At Nana's House

Waktu yang paling ditunggu dalam setahun hanyalah libur musim panas. Dalam kepala teman-teman, liburan di kala matahari bersemangat-semangatnya bersinar adalah kesempatan bagus untuk mengunjungi pantai, bermain voli, atau berjemur. Namun, semua tidak berlaku karena aku lebih suka menghabiskan waktu berhargaku bersama mereka di rumah Nana.

Ya, aku lebih suka menghabiskan tiga jam perjalanan menggunakan kereta, lalu disambung menaiki mobil travel butut selama lima belas jam ke daerah pedalaman yang sering disebut kawasan 'djin buang anak'. Banyak tetangga Nana yang diboyong keluarga mereka ke kota. Bukannya tidak ada yang pernah mengajak ibu dari ayahku ini, tapi memang Nana yang tidak bersedia ikut tinggal di kota.

Sesungguhnya, baru tujuh tahun belakangan ini aku bersemangat begini bila jadwal berkunjung ke rumah Nana tiba. Di ulang tahun yang ke-9, Nana membuka rahasia besar yang mungkin akan dijaga sampai mati bila aku tidak menemukan portal—maksudku, pintu—ke dunia baru yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Dunia Pixie.

Pixie? Makluk liliput jahil bersayap itu? Begitulah yang aku kira sebelumnya. Salahkan buku-buku dongeng yang sering dibacakan padaku waktu kecil dulu. Cerita-cerita seperti itu memang untuk pengantar tidur supaya anak-anak bisa tidur nyenyak dan mimpi indah, bukan?

Sayangnya tidak. Masih terbayang jelas hingga kini ketika aku mencari Nana di tengah malam untuk menemaniku ke kamar kecil, tapi malah bertemu wanita berkulit sangat pucat di lorong itu. Bukan hanya pucat, dia juga bersinar akibat terpaan cahaya bulan purnama yang menembus masuk melalui kaca jendela. Seolah tahu ada yang tengah memerhatikannya dalam diam dan was-was, tahu-tahu dia memutar kepala dan tersenyum sangat lebar padaku.

Letak keanehannya? Semua akan tampak normal bila punggungnya juga ikut berputar, tapi mana ada yang wajar bila hanya kepala saja yang terarah padaku, dia manusia bukan burung hantu!

Jangan tanya bagaimana malunya aku—anak perempuan berusia sembilan tahun—buang air kecil tidak pada tempatnya dan bangun dengan kepala benjut sebesar telur burung puyuh keesokan pagi. Sudahlah, membayangkan kejadian memalukan itu membuatku ingin menanduk boneka Pikachu buluk yang selalu duduk manis di samping bantal kepala.

***

"Juni, kau sudah sampai?" Nana membuka tangannya lebar-lebar.

Aku menghambur masuk dalam pelukan hangatnya. "Nana ...."

"Mereka sudah menunggumu," bisik Nana sambil terkekeh.

"Ck, aku baru sampai juga. Tidak sabar sekali mereka." Mulut bebek khas milikku langsung disentil pelan oleh Nana. Tidak punya pilihan, aku hanya tersenyum lebar. "Kebiasaan sulit hilang, Nana."

Tahun ini aku diizinkan pergi sendiri tanpa harus ditemani dua saudara laki-laki yang sangat ingin kuplester mulutnya. Entah kenapa, dalam keluarga kami, kaum pejantan yang paling cerewet dan 'tukang adu'. Mereka jeli sekali menemukan celah supaya aku disiram nasihat yang sanggup menumbuhkan kecambah di puncak kepalaku.

Koper hendak kuturunkan dari bagasi, tapi buru-buru direbut oleh tangan pucat yang selalu terbalut pakaian lengan panjang. Aku menoleh sebentar lalu membiarkan sosok yang setengah membungkuk ini melanjutkan kegiatan beramalnya. Fren Frindan, itulah nama dari sosok lelaki bersurai pirang emas di sampingku.

"Oho~ langsung gerak cepat rupanya."

Aku dan Fren sama-sama menoleh ke arah suara yang menggetarkan gendang telinga kami. Fren mendengkus, sementara aku menghela napas dan mengembus singkat. Melihat reaksi kami, Nana kembali terkekeh.

"Kenapa tidak menyapaku, Juniverre?"

"Hai, baterai Lithium. Puas?"

Sosok yang kusapa dengan nada terpaksa, berdecih, lalu masuk ke dalam rumah. Namun, masih sempat-sempatnya dia memerintah Nana membuatkan makan siang—sandwich bawang bombay. Siapa yang tidak kesal bila selesai melahap makanan neraka itu, dia akan terus berbicara dan menebarkan aroma bawang bombay ke mana-mana.

Sekalian perkenalan sajalah, makhluk yang entah mengapa membenci rambut keperakannya yang nyaris putih itu bernama Irith Lirithon. Menurut Fren, si tukang bersungut-sungut ini merupakan keturunan bangsawan. Namun, entah dari keturunan yang mana. Aku malas menghafal pohon keluarga mereka, terlalu bercabang dan mirip pohon yang tidak pernah kena sentuhan tukang kebun istana.

***

||582 kata||



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top