02. Kita Cerdas
Pernah dengar tentang Hamlet?
Kalau kamu punya guru bahasa Inggris seperti Mark, atau merupakan seorang pecinta karya Shakespeare, kamu pasti tahu cerita pangeran asal Denmark ini sebab ketenaran Hamlet tidak kalah dibanding Romeo & Juliet.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, hiduplah pangeran yang berduka karena kematian ayahnya. Orang-orang bilang, sang ayah mati dipatok ular berbisa saat tertidur di taman.
Belum kering luka itu, ibunya, ratu Gertrude, menikah lagi dengan一demi seluruh bintang-bintang di jagad raya!一paman Hamlet yang merangkap adik ayahnya, Claudius.
Suatu hari, Hamlet bertemu arwah ayahnya yang kurang-lebih menyampaikan, "Tidak ada ular, Nak. Satu-satunya ular yang membuat ayah terbunuh adalah laki-laki yang kini memakai mahkota yang bukan haknya."
Maka terungkaplah, bahwa didasari oleh ambisi dan cinta terlarang, Claudius telah menghabisi ayah Hamlet.
Pangeran kita lantas menyusun rencana balas dendam. Dengan berpura-pura gila, dia pikir dia akan lebih leluasa memata-matai si pembunuh bermuka dua. Penasehat kerajaan saat itu, Polonius, mengira pemicu terganggunya jiwa Hamlet adalah kisah cintanya yang tidak berjalan lancar dengan Ophelia一yang tak lain merupakan putrinya.
Prediksinya salah, tentu saja.
Semua sandiwara itu, termasuk bermain-main dengan pertunjukan drama yang berbalut jebakan psikologis, sejatinya adalah rencana Hamlet yang hanya memiliki satu tujuan; Claudius mati, darah dibayar darah.
Nantinya, kecurigaan Hamlet terbukti, dan Tuhan berbaik hati melempar kesempatan padanya untuk membunuh musuh besarnya ketika Claudius sedang berdoa sendirian.
Akan tetapi, Hamlet terpengaruh keyakinan tidak logis bahwa membunuh orang yang tengah berdoa mungkin akan mengirimnya ke surga, sehingga dia tidak melakukan apa-apa.
Bayangkan!
Disitulah kesalahan Hamlet. Dengan membiarkan Claudius hidup, dia sudah merusak rencananya, membuat gadis yang ia cintai bunuh diri, ibunya tewas meminum racun, dan ia sendiri harus kehilangan nyawanya.
Kenapa? Adalah sesuatu yang bisa diperbuat Hamlet agar segalanya menjadi berbeda, dan ia mendapat akhir yang bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah topik yang didiskusikan oleh kelas Mark sekarang.
Berdiri riang, penuh semangat meluap-luap, guru Son bertepuk tangan. "Mark? Ada pendapat?"
Mark memandang ke sekitarnya dengan gugup. Tempat duduk yang tidak strategis menyebabkan dia selalu kebagian jatah sial seperti ini. "Hmm..."
"Ya?"
Mark bisa membayangkan ayahnya menepuk dahi berkat lamanya ia menjawab.
"Menurut Saya," katanya bimbang. "Hamlet ini pangeran kurang kerjaan. Percaya sama hantu? Itu konyol. Kenapa dia nggak latihan memanah atau berkuda atau semacamnya?"
"Hamlet percaya sama hal-hal mistis." Son Wendy mengangguk. "Itu poin yang harus kita perhatikan. Ada lagi? Grace, mungkin?"
Murid-murid lain seketika memutar kepala ke bangku paling belakang.
Dia mungkin penyendiri. Dia mungkin aneh, hanya saja di pelajaran ini, atau pelajaran apapun yang melibatkan presentasi, tak ada orang yang berani mengejek Grace.
Mereka tidak bisa.
Ini salah satu kelebihannya; dia mampu membaca slide presentasi satu kali, dan menjabarkannya dengan lancar seakan sudah mempelajarinya semalaman. Dia pendiam, namun sebenarnya pandai bicara.
Grace, si pembenci nomor satu sekolah, menghela napas. "Hamlet harusnya bunuh Claudius waktu ada peluang. Dia bodoh. Takut ngebunuh musuh yang lagi berdoa karena khawatir masuk nirwana? Syukur dia belum sempat jadi raja dan bikin negaranya hancur."
"Bodoh?" Murid di belakang Mark membeo, tertawa mencemooh. "Itu bukti kalau Hamlet orang yang religius dan masih punya hati."
Di mulai sudah. Perdebatan seru antara Grace dan Jinho, mantan ketua kelas, yang kerap bicara mewakili sisi laki-laki dan perempuan. Ini hiburan gratis yang tidak boleh dilewatkan.
"Apa gunanya punya hati pas mau balas dendam?" Sergah Grace tajam. "Halo, apa hati nurani bisa bawa kemenangan seandainya ada perang?"
Tawa. Seisi kelas tertawa dan dengan antisipasi yang meningkat menanti Jinho merespon bagaimana.
Wajah Jinho berubah merah padam. "Kita nggak boleh lupa tentang kecerdasan Hamlet. Dia pinter, berbakat di bidang bela diri, dan rencananya一"
"Rusak." Grace memotong dengan lancar. "Hamlet pinter, oke. Tapi di situasi genting, otak aja nggak cukup tanpa nyali. Kamu harus berani. Kamu harus jadi sosok yang realistis, bukan sentimental."
Mata Son Wendy menyala-nyala oleh kekaguman, saat menatap salah satu muridnya yang paling pintar. "Kesimpulan yang brilian, Grace. Kecerobohan Hamlet ngajarin kita buat bertindak tanpa terlalu banyak berpikir. Sederas air terjun, biarin semuanya mengalir."
Jinho yang lagi-lagi kalah berujar tidak terima "Ya, itu kata calon pembunuh berdarah dingin."
Sementara Grace sebatas tertawa. "Mungkin kamu bener. Tapi kalau kamu mau bunuh orang, ada baiknya kamu punya alasan yang bagus dan jangan ragu-ragu biar nasibmu nggak tragis kayak Hamlet. Biar nggak jadi orang tolol." Lalu tepat sebelum mendapat teguran, dia cepat-cepat menambahkan, "Maaf, Bu. Saya nggak sengaja."
Di hadapan Mark, gadis itu tersenyum amat, sangat, manis, bagai lukisan Dewi Athena yang puas seusai menenangkan sebuah pertempuran.
Otak dan otot.
Tuhan itu adil dengan memberimu salah satunya atau seimbang, masing-masing sedikit dari keduanya.
Mark Lee sudah lama tahu Grace Moon condong memperoleh yang mana, tapi sedikitpun, tidak terlintas di benaknya bahwa kalimat-kalimat mengenai Hamlet itu akan jadi nasehat yang berguna beberapa jam kemudian.
Helikopter yang dilihat Mark di jam pertama istirahat rupanya hanya satu dari beberapa yang melintas siang itu.
Mark melihatnya lagi, capung raksasa yang fantastis. Warna gelap kendaraan itu mirip mobil Jeno dan Jaemin. Bodi besarnya sejenak membuat lapangan一yang dipakai sebagai tempat berlangsungnya pelajaran olahraga一terkurung dalam bayangan, sebelum pilot membelokkannya dan menyingkir dari pandangan.
Mark mendongak, menaungi matanya dari sinar mentari. "Ada apa?"
Jawabannya adalah suara bariton gurunya yang berteriak, "Mark! Ambil bola voli di gudang! Sekarang!"
Mark mendesah.
Di suatu belahan bumi entah di mana, menjadi ketua kelas barangkali tidak terlalu berat, tapi pastinya tidak di Korea, atau lebih spesifiknya lagi, tidak di sekolahnya.
Di sini sepertinya ada kesalahpahaman, sehingga ketua kelas dianggap asisten sekaligus pesuruh yang akan dimarahi bila gagal mengatur teman-temannya (seolah remaja 18 tahun bisa diatur!) dan harus menuruti perintah guru meski ia lapar, ingin pulang, atau berkata kucingnya harus menikah padahal ia tidak punya kucing. Pokoknya tidak ada alasan. Titik.
Apa boleh buat. Mark dengan patuh berjalan ke gudang. Selangkah, dua langkah, lalu,
"Biar Grace aja, Pak!" Jinho tiba-tiba menyeletuk. "Kasian Mark capek."
Grace yang bersandar malas-malasan di sebuah pot tanaman memutar bola mata. "Saya?"
"Oke, Grace kalau gitu." Guru Han tidak ambil pusing. "Tolong ambil 2 bola voli ya, Grace."
Grace bangkit dengan tampang menderita yang segera disambut tawa terbahak-bahak Jinho.
Dendam seperti Hamlet. Rupanya ada yang terlalu mendalami pelajaran. Mark menggeleng-geleng. "Kekanakan."
Sebutir batu melayang dan mengenai punggung Mark dari belakang. "Nyantai aja. Nggak punya selera humor, hah?"
Mark mengabaikannya. Dia bergegas menyusul Grace yang sudah berangkat menjalankan tugasnya. "Aku bantu."
Grace menoleh sekilas. "Makasih, tapi aku masih bisa bawa 2 bola."
"Lewat sini." Sahutan itu juga diabaikan. Mark mengarahkan Grace ke tangga, alih-alih langsung ke gudang. "Harus ngambil kunci dulu di ruang guru."
"Oh? Aku nggak tahu itu."
"Biasanya ini tugas ketua kelas." Mark tersenyum. "Atau murid yang apes. Omong-omong kamu keren tadi. Selalu sukses ngehajar Jinho secara verbal."
"Jinho emang perlu dihajar."
Kekehan Mark meresponnya. "Kadang-kadang."
Tiba di ruang guru, Mark meminta izin membuka loker penyimpan kunci dan mengambil yang ia perlukan; kunci biasa, dengan gantungan bertuliskan, "Gudang olahraga", lalu mengajak Grace kembali ke lantai dasar. "Udah, ayo."
Mereka menuju ke tujuan yang asli dalam diam. Tipikal Grace sekali; tidak bicara kecuali ia mau atau diajak lebih dulu.
Klak.
Lampu menyala saat Mark menekan sakelarnya.
"Tunggu bentar."
Keadaan gudang itu agak berantakan. Ada banyak jenis bola一bola sepak, bola basket, bola voli一yang berserakan di lantai. Ketua kelas lain tidak serapi dirinya, dan jelas tidak merasa bertanggung jawab pada kebersihan.
Jadi Mark menghabiskan waktu beberapa menit untuk membereskan masalah itu dengan memasukkan bola-bola tersebut ke keranjang yang sesuai.
Setelahnya, dia menjepit 2 bola voli di lengannya dan mengunci pintu lagi. "Yuk, balik." Grace diam saja. "Grace? Grace?"
Grace tidak ada.
Mark celingukan, sesaat mengira gadis itu ke toilet atau minggat meninggalkannya. Tapi tak lama, sehabis menoleh kesana-kemari, dia menemukannya. Grace berdiri di lorong sepi yang mengarah ke taman belakang, fokus mengintip sesuatu.
Pelan, Mark menepuk pundaknya. "Lagi ngapain?"
Grace menunjuk satu titik. "Sshh. Ada yang ngerokok sama bolos."
Mark menghirup napas dalam-dalam dan ya, hmm .... Terdapat bau yang terlarang di sekolah. Dia melongok melalui bahu Grace, terkejut mendapati murid yang berpapasan dengannya dan si kembar sedang asyik mengisap sebatang rokok beralaskan rerumputan. "Nekat sama bego beda tipis."
"Kamu kenal?"
"Nggak secara resmi. Tapi一" tapi dia keluar dari tempat persembunyiannya dan menendang salah satu bolanya sebagai sapaan. "一enak?"
Bola tersebut jatuh menggelinding ke kaki Lee Haechan. "Mark Lee. Ada apaan?"
Mark tidak habis pikir. Dia tidak paham mengapa murid berandal satu ini sama sekali tidak takut ketahuan melanggar peraturan. Tidak panik, sesungguhnya, Lee Haechan hanya terlihat jengah. "Enak rokoknya?"
Seringai nakal terbentuk. "Mau nyoba?"
"Matiin rokok itu dan pulang ke kelasmu sana."
"Persetan." Haechan memprovokasi dengan mengeluarkan sekeping koin dari sakunya dan memain-mainkan koin itu, tidak peduli. "Bukan urusanmu."
Benar, namun Mark tidak bisa diam saja menyaksikan kejadian ini. "Kamu punya waktu 5 menit buat pergi. Guru Seo katanya mau patroli. Aku abis dari ruang guru."
Guru Seo adalah nama guru konseling yang sering berkeliling sekolah berbekal tongkat panjang yang tidak segan ia pukulkan pada pantat murid-murid nakal. Haechan, walaupun berstatus murid baru, pastilah mengenalinya karena ia mengerutkan alis. "Serius?"
Grace muncul dari ujung lorong. "Mark, buruan. Aku nggak mau kita dikira bolos juga."
Haechan serta-merta berdiri. "Nyampek mana dia?"
Bahu Grace mengedik acuh. "Terakhir kali sih lantai 2."
"Sialan." Rutuk Haechan, mematikan rokok dan mengantongi puntungnya yang padam. "Nggak bisa tenang sehari pun di sekolah ini." Selanjutnya dia memutar badan dan setengah berlari pergi dari taman.
Mark dan Grace mengamatinya sambil terkekeh geli. Lebih dekat dari yang pernah terjadi, mereka beradu kepalan tangan, dan tanpa diminta, Mark menjelaskan, "Dia temen sekelasnya Jeno sama Jaemin. Yang kembar itu, tahu kan?"
Grace mengiyakan. "Singkat dan padat, ya. Aku suka karena kamu nggak pake ngomel atau kekerasan. Pasti kamu natural born leader."
"Aku?" Mark menggeleng, sedikit malu. "Bukan, bukan. Aku jadi ketua kelas aja terpaksa." Tapi pengalaman mengisi peran itu pula yang mengajari Mark bahwa ada beberapa orang yang tidak bisa diatur dengan kekerasan. Layaknya 2 batu yang akan menghasilkan api jika bergesekan, Haechan termasuk tipe yang perlu ditangani dengan cara yang cerdas, bukan kasar.
Senyum Grace belum luntur. "Itu bakat yang bagus kok. Mestinya kamu bangga."
Gadis itu lalu melangkah cepat memimpin jalan, membiarkan perkataannya meresap. Mark membatin, leader, membayangkan teman-temannya yang bertingkah laku seenaknya, dan tergelak.
Grace, dia ingin berucap, jadi leader nggak sekeren kedengerannya. Itu beban yang besar, bahkan untuk skala memimpin 1 kelas yang terdiri dari 30 siswa.
Sayangnya, Grace sudah berlalu pergi.
"Udah dikunci ruangannya?" Guru Han, masih muda, selincah kangguru liar, menerima bola-bola yang Mark sodorkan. "Sekalian dipinggirin barang-barang itu, Mark. Bahaya kena temen-temenmu."
"Alat-alatnya petugas kebersihan?"
Guru Han mengangguk. "Mungkin lupa nggak diberesin."
Gampang. Mark menyambar sekop dan gunting besar itu, yang tergeletak di titik yang sama seperti beberapa jam yang lalu. Dia mengumpulkan keduanya, tapi karena takut si petugas kebingungan mencari, dia sekedar memindahkannya ke lokasi yang lebih aman.
Lapangan sekolahnya sejujurnya tidak besar. Terbagi menjadi 3 area; ada tempat parkir khusus guru, tempat parkir khusus siswa, dan sisi kosong yang digunakan untuk berolahraga, lengkap dengan ring basket yang tergantung di sebuah tiang berwarna gelap dan gawang yang lebih kecil dari ukuran standar FIFA. Letaknya yang dekat dengan gerbang tidak jarang membuat seseorang harus keluar memungut bola yang ditendang terlalu keras dan tinggi.
"Oke, anak-anak." Guru Han meminta semua orang berkumpul. "Karena ini pelajaran olahraga pertama sejak masuk sekolah, kita cuma pemanasan aja. Main voli一"
Raungan sirene ambulans yang memekik-mekik membelah udara. Bunyinya nyaring memekakkan telinga layaknya jeritan banshee yang membawa kabar kematian. Nada-nadanya yang tinggi dan mendesak membangkitkan rasa ingin tahu sekaligus kengerian, menyita perhatian, membuat berpasang-pasang mata berpaling ke gerbang dan mencari sumbernya.
Mark mendengar suara ban yang berdecit di aspal一suara yang akan terangkai saat kamu berusaha menghentikan laju kendaaraanmu yang menggila. Dan suara susulan yang terdengar seperti BUK! keras yang tidak ingin ia pikirkan apa penyebabnya.
Namun otaknya tahu, dan otak itu memikirkan satu kata, tabrakan.
Menambah keramaian, seorang wanita berteriak meminta tolong, lalu seorang lagi, dan lagi. Teriakan mereka yang melengking sarat akan teror dan rasa takut, sambung menyambung tiada henti. Mobil dan motor mengerem mendadak. Orang-orang turun dari kendaraan mereka.
Tertekan rasa penasaran, Mark dan teman-temannya mengintip dari sela-sela gerbang.
Itulah awal dari segalanya.
Cerita tentang Hamlet gua dapet dari hasil baca pratinjau di Google sama beberapa ulasannya, jadi kalau ada yang salah jangan sungkan buat ngoreksi ya 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top