07. Kita Punya Pemimpin

Bisa dibilang, Mark Lee punya kenangan buruk dengan lab.

Pelajaran bahasa Inggris kadang bisa jadi sangat memusingkan, dengan segala tugas mengarang dan analisisnya, tapi tak ada yang setara dengan pelajaran biologi yang mengharuskan murid-murid pindah ke lab dan membedah hewan-hewan malang yang sejujurnya tak ingin Mark pegang. Bagi mereka yang bercita-cita jadi dokter seperti Jaemin, mungkin itu dianggap semacam latihan, tapi Mark punya cita-cita lain dan cita-cita itu tak melibatkan mengiris kodok dan mencari alat pernapasannya.

Menjijikkan, sungguh.

Sisi positifnya, di tempat ini ada banyak gunting bisa dijadikan senjata, meski tak sebesar gunting pertama yang telah diklaim Haechan. Meja-meja panjang dari stainless steel mengkilap ditumpuk di balik pintu untuk menggantikan peran kunci yang tidak ada.

Di satu sisi dinding, terdapat jerigen yang tertata rapi di rak berisi bahan-bahan kimia yang sepengetahuan Mark mudah terbakar. Sementara di sisi lain, beberapa tas berbaris teratur menandakan ruangan ini hampir dipakai sebelum semuanya menjadi tak terkendali.

Chenle dan Jisung duduk bersisian. Si kembar menjaga pintu, sementara Haechan dan Grace berdiri bersama membentuk kubu yang menentang Mark. Hanya Renjun yang tampaknya berada di pihak netral, tidak membela siapa-siapa.

Pelan-pelan, Mark menoleh pada Jinho. "Luka apa itu?"

Sosok Jinho yang biasanya angkuh lenyap sudah. "Mark, ini bukan apa-apa一berani sumpah! Tadi aku jatuh dan kegores一"

"Pertanyaannya." Sela Haechan tanpa ampun. "Apa yang ngegores kamu?"

"Manusia, ini manusia!" Sembur Jinho cepat. Terlalu cepat. Kebohongan terdengar kental dalam setiap kata-katanya. "Aku nggak akan berubah jadi mosnter. Lihat? Aku sepenuhnya sehat!"

Grace bersedekap. "Sejam lagi kamu mungkin nggak akan ngerasa sehat."

"Grace, tolonglah." Jinho menatap gadis itu dengan air mata berderai. "Aku minta maaf, oke? Aku akuin aku emang berengsek, tapi jangan usir aku. Kalau aku keluar, aku pasti bakal mati!"

"Kalau kamu nggak keluar, semua orang di sini bisa mati."

"Mungkin kamu berlebihan, Grace." Dan saat ini Mark berharap dirinya benar. "Itu cuma cakaran, bukan gigitan."

Pendirian Grace tidak goyah. "Siapa yang bisa jamin dia nggak akan berubah? Kamu nggak ada di ruang kesehatan waktu semua ini di mulai, Mark, dan biar aku kasih tahu, ada beberapa orang yang punya bekas luka cakaran kayak dia."

"Tapi mereka kegigit, sedangkan aku nggak!" Bantah Jinho berargumen, dan supaya lebih meyakinkan, dia memamerkan lengan dan kakinya yang satunya yang hanya dihiasi beberapa luka biasa khas laki-laki. "Lihat? Kamu lihat? Aku bukan monster, Grace! Aku manusia."

Perkataannya masuk akal bagi Mark. Dia mengangguk. "Oke, kamu boleh tinggal."

"Maaf ya." Ketika wajah seseorang memerah, itu pasti karena 3 kemungkinan; dia sakit, dia malu, atau dia marah, dan Haechan terlihat jelas condong ke kemungkinan yang terakhir. "Siapa kamu bisa seenaknya ngasih izin? Apa kamu ini leader-nya? Sejak kapan kita netapin pemimpin?"

"Mundur," ujar Jaemin, tapi itu bukanlah permintaan, melainkan paksaan karena ia mengatakannya sambil mendorong Haechan. "Dia jauh lebih layak jadi leader daripada kamu, pencuri kunci."

Kedua kalinya ini terjadi, Haechan menampar tangan Jaemin dari dadanya. "Kalau aku nggak ngelakuin itu, kalian semua bakal sok jadi pahlawan dan nerobos keluar!"

"Ya, dan kita bisa nyelametin lebih banyak nyawa!"

"Atau terbunuh dan mati sia-sia." Telunjuk Haechan mengarah ke wajah Jaemin selagi ia menegaskan perkataannya. "Kamu nggak ngerti situasi di luar kan? Di sana ada ratusan zombie! Dan kita cuma selamat gara-gara mereka asyik makan!"

"Oh, jadi kamu pahlawannya sekarang." Jaemin terkekeh dengan nada meledek. Dia menoleh pada saudaranya. "Kamu denger, Jeno? Dia pahlawan. Apa harus kita kasih tepuk tangan?"

Bom ketenangan Haechan pun meledak, menyemburkan serpihan tajam amarah ke mana-mana. Dia maju menerjang Jaemin, menjatuhkannya ke lantai yang dingin. Keduanya berguling. Satu tinju keras mendarat di pipi Jaemin, dengan kekuatan yang cukup untuk membuat kulitnya memar dalam hitungan jam. Lalu pukulan kedua datang一

Tapi tak pernah terealisasikan sebab Jeno memegang lengan Haechan dan mencegah cowok itu melukai adiknya lebih parah.

"Oke, oke, berhenti." Seperti biasa, Jeno selalu menyembunyikan emosinya di bawah permukaan. "Diem, Jaemin. Dan Haechan, berdiri. Maafin dia."

"Kenapa kamu malah minta maaf?" Jaemin tidak terima. "Sama si pencopet ini? Yang bener aja!"

"Supaya cepet selesai." Jeno menatap Jaemin seolah dia idiot yang tak mengerti hasil penjumlahan 1 ditambah 1. "Kamu juga berdiri, kecuali kamu lebih suka rebahan di situ."

Renjun tertawa, tidak berhenti walaupun Jaemin mendelik padanya.

"Mark-hyung," lanjut pemuda itu. "Dia cocok jadi leader, dan aku nggak ngomong ini karena dia temenku, tapi karena dia punya pengalaman. Kalau bukan dia, apa ada kandidat lain yang lebih cocok?"

Semua orang membisu. Takkan ada yang sukarela menempati posisi sulit tersebut kecuali terpaksa.

Dan sebenarnya Mark pun tidak bersedia.

"Haechan mungkin?"

Yang ditanya mendengus seperti kuda. "Aku tetep nggak setuju kalau dia ngotot naruh calon zombie ini di sini. Dia bahaya, dan aku jelas nggak mau 1 ruangan sama dia."

"Kenapa nggak kamu aja yang keluar?" Jaemin menantang dengan dagu terangkat tinggi. Dia mendudukkan dirinya di meja, lantas melipat lengan di depan dada. "Aku yakin ada banyak orang yang nggak nyaman 1 ruangan sama kamu."

"Kita butuh dia." Yang mengejutkan, pembelaan muncul dari Grace yang normalnya pendiam. "Suka atau nggak, si Haechan ini berguna."

"Omong kosong, kita nggak butuh orang yang cuma bisa nyari keributan."

Ketidaktahuan Jaemin akan betapa pintar Grace dalam seni bicara dibalas dengan kalimat pendek yang menamparnya telak. "Aku juga bisa ngomong hal yang sama tentang kamu."

Jaemin ternganga.

Sejenak, kekaguman pada gadis itu melintas di wajah Haechan sebelum dengan cepat disingkirkan. "Jadi? Usir atau nggak?"

Jeno mempertimbangkannya dengan hati-hati. "Orang ini masih manusia. Aku keberatan dia diusir. Itu namanya pembunuhan."

Jaemin ikut menyumbang suara. "Aku sama."

Jalan pikiran si kembar rupanya berseberangan dengan Grace. "Aku setuju sama Haechan. Nggak ada manfaatnya nampung dia."

Dengan lelah, Mark menghempaskan tubuhnya di kursi terdekat bersebelahan dari Jinho yang tengah disidang. "Kenapa? Apa kamu dendam sama dia? Apa karena alasan itu, Grace, sampai-sampai kamu ngebuang kemanusiaan kamu?"

Giliran wajah Grace yang merah padam. Mark bisa melihat seberapa besar tuduhan itu menyakitinya. "Kamu pikir aku serendah itu, Mark? Kamu pikir aku ini cewek jalang pendendam yang kejam? Ayo kita pikirin kalau gitu, seandainya dia berubah dan nyerang salah satu dari kita一"

"Itu nggak akan terjadi." Potong Jinho.

Namun dia diabaikan. "Siapa yang tanggung jawab? Kamu? Dan gimana caranya kamu tanggung jawab?"

Benar. Bagaimana caranya? Ini tidak seperti Mark bisa menyuntikkan vaksin yang mujarab dan tepat, atau tahulah, bertingkah seperti penyihir super sakti yang dengan mudah mengayunkan tongkatnya untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Faktanya, Mark hanya manusia biasa, dan ia tanpa perlu diingatkan tahu ia bisa salah.

Tapi meski Jinho bukanlah orang favoritnya, mengusirnya ke dunia luar yang liar juga bukan solusi yang Mark inginkan.

Berarti...

"Kita cari solusi lain." Ia mengumumkan keputusan finalnya. "Chenle, tolong periksa tas-tas itu dan cari apa ada yang bawa jaket atau sesuatu yang bisa dirobek."

"Kamu mau apa?" Jinho bertanya waspada, yang Mark jawab, "Nyelesaiin masalah sebisanya."

Tak lama, Chenle menyodorkannya jaket tebal terlalu ceria yang berwarna pink, dan Renjun tanpa diminta menyumbangkan cutter-nya. Mark mengambil benda-benda itu dan membuat kain panjang seperti tali yang niatnya akan ia pakai untuk fungsi serupa.

Dia menghadap Jinho. "Kamu harus diikat. Kakimu. Ini pasti nggak nyaman, tapi ini yang terbaik一buat keamanan."

Suara Jinho bergetar. "Kamu serius?"

Tak perlu disahuti, Mark sudah berjongkok dan mengikat kaki Jinho yang terluka ke kaki kursi, menempelkan keduanya dalam ikatan erat namun tidak terlalu kencang. Kaki yang sehat ia biarkan bebas, setelahnya ia berputar kepada teman-teman baru dan lamanya. "Sekarang, apa semuanya puas?"

Tidak, dan Haechan mengungkapkan itu melalui sikap tubuhnya yang berjalan ke pojok ruangan. "Keparat sok bijak."

Mark tidak menghiraukan itu dan balas memandang mata Grace yang meradang marah. "Gimana soal dia? Jisung?"

Mode keibuan Grace, seperti induk ayam yang melindungi anaknya, seketika aktif. "Ada apa sama Jisung?"

"Dia hampir digigit kan? Apa dia juga punya luka?"

Jisung yang namanya disinggung mengelus kakinya sendiri dan tidak seperti Grace yang ahli memakai poker face, ketakutannya tampak sejelas tulisan kapur di papan tulis berwarna hitam. Mark menyadari dada anak itu naik-turun terlalu cepat.

"Jisung nggak apa-apa. Nggak ada luka."

"Tetep harus kita cek."

"Hei!" Grace mencoba menghentikannya, tapi Mark tetap berjalan ke arah Jisung dan memintanya menyingkap bagian bawah celananya. "Mark, jangan sembarangan, dia beda seratus persen dari Jinho一"

"Ini bukan masalah watak, Grace. Kalau dia luka, mereka nggak ada bedanya."

Menggigit bibirnya gelisah, Jisung tanpa diminta 2 kali mengangkat kakinya dan membiarkan Mark memeriksanya. Kulit bocah itu sangat putih, yang Mark simpulkan mungkin karena dia anak rumahan. Namun berbeda dengan keyakinan Grace, ada segaris luka kecil yang tertoreh di sana yang jelas merupakan luka baru.

Wajah Grace berubah pucat pasi. "Nggak! Ini karena jatuh di halte. Kamu denger aku? Jisung ke sekolah naik bis, dan dia ceroboh一"

Perangai Jinho yang menyebalkan kembali. "Oh, gimana ini? Kayaknya dia harus diikat juga. Kayak binatang."

"Hei, bro." Renjun bermain-main dengan cutter-nya yang permukaannya masih berhias darah. "Gimana kalau kamu tutup mulut?"

Ancamannya tersampaikan dengan baik; Jinho langsung diam. Takkan ada yang mau membantah seorang pemuda, entah dia pendek atau tidak, yang memegang senjata dan terlihat tidak ragu menggunakannya.

"Mark..."

Mark berlagak tidak mendengar rengekan Grace, meski ia tahu tindakan ini merusak moment-moment singkat pertemanan mereka yang terjalin ketika mereka mengambil bola voli bersama. Dia dengan cekatan membuat tali darurat kedua, dan mengikat kaki Jisung tanpa pengecualian.

"Maaf, Jisung. Kita nggak bisa ngambil resiko."

Bibir Jisung sejenak terkatup rapat, sebelum ia mengangguk dan tersenyum. "Kalau cuma diikat nggak masalah."

Frekuensi pernapasannya yang tidak normal membuat Mark khawatir. "Kamu gugup? Rileks, nggak akan ada bunuh-bunuhan kalau itu nggak perlu."

"Asma," jawab anak itu, menunjukkan tabung mungil yang ia genggam. "Selama ada ini aku nggak apa-apa."

Grace menghujamnya dengan tatapan yang seakan berucap, semoga kamu puas udah ngikat kaki anak yang sakit!

Lantas gadis itu pergi menyusul Haechan dan bersama, keduanya duduk merapat menciptakan atmosfer sekelam badai. Apa yang bisa Mark katakan? Dia tak mampu menyenangkan semua orang. Bila Jisung dibiarkan berkeliaran, itu tidak adil untuk Jinho. Tapi bila mereka bebas, maka keselamatan yang lain terancam.

Padahal sebenarnya, Mark kasihan pada mereka. Bagaimanapun, Jinho temannya dan wajah Jisung terkesan sangat muda yang membuatnya bertanya-tanya berapa usianya. Lebih muda dari mereka? Tidak akan heran bila dia ternyata maknae-nya.

Apa boleh buat.

Mark kemudian memeriksa tas-tas lainnya, berharap sepenuh hati menemukan sesuatu yang bisa melepaskan dahaga. Ya, senjata itu penting, dan Mark bersyukur mereka sudah punya beberapa, tapi air adalah kebutuhan pokok yang keberadaannya harus diutamakan.

Seharusnya ada.

Bukankah biasanya ada murid-murid yang membawa makanan dan minuman lantas mengkonsumsinya saat bosan di tengah-tengah pelajaran?

Ayo, murid bandel. Tunjukkan kenakalanmu.

Tepat di tas ke-3 yang terakhir, untungnya Mark menemukan sebotol air dan beberapa bungkus permen kopi. Tidak cukup untuk orang sebanyak ini, namun lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Mark minum seteguk, lalu mengopernya pada Jaemin. Berikutnya Jeno, Renjun, Jisung dan Chenle.

Grace merampas botol air itu sebelum diserahkan pada Jinho. "Aku nggak akan minum dari bekas calon zombie."

"Bocah itu pun sama, kamu tahu?" Jinho tergelak geli. "Nggak usah pura-pura."

Kali ini Grace tidak menyahut dengan kata-kata. Dia punya kaki yang dua-duanya sehat dan ia menggunakannya untuk menendang kaki kursi Jinho hingga kursi itu terbanting dan menjatuhkan penggunanya.

Grace minum sambil menyaksikan Jinho berusaha bangun, selanjutnya memberi botol itu pada Haechan. Tidak seperti yang lain, Haechan sengaja minum cukup banyak, memastikan jatah Jinho tak lebih dari beberapa tetes saja. Kesopanannya pun hanya sebatas menggulingkan botol tersebut alih-alih memberinya langsung.

Mark tiba-tiba sadar betapa miripnya mereka.

Bahkan secara fisik, mereka sama-sama mungil, berkulit kecokelatan yang eksotis, serta bermata tajam. Dari dalam, lebih mirip lagi; satunya pemberontak, yang lain pejuang. Keduanya berkepribadian keras, mengatakan apapun yang mereka suka, dan memiliki cara berpikir yang sukar ditebak.

Terlalu asyik mengamati mereka sampai membuat Mark tidak mengindahkan pertanyaan Jeno.

"Mark-hyung? Mark-hyung!"

Mark tertarik lagi ke kenyataan . "Apa?"

Tampang melamunnya dianggap lucu oleh Jeno. "Apa yang harus kita lakuin sekarang?"

Sulit menjawab pertanyaannya.

Hembusan napas keras Mark menunjukkan rasa frustrasinya. Dia menunduk, memilah semua kemungkinan, tapi mencoret polisi dari daftar. Mark teringat perkataan Jaemin, tentang kita yang mesti menolong diri kita sendiri. Akan ada saat di mana kita tak bisa mengharapkan bantuan orang lain dan mengandalkan apa yang saat ini kita punya.

1 perempuan dan 8 laki-laki.

Apakah ini cukup?

Seulas senyum tipis tersungging di wajah Mark. "Kita susun rencana buat keluar dari sini."

Jumlah ini harus cukup.

Astaga dragon, keknya gua kagak bisa sering2 ngasih ilustrasi di sini, soalnya sama wattpad kagak boleh nge-share gambar yang terlalu sadis awokwokwok *menangis* tapi ya udahlah ya, lain kali gua bikin lebih detail deskripsinya 😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top