01. Kita Beradab
Mark Lee tahu dirinya perlu bercukur.
Setelah memarkir motor serba putihnya di halaman sekolah, memastikan kendaraan itu sudah terkunci dengan benar, dia berkaca pada salah satu kaca mobil terdekat dan menyadari fakta yang membuatnya nyengir seorang diri; wah, ternyata aku ganteng juga.
Tsssah!
Fokus bercermin sambil mengelus dagu, mendadak mobil lain parkir di sebelah kirinya, dengan gaya ugal-ugalan yang minta ditilang. Warna hitam mobil itu一klasik, warna yang sangat umum berkat kesan elegannya一memantulkan sinar matahari dan dari kaca spionnya, pantulan si pengemudi yang gembira terlihat.
"Waduh," katanya tanpa rasa bersalah. "Maaf nggak sengaja!"
Padahal Mark yakin dia sengaja dan sama sekali tidak menyesal.
Nyaris bersamaan, pintu kanan dan kiri mobil itu terbuka, menampilkan si kembar Jeno dan Jaemin yang terkekeh-kekeh riang seperti sepasang penjahat tidak waras.
Kalau kamu melihat mereka, kamu tidak akan mengira usia mereka hanya terpaut beberapa menit saja. Keduanya kembar tidak identik, sangat mudah dibedakan baik dari segi fisik maupun sifat meski memiliki banyak kesamaan dalam hal kebiasaan.
Sebagai contoh, si kakak, Jeno, sudah punya SIM, punya otot-otot yang menonjol, dan suasana hati yang lebih terkontrol. Jeno adalah kiper tetap bila kelasnya bermain sepak bola, dan selalu jadi yang tercepat jika menyangkut berlari berkat hobinya bermain sepeda.
Adiknya, Jaemin, lebih moody. Kadang bisa sangat cerewet, di lain waktu malas bicara. Tidak suka strawberry karena semasa kecil pernah dipaksa ibunya makan buah itu dan sebaliknya, tergila-gila pada kopi, serta mampu membuat lebih dari separuh cewek-cewek di sekolah mereka sesak napas hanya dengan memamerkan dahinya.
Tapi mereka kembar一itu kenyataannya.
Lahir di hari yang sama, berada di kelas yang sama. Mereka adalah tim yang kompak, sering melakukan kejahilan bersama dan sepertinya itu termasuk hampir menggilas Mark dan pantatnya yang berharga.
"Bocah-bocah edan," gerutu Mark sambil mendengus. "Mau pamer mobil, ha?"
Jeno mengelurkan lengannya untuk beradu kepalan tangan dengan calon korbannya. "Dateng pagi?"
Sang adik menyambung, "Dasar murid teladan."
"Nggak juga," kilah Mark. "Sebenernya mau nyalin PR karena lupa ngerjain di rumah."
Si kembar mencibir.
Berawal dari bola yang ditendang Mark terlalu keras 2 tahun lalu, dan mendarat di dekat mereka yang saat itu masih sebatas murid junior, ketiganya bisa menjadi teman hingga sekarang, walaupun Mark satu tingkat di atas Jeno dan Jaemin.
Mark mengitari mobil itu perlahan-lahan, mengamatinya dengan matanya yang tajam. "Jadi ini, ya? Hyundai Santa Fe?"
Sang sopir bersandar di kursi pintu penumpang. "Keren kan? Udah dimodifikasi barang ayah pakek twin turbo."
"Awalnya berapa?"
"170 hp," jawab Jaemin, yang artinya, mobil tersebut punya tenaga 170 kuda. "Sekarang mungkin ... Ntah? 2 kali lipatnya?" Dia membuka kap mesinnya. "Mulus jalannya."
Mau tak mau, Mark berdecak kagum melihat mesin mungil cantik yang menjalankan si mobil. Dari luar, ini benar mobil keluarga, tapi dengan twin turbo, bukan tak mungkin Hyundai tersebut berjaya di sebuah arena balap. "Fiturnya?"
"Ground clearance 185 mm, 9-inch display audio, panaromic sunroof, 3 drive mode. Lengkap." Lalu sisi playboy dalam diri Jaemin mengimbuhkan seraya mengerling, "Intinya ini bisa buat ngangkut banyak cewek."
Giliran Mark dan Jeno yang memutar bola matanya jengah. Sejak dulu, Jaemin tenar dengan bakatnya menaklukkan wanita. Bahkan Jeno pernah bercerita ketika mereka masih kecil dan Jaemin sakit hingga harus disuntik, dia sengaja menggoda perawat dengan berkata, "Aw, sakit, noona!" yang membuat Jeno malu setengah mati.
Kini, berjalan bersisian menuju lantai dua, tiga pemuda itu dengan tas berwarna gelap di punggung masing-masing melewati seorang petugas kebersihan yang sedang merapikan taman menggunakan sebuah gunting besar dan sekop.
Jaemin, yang kelihatannya mengenal semua orang, melambai kepada petugas itu. "Gila. Gara-gara kapasitas sekolah dikurangin sampek 20% sekarang jadi sepi banget."
"Sisi positifnya pelajarannya lebih singkat." Celetuk Jeno ringan. "Nggak ada yang ribut pula."
Dan sebagai ketua kelas yang memikul tanggung jawab ketika teman-temannya ribut, Mark tak bisa lebih setuju. "Lebih tenang."
Tambahan lagi, ini jauh lebih baik daripada sekolah online yang selama ini mereka jalani.
Awalnya Mark berpikir, oke, belajar di rumah, woohoo! ini akan menyenangkan. Tidak akan ada guru yang berkata, "Jangan makan di kelas, ini bukan rumahmu!" sebab ia benar-benar berada di dalam rumahnya. Dia bisa mengucapkan selamat tinggal pada piket, suasana bising, serta rutinitas panjang yang melelahkan.
Siapa sangka, belajar di rumah justru layaknya menambah beban ke tongkat barbelnya.
Akhir-akhir ini hidup Mark hanya berkutat pada tugas, Zoom, Google Docs, dan一coba tebak一tugas lagi! Whoa, benar-benar gaya hidup yang tidak sehat, dan bila diteruskan berpotensi membuat banyak kepala murid-murid yang malang (dan stres) meledak.
Logikanya begini; tanpa ada tuntutan, bagaimana bayi akan belajar berjalan?
Tanpa ada yang mengajari, bagaimana murid akan memahami materi?
Jadi meski minggu pertama sekolah tatap mata bisa disebut agak gila, Mark cukup menikmatinya. Kadang ada keadaan di mana kamu hanya bisa menerima sekalipun tidak terlalu puas. Terlebih tiap kali ia mengeluh, ayahnya, seorang profesor kehormatan di SNU, selalu menekankan tentang pentingnya bersyukur, yang dilanjutkan dengan merinci angka tingkat kemiskinan di Korea yang menyebabkan anak-anak harus bekerja alih-alih mengenyam pendidikan, berikut faktor-faktor yang membuat angka itu sulit ditekan.
Suka tidak suka jalani saja.
"Tetep aja," sergah Jaemin. "Mending rame-rame. Kita ini makhluk sosial, kita butuh berinteraksi sama manusia lain, supaya kita nggak jadi orang yang一"
"Bacot." Dan buk, Jeno memukulkan tasnya pada adiknya. "Kalau kangen Winter nggak usah berbelit-belit."
Modusnya terendus, Jaemin cengar-cengir. "Kita emang sehati."
"Winter nggak masuk?" Tanya Mark seraya memimpin jalan ke tangga. Kebetulan, karena jumlah murid yang masuk dibatasi, kegiatan belajar-mengajar dipusatkan hanya di lantai dasar dan 2, dan mereka berada di areal yang sama.
Namun tepat saat dia mengulurkan tangan mencengkeram pegangan tangga, sesosok tubuh yang berjalan terhuyung-huyung tiba-tiba menabraknya dari belakang.
"Oi!" Seraut wajah yang terbingkai rambut ikal cukup panjang berbalik marah ketika mestinya Mark-lah yang menunjukkan ekspresi itu. "Hati-hati, orang Canada!"
Menjadi anak yang lahir dari perkawinan silang dari 2 ras membuat Mark terbiasa dengan panggilan semacam itu, tapi dia mengernyit karena tubuh murid tersebut bau asap rokok. "Mungkin kamu yang harus hati-hati, orang Korea."
Jaemin tertawa. "Asyik, ada yang berantem."
Si perokok, dengan name tag bernama "Lee Haechan" berdecak. "Lucu. Makanya jangan ngehalangin jalan." Lalu pada Jaemin, si penonton yang antusias, ia mendesis, "Dan ini bukan tontonan gratis."
Jeno yang lebih bijak mengayunkan tangannya seperti mengusir ayam. "Masih pagi, masih pagi. Berantem nanti aja pas lebih rame."
Di sisi lain, Mark, si pencinta kedamaian dan semangka, tidak menjawab. Dia tidak suka bertengkar bila bukan dalam situasi yang mendesak. Jadi dia hanya memandangi kepergian murid itu dengan raut wajah datar.
Sampai Jeno menyikutnya dan berbisik, "Lee Haechan. Temen sekelas."
"Nggak pernah ngeliat. Mukanya asing."
Jaemin mengambil alih, "Murid baru, masuk semester ini. Biasa nyari ribut dia, biarin."
Mark menghela napas.
Berpisah dengan si kembar, dia berbelok ke kanan, ke kelasnya sendiri yang tampaknya masih sepi. Saat ia melangkah masuk, dugaannya terbukti benar.
Semua bangku dan kursi kosong. Semua, kecuali deret bangku belakang yang dihuni seorang gadis yang kedua tangannya dihiasi berbagai macam gelang.
"Halo, Grace." Mark menyapa. "Dateng pertama?"
Grace mendongak lambat-lambat. "Iya."
Mark menunggu, mengira Grace akan mengatakan sesuatu yang lain, tapi gadis itu malah menyumpal telinganya dengan earphone dan bersiap tidur.
Ya ampun. Seharusnya Mark tidak terkejut.
Di setiap kelas, ada 2 jenis murid yang akan dikenang para guru; mereka yang nakal, dan mereka yang berprestasi. Namun di luar itu, dari pengalamannya menjadi ketua kelas selama 2 tahun berturut-turut, Mark belajar bahwa ada BANYAK sekali jenis murid; si pelawak, tukang tidur, tukang makan, pemalas.
Atau seperti Grace Moon, yang membenci sekolah dan tidak peduli seandainya gedung ini diterjang banjir maupun terbakar.
Grace penyendiri, tidak banyak bicara meski memiliki 2 teman yang sesekali mengajak ia bercanda atau ke kafetaria agar gadis itu tidak kesepian. Dia benci kebisingan dan orang-orang yang sok akrab, maka dari itu, Mark tidak mengajaknya bicara lagi.
Ini hanya hari biasa bagi seorang murid yang berada di tahun terakhir SMA-nya.
18 tahun lalu, Mark, yang nama Korea-nya adalah Lee Min Hyung, lahir pada tanggal 2 agustus.
Ceritanya romantis; seorang pria gagah asal Korea yang menuntut ilmu di Vancouver, jatuh cinta pada gadis manis penduduk lokal yang selanjutnya ia lamar dengan cara mengundangnya ke sebuah restoran, lalu menyanyikan sebuah lagu diiringan tekanan pada tuts-tuts piano.
Lamaran diterima. Musik dan segelas anggur, wanita mana yang bisa menolak?
Dari ibunya yang seorang penulis, Mark mewarisi kecintaan pada buku, freckles yang menyebar di puncak tulang pipinya, juga mata amber yang akan terlihat mencolok terlebih di bawah sorotan sinar matahari atau lampu berdaya tinggi.
Di rumahnya, Mark punya hampir segala jenis buku; koleksi karya Freud (favorit ayahnya), kumpulan puisi Bukowski (kesukaan ibunya), seri Robert Langdon Dan Brown, buku berlandaskan kisah nyata hasil riset James B. Stewart, Kritias-nya Plato (legenda Atlantis!) komik Jepang, dan tentu saja, buku-buku Paulo Coelho yang ia kagumi.
Tidak ada buku matematika.
Barangkali ini sudah sifat yang mengakar di keluarga, itu sebabnya Mark sudah 2 kali menguap.
Terlepas dari semangat positif Mark, pelajaran matematika dan fisika tanpa jeda itu terlalu banyak. Dia menduga, siapapun pelaku yang menyusun jadwal mengerikan ini pastilah psikopat atau paling tidak, keturunan Hitler.
BOSAN一parah.
Mark melirik ke belakang. Teman-temannya yang lain senasib dengannya, susah payah berjuang membuka mata. Grace, di pojok, bengong menatap punggung Areum dan Jia yang merupakan 2 orang terdekatnya.
Areum, seingat Mark, dulu sebangku dengan Grace, tapi sekarang lebih sering menempel pada Jia, meski ia tidak seketika melupakan Grace.
Hubungan antar cewek sangat rumit. Mark tidak begitu mengerti.
"Untuk mendapatkan hasil X," oceh gurunya di depan. "Maka kalian harus memakai rumus ini dan..."
Bla bla bla. Yang ini juga tidak kalah rumit. Sama-sama sulit dimengerti. Tak berbeda dengan dibacakan dongeng, Mark jadi kian mengantuk. Mungkin kalau ia tidur sebentar...
Hanya sebentar saja...
"Mark? Mark Lee!"
Mark terlonjak kaget, mengira dirinya sudah tertidur atau lebih parah lagi, ngiler di hadapan teman-teman sekelas. Dia berdiri, siap menerima omelan, tapi sang guru bahkan tidak menatapnya saat memberi perintah, "Tolong kumpulin tugas-tugas temenmu ya, bawa ke ruang guru kayak biasanya."
Kelegaan Mark keluar dalam bentuk hembusan napas panjang. "Siap, Pak."
"Sekalian hapusin papan tulis."
Hadapi saja, ketua kelas. "Siap juga, Pak."
Dengan itu, berusaha tidak memberengut karena waktu makan siangnya terpotong, Mark mulai berkeliling seperti preman yang alih-alih meminta uang, justru menagih tugas.
5 menit kemudian, dengan gerakan serba tergesa-gesa, Mark baru bisa ke kafetaria, untuk mengganjal perutnya. Dalam perjalanan, ia kembali bertemu Jeno dan Jaemin, yang tengah bicara dengan seorang pemuda berambut pirang terang yang 2 kancing teratas seragamnya terbuka.
Di sekolah Korea, ada peraturan aneh dimana kamu tidak diperbolehkan minum kopi一baik guru atau siswa一tapi diizinkan mewarnai rambutmu karena dianggap merupakan hak kebebasan individu. Itu sebabnya, murid yang rambutnya warna-warni mirip krayon adalah pemandangan yang lumrah di sini. Mark memutuskan bergabung dengan mereka karena teman sebangkunya, Lucas, sedang absen.
"Makan nggak?" Tanyanya sembari mengangkat alis.
Dia dan si pirang sejatinya tidak saling mengenal, tapi ada peraturan tak tertulis di antara laki-laki bahwa kenal atau tidak, mereka akan saling sapa. Bocah dengan tampilan luar khas berandalan itu mengangguk sekilas padanya, yang dibalas Mark dengan senyum simpul, lalu pergi.
"Itu Renjun." Jaemin memperkenalkan meski agak sedikit terlambat. "Dia bocah kampret dari China. Hobinya gonta-ganti warna rambut, ngemil pas pelajaran一"
Perhatian Mark kontan terbelah ketika ia menangkap bunyi sesuatu yang jatuh dari seseorang yang kemudian berjalan cepat menjauhi kafetaria. Grace menghentakkan kakinya kembali ke kelas, sendirian seperti yang sering terjadi, namun bedanya, bukan Areum atau Jia, yang ia ajak bicara adalah murid laki-laki tinggi yang memungut sebuah kotak terbungkus plastik di lantai.
Dari seragamnya yang masih mengkilap, kesan asing lain dan kemudaan di wajahnya, murid itu pastilah tingkat satu.
Entah apa masalahnya, si murid bernama "PARK JISUNG" itu agaknya sudah membuat Grace jengkel, dan ia menatap kepergian Grace seperti seorang adik yang ditinggalkan kakaknya di tempat ramai tanpa satupun petunjuk atau pegangan.
Di atas mereka, sebuah helikopter terbang bagai capung raksasa yang terbuat dari besi di langit biru musim gugur yang cerah.
Mark tidak tahu mana yang lebih menarik; kejadian Grace dan anak laki-laki itu, atau helikopter yang tumben-tumbennya melintas di dekat sekolah.
Ini Mark sama freckles-nya, di sini gua tonjolin karakter bulenya karena suka aja gitu wkwkwk 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top