What If I'm Right?

[14 September 2007, 01.00 A.M]

Malam itu, suasana kota Chicago cukup tenang. Daniel terdiam di dalam kamarnya, memandangi suasana di luar. Si pemuda memandang ke arah langit malam, kemudian menghela napasnya. Dia menyapu pipinya sebelum memalingkan wajahnya dari jendela.

Matanya terlihat agak memerah, dan ada sisa air mata di wajahnya. Daniel tidak mengatakan apapun, lalu dia menyentuh sebuah gitar berwarna biru muda yang berada di dekatnya. Jari tangan si pemuda memetik senarnya selama beberapa saat, lalu kembali menghela napasnya. Mulutnya terbuka, memulai sebuah monolog untuk memecahkan keheningan malam itu.

"Tidak akan ada keajaiban yang terjadi, kan Buzzy? Semuanya akan berakhir sebentar lagi, dan aku tidak akan pernah bisa bersama dengan Ryan lagi. Semua usaha telah dilakukan, tapi tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa Ryan," kata Daniel.

"Semua itu salahku. Jika bukan karena aku, maka Ryan tidak akan menjadi tawanan. Kalau saja aku menolongnya lebih cepat, maka dia tidak akan mengonsumsi racun itu. Semua akan lebih baik jika aku saja yang mati. Ryan tidak akan perlu untuk menderita saat ini. Semua itu salahku, dan Ryan tidak berhak menerima semua ini."

"Bagaimana aku bisa melihat Ryan menderita seperti itu dalam diam? Dia adalah teman yang sangat manis, dia selalu bisa tersenyum ketika hal buruk terjadi. Tapi, kali ini keadaannya tidak semudah yang dibayangkan. Ryan bisa mati kapan saja, dan semuanya karena aku tidak bisa melakukan apa yang seharusnya aku bisa lakukan."

"Tidak akan ada keajaiban apapun yang bisa menolongku. Bahkan tidak ada yang mendengarkan isi hatiku. Aku sepertinya sudah jadi gila. Tidak akan ada yang memahami apa yang membuatku gelisah, dan tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya."

Suara Daniel yang terdengar putus asa bukanlah pertanda yang baik. Andai saja dia percaya, sebenarnya ada yang selalu mendengarkan semua yang dikatakannya. Andai saja dia tahu kalau ada yang mendengarkan semua keluh kesah dan apa yang dia rasakan.

Daniel sekali lagi menghela napasnya, kemudian menyisir rambut sewarna jahe miliknya dengan jari-jari tangan kanannya. Wajahnya telihat kosong, tetapi ada banyak sekali hal di dalam kepalanya. Perasaan bersalah dan putus asa memenuhi kepalanya, yang membuatnya terus terjaga sampai larut malam.

Setelah memandang gitarnya selama beberapa saat, Daniel memutuskan untuk berdiri dan melangkah ke toilet dalam yang ada di kamarnya. Ketika berada di depan wastafel, Daniel melepaskan kacamata yang dia kenakan, dan memandang dirinya sendiri di hadapan cermin yang ada di depannya.

"Aku tidak seharusnya ada di sini. Toh, tidak akan ada yang merindukanku jika aku pergi. Akan lebih baik jika aku saja yang menggantikan posisi Ryan. Aku tidak akan bisa hidup tanpanya, tapi aku tahu kalau dia akan bisa bertahan tanpaku," kata Daniel.

Daniel melamun di depan cermin selama beberapa saat. Mungkin selama satu menit, atau bisa jadi selama sepuluh menit. Entahlah, dia tidak tahu. Setelah tersadar dari lamunannya, dia mengambil sebuah silet yang terdapat di lemari yang ada di balik cermin. Si pemuda memandang silet itu selama beberapa saat, lalu tersenyum.

"Semuanya akan berakhir sebentar lagi. Ryan tidak akan bisa bertahan lama, dan aku tidak yakin kalau aku akan bertahan lama tanpa Ryan. Apa yang akan aku lakukan tanpanya? Aku tidak akan sama lagi tanpa Ryan di sisiku," bisik Daniel.

Setitik air mata menetes di wajah si pemuda. Dengan tangan kanannya yang agak gemetar, Daniel mengarahkan siletnya ke lengan kirinya. Gerakannya lambat dan perlahan, membiarkan tetesan merah memberikan kontras untuk kulitnya yang berwarna terang. Dia tidak merintih kesakitan atau menjerit. Daniel hanya memandangi luka yang digoreskannya sambil meneteskan air mata.

Daniel selalu mengira kalau tidak ada yang mengetahui tangisan heningnya di malam hari. Semua orang mengira kalau matanya memerah karena dia begadang untuk menyelesaikan musik yang dia susun untuk bandnya, Grey Shadows. Tidak akan ada yang mengetahui bekas luka yang dia goreskan karena lukanya tertutup oleh kaus berlengan panjang atau jaket yang dia kenakan.

Tidak ada yang mengetahui semua kesakitan yang selama ini Daniel pendam, kecuali satu benda yang tidak akan dia sangka mendengarkan semua keluh kesah pemiliknya. Daniel sering kali terlarut dalam perasaan dan pemikirannya, sehingga dia tidak akan memikirkan kalau hal ini mungkin saja terjadi.

Tanpa Daniel ketahui, ada seseorang yang selalu memerhatikannya. Dia sudah mengenal Daniel saat dia masih seorang bocah yang ceria, dan ayahnya memperkenalkannya pada musik. Sejak saat itulah, dia selalu bersama Daniel, dan mengetahui banyak hal tentangnya.

Hanya dia yang mendengar semua kesedihan Daniel. Selama ini, dia selalu diam dan tidak ingin membuat Daniel merasa syok karena kemunculannya. Daniel tidak percaya akan yang namanya keajaiban, yang membuatnya tidak akan percaya andai dia melihat apa yang bisa terjadi pada benda kesayangannya. Atau mungkinkah dia akhirnya akan percaya?

Tapi melihat Daniel yang sering menyakiti dirinya sendiri, siapa coba yang tega membiarkannya? Tentunya orang-orang yang mencintai Daniel tidak akan membiarkan dia melakukan hal ini. Masalahnya, tidak ada yang mengetahui apa yang Daniel lakukan di dalam kesendiriannya. Harus ada seseorang yang menghentikannya.

"Hentikan, Daniel. Kau tidak perlu melakukan semua ini," kata sebuah suara.

Daniel yang tadi menyayat lengannya kini terlihat kaget. Kini, dirinya kembali ke dunia nyata, dan mulai panik karena dia melihat darah di lengannya, dan juga karena Daniel bisa melihat seseorang berdiri di belakangnya dari cermin yang ada di hadapannya. Orang yang ada di belakangnya ini memiliki iris berwarna biru. Selain itu, dia juga memiliki rambut berwarna biru tua yang mencolok, dengan jaket dan celana panjang berwarna biru.

Daniel menjatuhkan silet yang dipegangnya ke wastafel, dan melirik orang yang ada di belakangnya dengan bingung. Perlahan, Daniel merosot ke lantai, sambil terisak dan memegangi lengannya. Dia tidak tahu siapa orang ini, dan kenapa dia berada di sana. Lagi, dengan semua hal yang berada di dalam kepalanya, Daniel langsung panik ketika melihat ada orang asing bersamanya.

Di sisi lain, si pria juga kelihatan bingung. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menghadapi orang yang tengah panik. Dia tidak banyak berinteraksi dengan manusia secara langsung, apalagi dengan yang sedang panik. Jadi, orang asing ini hanya bisa memandangi Daniel selama beberapa saat sambil berusaha mencari tahu apa yang harus dia lakukan.

"K-kau tahu apa yang akan terjadi setelah seseorang mati?" tanya Daniel.

"Uh, kenapa kamu menanyakan itu?" ujar si pria misterius, dengan nada bingung.

"Kau malaikat maut, kan? Apakah akhirnya aku akan mendapatkan apa yang harusnya kudapatkan? Apakah ini memang sudah saatnya aku pergi?"

Si pria asing mengerutkan alisnya. Dia tahu kalau ada banyak sekali hal yang mengganggu pikiran Daniel, dan dia sudah sejak lama ingin mengakhiri hidupnya. Hanya saja, tidak seharusnya Daniel melakukan hal ini. Semua orang yang mengenalnya tahu bakat apa yang dimiliki Daniel, dan mereka tidak akan bisa menerima kalau sampai pemuda ini pergi begitu saja.

"Aku tidak tahu, Daniel. Malah, aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidupmu. Itu bukanlah pilihan terbaik yang bisa diambil oleh seseorang," kata si pria.

Daniel terdiam, sambil memerhatikan si pria. Kepanikan masih ada di dalam dirinya, tapi dia juga penasaran apa yang terjadi. Kenapa ada seorang pria di kamarnya, dan apa yang sedang dilakukannya di sini? Selain itu, kenapa kedengarannya dia sangat mengenal Daniel?

Si pria mengambil sebuah handuk yang tergantung di dekat wastafel lalu membasahinya, kemudian berjongkok di sebelah Daniel. Dia memerhatikan goresan yang berada di sana, lalu membersihkan darah dari luka itu dengan lembut. Setelah selesai, dia memandang wajah Daniel.

"Kau tidak seharusnya melakukan ini, Daniel. Ada banyak yang bisa dilakukan oleh jemarimu. Dari tanganmu ini, kamu menciptakan banyak musik yang bisa menggetarkan hati orang lain. Kau bisa mengubah dunia dengan musikmu," kata si pria.

"Apa yang kau ketahui tentang aku?! Aku hanyalah pemuda payah yang tidak bisa menolong orang lain! Aku hanya akan menjadi beban bagi orang lain! Apa yang bisa aku lakukan hanyalah memainkan alat musik! Semua itu tidak akan berguna!" seru Daniel.

"Tidak, Daniel. Kau salah. Musikmu bisa membuat orang lain ikut ceria, kau tahu? Perjalanmu masih panjang. Tidak seharusnya kau berputus asa seperti itu."

Apa yang orang ini katakan mungkin ada benarnya. Masih ada banyak hal yang ingin untuk Daniel capai, dan dia tidak ingin mengakhiri hidupnya dengan begitu saja. Karena itulah dia masih berada di sini. Dia masih tidak siap untuk mengakhiri semuanya.

Hanya saja, tahu apa pria ini tentang Daniel? Apakah dia tahu perasaan apa yang ada di dalam dirinya? Apakah dia tahu apa yang membuat Daniel ingin untuk mengakhiri hidupnya? Apakah dia tahu kalau Daniel tidak akan merasakan kehidupan yang menyenangkan tanpa adanya satu aspek penting yang perlahan akan direnggut darinya?

"Apa yang kau tahu tentangku, huh?! Aku tidak akan bisa melanjutkan hidupku kalau apa yang membuatku bertahan hidup akan direnggut! Akan lebih baik jika aku mati dan menyusul temanku, karena aku yang menyebabkan masalah ini! Aku tidak bisa mempertahankan dia, yang berarti aku tidak pantas untuk mendapatkannya! Akan lebih baik jika aku mengakhiri semuanya!"

Air mata kembali menetes di wajah Daniel. Semua hal yang ada di dalam kepalanya hanya membuatnya merasa semakin tidak layak untuk menerima kehidupan ini. Sudah banyak kesalahan yang dia lakukan, dan dia merasa tidak layak untuk tetap menjalani kehidupannya.

Si pria tahu kalau ada beberapa masalah dan pertentangan yang dialami oleh Daniel. Tapi dia tahu kalau Daniel tidak seharusnya berputus asa seperti itu. Jadi, karena itulah dia ada di sini, dengan wujud manusianya. Karena hanya dialah yang tahu tentang keluh kesah Daniel, dan dia ingin membantunya.

Dengan perlahan si pria mengangkat tubuh Daniel, dan membawanya kembali ke kamar. Si pemuda agak kaget karena tindakan itu, tapi dia tetap membiarkan pria misterius itu membawanya. Dia meletakkan Daniel di atas kasurnya, kemudian kembali ke dalam toilet.

Daniel berusaha untuk menenangkan dirinya dengan memandang ke sekelilingnya. Jendela kamarnya terkunci, begitu pula dengan pintu kamarnya. Hal ini membuat Daniel bingung, karena dia penasaran bagaimana pria itu bisa berada di dalam kamarnya. Setelah memerhatikan kamarnya lebih seksama lagi, Daniel menyadari kalau ada sesuatu yang hilang.

Si pria kembali dengan handuk basah dan sejumlah perban. Dia duduk di sebelah Daniel, dan mulai mengobati lukanya. Entah kenapa, Daniel merasa kalau dia mengenal pria ini, meski dia tidak pernah melihatnya. Apalagi dengan benda yang hilang dari ruangannya, Daniel merasa kalau hanya ada satu jawaban.

Hanya saja, Daniel tidak percaya kalau memang yang dia pikirkan ini benar. Mungkin ini adalah, atau saat ini dia pingsan karena darahnya yang terkuras. Apapun itu, Daniel tidak percaya kalau apa yang ada di dalam pikirannya ini benar.

"Siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini? Apa yang kau inginkan?" tanya Daniel.

Si pria terkekeh, "Aku kira kau tidak akan mempertanyakannya. Namaku Buzzy. Kau sudah tahu siapa aku, meski kau tidak pernah melihatku dalam wujud ini," sahutnya.

"Kau– tidak mungkin kalau apa yang aku lihat ini benar, kan?"

"Yah, kau bisa bilang begitu. Tapi kau sudah lihat benda apa yang hilang dari kamarmu?"

Daniel membuka mulutnya, tapi akhirnya dia kembali menutupnya. Apa yang dikatakan orang itu ada benarnya. Gitar biru kesayangannya lenyap, dan kini ada seorang pria berpakaian serba biru tiba - tiba berada di kamarnya. Penjelasan yang bisa dia dapatkan hanyalah bahwa pria ini adalah wujud manusia dari gitar kesayangannya.

Kedua orang itu terdiam selama beberapa saat. Buzzy mengobati luka yang ada di lengan Daniel, dan si pemuda terdiam sambil berpikir. Berbagai pertanyaan muncul di dalam kepala Daniel. Kenapa kali ini gitar kesayangannya bisa berubah menjadi sesosok pria? Kenapa dia tidak pernah mengetahui kalau hal ini bisa terjadi? Apakah ini karena Buzzy memang tidak pernah memunculkan dirinya? Atau mungkin ini hanyalah khayalan? Kenapa baru kali ini Buzzy memunculkan wujud lainnya? Bukankah lebih menyenangkan jika dia memunculkan diri saat Daniel masih kecil? Kalau saja Buzzy memperlihatkan dirinya saat itu, maka Daniel akan percaya bahwa keajaiban itu ada. Apa sekarang Daniel sudah betulan jadi sinting?

Entahlah, Daniel tidak akan mengetahui jawaban persisnya. Dia masih tidak percaya kalau ada sebuah keajaiban yang muncul di hadapannya. Dia tidak tahu apakah yang dilihatnya ini benar atau tidak, dan apa arti dari semua ini. Tapi semuanya terjadi, dan Daniel memutuskan kalau dia akan menikmati sedikit kegilaan yang disaksikan ole otaknya.

"Kalau kamu memang Buzzy ... kenapa baru sekarang kau memperlihatkan dirimu? Kalau memang keajaiban itu ada, kenapa aku tidak pernah menyaksikannya?"

"Tidak semua orang bisa melihat keajaiban setiap hari. Keajaiban kedengarannya menyenangkan, tapi tidak semua orang bisa menerimanya. Terkadang ada beberapa dari orang merasa kalau mereka tidak mau melihatnya, meski mereka sebenarnya mampu melihatnya,"

Daniel mengangguk. Sepertinya dia masuk ke kategori orang tidak akan tahan melihat keajaiban setiap hari. Pertanyaan lain muncul di dalam kepalanya. Bagaimana bisa Buzzy sekarang muncul di hadapannya dalam wujud manusia?

"Lalu, kenapa baru sekarang kau muncul?"

Buzzy terkekeh, "Aku tidak bisa memunculkan diriku begitu saja tanpa alasan. Aku akan muncul di hadapanmu jika sudah saatnya kau membutuhkan bantuanku."

"Kenapa Kenapa aku membutuhkanmu sekarang?"

"Karena aku tahu kalau kau tidak boleh menyerah sekarang. Kau harus tetap bertahan hidup, masih banyak hal yang bisa kau lakukan dalam hidupmu."

Daniel menghela napasnya. Apa yang Buzzy katakan memang benar. Dia masih muda, umurnya baru saja bertambah satu tahun minggu lalu, dan masih banyak yang bisa dia lakukan. Tapi, semuanya tidak semudah yang orang lain katakan. Ada beberapa masalah yang mengganjal di dalam dirinya. Dia tahu kalau orang lain akan menghakiminya kalau sampai hal ini diketahui.

"Ya, kedengarannya mudah saja. Tapi aku tidak akan bisa hidup tanpa Ryan. Aku tidak yakin kalau aku akan tetap waras tanpanya. Lagi, itu semua salahku. Kalau bukan karena aku, Ryan tidak ada berada dalam keadaan di antara hidup dan mati. Aku seharusnya bisa menyelamatkan Ryan, tapi aku tidak bisa melakukannya dengan baik."

Buzzy tersenyum. Ryan yang Daniel maksud adalah sahabat terdekat Daniel sejak dia memasuki akademi. Dia juga berada di band yang sama dengan Daniel sebagai pemain drum. Keduanya selalu menempel satu sama lainnya bak surat dan perangko.

"Aku mengerti. Kamu pasti tidak mau kehilangan sahabat terbaikmu. Kehilangan seseorang yang disayangi memang tidak menyenangkan."

"Tidak, tidak ada yang mengerti apa yang aku rasakan. Ryan sekarat karena aku tidak bisa mencegahnya. Andai saja aku lebih cepat, maka aku yang akan mengonsumsi racun itu. Akan lebih baik kalau aku saja yang mati. Ryan akan bisa bertahan tanpaku, tapi aku tidak akan bisa hidup tanpanya."

"Tapi itu semua bukan salahmu. Kau sudah berusaha, tapi sekuat apapun kau berusaha, ada beberapa hal yang tidak bisa kau ubah. Aku yakin bahwa kau bisa menghadapi semua yang sudah terjadi."

"Apa yang kau tahu tentang perasaanku? Bagiku, Ryan lebih dari sekedar sahabat. Dia adalah segalanya bagiku. Orang lain akan menghakimiku kalau mengetahui perasaanku terhadap Ryan. Semua itu terlarang bagi orang lain, tapi aku tidak menentang perasaan ini. Aku tidak akan mengakuinya kepada orang lain, dan aku nyaris gila karena perasaan ini. Tapi aku akan jujur padamu, bahwa aku mencintai Ryan. Ya, aku mencintai Ryan."

Buzzy terdiam sejenak, kemudian mengangguk. Akhirnya dia mengerti kenapa Daniel merasa sangat putus asa. Rupanya, ada perasaan tersendiri yang Daniel miliki kepada Ryan. Perasaan ini bukanlah perasaan sayang seorang sahabat, tapi perasaan yang lebih dalam lagi. Setelah Buzzy mengingat apa saja yang Daniel lakukan demi Ryan, dia memahami apa yang sebenarnya ada di dalam hati Daniel.

Daniel menundukkan wajahnya. Tangannya sudah selesai dibebat perban, dan setetes air mata jatuh ke perban itu. Luka yang ada di tangannya bisa sembuh, tapi jika hatinya terluka karena kepergian Ryan, Daniel tidak yakin kalau dia bisa mengobati luka itu.

Perlahan, tangan Buzzy mengelus kepala Daniel. Dia tidak bisa mengatakan apa - apa lagi. Kalau membahas soal cinta, dia tidak akan bisa menentangnya. Perasaan manusia itu ribet, dan dengan perasaan yang Daniel miliki kepada Ryan, semuanya menjadi semakin sulit.

"Baiklah, aku mengerti. Pastinya kau merasa sangat bersalah, ya?"

"Tentu saja! Aku seharusnya bisa mencegahnya, tapi aku gagal. Semua itu salahku."

"Aku tahu kau merasa bersalah. Tapi, kau tidak perlu mengakhiri masalah itu dengan kematian. Kita tidak tahu apa yang ditawarkan masa depan. Siapa yang tahu kalau kau akan mendapatkan solusi dari masalah ini. Aku tidak ingin melihatmu melukai dirimu sendiri. Aku yakin Ryan juga tidak mau melihatmu dalam keadaan seperti ini."

Daniel menghela napasnya, "Aku akan coba untuk bertahan. Aku tidak bisa janji soal melukai diriku, tapi aku akan mencobanya."

"Inilah alasan kenapa aku bisa berbicara denganmu sekarang. Harus ada yang menghentikan tindakanmu ini."

"Huh, bukan alasan yang jelek. Tapi aku masih berpikir kalau semua ini adalah ulah dari imajinasiku."

"Kalau begitu, lihat saja nanti. Sekarang, akan lebih baik kalau kau pergi tidur. Harinya sudah larut, dan kau butuh energi untuk besok."

"Kau tidak akan berubah kembali ke wujud aslimu sekarang?"

Buzzy terkekeh, "Akan lebih baik jika aku pergi secara ajaib, kan?"

Daniel mengangguk, kemudian merebahkan dirinya di atas kasur. Buzzy duduk di sebelah Daniel, dan membiarkan si pemuda memejamkan matanya. Si pria menghela napasnya lega. Setidaknya, kini dia tahu apa yang ada di dalam kepala Daniel, dan dia berhasil meyakinkan Daniel kalau semuanya akan baik - baik saja.

~~~~~

Semenjak hari itu, Buzzy secara rutin muncul di kamar Daniel pada tengah malam. Dia berusaha untuk mengamati keadaan Daniel dan berharap kalau tuannya tidak akan melukai dirinya sendiri lagi. Daniel masih merasa kalau ada yang tidak beres di dalam kepalanya, apalagi karena dia tidak pernah memerhatikan bagaimana caranya Buzzy muncul. Tapi Daniel tahu, ketika Buzzy bersamanya, maka gitar kesayangannya akan lenyap, begitu pula sebaliknya.

Semenjak Buzzy muncul, Daniel menceritakan apa saja yang terjadi di antara dia dan Ryan. Daniel memulainya dari keterlibatan dirinya dan Ryan dalam sebuah misi. Mereka harus mencari informasi apa saja yang mereka dapatkan dari sekelompok bandit yang melakukan pemerasan. Masalahnya semakin ribet ketika para bandit ini memutuskan untuk melukai agen lainnya, sampai-sampai pembimbingnya, Pak Jameson dan cucu dari pendiri akademi harus turun tangan.

Karena ketahuan mencari informasi, akhirnya mereka tertangkap. Daniel berusaha untuk menolong Ryan yang disekap, tapi dia terlambat sehingga Ryan mengonsumsi racun yang digunakan untuk melukai agen lainnya. Untungnya, Pak Jameson datang dengan cepat, sehingga Ryan bisa segera dibawa ke rumah sakit.

Berbagai cara dilakukan untuk menetralisasi racun yang ada di tubuh Ryan. Mereka sudah memompa seluruh isi perutnya keluar, melakukan berbagai macam diagnosa, bahkan mereka membuat Ryan berada dalam kondisi koma untuk membantu memperbaiki kerusakan yang ada.

Hanya saja, racunnya sangat kuat. Ryan masih belum bisa bangun, dan efek racunnya masih belum sepenuhnya bisa dinetralisir karena sebagian sudah terserap oleh metabolisme tubuh Ryan. Sudah tiga minggu Ryan berada di rumah sakit, dan sepertinya masih lama sampai sesuatu yang berarti terjadi.

Karena itulah Daniel merasa sangat putus asa. Kelihatannya tidak ada yang bisa membantu Ryan, dan Daniel khawatir kalau Ryan tidak akan bertahan lama. Hal ini membuat Daniel stres berat dan memikirkan banyak hal buruk. Terutama soal perasaannya pada Ryan.

Daniel sendiri tidak tahu sejak kapan dia menyukai Ryan, perasaan itu tumbuh begitu saja. Tidak seperti orang lain yang menganggap kalau perasaannya ke teman sesama jenis itu aneh, Daniel malah menerima perasaan itu dengan lapang dada. Menurutnya tidak ada yang salah dengan perasaannya.

Hanya saja, orang lain tidak akan menganggapnya normal. Karena itulah Daniel merasa khawatir kalau perasaannya tidak akan tersampaikan. Dia tidak begitu mempermasalahkan apa yang dikatakan oleh orang lain, tapi dia khawatir akan apa respon Ryan. Daniel tidak mau kalau dia kehilangan Ryan karena dia mengatakan perasaannya.

Semua itu membuat Daniel pusing, dan pikirannya jadi tidak jernih. Hanya rasa sakit yang dirasakannya yang bisa membuat Daniel melupakan kekhawatiran itu. Rasa sakit itu membuat Daniel merasa kalau semuanya impas. Meski seperti yang bisa diketahui oleh orang waras lainnya, hal ini tidaklah benar.

Ketika Buzzy muncul, Daniel berhenti melukai dirinya sendiri. Buzzy menemani Daniel dan mendengarkan semua ceritanya. Semakin Buzzy mendengarkan cerita Daniel, semakin Buzzy tahu kalau Daniel benar-benar mencintai Ryan. Keadaan antara hidup dan mati yang dialami Ryan membuat Daniel merasa tertekan. Dia mengunjungi Ryan setiap hari, dan tidak banyak beristirahat karenanya.

Pada hari ke delapan setelah Buzzy memunculkan wujud manusianya, Daniel bersiap-siap setelah jam makan malam. Dia mengenakan kaus berlengan panjang, dan merapikan rambutnya.

"Ayo Buzzy. Aku akan membawamu menjenguk Ryan," kata Daniel.

Dengan perkataan itu, Daniel memasukkan gitarnya ke dalam kotaknya dan membawanya. Tujuannya adalah rumah sakit tempat di mana Ryan berada. Setelah berjalan kaki selama dua puluh menit, Daniel sampai di tempat tujuannya, dan langsung menuju ke lantai tiga, tempat di mana Ryan dirawat.

Ketika sampai di depan pintu ruang perawatan intensif, Daniel berpapasan dengan seorang pria berparas Asia, dengan sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya. Daniel tidak sepenuhnya tahu siapa dia, tapi dia tahu kalau pria ini bekerja bersama pembimbingnya, Pak Jameson.

"Pak Wardana?" tanya Daniel.

Si pria terkekeh, "Eh, tidak usah formal begitu. Panggil saja aku Hendra. Kamu Daniel, kan? Kamu mau menjenguk Ryan?" tanya si pria bernama Hendra.

"Iya. Bagaimana keadaan Ryan?"

"Tadi seorang perawat memeriksanya, dan mengatakan bahwa racun yang ada di tubuh Ryan masih tidak bisa dinetralkan. Mereka mau menambah jumlah antidot yang diberikan, tapi mereka khawatir kalau itu akan memengaruhi keadaan Ryan."

"Aku tidak yakin kalau Ryan akan bisa bertahan lama. Sudah tiga minggu, berapa lama lagi Ryan harus menderita? Aku tidak tega melihatnya seperti ini."

"Begitu juga aku. Aku tidak mau meninggalkan Chicago dengan perasaan aneh seperti ini."

"Semuanya salahku. Kalau saja aku bisa bertindak lebih cepat, maka semuanya tidak akan terjadi."

Hendra menepuk bahu Daniel, "Hei, jangan salahkan dirimu sendiri. Kalau ada orang yang harus disalahkan, itu adalah aku. Akulah yang membuat kalian terlibat dalam masalah ini. Kalau kau mau menyalahkan seseorang, salahkan saja aku."

"Tapi kau hanya memberikan kami tugas, aku tidak melaksanakannya dengan baik."

"Tugasku yang membuat keadaannya kacau seperti ini. Maafkan aku, Dan. Dalam dua hari aku harus pergi ke Ontario. Rasanya aku tidak enak kalau harus meninggalkan kalian. Tapi aku harus mengecek perwakilan SAC di sana."

"Tidak masalah, kau masih punya banyak pekerjaan. Aku tidak berhak menahanmu."

"Aku tidak yakin kalau kau akan baik-baik saja. Kau terlalu mengkhawatirkan Ryan sampai kau melupakan dirimu sendiri. Aku tahu kalau ada sesuatu di antara kau dan Ryan, tapi kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Aku yakin kalau Ryan akan bisa sembuh."

"Tunggu dulu, bagaimana bisa kau tahu tentang perasaanku, dan bagaimana bisa kau yakin tentang keadaan Ryan?"

Hendra terkekeh, "Aku sudah terlatih untuk mengamati hal seperti itu. Aku bisa lihat dari cara kalian memandang satu sama lainnya. Lalu, kenapa aku yakin tentang keadaan Ryan? Karena dia masih hidup. Aku yakin masih ada harapan bagi Ryan. Kau hanya perlu bersabar."

"Kau kedengarannya optimis sekali. Aku saja sudah putus asa."

"Mungkin karena itulah aku masih hidup. Kalau begitu, aku pergi dulu, Dan. Jaga dirimu baik - baik. Sampai ketemu lagi."

Daniel memandang si pria menjauh, kemudian menghela napasnya. Setelahnya, dia masuk ke dalam ruangan yang ditempati oleh Ryan. Temannya masih berbaring lemah di atas kasur, dengan sejumlah selang yang tertancap pada tubuhnya. Daniel menarik sebuah kursi, dan duduk di sebelah Ryan, menggenggam tangannya.

Daniel menyapa Ryan, dan mengobrol tentang apa saja yang terjadi selama Daniel pergi. Setelah obrolan satu arahnya habis, Daniel mengambil gitarnya dan bernyanyi dengan lembut untuk Ryan.

Entah berapa lama Daniel berada di sana. Ketika Daniel memandang jam, waktu menunjukkan pukul 1 malam. Daniel menghela napasnya, kemudian memutuskan untuk membawa gitarnya. Dia menuju ke arah lift, dan menekan tombol menuju ke lantai paling atas. Dia perlu untuk menjernihkan isi kepalanya.

Ketika sampai di atas atap rumah sakit, Daniel menuju ke pinggiran bangunan. Dia duduk di sana, memandangi langit malam, memainkan gitarnya dan bersenandung memainkan sebuah lagu.

Counting the stars, in an empty portal
You're looking dead, like an empty mortal
What will I see, when my eyes stop working?
What if I'm right, that there is no king?

I was born with an imagination
I once believed in your faulty promise
Are you that weak, that you follow fiction?
Then again, what do I even know?

Daniel terdiam selama beberapa saat, hingga tiba-tiba saja gitarnya menghilang. Ketika Daniel menoleh, dia melihat Buzzy dengan wujud manusiannya duduk di sebelah Daniel. Mereka memandang langit selama beberapa saat, sebelum akhirnya Daniel mengatakan sesuatu.

"Menurutmu, apa yang akan terjadi setelah seseorang mati?" tanya Daniel.

"Entahlah, aku pernah ke alam kematian bagi manusia," jawab Buzzy.

"Begitu juga aku. Ryan percaya kalau ada sebuah taman peristirahatan yang indah untuk jiwa yang telah menyelesaikan tugasnya di bumi ini. Orang lain punya pendapat lain atas hal ini."

"Lalu, apa pendapatmu?"

"Entahlah. Bagaimana misalanya kalau alam itu tidak ada? Bagaimana jika hanya ada kekosongan sebagai tempat perisinggahan terakirku?"

"Kedengarannya menyedihkan sekali."

"Bagaimana jika aku benar?"

Buzzy mengangkat bahunya, "Aku kan juga tidak tahu."

"Aku tidak yakin kalau aku mau hidup lebih lama dengan cara seperti ini. Aku takut untuk menyaksikan kematian Ryan. Kurasa akan lebih baik jika aku mati terlebih dahulu sebelum dia pergi. Aku tidak peduli jika aku akan terkurung di sebuah ruangan, atau apapun."

"Daniel! Kau tidak seharusnya berpikir seperti itu! Kau dengar perkataan Hendra tadi? Kau perlu untuk bersabar."

"Kenapa aku harus percaya dengan orang seperti Hendra?"

"Dia sudah mengalami banyak kejadian buruk dalam hidupnya. Dia mungkin tidak punya siapa - siapa lagi. Tapi dia masih percaya akan keajaiban. Dia bertahan hidup bersama dengan keajaiban itu."

Daniel menggeleng, "Aku tidak yakin kalau keajaiban itu akan datang padaku. Aku bahkan tidak ingin tahu apa yang ada di masa depanku. Aku merasa kalau keberadaanku di dunia ini adalah sebuah kesalahan."

Si pemuda berdiri dari duduknya, dan memandang tanah yang ada di sepuluh lantai di bawahnya. Jalanan masih cukup ramai, dan Daniel tersenyum ketika memandang ke bawah.

"Jangan– kau tidak boleh melakukannya! Kita sudah membicarakan soal ini, Daniel!"

"Aku tidak peduli lagi, Buzzy. Ryan tidak akan bisa diselamatkan. Akan lebih baik jika aku bisa menyambut dirinya di alam kematian. Aku berhak untuk menentukan apa yang mau aku lakukan dalam hidupku."

"Tapi Daniel ...."

Buzzy berusaha untuk menarik Daniel menjauh, tapi dia terlambat. Sebelum dia sempat menarik Daniel, si pemuda sudah menerjunkan tubuhnya ke bawah. Buzzy memandang Daniel yang kini mengikuti arah gravitasi, dan dia melakukan apa yang harus dia lakukan.

Hal yang bisa Buzzy lakukan adalah, menerjunkan tubuhnya bersama dengan Daniel. Tubuh mereka jatuh ke tanah dalam waktu yang berbeda, dan Buzzy bisa melihat kalau Daniel terlihat kaget karenanya. Buzzy berusaha untuk mengeluarkan kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya, tapi tidak ada hal apapun yang terjadi.

Apakah ini akhirnya? Apakah cerita Daniel memang harus berakhir seperti ini?

~~~~~

Ruangan itu serba putih. Dindingnya, lantainya, langit-langitnya, semuanya putih. Seorang pemuda berbaring di lantai, dan perlahan mulai terbangun. Ketika melihat warna putih yang menyilaukan, dia harus menyesuaikan pandangannya selama beberapa saat, sebelum dia duduk.

Ketika melihat ke sekelilingnya, dia merasa kalau semuanya aneh, tapi terasa benar. Dia merasa kalau dia seharusnya ada di sini. Inilah tempat di mana seharusnya dia berada. Pemuda ini tidak lain dan tidak bukan adalah Daniel.

Setelah terdiam selama beberapa saat, Daniel berdiri dan melirik ke sekelilingnya. Pandangannya berakhir pada seorang pria yang tengah duduk di depan sebuah meja. Dia mengenalnya sebagai Buzzy.

"Jadi, inilah kehidupan setelah seseorang mati?" tanya Daniel.

Buzzy menoleh, kemudian tersenyum, "Menurutmu bagaimana?"

"Kurasa aku benar tentang dugaanku?"

"Kelihatannya seperti itu. Tapi ada dua buah pintu di sini. Mungkin ada sesuatu yang bisa kau lihat di luar sana."

Daniel mengerutkan keningnya, kemudian dia melirik ke sebelah kirinya. Ada sebuah pintu berwarna putih dengan gagang pintu berwarna perak. Penasaran, Daniel melangkah ke sana dan membukanya. Perlahan, Daniel melihat apa yang tersembunyi di baliknya.

Angin segar bertiup ke wajah Daniel, dan warna hijau menyapa matanya. Sebuah padang indah maha luas terhampar di depannya. Hal ini membuat Daniel tersenyum, karena dia teringat akan Ryan.

Setelah puas memandangi apa yang terdapat di luar sana, Daniel menutup pintu putih itu. Kemudian, dia melangkah ke arah yang berlawanan. Pintu ini berwarna hitam. Daniel memandanginya selama beberapa saat, lalu membukanya. Untuk beberapa saat, hanya kegelapan yang dapat terlihat. Kemudian, sebuah portal terlihat.

Seorang pemuda melangkah di sebuah pemakaman. Dia membawa sebuket bunga mawar dan berhenti di depan sebuah makam. Pemuda itu meletakkan buketnya di hadapan sebuah nisan, sebelum akhirnya dia terduduk dan meneteskan air mata.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, Daniel? Apa yang menyebabkan kamu pergi tanpa alasan begini?"

Daniel meneteskan air matanya. Dia mengenali siapa pemuda itu. Dia adalah Ryan. Sahabatnya masih hidup. Nisan tempat dia berada itu adalah nisan milik Daniel. Tempat di mana tubuhnya beristirahat di dunia nyata.

Perlahan, Daniel berusaha untuk melangkah ke arah portal itu. Hanya saja, sebuah kekuatan misterius melemparkan dirinya ke dalam ruangan dengan keras, kemudian pintu hitam itu menutup. Daniel hanya bisa menatap pintu itu selama beberapa saat, sebelum dia mendengar Buzzy berkata.

"Kau tidak akan bisa kembali, sepertinya. Inilah tempatmu seharusnya berada. Kau sudah memilih jalan ini, jadi disinilah kau," kata Buzzy.

Daniel terkekeh, "Sepertinya kau ada benarnya."

Si pemuda mengusap air matanya, kemudian dia menuju ke arah Buzzy. Ada sebuah kursi lainnya di sana, dan dia duduk di hadapan Buzzy. Mereka berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Daniel tersenyum.

"Ryan, dia masih hidup. Bagaimana bisa?" tanya Daniel.

"Seperti yang dikatakan oleh Hendra. Kau harus bersabar. Keajaiban akan datang jika sudah saatnya, Daniel," jawab Buzzy.

"Huh, aku tidak mengira kalau rupanya tempat peristirahatanku adalah sebuah sel serba putih yang bisa membuat manusia waras jadi gila."

"Ini hanya tempat persinggahan, Daniel. Kau bisa menikmati taman yang ada di luar sana. Lakukan apapun sesukamu."

Daniel menggeleng, "Apa artinya semua keindahan itu kalau aku tidak punya orang yang aku cintai untuk menikmatinya?"

"Lalu? Apa kau menyesal karena sudah mengambil langkah ini?"

"Entahlah, aku tidak tahu. Rasanya penyesalan tidak akan ada gunanya. Aku senang karena Ryan masih bisa bertahan, tapi tidak apa, kurasa tidak masalah kalau aku tiada. Aku yakin kalau Ryan akan bisa bertahan tanpaku. Dia lebih kuat daripada aku."

"Jadi, apa yang akan kau lakukan?"

"Menunggu. Aku akan menunggu, seperti yang aku katakan. Aku akan menyambut Ryan di alam kematian. Mungkin juga membantu orang lain yang mampir ke sini, kalau aku bisa."

"Bukan ide yang jelek. Kurasa aku juga bisa menemanimu di sini."

"Baiklah. Oh iya, kenapa kau terjun bersamaku saat itu? Apa yang mau kau lakukan?"

Buzzy terkekeh, "Aku kira aku bisa menolongmu. Kukira aku bisa mengeluarkan kekuatan rahasia yang selama ini kusimpan, tapi rupanya aku tidak bisa melawan kalau memang semuanya sudah harus seperti ini."

"Aku jadi penasaran kekuatan rahasia macam apa yang kau miliki."

"Ah, biarkan saja itu tetap jadi rahasia~"

Daniel menghela napasnya. Ini akan jadi penantian yang panjang, tapi inilah pillihan yang telah dia buat. Dia akan menjalani pilihan ini, dan bersabar. Kalau sudah saatnya, tentu dia pasti akan bertemu lagi dengan Ryan. Setidaknya, ada Buzzy yang menemaninya di sini.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top