2. Perasaan Aneh
"Selesai."
Gadis itu tersenyum, perlahan ia menjauhkan tangan dari lukisan. Senyumnya semakin lebar dikala matanya menelisik setiap sudut lukisan yang ia buat. Senyum kepuasan terlihat jelas di wajahnya. Meski begitu, mata kosong penuh kepedihan tidak dapat ia tutupi. Bibir mampu tersenyum tapi matanya berkata lain.
"Aku merindukanmu, Ibu."
Suara lirih itu menggema, menciptakan suasana sendu di dalam ruangan yang ia tempati. Air mata tanpa sadar sudah jatuh membasahi pipinya. Ia mengigit bibirnya, meredam isak tangis yang mungkin akan keluar. Ia sudah berjanji tidak akan menangis saat membuat lukisan ini. Ia tidak ingin terlihat rapuh, ia harus kuat.
"Argh,"
Ringisan keluar dari bibir mungilnya. Perlahan ia meraba perut dan menekannya mencoba menghilangkan rasa perih yang sangat menyiksanya. Gadis itu menoleh ke arah meja melihat empat botol obat lambung yang sudah ia minum sejak kemarin.
"Kenapa harus sekarang?"
Gadis itu melirik ke arah dinding, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Semua orang pasti sudah tidur pikirnya. Matanya menelisik, menatap arah luar jendela seketika bibirnya tersungging. Ia melihat lampu kamar sahabatnya yang berada di seberang masih menyala dan itu menandakan sang pemilik kamar belum terlelap.
"Adin pasti punya obat, keluarganyakan dokter." gumamnya dan berusaha berdiri seraya memegang perut yang semakin sakit.
Perlahan gadis itu menuruni anak tangga, meski tertatih ia harus bisa sampai ke rumah Adin. Persediaan obat yang biasa ia siapkan sudah habis. Seminggu ini ia tidak keluar dari kamar, bahkan untuk sekadar makan bibinya yang datang dan menyediakan di meja kamar.
"Bibi pasti udah pulang. Ayah masih lama dinasnya, aku harus kuat. Gak boleh mati konyol kaya gini, gak lucu banget."
Dengan sisa tenaga, ia membuka pintu utama dan menyeberangi jalan. Ia beruntung rumah sahabatnya tepat berada di seberang rumahnya. Biasanya ia bermain bersama Adin setiap sabtu malam, namun karena ia yang bersikeras menyelesaikan lukisan meminta Adin untuk tidak mengganggunya. Bahkan ia lupa dimana menaruh ponselnya.
Tok. Tok.
Ia mengetuk pintu rumah bercat coklat beberapa kali berharap pemilik rumah segera membukakan pintu. Bel rumah yang tidak jauh dari pintu tidak bisa ia jangkau karena tubuhnya yang semakin lemah. Dengan harapan terakhir ia mendorong pintu.
Ceklek.
Matanya berbinar, ia sedikit menghela napas dan membuka pintu dengan cepat. Langkahnya kian berat, napasnya mulai tidak teratur bahkan pandangannya mulai menggelap. Sayup-sayup ia mendengar suara dari ruang tamu. Ia yang sudah sering keluar masuk rumah ini sangat hafal dimana letak ruangan. Bahkan ia hafal setiap sudut bangunan.
"Adin," panggilnya lirih. Ia bisa melihat beberapa orang tengah duduk di sofa dan bercengkramah. Senyum di bibirnya semakin lebar.
"Adin, Ka Sa-"
Brughh.
Tubuh mungilnya terhuyung dan dengan cepat tubuh mungil itu menghantam lantai dengan keras. Ia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Rasa sakit di tubuhnya kian terasa membuat ia pasrah dengan keadaannya saat ini.
"ARRA!!!"
Semua gelap. Matanya perlahan terpejam. Suara yang sempat ia dengar sayup-sayup menghilang hingga kegelapan benar-benar menguasainya.
***
Kak Sam dan Adin menatap Arra khawatir. Sejak semalam Arra belum juga bangun. Dokter keluarga Adin sudah datang dan memberikan pertolongan. Dokter bilang Arra hanya kelelahan dan kurang cairan. Kemungkinan terbesar Arra melewatkan jam makan mengingat rekam medis gadis itu selalu berkaitan dengan lambung.
Adin dan Arra sudah mengenal sejak kecil. Mereka berdua pernah bersekolah di sekolah menengan pertama yang sama. Rumah mereka juga dalam satu komplek yang sama. Hanya saja hubungan keduanya pernah merenggang dikarenakan Arra yang pindah ke negara kelahiran ibunya, Korea Selatan.
"Gimana ini, Kak?" tanya Adin menatap Kak Sam bingung.
"Tenang, Arra baik-baik saja. Semalam Paman Hendra bilang ia memberikan obat tidur untuk Arra."
"Aku takut Arra kenapa-kenapa. Arra tuh keras kepala banget! Dibilang jangan maksain diri, tapi dia tetap kekeuh buat selesaiin lukisannya. Gak habis pikir aku sama anak ini."
"Kamukan udah kenal dia dari lama. Udah tahu juga ini anak kalau udah punya tujuan pasti dia kejar sampai dapat. Oh iya, kamu udah ke kamar Arra? Udah lihat hasilnya?"
Adin mengangguk, ia menyilangkan tangan menatap Kak Sam dengan wajah kagum, "Gila. Lukisannya indah banget, aku yakin sih Arra udah bisa dapat lisensi profesional kalau dia mau. Lima menit lagi aku lihat lukisan Arra, aku jamin bakal nangis sejadi-jadinya. Lukisannya sederhana tapi aku bisa ngerasain emosinya."
Ka Sam hanya mengangguk. Ia sudah beberapakali melihat lukisan Arra. Ucapan Adin bukan hal yang berlebihan. Arra memang berbakat, hanya saja bakat yang Arra miliki selalu membuatnya lupa diri. Pernah suatu hari Arra pingsan seperti malam tadi. Satu minggu ia hanya duduk mengerjakan lukisan tanpa ada asupan makanan. Arra hanya meminta bibi membuatkan matcha latte kesukaannya.
"Dia siapa?"
Ucapan itu membuat Adin dan Kak Sam terlonjak kaget. Mereka menoleh ke arah Rangga dan menatapnya kesal.
"Kalau masuk tuh ketuk pintu dulu. Lagian emang lo udah gak pusing?" sungut Adin.
Rangga hanya menggedikkan bahu dan berjalan menghampiri Arra. Ia menatap lekat wajah mungil yang kini tertidur pulas. Tangannya tanpa terasa terjulur, menyingkap rambut yang menutupi wajah putihnya.
"Cantik," gumam Rangga tanpa sadar.
Sejak pertama melihat Arra ia merasakan perasaan yang berbeda. Dadanya terasa begitu sesak terlebih saat melihat tubuh mungil milik Arra menghantam kerasnya lantai.
"Gak usah pegang-pegang!"
Tangan Rangga ditepis Adin keras. Adin menarik Rangga menjauh dari Arra dan membawanya ke luar kamar. Kak Sam yang melihat tingkah Adin mengikutinya di belakang.
"Lepas!" ujar Rangga dingin.
Adin melepas genggamannya dan menatap Rangga tidak suka, "Dari semalam lo penasaran banget sama Arra. Gue gak pernah lihat tingkah lo yang kaya gini, dan gue harap lo jauh-jauh dari Arra!"
"Kenapa?"
"Kenapa lo tanya? Lo gak sadar sama reputasi lo selama ini. Gue gak mau lo jadiin Arra target kesekian lo ya!!"
"Haa? Maksudnya gimana sih? Target apaan?!"
"Rangga," Adin menyilang kedua tangannya dan menatap Rangga tajam, "reputasi lo sebagai cowo playboy yang suka nyakitin cewek dan selalu permainin mereka. Jangan lo pikir gue gak tahu rumor itu. Gue gak peduli cewek mana yang lo mainin tapi kalau lo ngincar Arra, gue pastiin gue orang pertama yang nentang itu!!"
"HAHAHAHA!"
Adin, Rangga dan Kak Sam menoleh ke arah suara. Bobby yang sejak tadi berada di luar kamar terkekeh mendengar penuturan Adin.
"KENAPA KETAWA?!" sungut Adin kesal.
Bobby menggeleng, masih dengan kekehan yang sangat menyebalkan menurut Adin.
"Jadi," Bobby mendekat dan merangkul pundak Rangga, "Lo kemakan rumor juga?"
"Maksud lo?" tanya Adin bingung.
"Rumor si Rangga itu playboy? Lo yakin percaya sama rumor itu? Kalau kata gue sih mending jangan deh. Rumor itu sengaja Rangga sebar sendiri biar gak ada cewek-cewek yang dekatin dia."
"Masa?"
"Yee, benar. Gue mana berani sih bohongin lo. Rangga tuh berbanding terbalik sama rumor yang ada. Ya, emang sih cewek-cewek banyak yang patah hati, tapi bukan karena Rangga Playboy tapi karena Rangga yang selalu to the point sama mereka."
Rangga hanya diam dan mengangguk-anggukan kepala, menyetujui ucapan Bobby.
"Jadi, rumor di kampus itu bikinan lo sendiri?" tanya Sam masih belum paham.
"Betul. Gue malas ngadepinnya, mereka terlalu berisik."
"Terus yang katanya setiap hari lo beda-beda cewek?"
"Gue yang nyebarin juga. Gak salah sih, mereka emang setiap hari datang ke basecamp dan berakhir nangis nggak jelas. Tau deh yang jelas gue nggak pernah dekat sama cewek."
"Terus kenapa lo dari semalam kelihatan penasaran sama Arra?!" celetuk Adin masih tidak terima dengan penjelasan Rangga.
Rangga menoleh menatap Adin dingin, membuat gadis itu tersentak kaget. Tatapan yang belum pernah Adin lihat sebelumnya. Entah karena luka di kepala atau bukan, Adin merasa sikap Rangga sedikit berubah.
"Gue juga nggak tahu, ngelihat dia kaya ada perasaan aneh di dada."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top