00. Para Prajurit

Heukseuk-dong, Seoul, beberapa hari sebelumnya.

Hal terbaik dari olahraga adalah, jika serius dilakukan, itu mampu menghanyutkanmu dari hampir apa saja. Ketika jantungmu berdetak lebih kencang, otot-ototmu memanas, napasmu tak beraturan, masalah seolah terlepas bersama kucuran keringat. Bahkan masalah terbesar akan mengecil, menguap dari pori-pori. Hanya dengan berolahraga, banyak orang percaya, kamu akan merasa paling hidup saat sebagian dirimu ingin menyerah dan membalikkan badan dari dunia.

Sang Letnan bukan pengecualian.

Karena itulah dia bangun pagi-pagi dan melakukan push-up ditemani seekor anjing yang telah mendampinginya di misi-misi berbahaya lebih dari yang bisa dia hitung jumlahnya. Sementara anjing itu makan, Sang Letnan menumpukan satu tangan di balik punggungnya. Kepala tegak, kaki diluruskan. Lantai rumah yang dia huni mendekat dan menjauh di depan matanya. Usai dua menit berlalu dan 73 push-up, dia mengganti posisi tangannya dengan tangan yang lain dan mengulang dari awal.

Masih belum. Dia tidak puas. Keteledoran memicu amarahnya. Meski kesempurnaan seringkali sama nyatanya dengan oasis di padang pasir, dia pasti mengusahakannya menyangkut aspek-aspek yang bukan mustahil dicapai; push-up dengan benar, menyelesaikan misi tanpa cacat, naik pangkat.

Tidak cukup. Sang Letnan menggeleng kesal. Helaan napas kasarnya menyebabkan si anjing mengangkat kepala. Dia bersiul rendah. "Malrie." Anjing itu seketika menghampirinya.

Malrie, anjing jenis german shepherd, memiliki bulu berwarna cokelat yang dominan hitam di wajahnya, serta penciuman tajam sehingga cocok dijadikan rekan patroli malam. Dahulu, nenek moyangnya lebih populer sebagai penggembala domba, sebelum orang-orang sadar betapa tinggi tingkat intelegensi mereka. Dengan latihan intensif, rupanya anjing-anjing seperti Malrie bisa menggigit kaki penjahat, mendeteksi bahan peledak, sampai mengendus narkoba. Selama ini mereka cocok, hubungan mereka bertahan lebih lama dibanding hubungan Sang Letnan dengan pacar-pacar manusianya.

Sang Letnan bersenandung pelan ketika memakaikan rompi pada anjingnya. Lagunya adalah satu dari banyak lagu yang kerap dinyanyikan tentara saat merindukan rumah dan perlu mengingat-ingat apa yang mereka perjuangkan.

"Prajurit kebanggaan negara
Panas dingin tak berarti apa-apa
Ditempa jadi kuat
Kami siap berkorban
Putra-putri yang tak pernah gentar."

Rompi selesai dipasang. Tulisan "DO NOT PET" terpampang di bagian kanan, sebuah peringatan bagi orang awam yang tidak mengerti bahwa anjing yang aktif bertugas tidak boleh dibuat terdistraksi. Sang Letnan menambahkan kalung, lalu rantai. Dia mengaitkan ujung lain rantai panjang itu ke sabuknya agar tidak perlu terus menggenggamnya selagi berlari.

"Semua demi tanah air tercinta
Termasuk bila harus pulang nama."

Anjingnya siap. Sang Letnan tersenyum, dia sendiri bersenjatakan sebilah pisau, pistol Sig Sauer P226, dan sebungkus snack anjing. "Ready?" Malrie menggonggong riang. Dia tahu apa arti kata 'ready'. Baginya, kata itu permulaan dari latihan rutin harian mereka.

Di luar, Sang Letnan berpapasan dengan Sersan Dua Kim Doyoung, yang melakukan hormat, tapi menyapa anjingnya lebih dulu ketimbang atasannya. "Halo, Non. Mulai lebih pagi hari ini?"

Kim Doyoung adalah pria muda yang menyukai game yang mengasah otak, pistol mengilap, keributan, dan buah asal Indonesia, salak. Lahir dari seorang ayah yang merupakan atlet angkat berat dan ibu atlet lari maraton, sejak kecil Doyoung sudah memupuk sifat kompetitif. Sifat itu pula yang kemudian membuatnya tembus ke Divisi Infanteri ke-9, Baekma, atau yang lebih dikenal sebagai White Horse, setelah rampung menjalani pelatihan selama 5 minggu lamanya. Badge kuda putih berlatar warna biru kebanggaannya tersemat di dada.

Sang Letnan bertanya, "Ada masalah sewaktu jaga malam?"

"Masalah-masalah biasa. All clear."

"Lanjutkan, Serda Kim."

"Siap, laksanakan!"

Percakapan singkat mereka berakhir di situ. Sang Letnan dan anjingnya keburu pamit, lari bersama di mulai dari langkah-langkah pelan yang semakin cepat. Tidak sulit bagi Malrie mengimbanginya. Secara alamiah, german shepherd terlahir kuat dengan energi melimpah. Anjing itu sanggup berlari hingga 48 km/jam. Malrie berlari seolah terbang, seolah kakinya tak pernah terluka akibat serangan tempo hari di barak.

Oleh Pratu Yoo...

Topi baret terpasang di kepala Sang Letnan, melindunginya dari dinginnya udara malam. Salah satu ujung topi itu menyentuh bekas luka yang hampir serupa mawar di samping matanya. Luka-luka perang. Luka dari misi yang sukses dia kerjakan dengan selamat. Bekas lukanya kadang bertahan lebih lama dari medali-medali yang dia dapat.

"Malam, Letnan!" Prajurit Satu Yoo Seungjae memberi hormat, menyapa ramah. "Sudah pulang?"

Saat itu, Sang Letnan baru menyelesaikan tugas mengawal seorang perwakilan dari organisasi kesehatan terbesar di dunia, sehubungan dengan pendistribusian vaksin dan peninjauan lainnya. Sebagai bentuk terima kasih, pemerintah memanggil prajurit-prajurit dari pasukan elit guna menjaga wanita itu, yang dipanggil Miss Devara itu, hingga aman di pesawat yang akan membawanya pulang. Sang Letnan salah satunya.

"Malam, Pratu Yoo. Nggak patroli malam ini?"

Pratu Yoo mengusap hidungnya. "Saya disuruh istirahat gara-gara nggak enak badan. Serda Kim Doyoung yang menggantikan saya."

"Sakit apa?"

"Demam, mungkin efek samping vaksin."

Sang Letnan tertawa. "Saya belum. Mungkin besok."

"Yah, sebaiknya jangan buru-buru. Rata-rata yang vaksin ngeluh badannya sakit semua. Sersan Kim aja bilang ke saya dia sengaja nunda."

"Itu sih akal-akalan Doyoung yang takut jarum suntik!"

Keduanya kembali berbagi tawa sebelum Sang Letnan menyimpan senjatanya dan mengantar Malrie ke kandang. Jangan bayangkan kandang itu seperti kandang anjing penjaga rumah. Malrie ditempatkan di bangunan yang cukup besar di dekat bangunan utama. Dia punya kamar pribadi, atau pada dasarnya, rumah mini, tempat dia bebas mondar-mandir. Bagian luar kandang itu mirip penjara, dengan jeruji perak, yang sengaja dibuat tinggi agar sulit dilompati.

Pada bagian samping tertera papan yang memuat aturan-aturan pelatihan anjing militer. Papan kedua lebih kecil, berisi nama Malrie dan nama Sang Letnan, selaku handler-nya. Terdapat mangkuk makanan dan air. Kait untuk menggantung kalung dan rantai, bahkan bangku panjang andai Malrie sakit dan butuh ditemani. Secara keseluruhan ruangan itu menimbulkan kesan nyaman. Kebersihannya tidak perlu dipertanyakan.

Sang Letnan mencopot seluruh atribut Malrie, mengelus perutnya dengan sayang. "Malrie anak pintar. Anak hebat. Tangan?"

Malrie menyodorkan tangannya dan mereka tos.

"Good girl, good girl. Besok jadwalnya kamu mandi sebelum kita lari, oke?"

Mereka asyik berbincang-bincang. Manusia dan anjing yang bicara dengan dua bahasa berbeda. Ada kebanggaan tersendiri setiap kali mereka berhasil menyelesaikan misi, ada juga rasa lelah. Setelah beberapa menit, Sang Letnan mendapati bahunya bersandar di dinding, mulutnya menguap. Dia lapar. Namun, kantuk itu lebih kuat, dan tak lama dia terlelap.

Malrie menggonggong lagi.

Ini kegaduhan yang berbeda, jenis gonggongan yang dikeluarkan Malrie saat mencium bahaya. Anjing terlatih seperti Malrie takkan bereaksi seganas itu jika tidak ada hal-hal mencurigakan. Sang Letnan tersentak bangun, kekagetan membasuh tungkai-tungkainya. Dia celingukan, mencari sumber bahaya itu dan melihat一

Ada seseorang yang berjalan ke arahnya.

"Pratu Yoo?" Kemunculan Pratu Yoo membingungkan Sang Letnan. "Pratu Yoo, ada perlu apa?" Malrie menggonggong lebih keras, menggertak Pratu Yoo seakan tidak mengenal baunya. "Hei, tenang."

Anjing itu tak menghiraukannya. Bibirnya tertarik ke belakang, menggeram buas. Bulu dan cuping telinganya tegak, suatu gelagat yang akan diterjemahkan pawang anjing mana pun bahwa anjing itu merasa terancam dan berancang-ancang menyerang.

"Malrie, diam!"

Malrie tiba-tiba menerjang Pratu Yoo, membenamkan gigi-giginya ke kaki prajurit itu. Bunyi robekan kain menyebar bagai riak air. Darah merah gelap, darah yang terlalu gelap untuk ukuran manusia, mengalir dari betis Pratu Yoo ke sepatunya yang berwarna hitam.

Respons Sang Letnan hanya terlambat setengah detik sebelum dia berupaya memisahkan mereka. "Malrie, out! Out!"

Kode itu di hari lain ampuh membuat Malrie melepaskan targetnya. Hari ini, entah kenapa, Malrie enggan mematuhinya. Malrie malah menggigit lebih dalam, mengoyak daging Pratu Yoo dengan gigi runcingnya. Geram, si prajurit meraih kaki depan anjing itu lantas melemparnya dengan satu tangan ke dinding seberang. Malrie mendengking kesakitan. Kakinya ikut menitikkan darah.

Sang Letnan terkesiap. Kesempatan mengecek kondisi anjingnya tak pernah datang manakala Pratu Yoo menghadang jalannya. Ketika tangan yang mencelakai Malrie hendak mencabik lehernya, Sang Letnan merenggut dan memutar persendian lengan itu hingga dia mendengar bunyi tulang-tulang yang bergeser. "Pratu Yoo, apa-apaan ini?"

Tidak ada jawaban. Pratu Yoo justru mengatup-ngatupkan rahangnya meniru singa. Matanya yang semula berwarna segelap sepatunya, kini berubah seputih sarang laba-laba.

Tenaga prajurit itu terbukti terlalu besar untuk diredam dengan teknik melumpuhkan biasa. Pratu Yoo tetap teguh mengincar leher Sang Letnan. Jari-jarinya menekuk laksana cakar, berniat menusuk mata. Sang Letnan mengelak. Dikendalikan insting, dia mendaratkan tiga pukulan beruntun di sisi kanan wajahnya, dan membenturkan lututnya ke kulit lunak di bawah dagu dengan harapan si prajurit akan pingsan. Atau minimal, jatuh terjengkang.

Pratu Yoo memang sempat jatuh, tetapi yang mengherankan, dia punya cadangan tenaga untuk bangkit walau harus menyeret kakinya yang terluka. Ekspresinya kosong, tidak manusiawi. Dia terlihat lebih binatang bahkan dari Malrie dalam keadaan lapar.

"Letnan!" Seseorang menyerukan marganya, menyandang senjata MP5, dan menembak. Berikutnya, Pratu Yoo terkapar. Sebutir peluru yang ditembakkan dari jarak dekat merusak kepalanya.

"Pratu Yoo?" Sang Letnan perlu meyakinkan dirinya bahwa pembunuhan itu nyata.

"Letnan ... Jangan." Penyelamatnya tiba dengan napas tersengal-sengal, lebih karena panik daripada lelah. "Lebih baik jangan sentuh dia."

"Kopral Ha?" Ternyata itu Ha Seon, pria yang setahun lebih tua darinya. Namun, berpangkat lebih rendah berkat relatif lambat bergabung dengan dunia kemiliteran.

"Letnan, ambil ini." Seon menyerahkan senjata lain yang dibawanya, sebuah HK416 dengan tergesa-gesa. "Pratu Yoo pasti terinfeksi. Ada puluhan yang kayak dia. Mereka ngumpul di bangunan utama."

"Apa maksudnya ini?"

"Saya nggak begitu paham, tapi ada virus aneh yang nyebar di barak. Jangan sampai digigit atau dicakar. Komandan memberi perintah mengeliminasi mereka dengan tembakan di kepala. Otak, spesifiknya, bukan jantung."

"Secepat ini?" Perintah semacam itu bukan gurauan bagi tentara. Bagi mereka yang bergerak berdasarkan naluri dan perintah atasan, mengabaikannya tidak pernah menjadi pilihan. Nekat melanggar akan menuntun pada konsekuensi berat一masuk penjara militer, dipecat secara tidak hormat, kehilangan rekan, kehilangan nyawa. Ini pertama kalinya bagi Sang Letnan diminta mengeliminasi rekannya sendiri, dan dia tidak mengerti.

Seon mengangguk. "Kita harus ngambil lebih banyak senjata. Mari, Letnan."

Sang Letnan tidak lekas menyusulnya. Dia berlutut di atas Malrie, memeriksa lukanya dengan teliti. Ada luka selebar 3 senti di kakinya, yang untungnya tidak patah. Lemparan Pratu Yoo tidak terlalu kuat sebab Malrie anjing yang besar dan berat一bobotnya 31 kg. Pemeriksaan kilat itu menyatakan Malrie tidak terluka parah, meski agak terguncang.

Sang Letnan dengan efisien menenangkan anjing itu sekaligus memasang tali senjatanya ke pundak. Tiga atribut utama Malrie一minus kacamata dan pelindung telinga一kembali dia turunkan dari kaitnya. Dalam 50 detik dia melangkahi mayat Pratu Yoo. Dia bergegas mengekori jejak Seon lalu membantu seorang prajurit kepala一atau Praka singkatnya一Kim Jungwoo yang terduduk di tanah. Tiga meter dari lokasi, Doyoung yang kembali dari patroli berdiri kebingungan, dan dia melambai. "Perhatian, semuanya, atur posisi!"

Dalam 90 detik, dia mengisi peran pemimpin, mengkoordinasi teman-temannya supaya berbaris rapi. Mereka terjun ke medan pertempuran itu, berbekal senjata modern, serta nyali.

Sang Letnan menggelengkan kepalanya saat ingatan itu menyeruak ke permukaan. Larinya melambat. Sudah sekitar 10 menit berlalu dan rasanya dia baru menempuh jarak dua km. Rekornya terlewat! Dia kesal一pada virus sialan yang memangsa teman-temannya, perubahan yang dipaksakan, dan rumahnya yang lenyap. Sambil melirik Malrie sekilas, Sang Letnan mengarahkan pandangannya ke jalurnya dan fokus, agar pikirannya berhenti berkelana.

Ketegangan sedang panas-panasnya ketika Sang Letnan pulang, 22 orang berkumpul di bawah langit一tak ada ruangan yang cukup luas untuk menampung mereka semua一masing-masing berwajah tidak senang.

Seon, Doyoung, Jungwoo, serta seorang Sersan Satu wanita Kim Sejeong, berdiri saling berdempetan di satu titik. Warga sipil dengan berbagai profesi, orang-orang yang mereka tolong dan bersedia bekerja sama dalam tim, menyebar membentuk formasi lingkaran. Kaku, kelam, muram. Lingkaran itu terputus begitu kehadiran Sang Letnan dan anjingnya diketahui.

Seorang pria segera maju. "Letnan, Sersan Doyoung bilang hari ini kita akan ke Bundang, apa itu benar?"

Sang Letnan tidak menganggap pertanyaan itu prioritas. "Mana anak-anak?" Sejauh ini ada empat anak-anak di kelompok mereka, keempatnya berusia di bawah 10 tahun. Jiwa-jiwa polos yang padanya Sang Letnan menaruh iba sebab terpaksa berjuang di dunia yang rusak saat seharusnya bersenang-senang.

Satu dari dua anggota asli China yang mereka punya juga maju. Yang ini masih muda, dulunya mahasiswa. Dia tidak banyak bicara sejak ditemukan dua hari yang lalu bersama dua anak-anak yang dia klaim adalah tetangganya. Winwin, si pendiam. "Mereka di rumah, Letnan, karena ... Yah, acara ini nggak sesuai umur mereka."

Sang Letnan mendongak. Benar saja. Di jendela terbesar, tampak empat anak-anak yang tidak diundang di acara perdebatan ini mengintip penasaran. Yomi dan Raon yang bersaudara, Sieun, lalu Ryuhwan. Dahi mereka ditempelkan di kaca, mata mereka terbelalak.

Pria pertama yang mengonfrontasinya mendesis tak sabar. "Letnan, apa itu benar?"

Kebalikan dari Winwin adalah pria itu, Hong Namgyu, yang mengeluh nyaris mengenai segala sesuatu sepanjang waktu. Jungkir balik dunia baru ini mencuri sedikit atau banyak kemanusiaan dari diri orang-orang yang bertahan, dan dalam beberapa kasus seperti Namgyu, menggantinya dengan sikap paranoid akut.

Sang Letnan berputar menghadapnya. "Ya, Anda keberatan?"

"Tunggu sebentar, Letnan!" Seorang wanita yang duduk di tangga melompat bangkit. "Saya nggak denger bagian dimana Anda menyatakan Bundang itu aman. Atau sudah? Kapan?"

"Tidak ada jaminan, Bu. Yang ada cuma harapan一"

"Harapan!" Pria lain menimpali. "Kenapa kita mau pindah dari satu kota ke kota lain berbekal harapan? Apa harapan ini bisa bikin kita kenyang? Hah?"

Seruan protes dari kerumunan meningkat dari bisikan menjadi teriakan. Intonasi suara mereka meninggi digelayuti kekhawatiran. Jawabannya mungkin ya, mungkin tidak. Satu yang pasti, Sejeong tak bisa tinggal diam. "Begini! Bundang memang masih abu-abu, dan berat buat kita meninggalkan kota ini, tapi kalau nggak bergerak, kita semua bakal jadi mayat! Pilihannya pasrah atau berani keluar dan mencari rumah baru. Mencari, bukan menunggu keajaiban!"

"Darimana sebenernya ide ini berasal?" Namgyu mendengus tak suka, belum menuntaskan keingintahuannya.

Jungwoo, prajurit termuda, berdeham sebelum membuat pengakuan. "Saya, ada informasi tentang shelter besar di Bundang, dan saya dapat informasi itu dari ... Media sosial."

"Teman Anda? Kerabat?"

"Bukan, Pak. Orang asing."

"Mengecewakan! Jadi ini dia informanmu, Letnan? Prajurit berpangkat rendah yang sama nggak tahunya dengan kita?"

Sang Letnan menyahut tenang. "Oh, saya lebih percaya Praka Kim daripada Anda." Dan menikmati hasilnya saat Namgyu bungkam. Dia membalas tatapan-tatapan gusar di sekelilingnya dengan tatapannya sendiri yang tak terbaca. "Saya nggak akan menyarankan Bundang tanpa pertimbangan matang. Nggak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini. Tempat-tempat potensial sudah dijarah, isi kantor polisi dikuras. Shelter pun nggak nampak dimana-mana. Maka dari itu kita ke Bundang, karena seenggaknya ada harapan, kecuali kalian lebih suka muter-muter kota ini tanpa tujuan?"

Seseorang mengangkat tangan, pria Jepang seusia Sang Letnan yang telinganya penuh tindikan, Nakamoto Yuta. "Apa kita punya sarana yang memadai buat ke sana?"

"Ya, ada beberapa rute yang bisa kita coba. Stok bahan bakar, air, dan makanan masih lumayan banyak. Ada juga senjata-senjata yang kami peroleh dari polsek Namburo."

"Nggak semua orang kerjanya tidur-tiduran." Doyoung menyenandungkan sindiran itu dengan lantang. Doyoung, yang mungkin takut pada jarum suntik tapi tak pernah takut mengutarakan pendapatnya. "Iya kan, Pak Hong?" Namgyu melotot padanya, seolah itu berefek pada si prajurit bebal.

Sang Letnan memperhatikan angka yang ditunjukkan jam tangannya. "Kita berangkat satu jam lagi. Silakan sarapan dulu. Temui saya jika ada keberatan lain."

Kerumunan itu langsung bubar, berbelok ke tiga rumah yang dipilih Sang Letnan sebagai tempat tinggal sementara mereka. Miliknya adalah rumah yang di tengah一satu lantai, beratap rendah, sederhana. Dia menuntun Malrie masuk menuju mangkuk air minumnya.

Tanpa menoleh, Sang Letnan tahu dirinya dibuntuti dari suara gerutuan di belakangnya. "Keparat tukang ngeluh. Apa untungnya kita nampung dia?"

Sang Letnan menyembunyikan senyum. Dia sudah akan menyahut tatkala tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang memantulkan sinar matahari di atas meja. Foto kelihatannya, dalam kondisi bagus ditengok dari ujung-ujungnya yang tak tertekuk. "Apa ini?"

"Hm? Oh, itu?" Doyoung angkat bahu. "Foto di laci dashboard mobil Namgyu. Hyundai Santa Fe kalau nggak salah."

"Mobil mahal."

"Bukan punya dia, katanya dia nemu mobil itu di apotek."

"Oh ya?" Jemari Sang Letnan meraih foto terdekat, yang masih terbungkus plastik, agaknya baru dicetak. Itu foto dua remaja laki-laki. Satunya kekar, satunya ramping. Mereka sama-sama tampan. Namun, tak mirip. Mungkin bersepupu. Mereka berdiri mengapit mobil Hyundai itu, yang dihias sepotong pita besar. Si remaja kekar mengenakan helm bersepeda. Remaja ramping memberengut pada strawberry di kue ulang tahun yang dia pegang.

Foto kedua masih tentang mereka, bersama remaja ketiga berambut pirang, yang bergaya mengemudi layaknya seorang pembalap.

Foto ketiga hanya memuat si remaja ramping saja, kali ini dia ditemani seorang gadis. Mereka sebaya dan satu sekolah一seragam mereka identik. Gadis itu berambut pendek, kulitnya seputih salju, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang hangat.

Senyum Sang Letnan mengembang lebih lebar mengingat masa mudanya yang lebih tenteram. "Apa kabar bocah-bocah ini sekarang?"

Hadeeeh keknya percuma ya gua sensor nama "Sang Letnan" ini, kalian pasti dah tahu siapa dia 🤧 terus kenapa tetep gua sensor dong?? Ya gpp si pengen aja 😥

Kalian mungkin bertanya2, apa fungsi part ini dan apa hubungannya sama cerita utama, tapi pelan2 dulu yeorobun, semua bakal terungkap kok. Hayooo yang ngira ini part tentang penyerangan ke arena kalian kena prank HAHAHAHA 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top