The Last Monkey: Shizaru
"Juniverre ... pengantinku ...."
"Heh! Siapa kau begundal! Sejak kapan kita pernah ada acara lamaran."
"Juniverre ... akhirnya kita bersatu ...."
"Halu! Cepat bangun, cuci muka, lalu lepaskan aku dari sini!"
"Juniverre ...."
"Sudah, sudah! Jangan main drama lagi! Suara merajukmu itu bikin mual, tahu!" omelku. Andai saja aku tidak terkungkung seperti ini, tentu sudah kuhajar orang atau siapa pun yang cukup gila mengklaim seseorang sebagai pengantinnya.
"Sekian lama menunggu ... dan kalian masih dengan congkaknya menolakku, wahai kalian kaum pengingkar!"
Apa-apaan makhluk ini? Kenapa suara setan penghuni neraka andalannya kembali lagi? Tunggu, tunggu ... jangan-jangan ... jangan-jangan saat ini kami memang terdampar di ... neraka? Tidak, tidak! Apa yang kau pikirkan, Juni!
Meski berusaha menghibur diri sendiri, aku tetap tidak bisa mengenyahkan satu pertanyaan penting, 'Apa yang telah kulakukan hingga layak mendapat neraka?'
"Hei, Tu—Tuan Monyet ... yang baik hati dan tidak sombong—"
"Kita tidak berada di Neraka, Juni. Hampir—"
"Nana? Nana ... syukurlah kau baik-baik saja. Apa yang terjadi di sini, Nana?"
"Pergi kau, pengganggu!"
"Shizaru ... lepaskan dia, cucuku tidak bersalah terhadapmu. Semua ini salah kami, jangan libatkan dia ... kumohon ...."
"Nana? Kenapa kau memohon-mohon begitu? Jelaskan padaku, apa yang terjadi?"
Suara terkikik melengking itu terdengar lagi. Kurasa makhluk ini memang sudah gila. Namun, apa pun itu aku perlu tahu apa yang menyebabkan kegilaannya, bukan?
"Kau ingin tahu? Sungguh kau ingin tahuuu ...?" Sambil terkikik histeris makhluk yang napasnya lebih panas dari api kompor milik Nana tahu-tahu membunyikan sesuatu.
Aku hanya bisa menebak suara ini berasal dari ratusan lonceng-lonceng kecil yang sengaja dibunyikan bersamaan. Tidak lama asap dari kemenyan yang pekat seakan menyumpal rongga hidung hingga aku kesulitan bernapas.
"Apa ini ... kalian sekarang main dukun-dukunan, hah ...?" Lagi, kepalaku serasa dihimpit dua batu besar bermagnet yang berbeda kutub. Ingat hukumnya, bila kutub yang saling berlawanan akan apa? Ya, tarik-menarik ....
***
Aku terbangun dalam suatu ruangan gelap. Sumber cahaya hanya berasal dari sebatang lilin—yang bertengker di tempat lilin—di tengah meja kayu.
Rumah Nana? Ya, tidak salah lagi, ini rumah Nana. Aku kenal betul meja kayu yang dibuat oleh Pipo ini. Hitung saja garis-garis kambiumnya.
"Sara?" panggil seorang pria yang aku yakin versi muda dari Pipo. "Kau yakin?"
Tunggu, kalau pria di depan ini versi muda dari Pipo, berarti ... aku tengah terkirim ke masa lalu? Atau ini adalah memori seseorang? Memori Nana? Untuk membuktikan teori, aku buru-buru menatap telapak tangan sendiri. Benar, transparan.
Jadi, saat ini aku adalah makhluk tanpa raga kasar. Alias ... bagian dari partikel astral yang sering disebut Nana. Hantu? Tidak, tidak ... aku belum mati, jadi tidak pantas melabeli diriku sendiri sebagai hantu, bukan?
"Ya. Bila tidak dicoba, kita tidak akan tahu, Frans."
Ah, ya. Aku sampai lupa bila Pipo punya nama—Frans. Rasanya cukup aneh juga mendengar seseorang memanggil nama Nana setelah sekian lama. Sungguh, aku cucu durhaka yang terkadang lupa dengan nama nenek sendiri. Ayolah ... Nana adalah panggilan yang cute untuk seorang nenek yang paling kita sayang. Jangan berdebat denganku, karena ini fakta!
Sepertinya Pipo luluh dengan keteguhan hati Nana. Ia mengembuskan napas berat sambil menggeleng sebelum berkata lemah, "Baiklah."
Pipo membawa tempat lilin dan keluar bersama Nana ke halaman belakang. Aku membuntuti mereka. Enaknya tidak memiliki raga adalah bisa menembus tembok kayu sesuka hati, tanpa perlu tersangkut.
Ah ... nostalgia sekali. Jalan setapak di taman belakang sama sekali tidak berubah banyak dari yang kuingat. Karena sekarang musim gugur, seluruh pekarangan belakang ditutupi guguran dedaunan kering. Beberapa labu besar yang ditanam Nana juga siap dipanen dan dikirim ke kediaman kami di kota.
Aku tidak menemukan keanehan apa pun selama menyusuri jalan setapak yang dibatasi oleh pagar kawat yang didirikan oleh Pipo. Bila memang sial, terkadang hewan liar akan masuk dan merusak kebun sayur Nana. Jalan tanah ini akan berakhir di area danau besar, tempat aku dan dua saudaraku bermain dulu. Tunggu dulu, rasa-rasanya aku pernah punya dua teman sebaya laki-laki.
Mereka adalah ...,
Nama mereka adalah ....
Oh, apa ini? Kenapa kepalaku berkabut? Siapa nama mereka berdua, kenapa aku tidak bisa mengingatnya? Bukan hanya nama, tapi aku ... aku benar-benar tidak bisa mengingat wajah keduanya! Teman macam apa aku ini ...?
Akh! Sudahlah, ada yang lebih penting dari mereka, bukan?
Aku hampir kehilangan jejak Nana dan Pipo karena sibuk memikirkan dua sosok tadi. Entahlah, mungkin saja mereka berdua hanya hasil imajinasi belaka saja. Namun, kenapa hatiku tidak tenang begini, ya?
Pendar cahaya remang lilin membingkai pintu kayu lapuk di tepi danau. Rasa-rasanya aku tidak pernah melihat ada gubuk reyot berdiri di sana. Atau ... jangan-jangan aku pikun sebelum waktunya? Sebagai seorang 'hantu sementara', aku tidak perlu khawatir langkahku akan mengalihkan perhatian Nana dan Pipo yang sedang duduk bersila di atas karpet merah butut.
Hanya kepalaku yang menembus tembok. Seru juga bila mengangetkan James dengan cara ini saat dia berkencan. Pasti seru melihat pacarnya kejang-kejang.
Suara Pipo berhasil memanggil perhatianku supaya tidak terbang ke mana-mana. "Sara, kau siap?"
Nana mengangguk mantap. Pipo membuka selubung hitam dari bongkahan besar di depan mereka. Meski tidak perlu bernapas, entah mengapa aku malah sempat menarik napas dan lupa mengembuskannya kembali.
Aku mendekat dan duduk di samping mereka. Bongkahan besar yang nyaris sejajar dengan puncak kepalaku adalah patung batu merah berbentuk monyet. Soket matanya disumpali oleh batu permata berwarna kuning, aku tidak tahu permata apa yang ditahtakan di situ.
Sebentar. Monyet ini ... tangannya yang tersilang seolah menutupi abdomen. Apa maksud yang ingin disampaikan oleh pemahatnya? Lalu, untuk apa Nana dan Pipo ke sini? Jangan bilang ... mereka pemuja patung batu ini. Aku membekap mulut dan menatap mereka. Keduanya tengah komat-kamit sambil menutup mata, khusyuk sekali.
Aku menyendengkan telinga, penasaran dengan setiap kata yang meluncur dari bibir mereka yang terus bergerak-gerak. Namun, tidak ada satu pun kata yang kumengerti. Entah bahasa apa yang mereka ucapkan terus-terusan.
Tidak lama, mata patung batu di depan kami menyala. Oh, tidak! Jangan bilang ini nyata!
Nana bersuara hingga aku menoleh. Matanya masih terpejam rapat. Seolah mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Nana, tangan patung monyet di depanku terulur lalu menengadah. Apa lagi yang akan terjadi?
Pipo mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya—selembar foto tua tanpa warna—lalu diletakkan di telapak tangan patung. Penasaran, aku mencondongkan tubuh untuk melihat lebih jelas wajah yang terpampang. Nyonya Emma?
Kenapa Pipo punya foto tetangga mereka? Bukan, bukan ... pertanyaanku seharusnya, untuk diapakan foto Nyonya Emma?
Aku terhenyak sewaktu foto tersebut terbakar sendiri hingga habis dan menyisakan lembaran hitam yang teronggok di atas karpet.
"Terbakar?" Pertanyaan Nana mengundang rasa ingin tahuku. Matanya jelas menunjukkan kengerian. "Frans ...."
Pipo hanya menunduk lemas dan menolak bertatapan dengan Nana. "Kuharap ini yang terakhir, Sara ...."
Apa? Ada apa?
Aku ingat sekarang! Nyonya Emma adalah teman Nana dalam klub menjahit. Dia tewas dalam kebakaran mobil sembilan bulan sebelum kelahiran James, adikku. Menurut saksi mata, tubuh Nyonya Emma tiba-tiba dijilat api yang entah datang dari mana.
Spontaneous human combustion? Aku tidak percaya dengan kasus-kasus aneh di mana seseorang tiba-tiba terbakar tanpa ada pemicu. Banyak yang sependapat denganku, sehingga kesaksiannya diragukan dan ditepis begitu saja.
***
Kicau burung dan dersik angin yang memainkan dedaunan memanggilku untuk mendongak dan memerhatikan sekeliling. Aku kembali ke danau di belakang rumah Nana?
Tidak lama jeritan melengking ibuku membelah suasana yang sempat damai ini. Aku menoleh dan melihat wanita berambut sebahu di ujung sana menunjuk-nunjuk panik. Kuikuti arah tunjukkannya dan ... ada dua tubuh yang mengambang sambil tertelungkup.
Korban tenggelam? Aku berdiri dan menghampiri ibuku. Namun, dia seolah tidak tahu keberadaanku dan terus berteriak-teriak memanggil siapa pun yang ada dalam kemah untuk ke luar. Ya, terkadang kami sekeluarga memang suka memasang tenda dan bermalam.
Baju yang dikenakan oleh ibu, mengundang perhatianku. Aku ingat ibu memakai kostum penyihir karena aku merengek ingin bermain cosplay di hari ulang tahunku yang ke-12. Fer dan Lir kupaksa memakai baju peri, lengkap dengan sepasang sayap transparan. Mereka bahkan harus memakai lensa kontak yang sudah kusiapkan. Tentu saja tidak lupa, rambut palsu dan perlengkapan berburu mereka. Tombak beraksen perak untuk Lir dan panah untuk Fer.
Jantungku serasa jatuh dan berdetak di atas tanah sewaktu sepasang sayap transparan yang dipakai oleh Lir dan Fer teronggok di tepi danau. Apa-apaan, jangan bilang ...
Kepalaku sakit lagi. Kali ini aku seperti disedot oleh penyedot debu seukuran truk kontainer. Tolonglah, aku bukan debu apalagi kutu karpet! Kenapa aku diperlakukan begini?
***
||1307 kata||
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top