Chapter 7
William POV
Gue ngebuka kedua mata gue, kedip-kedip bentar, noleh kiri-kanan, dan...Yeyyy! Akhirnya pagi ini gue kebangun di atas ranjang gue yang empuk bukan di lantai yang keras seperti hari-hari menyeramkan sebelumnya. Plus rasa-rasanya semalem gue tidurnya nyenyak banget. Gue nggak mimpi buruk. Artinya, si Nina nggak gangguin gue. Thanks God!
Gue ngeregangin tangan gue ke atas sambil mulut gue kebuka menguap segede-gedenya. Lalu gue langsung nyabet HP gue yang segede setrikaan di atas buffet kecil, di sebelah ranjang dan langsung nyari kontaknya si Aldo. Gue mau absen. Bisa-bisa gue diskors gara-gara kelamaan bolos.
"Hallo, Al..."
"Yep, my bro! What can I do for you?"
"Ada party apa malam ini, Al?"
"Emm...gue sih rencana mau ke Coyote, Wil. Ada sexy wet dance show malam ini. Dancernya import langsung dari Ukraina, cuy! Emang kenapa, Wil?"
"Wow! It sounds interesting, Al! OK, gue ngikut deh!"
"Heii...tumben? Biasanya lo nolak kalau gue ajak keluyuran malam belakangan ini, Wil."
"Hahaha...masa hukuman dari mami gue udah berakhir Al, it's over and now, it's party time!" Maksud gue sih masa si Nina ngehantuin gue yang udah kelar hehe...
"Wow...i like your spirit bro! Ini baru Willy yang gue kenal."
"Al..."
"Ya?"
"Ehem...ehem..." Gue berdeham.
"Beres, bro! Cakep, montok, putih, anak baek-baek? Ada bro, tenang aja! Gue baru dapet kenalan mahasiswi xxxx. Pasti deh cocok dengan lo punya selera hehehe..."
"You're the best, Al!"
Aseekk...akhirnya gue bisa nyalurin nafsu gue yang udah ketahan berhari-hari, baik di otak gue maupun yang menumpuk di kontol gue pingin meluber. Sperma maksudnya. Gue paling ogah dengan yang namanya coli, kegemaran si Aldo. Gue heran memek cewek masih enak kenapa dia harus susah-susah muntahin sendiri?
Ah biar deh, itu urusan si Aldo tolol. Lebih baik gue persiapan buat party perdana gue malam ini. Harus fit dan berstamina tinggi. Jangan lupa beli kondom. Gue pingin ngentot tuh cewek ampe goler, ampe gue puas. Kalau perlu ampe 5 - 7 ronde lah gwahaha...Gue mau manjain dan muasin adek gue yang baru aja kelar puasanya, ahay!
==========
Dianto POV
Hari ini sedikit berbeda dari hari-hari yang kujalani sebelumnya semenjak kepergian istriku. Aku melakukan aktivitas kecil tidak seperti biasa yang selalu termenung berselonjor di atas kursi goyangku.
Aku membersihkan kamarku karena mulai hari ini akan ada yang menyewanya. Meski berat, aku terpaksa merelakan kamar yang menyimpan banyak kenangan dengan mendiang Nina karena ukurannya memang jauh lebih besar dari kamar Maura putriku. Kamar itu memang terlihat lebih pantas untuk disewakan.
Aku menata isi lemari pakaianku. Mengepak semua baju Nina ke dalam sebuah box dan memindahkan sebagian bajuku berbagi ruang di lemari kecil putriku di kamarnya. Hanya tersisa beberapa helai baju formal yang biasa kupakai untuk ke pesta di lemari itu karena tidak muat, mengingat kecilnya ukuran lemari Maura. Semoga pemuda itu tidak keberatan.
Aku sudah mengganti sprei ranjangku dengan yang baru. Aku sudah meringkas semua kosmetik dan alat rias Nina di atas meja rias kecil berhiaskan cermin pada bagian atasnya di dekat ranjang. Bahkan, aku juga sudah menurunkan foto pernikahanku dengan Nina yang terpajang di dinding kamar. Aku ingin menghapus semua jejak Nina disana. Aku tidak ingin pemuda itu merasa takut karena menempati kamar yang baru saja ditinggal mati penghuninya. Aku ingin dia merasa nyaman. Dia sudah memberikan uang sewa yang begitu besar. Aku ingin membalasnya dengan menjadi tuan rumah yang baik. Semoga dia betah tinggal disini.
==========
Sudah pukul tiga sore namun pemuda itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku mendudukkan diriku di atas pinggiran ranjang putriku yang berukuran single. Beruntung dia masih kecil sehingga ranjang itu masih muat menampung tubuh kami berdua. Aku hanya tersenyum simpul memperhatikan putriku yang terduduk di atas lantai beralaskan selembar karpet kecil di samping ranjang, tengah asyik bermain boneka barbie favoritnya. Dia sedang bergumam sendiri menjalankan perannya sebagai Ella, karakter favoritnya dalam film Frozen.
Aku tahu boneka itu mahal harganya dan tidak mungkin aku yang membelikannya. Boneka barbie itu adalah pemberian Kiel, adik Nina yang gemar pesta dan mabuk-mabukan itu, jika dia singgah ke rumah ini. Mereka hanya dua bersaudara yang pastinya saling menyayangi meski Nina sering mengomelinya. Wajar jika Kiel pun menyayangi Maura sebagai keponakannya meski ia tidak seberapa akur denganku. Karena aku memang kurang suka dengan sifatnya yang manja dan tidak bisa menghargai orang lain itu.
Aku bergegas beranjak bangkit dari dudukku ketika mendengar bunyi ketukan berulang pada pintu utama rumahku. Aku berharap pemuda itu yang datang. Betapa bodohnya aku karena belum bertanya siapa nama pemuda itu kemarin.
Aku membuka grendel kunci pintu ruang tamuku lantas segera menarik gagangnya dengan semangat entah karena apa, untuk segera melihat siapa gerangan di balik pintu itu. Kedua belah bibirku pun sudah kusiapkan untuk mengembang menyambutnya. Namun apa daya mereka pun layu sebelum berkembang saat kedua mataku menangkap sosok yang bukan kuharapkan. Bahkan mereka pun mendesis kecewa.
"Hai, Mas!" sapa seorang cewek cantik tersenyum ramah. Dia terlihat sumringah mendapatiku yang membukakan pintunya.
"Ow...hai Ver..." balasku datar sambil tersenyum kecut menyembunyikan kekecewaanku.
"Tumben mas Dian yang bukain pintunya...Sudah makan, mas?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku sedang malas untuk bertemu siapa-siapa.
"Maura! Maura! Tante Vera datang, sayang!"
Teriakanku mengiringi langkahku melenggang menuju ke kamar putriku yang kini juga menjadi kamarku itu, meninggalkan Vera yang berdiri terpaku di depan pintu ruang tamu yang terbuka, memandangi punggungku yang menjauh dari hadapannya. Bahkan, aku belum sempat menyuruhnya masuk.
Kulihat gadis kecilku keluar dari kamarnya sambil berlari kecil menyambut kedatangan tante kesayangannya itu. Baguslah, setidaknya putriku itu bisa menggantikanku sebagai tuan rumah yang baik.
Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang Maura setelah mengunci pintu kamar itu. Aku tidak ingin Maura tiba-tiba masuk mengajak serta Vera bermain di dalam kamarnya, seperti yang biasa dia lakukan jika wanita itu singgah kemari. Aku sedang ingin sendiri.
Aku ingin sejenak meregangkan ototku dari rasa capai yang sempat hilang saat menanti si penyewa kamarku datang. Namun kini rasa lelah itu menyerangku lebih dahsyat bercampur dengan rasa kecewa, menyadari dia tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Entah apa yang sedang kurasakan saat ini. Mengapa aku begitu kecewa dan semangatku langsung padam seketika saat mengetahui bukan pemuda itu yang datang?
Ah, apa yang sedang kupikirkan! Mungkin ini hanya rasa kecewa karena tidak ada yang menghargai hasil kerja kerasku membersihkan dan mempersiapkan kamar itu. Benar, aku hanya kecewa karena hal itu bukan karena ingin bertemu dengan pemuda itu.
Aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Kedua mataku mengerjap-ngerjap menatap langit-langit kamar sembari pikiranku mulai melayang-layang teringat kenanganku bersama Nina lagi. Hidupku sungguh terasa sepi tanpa kehadirannya. Kosong dan hampa. Semua tampak tak berwarna lagi bagiku. Tak menarik, hanya hitam dan putih.
Sisa waktu hari ini, aku akan menghabiskannya didalam kamar ini saja. Mungkin, aku hanya akan keluar dari kamar ini jika aku merasa lapar dan pada saat hendak tidur malam, memastikan semuanya dalam keadaan aman.
==========
Kedua mataku mendadak terbuka. Tidurku terusik ketika telingaku mendengar ketukan yang lebih mirip gedoran pada pintu utama rumahku. Aku menggeser perlahan badanku sambil kedua tanganku memapah kepala putriku yang terlelap di atas dadaku, dengan lembut meletakkannya di atas bantal. Aku tidak ingin membangunkannya.
Aku melirik ke sebuah jam yang tergantung di salah satu dinding kamar ini. Pukul 3 dini hari. Siapa gerangan yang tidak sopan hendak bertamu pada tengah malam seperti ini? Siapapun itu, dia sudah sangat keterlaluan.
Aku merutuk dalam hati memaki si pengganggu ketenangan tidurku. Aku menyalakan lampu ruang tamu sambil menahan emosi yang mulai membuncah karena gedoran pintu itu tak kunjung berhenti juga. Aku ingin meneriakinya untuk menghentikan gedorannya namun aku takut membangunkan putriku. Aku juga tidak ingin suaraku membuat kegaduhan di kampung rumahku yang jarak antar rumahnya rapat.
Aku terhenyak saat tanganku melepaskan gagang pintu yang sudah terbuka itu. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Emosiku bercampur tak karuan. Kaget, marah, jengkel dan sedikit bahagia? Entahlah...
Wajahnya terlihat begitu pucat sangat ketakutan. Nafasnya terengah-engah seperti sedang dikejar-kejar. Badannya pun tampak gemetaran. Namun kedua matanya tampak berbinar dari tatapan kosongnya ketika menatap kedua mataku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pemuda yang berdiri didepanku saat ini?
"Kau kenapa anak muda?"
Dia tidak menjawab hanya mendekat dan langsung memelukku erat. Dia tampak sangat ketakutan. Dia membenamkan wajahnya di dadaku. Aku terdiam. Aku bisa saja mendorong tubuhnya menjauh namun aku tidak melakukannya. Ada apakah denganku?
Aroma rokok dan alkohol menguar dari tubuhnya menyengat hidungku. Aku sangat benci bau ini namun tak ayal aku juga tak melepas pelukannya. Aku malah membiarkan pemuda itu merasa nyaman dalam dekapanku. Tangan kananku pun kini bergerak tanpa kusuruh mengusap-ngusap lembut punggungnya. Entah mengapa, instingku ingin melindunginya menyeruak ke permukaan. Aku justru ingin membuatnya aman.
Ah, kenapa denganku? Aku seharusnya marah karena dia dengan sangat tidak sopannya bertamu di tengah malam. Aku seharusnya memaki karena dia sudah mengganggu tidurku. Aku seharusnya benci karena ternyata dia tipe pemuda urakan yang gemar mabuk-mabukan. Aku seharusnya jengkel karena dia baru datang sekarang bukannya sedari tadi. Ah, lupakan yang terakhir.
Ini mungkin hanya bias rasa terima kasihku atas uangnya yang sudah kuterima. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai tuan rumah yang baik. Iya benar, aku hanya sedang menjalankan tugas saja. Tak lebih.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top