11. Kita Berjuang I
Lee Haechan tak pernah membayangkan kehidupan seperti ini.
Sejak kecil, Haechan suka bermain di jalanan, bukan karena ia tak punya tempat tinggal atau diabaikan orang tuanya, tapi karena dia suka berpetualang. Haechan berjiwa bebas; terlalu buas untuk dikurung, terlalu liar untuk dikendalikan.
Percaya atau tidak, ada banyak tempat-tempat yang rusak di kota ini, terlepas dari apa yang diagung-agungkan oleh pemandu wisata yang bersemangat.
Kamu hanya perlu mencarinya di tempat yang tepat. Menyusuri jalan ini dan itu, mampir ke gang tikus. Kalau kebetulan menyaksikan seseorang merampas dompet orang lain lewati saja. Kalau ada gedung yang katanya "angker", jangan mudah percaya. Itu mungkin hanya tempat para pecandu dengan mata merah dan tubuh kurus tak terurus menyuntik diri mereka sendiri, atau teler karena ganja dan meth.
Mau nyoba, Nak?
Nggak. Haechan biasanya menggeleng, lalu pergi menjelajahi bagian lain kota yang tak diperhatikan pejabat pemerintah. Sesekali terjadi aksi mengemudi di bawah pengaruh alkohol一oleh orang bodoh yang mengira dirinya pemain fast & furious. Di hari lain, ada pencurian yang menjaga polisi tetap sibuk.
Semua itu bukan lagi pemandangan asing di mata Haechan.
Akan lebih mudah kalau kejahatan-kejahatan semacam itulah yang terjadi. Itu sih, sudah biasa! Tapi dia justru terjebak di tengah-tengah bencana zombie.
Dan apa yang dia miliki di sini?
Hanya kumpulan orang aneh dilengkapi pemimpin yang terlalu mendengarkan kata hatinya alih-alih logika. Dasar virus sialan. Dasar sekolah terkutuk. Kalau bukan karena peristiwa itu, Haechan takkan perlu pindah ke lubang neraka ini. Cukup sudah. Sehari semalam bersama para badut itu telah membuat Haechan muak.
Tunggu saja. Begitu ada kesempatan, dia pasti akan melarikan diri tanpa berpikir 2 kali. Orang tuanya menunggu. 2 adiknya juga.
Tapi pertama-tama dia harus melakukan bagiannya. Bersama gadis bernama Grace Moon itu.
Grace yang aneh. Grace yang pendiam. Sejujurnya dia bukanlah orang yang akan Haechan pilih untuk menemaninya. Tapi kalau dipikir-pikir, yang lainnya lebih parah dari dia. Jadi ini seperti memilih yang terbaik di antara yang terburuk. Paling tidak, gadis itu tak banyak bicara.
"Haechan." Mark Lee menyelipkan salah satu gunting lab ke sakunya, meski ia sudah membawa gunting yang lebih besar. "Buat jaga-jaga. Denger, Haechan, tolong kerja sama. Jangan anggep ini tugas individu. Grace bagus, sisi negatifnya, dia kadang nggak mau bilang kalau butuh bantuan."
"Dia nggak kelihatan kayak orang yang butuh bantuan." Bila keluar dari mulut Haechan, kalimat tersebut bisa digolongkan pujian. Dan itu benar. Di mata Haechan, dia cukup dapat diandalkan.
"Tetep aja." Mark Lee membantah. "Aku mau kalian saling bantu. Dan jangan pakai pistol kamu kecuali ada peredamnya."
Tanpa perlu dinasehati pun, Haechan tahu. Dia kira apa? Haechan anak-anak yang suka bermain tembak-tembakan? Ya ampun, dia lebih cerewet dari guru konseling. "Kamu tahu, Mark Lee? Kamu terlalu banyak omong."
Anak-anak yang sesungguhnya di kelompok ini, si Park一siapa namanya? Masa bodoh, Haechan malas memasukkan informasi nama menyangkut orang-orang yang akan segera ia lupakan一menatapnya lekat-lekat. "Ada yang mau kamu bicarain, maknae? Ayo. Angkat kepalamu dan bilang. Aku sibuk."
Si maknae itu memang terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Tapi dia butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian. "Nanti..." Ia berpaling menatap kakaknya yang sedang berjongkok mengikat tali sepatunya. "Kalau ada apa-apa, jangan ... Tolong jangan tinggalin dia. Aku mohon."
"Kamu khawatir sama Grace?"
Bocah itu mengangguk cepat.
"Kalau gitu kenapa bukan kamu yang ngelindungin dia?" Haechan mendekat, memangkas jarak. Bibirnya ia sejajarkan dengan telinga anak itu. "Berubah. Jangan sampai kamu cuma jadi beban."
Setelahnya dia menepuk-nepuk kepala anak itu sambil tersenyum. "Aigoo ... Manis banget."
"Jangan sok akrab." Haechan tertawa saat Grace menampar tangannya dari Jisung. "Ayo berangkat kalau kamu udah selesai bacot."
"Grace, hati-hati!" Mark berpesan, yang hanya membuat Haechan tertawa lebih keras karena Grace tidak menanggapi.
Apa dia bilang. Orang-orang ini badut sejati.
Namun begitu meja-meja digeser, pintu dibuka, dan mereka berdiri berdua di koridor yang penuh kemungkinan, Haechan berubah serius. Jejak-jejak canda itu lenyap dan menguap. Haechan mencekal lengan Grace, sejenak memaksanya menyetop langkah. "Grace Moon atau siapapun nama kamu, pasang telingamu baik-baik."
Satu jari Haechan terangkat, menghitung seiring kata-katanya yang berhamburan. "Peraturan pertama, jangan nyusahin aku. Peraturan kedua, jangan jerit-jerit, kecuali kamu mau ngundang lebih banyak zombie."
Grace menghempaskan cengkeramannya. "Aku bukan tipe cewek yang gampang histeris."
"Terserah. Dan terakhir, peraturan ketiga..."
"Apa?"
"Berapapun jumlah zombie di sana, kita harus nyelesaiin tugas ini entah gimana caranya. Jangan lari, jangan minta bantuan ke Jeno. Kamu ngerti?"
Jika diterapkan pada gadis lain, Haechan yakin gadis itu akan mengkerut takut seperti landak, atau mengambil langkah seribu dan memohon bertukar partner. Kaum hawa umumnya mengharapkan kelembutan, sikap hangat. Tapi mata Grace yang seperti baja justru menyorotkan pemahaman. "Kita nggak jauh beda, Haechan. Aku sendiri lebih suka patah tulang daripada balik karena gagal dan diketawain mereka."
Haechan dibuat menyeringai olehnya. Mungkin dia tidak buruk. "Bagus. Ayo."
Berdua, mereka mengendap-endap ke kafetaria melalui taman belakang yang kerap ia gunakan sebagai area merokoknya. Dengan punggung agak merapat ke tembok, sesenyap kucing dalam tidurnya, mereka mengintip ke ruangan itu.
Tadinya Haechan berharap kafetaria kosong, dan mereka beruntung kalau bisa menemukan beberapa makanan di situ. Belum terlambat untuk masih berpegangan pada harapan kedua, namun harapan pertama jelas berujung pada kekecewaan.
Setidaknya selusin zombie berada di sana. Semuanya memakai seragam kebanggaan sekolah mereka. Salah satunya terjepit di sebuah bangku panjang, tak dapat bergerak kecuali menendang-nendang, tapi yang lain dapat leluasa berjalan dan siap menerkam. Haechan tebak mereka adalah murid-murid sial, tidak kebagian tempat persembunyian, yang hanya berlari asal yang menuntun pada kematian.
"Kamu lihat di mana alarmnya?"
"Persis di tengah ruangan." Perhatian Grace terpaku lurus pada zombie. Tegang dan takut一walau berani taruhan, ia takkan bersedia mengakuinya. "Nggak ada lagi yang mesti kita tunggu. Sekarang?"
Hirup napas dalam-dalam. Tarik dan hembuskan. Siap atau tidak, Haechan sadar tak ada pilihan lain selain berjuang. "Ya."
"1, 2一"
Haechan menepis rambutnya dari mata. "3."
Dengan itu, mereka merangsek masuk berbekal gunting rumput dan sekop. Zombie-zombie di dalam seketika berbalik, dan menyambut dengan geraman.
Ketika 1 zombie terdekat mendekatinya, Haechan mengayunkan guntingnya sebelum dia bisa mengangkat tangan. Ukuran gunting itu memudahkannya untuk menjaga jarak aman. Sekali tikam dan dia tumbang. "Satu selesai."
Haechan tidak berhenti untuk merenungkan perbuatannya. Sebisa mungkin menatap dahi, dia tidak ingin mengetahui darah siapa yang mengotori tangannya. Yang dia tahu, mereka mati sedangkan dia hidup. Dan dia mau melakukan apa saja untuk tetep mempertahankan nyawanya.
Tiga zombie sekaligus mendatanginya.
Tiga lawan 1?
"Ayo." Haechan mundur dan merapat ke dinding agar tidak ada yang menyergapnya dari belakang. Rencana untuk berusaha tidak menimbulkan suara gagal total. Dia terpaksa mendorong sebuah bangku untuk menghambat mereka.
Makhluk-makhluk bodoh itu kontan jatuh. Kaki bangku berfungsi sebagai semacam tombak yang menyulitkan mereka bangun. Memaksa mereka separuh tiarap, dengan kepala-kepala yang terekspos layaknya sasaran di lapangan tembak.
Haechan pun beraksi.
"Dua selesai."
Terima kasih pada Renjun yang telah memberinya inspirasi. Memanfaatkan kakinya sendiri, dia menendang zombie ketiga membayangkan itu bola dan dia adalah pemain yang digadang-gadang mencetak angka. "Cabut gigi gratis. Sama-sama."
Tiga.
Zombie berikutnya, yang ke-4, bisa berdiri, tapi tak bisa berbuat banyak saat Haechan meremas kerah seragamnya kuat-kuat. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, tak ada belas kasihan bagi monster yang mencoba membunuhnya.
Gunting Haechan dengan kasar merobek kerongkongannya dari bagian dagu, terus ke atas mengoyak berbagai jaringan yang melekat, dan melaju mulus mencapai otak. Darah mengucur dalam bentuk aliran deras, terciprat ke atas bagai kembang api dengan kelap-kelip yang terdiri dari kegilaan.
"Empat selesai."
Jantung Haechan berdebar kencang. Setiap detakan hanya memiliki 1 tujuan; pulang, pulang, dan pulang. Dia memikirkan ibunya, yang mungkin memasak menu makanan kesukaannya, ayahnya yang suka menonton sepak bola dan selalu ribut jadi komentator.
Lalu adiknya. Yomi yang berusia 9 tahun dan senang saat rambutnya dikepang, serta Raon yang baru beranjak 7 tahun, dan jago menyusun menara dari lego.
"Lima一"
Mendadak dia bersyukur tidak punya teman dekat. Semua orang kalau tidak menghindar ya membicarakannya "diam-diam". Oleh sebab itu dia tidak bimbang, bahkan tidak merasakan apa-apa, saat meninju seorang gadis mungil hingga menghantam tembok dan menusuk kepalanya yang berhias bando kuning ceria, menciptakan kipas darah yang tersebar di sepanjang tembok itu.
"一selesai."
Haechan mengamuk di sana. Dia akan pulang, dia harus pulang, dan tak ada satupun dari monster-monster jelek ini yang boleh menghalanginya. Kalian mau makan? Sayang sekali karena daging lezat berlabel Lee Haechan ini tidak dijual.
Zombie ke-6 meraungkan sesuatu yang bisa jadi adalah lagu kematian. Dia laki-laki; lebih tinggi, lebih besar, tapi Haechan lebih bertekad. Tubuh tanpa otak yang bekerja mampu dikalahkan dengan sedikit usaha. Koyak pipinya!
"Ha." Dia sempat-sempatnya tersenyum. "Onna versi laki-laki."
Bagaimana dengan tenggorokan? Whoa, lihat darah itu! Semburannya sudah seperti keran yang diputar secara penuh!
Belum cukup. Tidak cukup. Ternyata benar-benar harus mengenai otak. Raut wajah Haechan berubah dingin, lalu lebih dingin lagi. Saat dia menebaskan guntingnya, gerakannya sebegitu santainya sampai-sampai tampak seperti orang lain yang memukul daun yang terjuntai dari dahan pohon yang lebat.
"6 selesai."
Gadis itu ... Grace, mana dia?
Darah di gunting Haechan menetes-netes melalui ujungnya saat dia menoleh mencari rekannya. "Grace?"
Suara memualkan saat sekop yang padat membelah zombie menjadi 2 terdengar, memisahkan mulut dan hidung di 1 bagian, serta mata dan dahi di bagian lain. 3 mayat tergeletak di lantai, masing-masing dengan luka kepala parah yang diakibatkan senjata Grace yang besar dan mematikan. Tidak adanya ujung lancip seperti gunting membuat Grace terpaksa menghabisi dengan cara merusak wajah.
Genangan darah lebar terbentuk di kaki gadis itu, merah pekat yang lengket dan berbau anyir. Hal itu membuktikan seberapa baik dia mengerjakan tugas, namun juga menyebabkannya licin saat zombie ke-5 menerjangnya.
Tahu-tahu, Grace roboh. Tubuh kecilnya tak berdaya tertimpa zombie itu, dan ngerinya, mengarah tepat, terlalu dekat, pada zombie yang terhimpit bangku yang dapat dengan mudah menggoreskan kuku pada kulitnya.
"Grace!"
Haechan bergegas melompati korban-korbannya. Nyaris tersandung kaki mayat, dia berhasil membunuh zombie yang ia kira bukanlah masalah itu. Tangan si zombie yang berupaya mencakar dirinya kontan diam, namun Haechan mendapati beberapa helai rambut Grace yang sekelam malam terselip di sela-sela jemarinya.
Grace sendiri tidak bersuara.
"Sialan, sialan, sialan! Grace?"
Lalu perlahan, usai Haechan mengangkat jasad zombie darinya, Grace bangun dan mengusap darah dari lengannya. Zombie itu sudah mati, gunting lab tertancap di sisi samping keningnya.
"Berengsek." Haechan yang sekejap dicekam kepanikan menggunakan ujung seragamnya yang lumayan bersih untuk menyeka pipi gadis itu. Haechan teringat Yomi, bagaimana Yomi tak pernah bisa makan cokelat dengan rapi. "Yang tadi itu hampir aja."
Grace melakukan kombinasi antara senyum dan tangis. "Ya, aku udah ngelihat malaikat maut tadi."
Haechan tidak tertawa. Masih menyeka dan memeriksa Grace, mencari tahu apa ada darah yang berasal dari luka di tubuhnya. Untungnya tidak ada. Penuh kelegaan, sekali lagi dia mengelus pipinya, dengan gerakan lembut yang biasanya hanya ia perlihatkan pada adik-adiknya. Jari Haechan tertahan lebih lama, terlebih selagi mata mereka saling bertautan.
Detik berikutnya Haechan tersadar dan buru-buru mundur seolah bila tidak, dia akan tersengat. "Apa-apaan kamu ini?" Kelembutannya musnah dan dia berganti membentak. "Kalau kamu ceroboh gitu, harusnya kamu duduk aja di lab!"
Grace yang dimarahi menghela napas lelah. "Kamu pikir aku nggak mau, Haechan? Aku jelas lebih suka nyantai di sana daripada ini." Dia melambaikan tangannya pada seluruh kekacauan yang mereka buat bersama. "Tapi kamu denger apa kata Jeno."
"Kata-katanya yang mana?"
"Soal mobilnya yang cuma punya 7 tempat duduk."
Haechan masih tersesat dalam kebingungan. "Ya, dan kenapa tentang itu?"
Tiba-tiba mata Grace digenangi air mata. "Lihat aku, Haechan. Aku cewek, satu-satunya di antara kalian, dan cewek sering dianggep lemah. Aku takut mereka nggak akan ngajak aku kalau mereka pikir aku nggak berguna."
Sontak saja, Haechan membeku dalam keterkejutan, sebab ia menyadari...
"Aku emang sekelas sama Mark, tapi aku nggak akrab sama dia. Seandainya mobil itu kapasitasnya 4 penumpang, kamu pikir siapa orang pertama yang bakal dibuang?"
... Grace benar.
Gadis itu lantas beralih menghapus air mata, yang coba ia hentikan namun tidak mudah dilakukan, menunjukkan ini dia, ternyata Grace Moon tidak setangguh tampilan luarnya.
Haechan membiarkannya menangis, sementara ia berdiri menghampiri mesin penjual minuman dan memasukkan beberapa koin ke tempat yang tersedia. Tak lama, 2 kaleng soda menggelinding keluar dari sana.
Haechan membawa kedua kaleng itu pada Grace, menyodorkan dua-duanya supaya dia bisa memilah rasanya. "Kamu salah, Grace."
Grace mendongak dengan pipi basah.
"Orang pertama yang bakal dibuang bukan kamu, tapi aku."
Kalimatnya membuat Grace tertawa, tapi itu merupakan tawa sedih yang tidak tercermin di matanya yang gelap. "Kita bener-bener kacau kan? Duo orang buangan."
Saat itulah Haechan sadar bahwa ia dan Grace memang tidak jauh berbeda.
Niatnya kagak nyelipin romance biar pure action sama friendship pan, tapi apa daya guanya pengen 🤧 hayooo penumpang kapal ini angkat tanganmu seperti Jaemin 😉👉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top