04. Kita Saling Peduli

Sinyalnya lemah sekali.

Ini hal yang jarang terjadi. Korea Selatan barangkali punya banyak kekurangan yang meliputi rendahnya kepedulian akan kesehatan mental yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri dan sedikit (atau banyak) masalah tentang rasisme, tapi sebagai salah satu negara maju yang menerapkan jaringan 5G, sinyal ponsel di sini biasanya selalu bagus. Bar sinyalnya tidak pernah turun serendah ini, bahkan di badai salju yang parah musim dingin lalu.

Mark, salah satu pengguna Android dengan antigores tidak sesuai yang tidak menutupi seluruh ponselnya, menepuk-nepuk benda itu saat panggilannya yang kesekian kalinya ke nomor orang tuanya tidak kunjung tersambung.

Mark paham, ada perbedaan waktu antara Korea dan Canada, tapi Ayahnya adalah orang paling teratur di dunia, yang kerap bangun sebelum matahari bersinar. Sedangkan ibunya, yang sering begadang mengerjakan tulisannya, punya kekuatan super untuk tetap bangun pagi walau tidur larut malam.

Seharusnya mereka mengangkatnya.

Ayo, Ayah.

Ayo, Mom.

Sekali lagi, Mark mencoba. Dia marah pada mereka, yang sejak kemarin harus pergi ke kampung halaman guna menghadiri pernikahan kerabat. Dia kesal, karena ia tak bisa ikut padahal dia menyukai Canada yang penuh daun maple, dan selalu terasa seperti rumah sejati baginya. Namun terutama, dia cemas. Sebagai anak tunggal, Mark mungkin terlalu bergantung pada mereka, tapi hanya orang tuanyalah yang ia miliki di dunia ini.

Lagi-lagi panggilannya tidak terjawab.

"Sialan, sialan, sialan!" Tidak bisa berteriak tanpa menimbulkan keributan atau lebih buruk lagi, disangka gila, Mark membanting sekop yang ia bawa.

Sebenarnya dia merasa konyol menenteng benda itu ke halaman sekolah tapi ia tak mau mengambil resiko yang tidak perlu. Mark ingin sudah siap saat ada monster yang mendatanginya, walaupun gerbang sekolah masih menjaga mereka tetap aman.

Setidaknya sementara.

"Wah, wah." Seseorang tertawa tertahan. "Si ketua kelas bisa ngomong kasar juga, ya?"

Mark terkejut, otomatis berputar mencari pemilik suara yang familier itu.

"Di sini."

Mark masih tidak melihatnya. Semua murid bila tidak berada di kelas pasti sedang di kafetaria atau ruang kesehatan, termasuk para guru.

"Di atas, bego."

Maka Mark mendongak, langsung bertatap muka dengan Lee Haechan yang duduk santai di dinding yang mengapit gerbang seolah itu adalah warung kopi, seolah tak ada tangan-tangan monster yang terjulur dari celah-celahnya yang bukan mustahil membahayakannya.

"Sejak kapan kamu di sana?"

Haechan mengangkat bahu. "Kamu pasti tahu kalau nggak jalan sambil nunduk. Nelpon pacar, Mark Lee?"

Menurut Mark tidak begitu. Monster-monster di luar berisik sekali dengan geraman mereka. Telinganya jadi tidak waspada. "Bukan urusanmu. Dan apa yang kamu lakuin di situ, Lee Haechan? Ada pemandangan bagus?"

Haechan terkekeh. "Kenapa kamu nggak naik dan lihat sendiri? Itu pun kalau kamu berani."

Mark berani. Dia dengan cekatan menginjak rumput—sesuatu yang dilarang. Maaf, Pak dan Bu guru—dan menjadikan tepi dinding sebagai pijakan untuk menariknya naik. Dinding itu, dengan warna putih polos, untungnya tidak punya ujung runcing seperti gerbang sehingga mudah dipanjat. Tingginya kurang-lebih sama, tapi punya permukaan cukup lebar yang bisa diduduki.

"Yah ...." Mark terdiam sejenak saat sudah duduk di samping Haechan. Melihat monster itu dari jarak lebih dekat membuat dia kehilangan kata-kata. "Yah, sialan."

Mereka berkumpul di luar, sebagian besar langsung berusaha menyambar sepatu Haechan yang dibiarkan tergantung di udara. Tapi Haechan cuek saja, justru sengaja menggoda dengan menggerak-gerakkan kakinya. "Lihat ini," katanya, dan mengeluarkan satu koin dari saku.

Alis Mark terangkat. "Aku nggak yakin mereka suka uang."

Tanpa menjawab, Haechan melempar koin itu ke tempat yang agak jauh, yang tidak dipadati oleh monster. Koinnya memantul ke kaca depan sebuah mobil, menimbulkan bunyi ting! dan sontak, beberapa monster berkerumun mengerubungi koin itu seperti lalat di tempat sampah.

"Ah." Pemahaman menghampiri Mark. "Mereka sensitif sama suara."

Haechan mengangguk. "Mereka kayak tahanan di penjara waktu ada kerusuhan."

"Pengalaman? Pernah masuk penjara?"

Suara tawa Haechan sekali lagi berkumandang. "Apa aku punya tampang mantan narapidana?"

"Sejujurnya?" Mark mengamati Haechan dari atas ke bawah; dasinya yang tidak terpasang dengan benar, tali sepatu yang terikat asal-asalan, rambut yang tak kalah berantakan. Dan ekspresinya yang tengil. "Ya."

Haechan terbahak. "Mungkin aku emang pernah masuk penjara."

"Cocok," gumam Mark. "Cocok banget." Dia lantas menoleh ke belakang, mengira akan ditegur sedetik usai menginjakkan kaki di atas sini, tapi tak ada satupun guru atau satpam yang menginterupsi. "Mereka pasti sibuk."

"Guru-guru?" Haechan mengeluarkan koin lain dan menggelindingkannya di antara jari-jarinya. "Ya. Terakhir kali aku cek, ada murid yang muntah darah."

Mata Mark membelalak. "Separah itu?"

Koin dengan mulus berpindah dari jari tengah ke jari manis Haechan. "Kamu harusnya nggak buka gerbangnya, ketua kelas. Aku nonton dari lantai 2 waktu kamu nentang guru Han, padahal dia nggak salah."

"Apa maksud kamu?"

"Maksud aku, Mark Lee, berhenti bersikap sok pahlawan," ujar Haechan gamblang. "Kalau kamu nggak gegabah, pasti nggak akan ada murid yang terluka."

Kerutan di kening Mark terbentuk saat amarah dalam dirinya terbangun. "Apa kalau ada orang yang butuh bantuan kamu ngelewatin dia gitu aja, Lee Haechan?'

"Apa ada undang-undang yang ngewajibin kita nolong orang lain?"

"Nggak," kata Mark sambil berancang-ancang melompat turun. Ini pembahasan yang tidak berguna dan ia tidak ingin berlama-lama. "Buat ngelakuin itu kamu cuma perlu hati nurani."

Di kepalanya, Mark bisa mendengar suara lembut Grace yang sarat ejekan, halo, apa hati nurani bisa bawa kemenangan seandainya ada perang?

Tapi dia mengabaikannya, berserta rasa bersalah yang pelan-pelan hadir ibarat tunas pertama sebuah benih dan memungut sekopnya yang tergeletak di tanah. Mark menjauh, baru berjalan kira-kira setengah lusin langkah saat mendadak suara jeritan menyebar di udara, bersumber dari一kali ini一bagian dalam sekolah.

Haechan akhirnya ikut turun, menyimpan koinnya di saku dan menatap tegang ke sekelilingnya. "Ada apa?"

Mark hanya menjawab, "Sesuatu yang buruk." Lantas berlari ke sumber jeritan tersebut. Dia hanya berhenti sekejap ketika mengambil gunting yang syukurnya belum berpindah tempat, dan mengopernya pada Haechan. "Ambil ini. Buat jaga-jaga."

Di tangan Haechan yang serampangan, benda itu jadi terkesan sangat berbahaya.

Mark lanjut berlari, menembus gerombolan murid-murid yang gusar. Kibasan rambut panjang berpita atau rambut cepak kusut melintasinya, saling dorong dan sikut dalam ledakan kepanikan. Salah satunya bahkan menabraknya hingga ia hampir terjatuh. "Grace? Grace, kamu nggak apa-apa?"

Grace tampak ketakutan一Mark belum pernah melihatnya seperti itu. "Mark, a-ada monster kayak di luar di ruang kesehatan!"

"Gimana bisa?" Tanya Haechan. "Gerbang belum ditembus, mereka masuk lewat mana?"

"Aku nggak tahu!" Grace menggeleng frustrasi. "Orang-orang yang luka itu, mereka berubah aneh. Aku lagi nemenin Areum dan mereka tiba-tiba nyerang guru, kayak mayat hidup一"

Grace tak perlu menjelaskan lebih rinci. Salah satu dari mereka keluar sambil berpegangan pada pintu, meninggalkan bekas guratan kuku dan jejak merah darah segar. Dia si pemanjat, yang di dagunya terdapat apa yang bisa saja merupakan robekan seragam seseorang.

Secara naluriah, sikap jantan yang ditanam oleh ayahnya sejak kecil membuat Mark mendorong Grace agar minggir. "Naik ke lantai atas sekarang. Cepet ke kelas, Grace!"

"Nggak bisa, mereka juga ada di sana!"

"Apa?" Seru Mark kaget. "Kalau gitu Jeno dan Jaemin一"

Si pemanjat menerjang maju, mengatup-ngatupkan rahangnya. Mark mendengar Haechan berbisik, berengsek, sebelum menyambut pria itu dan menghajarnya menggunakan gunting rumput. Pemanjat terjatuh, tapi Haechan tidak memberinya kesempatan untuk bangkit dengan tanpa henti memukulinya berulangkali. "Kalian berdua jangan diem aja, cari tempat sembunyi!"

Hal seperti itu tidaklah mudah di tengah-tengah kekacauan ini. Pertama-tama yang penting dulu. Mark melangkah melewati Haechan yang sibuk, dan meraih kenop pintu ruang kesehatan. 2 monster tersisa di dalam, jadi Mark bertindak cepat dengan menutupnya.

"Awas!" Pekik Grace, lalu kress, tangan gadis muda yang berniat Mark selamatkan terjepit di pintu. Tidak adanya teriakan saat itu terjadi dan hilangnya kemanusiaan di wajahnya memberitahu Mark dia telah berubah, tidak lagi menjadi dirinya yang sejati.

Gadis itu berusaha mencakar Mark selagi Mark mempertahankan pegangannya. Dia sampai harus menurunkan sekop, karena jika tidak, pintu akan terbuka dan 2 monster itu terlepas.

Grace buru-buru membantu, muncul dengan sebuah gagasan yang ia ungkap, "Buka sedikit."

"Maaf?" Mark pikir dirinya salah dengar.

Gadis yang masih mengenakan setelan olahraganya itu merebut sekop Mark. "Buka sedikit. Aku dorong dia, abis itu langsung kamu tutup, ngerti?"

"Oke, tapi—"

"Buka!"

Tak punya waktu untuk memikirkan resiko dan dampaknya, Mark yang tangannya mulai berkeringat mematuhi perintah itu. Grace serta-merta beraksi, lebih ke menusuk daripada mendorong saat si gadis mencoba merangsek keluar. Monster kedua tidak bernasib lebih baik, Grace menamparnya seperti peristiwa di halaman, minus keraguan. "Tutup!"

Mark menutupnya tepat waktu.

"Mark-hyung!" Seseorang memanggil, asalnya dari arah tangga. Si kembar yang Mark cari-cari menampakkan batang hidungnya dengan napas terengah-engah. Jaemin, yang paling depan, menyambung, "Di atas ada banyak orang gila. Mereka ngamuk, guru Son luka pas ngasih peringatan."

Keduanya terlalu fokus menuruni tangga dan tak sadar ada yang membuntuti mereka. Seorang murid laki-laki, atau dulunya dia murid laki-laki, yang kini menjelma jadi monster, bergerak hendak menyerang mereka.

Namun di moment krusial, sebelum Mark tahu akan meneriakkan nama siapa, Jeno berbalik, merenggut kerah seragam murid itu dan melemparnya dari susuran tangga. Si murid mendarat dengan bunyi dentuman keras, kepala setengah hancur, tapi masih bisa berdiri.

"Cepet!" Mark meraih Jaemin dan Grace sekaligus, mengarahkan mereka menuju tempat murid-murid dan guru yang selamat berkumpul. Mereka rupanya masuk ke ruang kelas paling pojok, yang relatif aman, hanya saja menutup pintunya sebelum Mark dan teman-temannya mencapainya.

Murid laki-laki bertubuh pendek dan memakai jaket yang juga terlambat sekian detik, menggedor-gedornya dengan putus asa, dan Jeno bergabung bersamanya. "Buka! Siapapun yang ada di dalem, buka! Masih ada orang di sini!"

Respon yang mereka peroleh malah suara bangku-bangku dan kursi-kursi yang digeser demi dijadikan barikade.

Mereka tidak peduli.

"Buka!" Saat usahanya gagal, Jeno beralih menendang pintu itu. "Hey, buka!"

Grace menggigit bibirnya. "Kita harus cari ruangan lain, Mark."

"Kamu bener." Mark sependapat. Dia melirik murid berjaket, yang gemetar seperti Grace setengah jam yang lalu dan membaca name tag-nya. "Zhong Chenle. Chenle? Kamu harus ikut kita, ayo!"

Berlima, mereka bergegas menjemput Haechan yang yang terpaku pada mayat si pemanjat. Haechan memiringkan kepala, memandangnya ganjil seakan dia adalah hasil percobaan yang gagal. Penyebabnya baru Mark ketahui saat sudah mendekat. Sebilah gunting yang tadi Haechan gunakan menyembul dari dahi pria itu, yang artinya, tidak berbeda dengan Grace, Haechan sudah membunuh seseorang karena paksaan keadaan

Jaemin tercengang shock. "Haechan, kamu...?"

Mark mencabut gunting itu dan kembali memberikannya pada Haechan. "Dia nggak sengaja, itu pembelaan diri."

Sesuatu yang berkilau menarik perhatian Mark saat ia melakukan itu; sebuah kunci, dengan gantungan label bertulis, "RUANG TARI". Sempurna. Mark mengambilnya, menduga seorang ketua kelas atau guru sudah melupakan kunci itu yang sekarang menjadi jalan keluar bagi mereka. "Kita ke ruang tari, buruan!"

Monster yang sempat berhadapan dengan Jeno menghadang jalan mereka.

Penampilannya membuat Mark menelan ludah. Tempurung kepalanya remuk, memamerkan bagian dalam otak yang menyebabkan sensasi mual. Darah menodai pakaian dan sekujur tubuhnya. Kaki kirinya tertekuk ke posisi yang salah, memaksa dia melangkah sembari menyeret kaki itu, terseok-seok bagai perwujudan maut yang menjijikkan.

"Pergi!" Grace berteriak, mengayunkan sekop menyasar kepala pria itu. "Jangan一"

"Ngehalangin." Haechan menyelesaikan kalimat dan pekerjaannya dengan menginjak dada pria itu, lalu menusuknya, di titik di mana jantungnya berada.

Tuan-kepala-rusak menggapai-gapaikan tangannya, mengejutkan mereka dengan tidak mati一masih menggeliat, masih meronta. Matanya melotot keji. Murid bernama Zhong Chenle mundur, bernapas berat diterjang gelombang rasa ngeri. Sementara di tangga, 1 monster lain turut turun mendengar keributan itu.

"Masih hidup, hah?" Haechan tertawa parau. "Jantung nggak mempan?"

Pemuda 17 tahun itu bergantian menatap mereka. "Mungkin..."

Detik berikutnya dia berganti menancapkan guntingnya ke kepala pria itu dan seketika si pria terdiam kaku, tidak lagi bergerak一benar-benar tewas.

Mark mengerti.

Dia meminjam gunting Haechan tanpa permisi dan memutar badan. Saat monster dari tangga itu tiba, Mark menghitung; 1, 2, dan melesakkan kaki ke perutnya, membuatnya jatuh lebih dulu barulah kemudian menusuk kepalanya.

Cara Haechan berhasil.

Darah pria itu terciprat ke wajahnya, namun Mark tak mengusapnya. Itu bisa menunggu. Tugas kedua, dia mesti memimpin rekan-rekannya ke ruang tari, membuka pintunya dan tak lupa, menguncinya lagi.

Mark terduduk lemas di balik pintu, menyentuh pipinya, lalu tertawa yang terdengar agak histeris.

Dalam hati ia bertanya-tanya, dunia yang ia tinggali telah berubah jadi apa?

Gua pengen nyelipin GIF/gambar dari the walking dead tapi kok kagak yakin yak. Soalnya walopun gua suka, zombie-nya nyeremin kek gini 😂👉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top