09. Kita Bisa Bekerja Sama
"Aku adik tirinya. Saudara satu ayah."
Rahang Mark Lee terbuka begitu lebar hingga terlihat seolah bisa menelan gajah bulat-bulat. Dia memandang Grace dan Jisung bolak-balik. Rasa tak percaya berkilat di matanya, kala analisisnya sama sekali tidak menemukan kesamaan.
Jisung bermata sipit, Grace lebar. Jisung tinggi, Grace mungil. Berkulit putih, gelap. Ekspresif, datar.
Selain itu, ada permasalahan yang mencolok. Misalnya一
"Marga kalian beda," ujar Haechan, menunjuk name tag Jisung yang meski kotor masih bisa terbaca jelas. "Kalau saudara seayah bukannya harusnya sama?"
Jisung mematung, sementara Grace tampak kesal. Itu tampang yang sama yang ia beri pada Jinho, pada guru yang menyita novelnya, pada hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Grace Moon yang teratur membenci segala sesuatu yang menyimpang dan tidak mengikuti skenario dalam kepalanya.
"Sebenernya ini urusan keluarga, tapi kalau kamu mau tahu, orang tuaku cerai waktu aku masih bayi. Dan aku pakai marga Mama aku."
"Ah." Haechan mendesah puas. Matanya memperhatikan Jeno dan Jaemin, lalu Grace dan Jisung, dan ia tertawa.
Mark tahu apa yang ia pikirkan tanpa perlu memiliki kemampuan magis mind reading. Jadi di kelompok ini ada 2 pasang saudara yang sangat berbeda, ya?
Ada si kembar yang tak terpisahkan. Dan ada kakak-adik tiri yang 1 pihak tidak mau hubungan mereka diketahui, bahkan mengklaim adiknya adalah "kenalan biasa".
Tidakkah itu menarik?
Mendadak suasana berubah canggung, dan terancam menjadi lebih canggung lagi saat Jaemin hendak bertanya. "Tunggu, apa kalian一"
"Gimana kalau kita lanjut?" Mark menyela, tidak ingin Grace menjadi lebih marah dari ini. Tanda-tandanya sudah terlihat. Dan itu benar-benar tidak bagus.
Grace yang terlanjur terusik memutar botol terlalu keras. Dan tada, botol itu berhenti tepat di hadapan sang adik.
"Aku?" Jisung menggaruk keningnya. 1 perbedaan lain dengan Grace adalah, dia tidak mahir bicara. "Park Jisung. Aku murid akselerasi一"
"Oh?" Giliran Jeno yang memotong. "Berapa umur kamu? 13? 14?"
Jawaban yang benar adalah, "15. Cuma loncat kelas setahun."
Mark tersenyum. Dia menunjuk dirinya dan Grace. "18." Lalu si kembar, Haechan yang katanya sekelas dengan mereka, Renjun. "17." Berikutnya Chenle. "16, iya kan? Berarti kamu maknae-nya, Jisung."
"Tapi kenapa yang paling kecil malah aku?" Renjun memprotes tak jelas pada siapa, mungkin hanya pada dunia dan takdir yang membuat tinggi badannya minimalis.
Mendengar itu, Jaemin dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya. "Sabar, mungkin itu kutukan sampai kamu tua."
Pemuda itu menggerutu, yang membuat semua orang, kecuali Grace dan Haechan, nyengir.
Tanpa perlu diundi lagi, orang terakhir yang harus bercerita adalah Haechan, dan Mark bisa melihat gagasan tentang mengupas dirimu dihadapan sekumpulan orang asing tidak menyenangkannya. "Lee Haechan. Rumah aku nggak jauh dari sekolah, deket kantor polisi Uinam, jadi nanti setelah keluar dari sini aku bakal pisah sama kalian, tenang aja."
Begitu kata tuan yang ahlinya merusak suasana.
Diam-diam Mark mengerang dalam hati, dibuat kelabakan mencari topik yang dapat mencairkan permusuhan. "Kamu ... Kamu katanya baru pindah semester ini, bener? Sebelumnya sekolah di mana?"
"Bukan sekolah yang penting." Haechan jelas-jelas menghindar dan merasa tidak nyaman. "Itu masa lalu."
Tapi Renjun, yang menelengkan kepalanya, tak diragukan lagi tahu sesuatu. "Daeun kan? SMA Daeun."
Wajah Haechan menegang menjadi topeng kaku yang memancarkan kewaspadaan. "Dari mana kamu tahu?"
Renjun tersenyum kalem. "Aku punya temen di sana. Namanya Liu Yangyang. Apa kamu kenal?"
Mata memicing Haechan sejujurnya tidak membocorkan apa-apa. Haechan ibarat pintu yang tertutup. Kecuali kamu mau mendobrak atau dia mengizinkan, kamu tidak akan pernah bisa mengintip emosinya. "Apa dia cerita sesuatu tentang aku?"
Senyum Renjun tidak memudar, justru semakin lebar. "Apa dia harus cerita sesuatu?"
Grace ternyata bukan satu-satunya yang suasana hatinya rusak karena permainan ini. Haechan juga, dengan alasan yang masih misteri. Jika ini meja billiar, maka Renjun sudah memasukkan 1 bola dan Haechan gelisah sebab tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan. "Mungkin nggak, mungkin ya. Siapa tahu?"
Lama-lama ini jadi seperti rutinitas yang menyebalkan. Pertengkaran yang tak ada ujungnya. Chenle berharap terlalu banyak kalau mengira kelompok ini bisa akur untuk beberapa jam. Buktinya dalam hitungan menit saja, semua orang sudah ingin memutus lingkaran keakraban mereka.
Grace yang tidak tahan akhirnya bangkit berdiri. "Maaf, aku ngantuk."
Dia tidak menunggu respon orang lain, langsung mengambil sebuah tas dan pergi ke pojok. Tas itu ia gunakan sebagai bantal lantas ia tidur menghadap tembok.
Atau pura-pura tidur一entahlah.
Haechan menyusul hanya terpaut sedetik. Dia menjadi lebih kesal karena Grace merebut tempatnya, tapi laki-laki mana yang tega mengusir seorang gadis yang kelelahan? Dia mendapat poin tambahan dari Mark dengan tidak membangunkan Grace, memilih duduk tenang di sebelahnya. Koin dikeluarkan, dia bermain.
Ha, usaha yang bagus, Lee. Mark memuji dirinya sendiri dengan gaya sarkastik. Dia tahu untuk bisa jadi pemimpin yang baik, dia harus memahami setiap anggotanya, agar mengerti cara paling tepat menangani mereka, namun Haechan dan Grace akan membutuhkan waktu yang lama untuk dipahami.
Mungkin sangat lama.
"Pssst." Jaemin tiba-tiba menyikutnya. "Lihat itu? Kalau ada tugas kelompok, mending jadiin mereka pasangan."
Itulah kata-kata terakhir yang Mark dengar hari itu sebelum ia meminta semua orang tidur.
Besok akan jadi hari yang amat panjang.
Mark tidak tertidur lama.
Setelah secara sukarela mengajukan diri tidur di meja yang menghalangi pintu, dia cukup menderita karena meja itu sedikitpun tak dapat dibandingkan dengan ranjangnya yang empuk. Mark berharap dia tidak perlu terbiasa, dan bahwa ini tak lebih dari ujian sementara, lalu terlelap sambil menggenggam harapan-harapan rapuh itu.
Suara-suara percakapan mengusiknya dari dunia mimpi yang membosankan tapi normal, memaksanya bangun dan berguling.
Namun ia dengan cepat mengurungkannya mendapati Grace dan Jisung sedang bercakap-cakap dengan suara sepelan mungkin yang masih bisa ia dengar.
Sebuah buku tulis terbuka di antara mereka, yang sayangnya tidak menarik minat Grace. "Kenapa kamu ngomong gitu semalem?"
"Ngomong apa?" Balas Jisung, yang dihadiahi decakan sebal dari kakaknya.
"Tentang kita. Kenapa? Kamu kan nggak perlu ngasih tahu orang-orang."
"Kenapa nggak perlu?" Mark pikir Jisung melakukan kesalahan kalau terus-terusan mengulang kalimat Grace seperti itu. Grace tidak terkenal karena kesabarannya. "Apa untungnya jadiin itu rahasia? Kakak-kakak yang kembar itu, mereka nggak malu ngakuin satu sama lain."
"Kita bukan mereka. Kita beda dari mereka."
Jisung menjeda kalimatnya untuk memainkan halaman-halaman bukunya dengan jari. "Makanya, kenapa kita nggak bisa jadi kayak mereka? Adik tiri atau adik kandung, kita tetep saudara."
Grace membuka buku itu dan membacanya, yang Mark tebak adalah usaha lemahnya untuk mengindari tatapan Jisung. "Kita nggak akan bahas ini sekarang. Ada masalah lain一"
"Kalau gitu kapan?" Suara Jisung meninggi dihiasi tuntutan dan desakan. Dia menunduk. "Kalau bukan sekarang kapan lagi? Kenapa Noona malu punya adek kayak aku?"
Seandainya saja saat itu Jisung mendongak, dia pasti akan melihat rasa bersalah yang berkelebat di wajah Grace一ekspresi asing untuk standarnya. "Jisung, ini bukan karena malu. Tapi dari awal kita nggak pernah jadi keluarga kan?"
"Kita bisa jadi keluarga mulai saat ini."
"Nggak." Grace tidak setuju. "Nggak bisa. Jangan ngira ada perubahan karena tadi aku nolong kamu. Ini bukan berarti aku peduli."
Mark hampir menertawakan kebohongan itu. Disebut apa memangnya, seorang gadis yang dengan berani hampir memukul orang beringas macam Lee Haechan, lantas keluar dan menghajar zombie bila bukan "rasa peduli"?
Tapi Grace melanjutkan kebohongannya. Kata-kata penuh dusta mengalir dengan lancar dari bibir tipisnya. "Itu sekadar tindakan kemanusiaan一nggak kurang, nggak lebih. Aku pasti bakal nolong orang lain juga seandainya dia ada di posisi kamu. Jadi jangan anggep itu perlakuan istimewa. Kita berjuang sendiri-sendiri aja, oke? Kamu ngurus diri kamu sendiri, dan aku ngurus diri aku sendiri. Selesai. Habis perkara."
Bagi Jisung, penyelesaiannya tidak datang segampang dan sesingkat itu. "Aku nggak bisa kayak gitu. Itu namanya egois."
"Nah, Jisung. Mungkin kamu harus belajar jadi egois. Dan yang nggak kalah penting, belajar ngelawan. Lain kali ada zombie, tusuk kepalanya, jangan ngarepin orang nolong kamu."
Untuk kian menyempurnakan ajarannya, yang merangkap nasehat dalam bentuk kasar, Grace menyodorkan sebuah gunting pada Jisung dan memaksa anak itu memegangnya.
"Kamu tinggi, seharusnya itu nggak jadi masalah. Contoh Renjun. Injek mereka dulu biar mereka nggak gerak. Hati-hati. Jangan sampai kamu megang mereka terlalu deket ke mulut. Awasin tangan juga, karena mereka bisa cakar kamu. Abis itu tusuk, ngerti?"
Tangan Jisung, walaupun besar, tampak seperti tangan boneka yang tidak cocok memegang senjata tajam. "Harus kena otaknya kan?"
"Ya. Bukan jantung atau kaki atau bagian lain, tapi otak."
Jisung menghela napas. "Berarti rencana aku yang pertama nggak bisa dijalanin."
"Rencana apa?" Grace kembali duduk, tapi tak mengambil lagi guntingnya.
Kepala adik-kakak itu menunduk menghadap buku tulis saat Jisung membaliknya ke halaman paling akhir. Dia mengambil pulpen, dan menunjukkan beberapa titik pada Grace. "Aku kira ini bagus. Karena sederhana dan ada banyak bahan yang bisa kita manfaatin."
Peran sebagai kakak terlepas. Grace, seperti orang yang berganti kacamata, berubah menjadi Grace si siswi pintar kebanggaan para guru. "Ya, stok metanol numpuk di sini. Sedikit aja udah bisa bikin api tahan lama."
"Tapi ini nggak bisa," bisik Jisung lesu.
"Kamu punya rencana kedua?"
"Ya." Jisung menyusurkan jadinya di halaman kedua. "Ini. Lebih rumit. Lebih berisiko. Gimana menurut Noona?"
Saking asyiknya berdiskusi, mereka sungguh tidak sadar Mark sudah duduk dan mengawasi keduanya yang sudah seperti murid dan gurunya. Mark senang karena nyatanya ada 2 pemikir di kelompoknya. Bersaudara pula.
Grace mengangguk-angguk khidmat. "Bagus, Jisung. Satu-satunya kekurangan di rencana ini, kita butuh mobil dan pemantik."
"Si kembar punya," sahut Mark. "Hyundai Santa Fe. Kalau pemantik, ada sama Haechan."
Grace menoleh dan menatapnya sengit. "Sejak kapan kamu bangun?"
"Baru tadi kok," kilah Mark cari aman, daripada nanti Grace menjadikan dirinya model untuk melatih Jisung berburu zombie. "Apa itu?"
"Jisung bikin beberapa rencana. Tolong bangunin yang lain."
Dengan patuh Mark melakukannya. Haechan, seperti yang sudah diduga, agak sulit dibangunkan hingga Mark tergoda untuk menyiraminya dengan air kalau saja persediaannya melimpah. Terdengar gumaman protes dimana-mana, lalu tubuh-tubuh menggeliat dan menguap. Lain Haechan, lain pula Jeno, yang sempat bengong seakan sedang mengumpulkan nyawanya.
Nyaris 10 menit kemudian, mereka berkumpul lagi di tengah ruangan, masing-masing dengan rambut kusut yang mesti disisir.
Pukul 9 tepat, pertemuan di mulai.
Chenle menjadi orang pertama yang buka suara, katanya, "Kamu yang bikin ini?" Dia tidak terdengar terkejut, hanya kagum. Lalu Mark ingat dia pernah berkata Jisung adalah teman sekelasnya, jadi pastilah Chenle sudah tahu kepintaran anak itu.
Grace menawarkan, "Kamu mau jelasin sendiri?"
Jisung menggeleng. "Aku nggak tahu cara ngomongnya."
Semua orang kompak mengulum senyum. Benar-benar permasalahan khas kaum introvert; jago berpikir, payah dalam hal bicara. Maka Grace pun mengambil alih. "Oke, ini rencana ke-1. Singkatnya, kita bersihin lantai 2, nyuruh zombie ngumpul, dan kasih mereka hujan metanol sampai gosong. Tapi cara ini nggak bisa dipakai."
"Kenapa?" Tanya Jaemin heran. "Kedengerannya bagus."
"Kita nggak tahu apa zombie itu langsung mati atau nggak. Bisa aja mereka masih kuat jalan-jalan pas sekarat dan nyenggol mobil atau motor, dan yah, kita naik apa?"
Renjun menyeringai. "Lapangan itu bakal jadi lautan api."
Jeno yang mengambil tempat di sebelah Grace meminjam pulpennya dan mencoret kata "KENDARAAN?" yang ditebali Jisung berkali-kali. "Jangan khawatir soal ini. Aku punya mobil. Tipe SUV 7 seater. Kita muat di situ asal rela sedikit desek-desekan."
Raut muka Jaemin mendadak berubah aneh, dan gantian dialah yang khawatir. "Hm, begini. Aku nggak suka jadi perusak pesta, tapi kunci mobil itu ada di tas Jeno."
Mark dengan gugup membasahi bibirnya. "Dan?"
"Dan tas Jeno ada di kelas yang penuh sama zombie."
Haha, memang tak pernah ada yang mudah di dunia ini. Mark bisa melihat anggotanya menahan dorongan untuk tertawa histeris, yang segera ia tepis dengan berujar, "Jangan pesimis. Kita ada 8. Kita bisa urus itu."
Ketegarannya dengan ajaib menyebar ke seluruh anggota kelompok dan membuat mereka bersemangat lagi. Grace menjentikkan jarinya. 2 masalah terpecahkan. "Bagus. Kita masih punya rencana ke-2, dan ini rinciannya..."
Kasian ya Jisung ☹️ *ngomong sama kaca* kagak tau kenapa gua suka ngasih si dedek peran ngenes awokwokwok :vv tapi kek biasanya, setiap karakter selalu berkembang kok 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top