08. Kita Suka Bermain
Suhu tubuh Jinho meninggi.
3 jam berlalu. Kabar baiknya, dia belum berubah menjadi zombie, tapi dia demam. Jinho terus-menerus mengerang tidak nyaman, menggeliat, menggerakkan kakinya. Dia tidak merasa baikan bahkan setelah lukanya diusap dengan alkohol.
Sementara itu, suasana di lab juga sama buruknya.
Mark merasa kelompok ini rusak, karena semuanya terpecah seperti gelas yang jatuh dari meja. Semua orang sibuk sendiri, tidak mempedulikan orang lain kecuali yang mereka kenal dekat.
Jaemin contohnya, dia tidak beranjak dari sisi Jeno, walaupun di hari normal mereka memang jarang terpisahkan. Tambahkan bocah bernama Renjun itu一yang tengah menggambar dengan peralatan seadanya一dan lengkap sudah, mereka menjadi trio yang lengket, membicarakan hal-hal yang hanya mereka pahami berkat persahabatan yang terbangun lama.
Norenmin?
Mark terkekeh karena gagasannya sendiri.
Namun seperti Chenle, Jeno tertidur. Dia, sebagai pecinta kucing dengan kepribadian lembut, mengalami hari yang berat setelah melempar seorang murid dari puncak tangga.
Mark pikir, Jeno, dengan tubuh atletisnya yang tinggi dan berbobot ideal, akan jadi yang paling mudah beradaptasi di dunia yang gila ini.
Setidaknya secara fisik.
Sedangkan secara mental, Mark bertaruh itu Haechan dan Grace. Haechan yang berpikir tentang senjata, dan Grace yang pintar. Mereka sekilas terlihat seolah tidak punya emosi, sebab tidak menunjukkan perubahan mencolok setelah serangkaian peristiwa yang terjadi. Tapi Mark tahu; mereka juga tidak baik-baik saja.
Oh, dan jelas belum akrab karena Haechan menatap dengan sorot terganggu Grace yang duduk di dekatnya. "Geser."
Grace bergeser sedikit.
"Lebih jauh. Kenapa kamu nggak duduk di tempat lain?"
Grace dengan suara datarnya membalas. "Nanti kamu sendirian di sini."
Alis Haechan saling bertautan. "Dan kamu pikir aku butuh temen?"
"Nggak, aku cuma nggak mau kumpul sama yang lainnya, dan yang lainnya nggak mau kumpul sama kamu. Ngerti kan? Kamu ini kayak perisai penangkal orang."
Mulut Haechan terbuka tanpa kata, lalu tertutup lagi tanpa suara. Diungkit perihal keengganan anggota lain mendekatinya, sejenak membuatnya terdiam sebelum ia menggeram dengan ekspresi garang. "Kalau gitu kamu harus ngejauh juga. Geser."
Sekali lagi Grace bergeser sejengkal tapi tidak beranjak.
Haechan yang bosan menegur lama-lama mengabaikannya. Dia mengeluarkan sekeping koin yang mungkin ia koleksi di sakunya dan seperti biasa, memutar-mutar koin itu dari satu jari ke jari lainnya tanpa perlu melihatnya.
Dia lincah一barangkali dengan cara yang samalah dia mengambil kunci dari Mark.
Mark memutuskan untuk membiarkan saja. Mereka seperti sepasang burung liar yang terpaksa berbagi wilayah padahal saling tidak menyukai satu sama lain. Meski mau tak mau ia berpikir, bila Grace dan Haechan bersatu, mereka pasti akan jadi tim yang hebat.
Di sudut lain, Jisung yang napasnya sudah mulai teratur, sibuk menulis dengan serius di sebuah buku menggunakan pulpen yang ia temukan. Sesekali dia melamun, mengolah pikirannya, walau Mark tidak tahu apa yang ia kerjakan.
Atau apa yang harus ia lakukan sekarang.
Di luar, melalui perantara jam ponselnya, Mark tahu malam mulai datang. Dia juga tahu betul situasinya saat ini; terjebak di lab tanpa makanan atau minuman, bersenjatakan gunting yang dipakai untuk mengoperasi kodok.
Tidak bagus.
Bosan duduk-duduk, Mark berinisiatif memeriksa Jinho yang duduk tertelungkup di meja. Jinho tak lagi bergerak, jadi Mark mengguncangnya pelan. "Jinho?"
Semua mata, kecuali 2 orang yang terlelap, berpaling menatapnya.
"Jinho, hey! Sadar!"
Lewat sudut matanya, Mark melihat Haechan mengeluarkan pisaunya. Dia memiliki senjata-senjata paling bagus dan sedikit-banyak Mark kira ingin pamer pada Jaemin.
Mark menggeleng pada pemuda itu. "Nggak, Haechan. Taruh pisau itu. Dia temenku."
"Apa pendapat kamu nggak akan berubah seandainya dia jadi monster?"
"Jinho sekedar tidur." Mark bersikukuh. Jarinya tanpa sengaja meraba kulit di tengkuk pria itu dan dia tersentak kaget. Kenapa mendadak kulit Jinho jadi dingin? "Jinho?"
Akhirnya Jinho bereaksi. Dia meregangkan tubuhnya dengan suara gemeretak keras.
Penuh kemenangan, Mark tersenyum. "Lihat kan? Dia nggak apa-apa. Grace, apa aku bilang一"
Tiba-tiba Jinho menubruknya dari belakang, menjatuhkannya ke ubin keramik kotak-kotak yang mengirimkan sensasi ngilu di sepanjang tulang pipi dan perutnya. Udara direnggut paksa secara menyakitkan dari paru-paru Mark. Tenggorokannya seolah tersumbat.
Ikatan Jinho yang hanya terdiri dari kain terlepas.
Mark tidak bisa bernapas. Tidak bisa meraup oksigen. Dadanya sesak一
"Oh, sialan." Renjun menghajar dahi Jinho dengan ujung tumit sepatunya dalam sekali sapuan. "Jaemin, gunting!"
Jeno dan Chenle terbangun, kebingungan.
Tapi tendangan Renjun malah tanpa sengaja membuat Jinho terlempar pada Jisung. Anak itu berusaha menyingkir, mundur dan ... Ah, terpeleset berkat ikatan di kakinya.
Jinho langsung mengubah target dan mencakar lengannya.
"Noona!"
Suara robekan kain memenuhi ruangan itu ketika seragam Jisung terkoyak.
Grace hendak maju, membawa gunting, tapi Haechan mencegahnya, menahan bahunya dengan satu tangan. Haechan menggeleng, justru menurunkan pisaunya dan memaksa Grace melakukan hal yang sama.
"Jangan, biar Mark Lee yang ngurus temen tersayangnya."
"Tapi, Haechan一"
"Ssstt." Kedengarannya Haechan tertawa. "Ayo, Mark Lee. Jangan sampek bocah itu jadi makan malam temenmu."
Pusing luar biasa dan masih kesulitan bernapas, Mark merangkak menyambar kaki Jinho saat mulutnya terbuka seperti seekor buaya pemangsa. Dagu Jinho terantuk lantai, tapi kali ini ia tak peduli.
Grace dan Haechan ternyata sejak awal benar; Jinho adalah calon zombie.
Mark terhuyung-huyung menegakkan tubuhnya, lantas merebut gunting dari Jaemin. Pangkal telapak tangannya tergores permukaan meja yang ia jadikan tumpuan. Mark tidak berhenti untuk mengecek. Dia segera menginjak punggung Jinho dan berniat menusuk kepalanya sebelum bisa berdiri sekali lagi.
Dia mengangkat tangannya一
Meleset!
Jinho yang bergerak tak terduga membuat gunting itu mengenai bahunya dan tersangkut di sana. Manusia biasa pasti akan kesakitan, tapi sensor rasa sakit Jinho sepertinya sudah tumpul. Dia masih bisa berdiri, jadi Mark berpikir cepat dengan menjegal kakinya.
Pemuda itu, atau monster itu一Mark tak tahu lagi一jatuh dengan wajah lebih dulu. Suara derakan mengerikan terdengar saat hidungnya patah dan mengalirkan darah. Pemandangannya tidak bagus. Ditambah dengan gunting yang setia menancap di bahunya. Dia tampak seperti makhluk yang berasal jurang kegelapan.
Mark yang panik memutar badan. "Gunting lagi一"
Renjun-lah yang menyediakannya. Tanpa banyak bicara mengulangi tindakan menendangnya dan menahan kakinya lebih lama, serta lebih kuat di dada Jinho. Dengan gerakan mantap, tanpa kebimbangan, dia menusukkan gunting kedua ke tempat yang tepat dalam-dalam.
Begitu gunting itu tertanam di kepalanya, Jinho seketika kaku dan benar-benar mati.
"Nah." Tepuk tangan Haechan adalah satu-satunya suara yang terdengar saat sejenak, seluruh anggota tim membisu. "Hei, bocah." Dia menjentikkan jari pada Jisung. "Kamu lihat kan? Itu caranya bunuh zombie. Tusuk kepalanya, tapi jangan ragu-ragu kayak si Mark Lee."
Sisa tenaga Mark yang tak banyak dipakai untuk menatap tajam pemuda itu. Mark tahu dia akan kalah kalau memancing konfrontasi, tapi dia tak tahan untuk tidak melampiaskan kemarahannya dalam bentuk semburan kata-kata. "Apa-apaan kalian ini? Nonton santai waktu ada kejadian tadi? Apa kalian kira itu drama seru?"
Grace melewatinya untuk membantu Jisung bangkit tanpa menoleh pada Mark. "Kamu nggak apa-apa?"
Jisung sendiri kesulitan mengalihkan pandangan dari darah Jinho yang mengalir bagai sungai. Napasnya tak lebih baik dari Mark. "Y-ya, aku cuma..." Dia menunduk mencari-cari tabungnya.
Rasa bersalah di wajah Mark sayangnya tertangkap Haechan. "Nggak usah sok, nggak usah masang tampang kasihan. Siapa yang mau kamu salahin karena ngundang calon zombie itu ke sini?"
"Kamu nggak berhak marah, Mark." Grace mengimbuhkan sembari mengecek lengan Jisung. Dia mengangguk. Suaranya lebih dingin dari badai salju. "Kamu yang nyuruh Haechan naruh pisau. Masalah yang kamu buat harusnya kamu selesaiin sendiri."
Tabung kecil Jisung rupanya merayap ke kolong meja dan Mark mengambilnya. "Aku pikir kalau sebatas cakaran, korban masih bisa ditolong, Grace, dan itu一"
Grace memotongnya dengan merebut benda itu dengan kasar. "Lain kali pikir lebih keras apa keputusan kamu itu bener atau nggak, leader."
"Maaf, Jisung." 2 kali sudah Mark mengucap kalimat yang sama, lalu dia menunduk, merasa menjadi orang gagal. Atau tepatnya, pemimpin yang mengacau di hari pertama ia dilantik. Dengan lesu, dia melepas ikatan di kaki Jisung. "Kamu beneran nggak apa-apa?"
Jisung mengiyakan yang tidak tampak meyakinkan.
"Apa dia luka?" Tanya Jeno, yang dijawab Grace dengan gelengan. "Oke, bagus. Udah, jangan saling nyalahin. Itu nggak ada gunanya."
Haechan melengos sebal. "Lebih nggak berguna mana sama orang yang asyik ngorok?"
Jaemin serta-merta maju mewakili saudaranya. "Lee Haechan, apa kamu harus selalu jadi orang berengsek gini?"
Chenle mengusap wajahnya frustrasi. "Bisa kita berhenti di sini? Bisa kita nggak berantem beberapa jam aja?"
Usulannya disetujui dengan anggukan oleh Renjun. "Biasanya aku suka nonton orang gelut tapi mending ditunda. Daripada berantem kenapa kita nggak ngeluarin mayat ini?"
Tatapan Haechan dengan jelas menyiratkan dia lebih suka diajak berkelahi daripada melakukan itu. "Kayak yang Grace bilang." Dia kemudian berbaring di lantai dan menutup matanya dengan tangan. "Mark Lee harus nyelesaiin masalahnya sendiri. Dan bukan cuma Jeno yang butuh tidur."
"Oke." Renjun menyerah. Dia lebih dulu paham bahwa orang seperti Haechan tidak bisa dipaksa dengan omelan jenis apapun. "Ayo mulai kerja."
Tapi Mark mencegahnya saat ia bersiap mengangkat kaki Jinho. "Dia bener. Biar aku yang ngurus ini."
Grace mengikuti jejak Haechan dan bersandar di tembok di sampingnya. Matanya terpejam.
Namun bukan Jaemin namanya kalau dia gampang menyerah. "Jangan dikeluarin, nggak perlu. Tutup aja sama tas-tas itu."
"Di luar kayaknya aman, Jaemin." Mark membantah. "Ini nggak akan lama."
Jeno mencoba membantu mengurungkan niatnya tapi Mark menolak. Dia bersikeras membuka pintu dan menyeret tubuh Jinho. Koridor luar untungnya berpihak padanya sebab masih sebersih tadi siang, semakin memudahkan Mark untuk mengistirahatkan Jinho di ruang kelas yang pernah jadi tempat persembunyian.
Lalu dia berdoa.
Mark berdoa untuk Jinho dan teman-teman yang telah pergi mendahuluinya. Jiwa-jiwa muda yang usianya terlalu pendek, yang pernah berjuang walaupun gagal, tubuh-tubuh tanpa makam yang layak, Mark berdoa semoga mereka mendapat tempat yang lebih baik di alam sana.
Setelahnya, dia mengitari ruangan itu mencari sesuatu yang bisa dia manfaatkan. Hasilnya, dia kembali ke lab membawa 2 botol air yang masih tersegel dan snack wafer yang tidak terlalu renyah.
"Lihat ini." Dia berusaha tersenyum saat sudah berada di lab lagi. "Nggak banyak tapi lumayan. Grace, kamu haus?"
Tanpa ditanya pun jawabannya pasti iya, sebab bibir semua orang tampak kering. Mereka hanya enggan jujur, dikarenakan keadaan yang tak memungkinkan.
Grace membuka matanya, menepuk-nepuk pundak Haechan agar bangun meski Mark yakin dia tak sepenuhnya tidur. Siapa pula yang bisa tidur usai kejadian tadi?
Mereka berkumpul sejauh mungkin dari bekas aliran darah Jinho. Tak ada yang mau menyentuhnya tidak peduli sudah di lap atau belum.
Demi menciptakan suasana yang lebih baik, Mark meraih satu botol dan mengarahkan tutupnya pada dirinya sendiri.
Dia lantas bicara, "Aku Mark Lee. Kayaknya yang paling tua di sini, ya?" Dia tertawa kecil, tak mengacuhkan Haechan yang menatapnya seakan dia berubah gila. "Aku dulu ketua kelas alias pembantunya guru. Makanya paling suka jam kosong."
Lalu dia minum dan memutar botol itu yang ternyata mengarah ke Renjun.
Si pemuda berambut pirang tertawa. "Aku? Giliran aku?"
Haechan bersedekap jengkel. "Kita mainan sekarang? Pura-pura lagi kemah di sekolah?"
"Hei, apa salahnya?" Jeno yang tak bisa mendendam pada siapapun tersenyum. "Kita bakal susah kerja sama kalau nggak saling kenal. Pokoknya nggak ada yang boleh minum sebelum dia nyumbang cerita."
Renjun nyengir. "Huang Renjun. Dari China. Aku suka ngegambar. Cutter yang aku pakai? Itu sebenernya rautan pensil aku karena nggak mungkin aku bawa rautan anak-anak yang bentuknya love." Kata-katanya membuat Jaemin terbahak. "Kalau kita selamat dari sini, nanti aku bikinin kalian karya seni一gratis."
Senyum Mark selanjutnya lebih tulus. "Lanjut."
Orang yang mendapat giliran ketiga adalah Chenle.
"Zhong Chenle. Aku..." Diminta menjelaskan tentang dirinya sendiri membuat Chenle agak kebingungan. "Aku murid tingkat 1, suka basket, Stephen Curry, dan punya anjing namanya Daegal. Itu cukup?"
Berikutnya adalah si cerewet Jaemin.
Dia memulai dengan, "Na Jaemin. Idolanya cewek-cewek sekaligus adiknya Jeno yang beda 13 menit. Nggak mirip kan?" Dia mengedikkan bahunya. "Banyak yang bilang aku lebih ganteng dari dia."
"Next, next!" Renjun melambai-lambaikan tangannya. "Aku nggak tahan denger ocehannya."
Jaemin tertawa kedua kalinya, dan memutar botol yang isinya hampir habis.
Botol dari plastik itu tak disangka bergulir pada Grace, dan semua orang tanpa sadar menahan napas menunggu apa yang akan dibicarakan gadis itu一satu-satunya gadis dalam kelompok mereka.
Namun Grace malah membelokkan botol kepada Jeno. "Ini lebih condong ke kamu."
Kening Jeno berkerut. Dia tidak punya masalah penglihatan yang serius. "Nggak. Justru botolnya一"
"Kamu."
Jeno pun mengalah sambil berdeham. "Jeno, bukan Jeyes. Aku kiper di kelas walaupun itu karena terpaksa. Aku juga suka naik sepeda. Selain itu, aku punya 3 kucing di rumah, tapi mereka jauh lebih gampang diatur daripada Jaemin." Dia menyikut adiknya sampai terjungkal. "Sekian."
Seperti takdir yang tak terhindarkan, botol itu terbukti sangat menyukai Grace karena kembali menunjuk dirinya.
Bahkan Haechan saja tak mampu menutupi rasa penasarannya.
Grace menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga, gugup. "Aku ... Grace Moon. Sekelas sama Mark dan ... Aku suka baca, khususnya novel fantasi."
"Termasuk di pelajaran sains." Tambah Mark bercanda, teringat saat Grace membaca novel di moment yang salah yang menyebabkan novelnya disita.
"Ya." Grace menyunggingkan senyumnya yang langka. "Dan hm ... nggak ada lagi yang menarik dari aku."
Jaemin yang rasa ingin tahunya besar tak menyia-nyiakan peluang itu untuk bertanya, "Kamu sama Jisung kelihatannya deket. Kalian ini apa? Pernah satu sekolah?"
"Nggak, cuma kenalan biasa."
Di saat yang sama Jisung menyanggah, "Aku adik tirinya. Saudara satu ayah."
Ini Grace alias Gahyeon Dreamcatcher kalo lagi mode imut 😳 Namanya sengaja diganti biar lebih simpel xixixixixi 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top