meter jauhnya, tapi dia sudah membuka sebagian kaca jendela mobil dan bersiap dalam posisi menembak. "Oke, Renjun. Aku ambil一"
Haechan menampar tangannya dan mendelik. "Dasar korban film! Kamu kira suara pistol itu kayak suara kentut? Keluar kecuali kamu mau bikin semua orang di mobil ini tuli!"
"Kenapa nggak bilang daritadi?!" Percikan-percikan keakraban di antara mereka pun musnah一lebih cepat dari kertas melalap api.
Jaemin tak seperti Renjun yang tidak perlu diperintah. Renjun, yang cengirannya tak terhapus, sudah turun lebih dulu. Dia mengincar zombie yang paling tinggi, menantang dirinya sendiri. Dengan menstabilkan napas untuk persiapan, dia membidik usai menyipitkan sebelah matanya, lalu dalam hitungan ke-3, tanpa ragu dia menembak.
Suara yang ditimbulkan pistol kecil itu lebih keras dari dugaan Mark. Ini tidak seperti dor! biasa, tapi DOR!!! sangat kencang yang memekakkan telinga. Film-film dimana sang jagoan membunuh musuh dengan bunyi mirip petasan rupanya tidak benar. Belum lagi hentakan yang dihasilkannya. Bahu Renjun terguncang saat peluru terlontar keluar, yang membuatnya menggeser tangan di detik terakhir hingga peluru itu melayang ke atas.
"Namanya recoil." Haechan memberitahu, tidak hanya pada Renjun, namun juga 6 orang lain yang terheran-heran. "Tolak balik waktu pistol atau meriam ditembakin. Penembak yang baru belajar bisa aja jatuh mundur kalau nggak kuat nahan. Renjun, pasang kuda-kuda yang bener."
"Beda sama film, ya?" Grace bergumam. Semakin kagum dirinya, semakin banyak dia bicara dari yang normalnya ia lakukan. "Nggak segampang yang ditunjukin orang-orang Amerika."
"Film-film yankee emang banyak yang nggak ngikutin kenyataan," balas Haechan, tidak dengan nada ketus, tapi senyum tipis yang nyaris tak kentara.
Sinyal diterima dengan baik. Renjun mengikuti instruksi Haechan sesempurna mungkin, mulai dari membuka kaki selebar bahu, agak menekuk lutut. Menembak tak sekedar tentang punya pistol dan mengaitkan jari telunjuk ke pelatuk, tapi juga perihal sikap tubuh yang bagus. Haechan bilang harus tenang, kendurkan otot-ototmu, stabilkan napas lalu fokus, fokus dan fokus.
Setelah semua ini dilakukan, Renjun mengulangi latihannya. Zombie incarannya kini telah melintasi separuh jalan, bergerak seperti orang mabuk dengan tangan terentang hendak mencakar. Sekali lagi letusan pistol terdengar, yang berakibat pada zombie itu jatuh berlutut dengan lubang yang tembus ke bagian belakang kepalanya.
"Yeah!" Saking senangnya, Renjun sampai-sampai mengepalkan tangan ke udara dan menyerukan beberapa patah kata dalam bahasa tempat ia berasal.
Percobaan pertama Jaemin juga tidak berjalan lancar.
Peluru Jaemin melenceng ke kanan, mengenai sebuah pot tanaman yang mengirimkan hujan tanah kemana-mana. Efek recoil-nya terlalu dahsyat, dia tidak bisa menyesuaikan tembakan ke targetnya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Haechan untuk mengejeknya habis-habisan. Haechan turun dari mobil, mulai mencerocos panjang lebar bahkan sebelum kakinya memijak aspal. "Hei, apa kamu ini mau sok jadi mafia? Ngapain miringin tangan? Dasar payah一" Ocehannya semakin bervariasi saja, dan jadi lebih parah sebab Jaemin enggan mengalah meski pada instrukturnya.
Mark menggeleng-geleng mengamati keduanya. "Sebenernya mereka kenapa? Awalnya aku kira mereka berantem karena semua orang tegang, tapi sekarang aku curiga bukan itu alasannya."
"Oh, bukan." Jeno menyetujui. "Mereka selalu kayak gitu di kelas. Daridulu udah nggak cocok. Singkatnya Jaemin nganggep Haechan bajingan banyak omong, dan Haechan nilai Jaemin itu keparat sok baik. Mereka terlalu berseberangan."
"Jadi Grace dan Jinho versi kelas lain?" Mark seketika menyesal sudah mengatakannya tanpa berpikir. Itu semata-mata refleks, dia tidak bermaksud merusak suasana yang sudah tidak kondusif ini.
Namun saat dia berpaling untuk mengecek reaksi Grace, Mark mendapati gadis itu tersenyum ke arah Haechan dengan cara yang sangat jarang ia tujukan pada orang lain, terlebih orang asing. Grace seakan ... Mencair. Tidak bersikap sekeras biasanya menyangkut orang dengan kepribadian yang mirip dengannya.
Tapi ... Kenapa Mark merasa terganggu?
Bukankah bagus kalau Grace dan Haechan berteman? Grace sering sendirian. Grace banyak menghabiskan waktu tanpa teman. Merupakan perubahan yang positif jika sekarang dia mau memperbaiki sifatnya yang terlampau individualis, dan melepas topeng sok tegar seolah ia tak pernah membutuhkan bantuan.
Itu bagus, iya kan?
Perasaan ini, yang bercokol di hatinya seperti paus di darat yang tidak pada tempatnya, barangkali adalah rasa tidak nyaman yang tumbuh karena ia 3 tahun mengenal Grace dan tiba-tiba gadis itu lebih dekat dengan pemuda lain.
Sangat tidak masuk akal.
Sementara itu, Jaemin dan percobaan keduanya masih tidak menemui sasaran. Zombie Jaemin sudah berjarak semeter, bahunya terluka, tapi langkahnya belum terhentikan. Jaemin tak memperoleh 1 angka pun, malah mendapat poin minus karena bunyi pistolnya mengundang lebih banyak zombie dari segala penjuru.
"Masuk." Ajak Mark ke mereka. "Waktunya pergi dari sini."
Haechan memberinya gestur tangan agar ia menunggu. "Coba lagi. Kalau ini juga gagal, artinya kamu nggak pantes pegang pistol."
Jaemin melempari teman sekelasnya itu dengan tatapan membunuh, walau jelas-jelas tidak mempan. Haechan sepertinya kebal dengan macam-macam bentuk intimidasi, hingga akhirnya Jaemin memilih memusatkan seluruh perhatiannya pada zombienya. Moncong G43-nya menghadap tepat pada dahi si mayat hidup saat dia membuang peluru ke-3 kalinya dan ... Ya!
Mark memuji Jaemin dengan tepuk tangan. Zombie itu sukses jatuh di atas genangan darahnya sendiri. "Bagus, bagus. Kamu cuma perlu latihan, Jaemin."
Hal itu tidak serta-merta memuaskan jiwa pengkritik dalam diri Haechan. "Ya, banyak latihan tepatnya. Dia baru bisa kena si zombie di jarak 10 langkah? Astaga, latihan aja pakai pistol air anak-anak."
Lebih lama bersama Haechan Mark jamin akan membuat Jaemin terhindar dari darah rendah, mengingat Haechan punya berbagai cara untuk memancing emosinya. Haechan ibarat banjir, dan tembok kesabaran Jaemin terlalu rapuh untuk membendungnya. "Kamu sombong. Kamu selalu sombong. Di masa depan, barangkali kamu bakal butuh bantuan dari si penembak payah ini. Bisa aja kan, Haechan? Semuanya mungkin terjadi."
Tak gentar menyambut tantangan di matanya, Haechan tertawa. "Ingetin aku buat bilang makasih kalau itu beneran terjadi一entah kapan dan di mimpi siapa."
Chenle yang lagi-lagi harus menjadi saksi pertengkaran mereka menelungkupkan kepalanya di sandaran kursi Grace. "Belum selesai juga?"
"Suruh mereka tutup mulut, Jeno." Itu Renjun, yang membelai-belai pistolnya dengan sayang, seperti seseorang yang menimang perhiasan atau harta berharga mereka. "Kalau aku yang nyuruh hasilnya nggak manjur."
"Sayang banget aku buang-buang napas buat mereka." Jeno yang suasana hatinya membaik tidak menanggapi dengan serius. Dia sudah kembali jadi dirinya yang ceria dan santai, terlepas dari situasinya saat ini. "Omong-omong, kita mau ke mana?"
Ketika pertanyaan itu secara eksklusif ditujukan pada Mark, dia justru menoleh ke luar jendela, membiarkan angin sedingin es menerpa kulitnya yang melekat dengan pakaiannya yang basah. "Kita cari salah 1 rumah yang kosong di deket sini."
Keterkejutan melintas di wajah Jisung. "Maksudnya kita ngejarah?"
Ah, perbedaan standar moral antara pemuda 18 dan 15 tahun. Mark tersenyum menanggapi kepolosannya. "Kita butuh baju yang kering, Jisung. Dan obat. Dan makanan. Tapi aku nggak ngelihat ada toko yang buka, jadi ya, kita ngejarah karena terpaksa. Kamu bisa pura-pura kita minjem kalau mau."
Jisung tidak mengatakan apapun, hanya memandang kakaknya yang mengenakan seragam tipis dan pendek. Seragam olahraga sekolah mereka dirancang untuk menyerap keringat, bukan air hujan. Pundaknya pun merosot lesu. "Oke..."
"Abis itu kita susun rencana selanjutnya," sambung Mark, tidak memasukkan dalam hati semangat anak muda yang terlalu baik. "Mungkin ada petunjuk tentang tempat pengungsian atau semacamnya."
"Aku pikir..." Ini pertama kalinya Mark melihat Haechan ragu-ragu. "Gimana kalau kita ke Jeju?"
"Jeju?"
"Itu tempat kelahiranku. Aku mantau kondisi Jeju sejak awal pandemi karena keluargaku selalu liburan ke sana. Angka orang yang terinfeksi di Jeju rendah, dan barangkali, distribusi vaksin ke situ nggak banyak. Bukan mustahil Jeju bisa一"
"一bertahan." Mark menyelesaikan dengan mengutip kalimat Jisung. "Apa kamu tahu cara ke tempat itu tanpa ngelewatin jalan-jalan besar?"
Bahu Haechan terangkat. "Aku hafal rutenya, nggak masalah gambar petanya."
Dengan itu, Renjun mengeluarkan bukunya yang terbilang selamat dari serangan air hujan dan memberi Haechan sebuah pensil. "Aku oke aja soal usulan ke Jeju ini. Selain karena aku nggak pernah ke pulau itu, lokasinya kan nggak seberapa jauh."
Kepala-kepala lain mengangguk sepakat sebagai ungkapan suara mereka. Renjun menambahkan, "Kita bisa nyampek ke pelabuhan malem ini asal kita buru-buru."
"Jangan malem." Mark berkata otomatis. Berkendara dikala siang saja sudah cukup menantang adrenalin. Menyusuri jalan di malam hari sama saja dengan meniti jembatan tanpa pembatas dengan mata tertutup kain hitam. "Jeno cidera, dan kita capek. Perlu istirahat. Mending besok."
Gumaman setuju memenuhi mobil itu, membuat bising yang tadinya hening, membuat ramai yang sempat sepi. Sang pemimpin mengintip pantulan dirinya melalui kaca spion. Dengan muram Mark mengusap bercak darah di pipi yang seolah melipatgandakan freckles-nya. Ia tebak itu merupakan peninggalan zombie yang ditembak Haechan.
Bukan kenang-kenangan yang bagus.
"Jeju ya..." Pulau yang bertetangga dengan Seoul itu terkenal akan panorama alamnya yang indah dan hasil lautnya yang melimpah. 2 kali, Mark pernah berkunjung bersama orang tuanya, memancing dan menyelam, lalu memasak hasil tangkapan mereka.
Jeju, pulau yang telah melahirkan Lee Haechan, apakah tempat itu aman dan dapat menjadi zona perlindungan?
Seperti hal lainnya di dunia ini, Mark takkan tahu sebelum mencoba dengan berani.
Maka ia tersenyum, sambil menatap 1 per 1 anggota timnya yang tidak sempurna namun seiring waktu ia harap bisa jadi kompak. "Ya, kita bakal nyoba ke Jeju."
Tatapannya berhenti paling lama pada Jisung, sambil bertanya-tanya dalam benak berapa lama adik Grace yang berkebalikan dengannya itu sanggup mempertahankan idealismenya?
Hyundai berhenti di sebuah daerah yang sunyi di Uinam.
Jeno duduk di kap mobil dengan kaki diluruskan dan mengerang saat mencoba memutar bahunya. Bahu itu berderak layaknya mesin yang aus saat ia memaksakan diri, dan ketika seragamnya dibuka, tampak memar parah yang menyebar sampai ke lengannya.
"Dislokasi?"
Jeno menggigit bibir bawahnya. "Nggak tahu pasti, tapi kayaknya nggak separah itu karena tempat jatuhku nggak seberapa tinggi. Maaf, Mark-hyung."
Mark yang berjaga dengannya mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mewaspadai bahaya. "Buat apa?"
"Aku nggak bisa ngerjain tugasku dengan baik. Padahal itu tugas yang gampang."
"Yang penting kamu selamat." Setahu Mark, Jeno bukanlah perfeksionis. Tapi setiap orang punya sisi negatif dan sisi negatif Jeno adalah dia sulit memaafkan dirinya sendiri. Tidak bila dia melakukan kesalahan yang menurutnya bisa ia cegah. "Jangan ngerasa bersalah. Belum tentu ada yang bisa ngelakuin tugas itu selain kamu."
Perkataannya berhasil menorehkan senyum kecil di wajah Jeno. "Ini alasannya kenapa cuma ada 1 orang yang cocok jadi leader."
"Karena aku muji kamu?"
"Karena kamu tahu apa yang dibutuhin anggotamu. Di lab waktu itu, semua orang pasti putus asa andai kamu nggak ngasih semangat."
Mark tergelak. "Aku berusaha semampuku."
Tak lama, Grace, Haechan dan Jisung kembali dari tugas mereka dengan laporan pendek tapi membahagiakan. "Sisi itu bersih."
Kelompok Renjun, Jaemin dan Chenle, menyusul semenit kemudian, membawa kabar yang serupa. Mark meminta mereka masuk lagi ke mobil. "Kita cari rumah yang kelihatannya paling aman."
Ban-ban mobil pun kembali bergulir, selagi pengendaranya memasang mata berburu rumah yang akan mereka jadikan tempat bermalam. Grace menyarankan mereka menginap di rumah yang memiliki pagar, sebab meski tidak sepenuhnya melindungi, itu akan memperlambat para zombie andai makhluk-makhluk itu mendatangi mereka saat tidur. Jadi, Jaemin mengerem di rumah pertama yang berhias pagar.
Haechan dan 2 orang lain yang mengantongi pistol memeriksa rumah itu lebih dulu, tapi Haechan-lah yang memberi tanda 'ok' dan menyuruh 5 orang yang masih berada di mobil untuk masuk.
Belum apa-apa, Jaemin sudah memprotes. "Kita belum meriksa lantai 2, Haechan."
"Nggak ada suara sama sekali." Haechan membela diri. "Kalau ada zombie di atas, bukannya mereka harusnya udah turun?"
Kata-kata Haechan separuh benar dan separuh salah. Di rumah itu memang tak ada zombie, namun bukan berarti kosong. Ada hal lain yang harus mereka cemaskan saat bunyi langkah-langkah kaki muncul dari tangga, dan sesosok tubuh melongok dari puncaknya.
Seorang pria bermata cekung mengerjap, lantas perlahan-lahan tersenyum. "Hei, keluar." Pria itu berujar pada seseorang ... Atau banyak orang di belakangnya. "Mereka cuma anak-anak. Mainan baru."
Ini 2 versi Jaemin pas nyetir mobil :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top