Smiling Man [Kiyoshi Teppei]

Dedicated to @Arisu_Hikari and requested by @Abel_katao
Holly nastar cookie berapa dekade alice ga kembali ke buku ini? Miss you readertacchi! xD /lebay/
Kiyoshi x DoctorDaughter! Reader
Happy reading~
~~~~~~~~~~~~~~~~

-YOUR POV-

Ada seseorang yang selalu ada di sisiku setiap aku membutuhkannya. Yaitu pria bodoh dengan senyuman lebar di wajahnya. Yaitu pemuda ramah yang menggilai basket. Kami belum lama ini bertemu di rumah sakit.

Dia, Kiyoshi Teppei, seorang mantan pemain basket salah satu pasien ayahku. Yang kudengar belum lama ini dia masuk ke rumah sakit sebab cidera. Datang jauh jauh dari Jepang ke sini -LA, pastilah cideranya sangat parah.

Well, ayahku adalah salah seorang dokter di rumah sakit ini. Beliau menaruh harapan agar suatu saat aku dapat menjadi sepertinya. Setiap tiga hari sekali aku rutin mengantarkan bekal ke rumah sakit, atau sekedar menjelajah bangunan tua itu.

Aku? Aku [full name] sebelumnya aku tinggal di Indonesia. Dan aku harap suatu hari aku dan keluargaku akan kembali lagi ke Tanah Air tercinta. Meski sudah sebulan aku berada di sini, masih saja belum bisa terbiasa.

Lagi pula.. Semester kuliah baru masih lama dimulai. Aku bosan, saaaangat bosan. Maka setiap ibuku menyuruh pergi ke rumah sakit, dengan senang hati aku akan menurutinya. Apa lagi setelah ada Teppei. Mungkin karena kami sama-sama orang Asia, kami sedikit mengerti satu sama lain.

Siang itu aku kembali mengunjunginya. Kepalaku mengintip ke dalam kamar pasien, dengan segian tubuhku masih berada si luar, bertonggak di daun pintu.

"Konnichiwa.." Adalah sapaan di siang hari yang diajarkannya padaku. Dia bilang jika orang Jepang selalu mengucapkan salam ketika memasuki berkunjung. Tidak ada bedanya dengan di negara asalku.

"[y/n].. Konnichiwa." Lelaki itu tengah duduk di atas kasurnya, ia menyambutku dengan senyuman hangat. Sudah dua bulan dia ada di rumah sakit ini. Sejak bertemu dengannya aku tidak begitu kesepian.

Aku pergi menuju ranjang yang ada di sebelrangnya, naik ke atasnya, duduk manis dan memulai basa-basi.. "Teppei.. Bagaimana kakimu?"

"Sudah lumayan baik, kok, [y/n].. Terima kasih. Kamu sendiri.. Mengunjungi ayahmu lagi?"

Bibirku sontak mengerucut, bosan dengan pertanyaannya yang itu itu lagi setiap hari. "Yap. Dan aku bosan." Celetukku.

"Eeh.. Apa tempat ini sudah tidak memiliki daya tarik lagi? Mau main denganku?"

"Main apa? Aku bosan ToD. Aku tidak mood catur."

"Bagaimana jika keluar sebentar? Ke taman misalnya?" Tawar Teppei.

"Eh? Memangnya kakimu sudah boleh dipakai berjalan?" Bukannya dia baru saja dioperasi?

Kiyoshi mengangguk. "Aku bahkan sudah bisa melompat loh."

"Bohong.." Mataku memicing "Nanti aku tanyakan sama ayahku baru tahu, deh"

"Hhahaha.." Eh? Kenapa dia tertawa? "Bagaimana jika kamu mendorongku dengan kursi roda?" Well, itu boleh juga. Jadi aku pergi mengambil kursi roda untuknya, kemudian kami bisa pergi ke taman.

Sepanjang koridor aku mendorongnya, melewati lorong lorong rumah sakit, kamar kamar pasien hingga kantor dokter. Kiyoshi tak berhenti tersenyum setiap kali ada orang yang melirik kami. Padahal, ia tak perlu seperti itu. Apa wajahnya tidak pegal?

"Teppei.." [a/n: di Amerika berbeda dengan jepang mereka memanggil dengan nama depan (teppei), bukan nama belakang (kiyoshi)] Ucapku membuka percakapan ketika sampai di taman. Aku duduk di kursi taman memainkan daun bertrlapak lima di antara jemariku. "Apa wajahmu tidak pegal tersenyum terus?"

"Apa yang kamu bicarakan?" Ia malah tertawa. "Senyum itu ibadah, loh [y/n]. Kamu juga harus tersenyum."

Tunggu, rasanya aku pernah dengar kalimat itu di suatu tempat. "Menganggukkan kepala saja sudah cukup, kan?" balasku.

"Tidak.. Dengan senyuman kamu bisa menebarkan kebahagiaan pada orang lain." Ia menyangkal.

"Bahagia bagaimana?"

"Yaah.. Aku tidak tahu." Teppei tersenyum kembali padaku. "Tapi kakek nenekku berkata seperti itu."

"Kakek nenek?"

"Iya." Pemuda ini menenggakkan kepalanya ke langit. "Aku tinggal bersama mereka berdua ketika di Jepang. Haah.. Apa kabarnya mereka sekarang?"

Oh.. Aku mengerti. Dia rindu keluarganya. Teppei yang menyadari ekspresiku kian menyendu, tersenyum seolah mengerti apa yang aku pikirkan.

"Daijoubu.. Artinya, itu tidak apa-apa." Ia menepuk-nepuk pucuk kepalaku.

"Kamu harus banyak tersenyum, [y/n]. Jangan cemberut terus dan mengeluh."

SKIIP

Suatu sore aku berniat mengunjungi Teppei kembali. Namun ia tidak ada di tempat. Kemana dia? Apa rehabilitasi? Kemudian aku menyusuri koridor lagi, menuju ruang rehabilitasi. Oh, dia memang ada di sana. Sedang bertumpu pada dua buah pegangan besi, melatih kakinya agar dapat berjalan lagi.

Dari balik kaca aku hanya dapat memperhatikannya. Dia terlihat sangat serius, berbeda dengan di hari biasa kami bertemu. Keringat bercucuran dari pelipisnya, kaos yang ia kenakan juga basah. Dalam hati aku diam diam menyemangatinu. Berjuanglah, kamu pasti bisa.

Beberapa saat berlalu, aku masih berdiri di depan kaca, memperhatikan Teppei direhab. Berkali-kali ia jatuh namun hal itu tidak mematahkan semangatnya. Teppei kembali bangkit dan tersenyum, bahkan tertawa. Pasti sakit menjalani hal seperti ini. Tapi kenapa kamu masih bisa tersenyum?

Ya ampun, Teppei kamu orang yang kuat, ya? Aku jadi malu dengan diriku sendiri. Aku yang sehat malah sering mengeluh padamu. Tapi kamu berdiri di dalam sana tanpa mengeluh sedikit pun. Jika aku jadi kamu entah ku bisa tetap semangat atau tidak. Aku tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan jerih payah dan semangatmu untuk sehat kembali.

Ketika sejam berlalu, akhirnya Teppei keluar dari ruangan tersebut, bersama seorang suster yang mendorongnya. Aku duduk di bench koridor, ketika Teppei menyadari keberadaanku.

"[y/n]? Sedang apa di tempat ini?" Maniknya bahkan membulat ketika mendapati sosokku.

"Jalan jalan." Sahutku melempar senyum. Sang suster membiarkan kami berdua setelah aku mengatakan biar aku saja yang mengantar Teppei ke kamarnya.

Teppei melempar senyumannya padaku. "Kamu tersenyum." Matanya berbinar-binar. "Akhirnya kamu tersenyum!"

"Kamu berkata seperti itu seolah aku belum pernah tersenyum sebelumnya?" Balasku selagi mendorong Teppei menuju kamarnya.

"Hahaha.. tidak sih. Bukan begitu. Hanya saja kali ini ada yang berbeda dari senyumanmu." Ucapnya. Namun aku tidak menyahut. Jadi dia bertanya lagi.

"Apa kamu melihat dari awal?"

"Um.. Tidak tahu juga." Balasku.

"Sudah berapa lama ada di situ?"

"Mungkin sekitar satu jam."

"Astaga.." Teppei terkekeh. Kenapa? "Untung tidak lebih dari itu. Kalau iya, aku bisa sangat malu."

"Eh? Malu kenapa?"

"Hahaha tidak bukan apa apa.. Bukan apa apa."

Duh, ada apa sih?

"[y/n].." Panggil Teppei memecah lamunanku. Kepalanya menonggak, menatapku lurus. Sambil tersenyum ia berkata, "terima kasih, ya. Bertemu denganmu membuat hariku tidak terlalu membosankan di rumah sakit ini."

Selintas, muncul perempatan di pelipisku. "Kamu ngomong apa sih?" Meski nada bicaraku sedikit teriritasi, Teppei tidak mempedulikannya. Ia malah tertawa lepas 3 detik.

"Arigatou, [y/n]."

SKIIIP

Satu hari baru lagi. Pagi pagi ayahku berangkat terburu-buru ke rumah sakit. Itu aneh, karena jam tayang ayahku itu siang. Pasti terjadi sesuatu yang gawat di rumah sakit. Well, akan aku cek nanti.

Menaruh piring di atas pangkuan, aku duduk di muka teve seraya menikmati sarapan dengan damai. Beberapa jam kemudian aku menyusulnya untuk mengantarkan bekal. Anehnya ayah tidak ada di kantornya. Mungkin sedang ada operasi? Kutinggalkan saja rantang ibuku di mejanya.

Sekarang waktunya aku untuk berkunjung ke kamarnya Teppei. "Konni.." Ucapanku terputus. Tiidak ada orang di sana. Kemana ya dia? Apa di ruang rehabilitasi lagi?

Dengan pemikiran itu aku berjalan menuju ruang rehabilitasi. Tapi sayangnya tidak ada orang juga di sana. Kemana lagi aku mencari?

Aku kembali berjalan ke kamarnya, mungkin cepat atau lambat dia akan kembali. Namun begitu aku kembali, seorang suster baru saja keluar dari kamar tersebut. Beliau mencabut nama Teppei dari pintu.

"Suster, kenapa namanya dicabut?" Aku bertanya panik. Hanya ada satu kemungkinan jika papan nama tersebut dicabut. Dan itu.. Aku belum siap dengan hal itu.

"Pasien di kamar ini sudah tidak ada." Jawab suster. Astaga, apanya yang sudah tidak ada? Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang, membuatku kaget dan meninggalkan rasa sakit di dalam sana.

"Sudah.. Tidak ada.. Maksud suster.."

Sang suster diam selama beberapa saat. "Dia sudah pergi tadi pagi." Tanpa berkata apa apa lagi suster segera meninggalkan posisi.

Hah? Pergi pagi tadi? Apa jangan jangan itu alasannya ayah tergesa gesa menuju rumah sakit pagi ini? Kondisi darurat, operasi, Teppei.. Aah aku tak bisa berpikir. Padahal baru kemarin kami bicara dan melepas senyum. Tidak, aku tidak percaya.

Tubuhku terasa lemas. Aku berpegangan pada dinding untuk mendudukkanku di bench terdekat. Sakit.. Dadaku terasa sakit. Aku belum pernah merasakan perasaan ini lagi sejak.. Kematian kakekku [a/n: or nenek or kakak or siapalah orang yang terdekat denganmu.]

Aah.. Apa aku sendiri lagi sekarang? Teppei.. Aku bahkan belum mengatakan terima kasih sebab sudah menjadi pendengar yang baik. Sekeliling mataku terasa panas, seperti aku hendak menangis.

"[y/n]." Suara nan familiar menyebut namaku. Ku tegakkan kepalaku menuju asal suara dan mendapati sesosok pria berpakaian serba putih berdiri di hadapanku.

Kiyoshi Teppei.

Mataku sampai membulat tak percaya dengan apa yang aku lihat. Teppei berdiri dengan senyum bodoh khasnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Eh, tunggu, kamu kenapa?" Panik, Teppei berjongkok di hadapanku terlihat cemas. "Jangan menangis, [y/n], ada apa?" Jemarinya menyeka cairan bening yang meluncur di wajahku. Ujung bahan jaketnya tak sengaja menyentuh sudut bibirku. Aku sadar jika tangannya masih terasa hangat. Ngomong ngomong, Sejak kapan aku menangis?

"Teppei.." Suaraku bahkan serak ketika menyebut namanya. Pemuda dengan jaket, kaos, dan celana putih ini pun melepas senyuman tipis padaku. "Kamu belum mati?"

Maniknya melebar sedikit, ia menjawab, "jahatnya [y/n]. Kamu berdoa agar aku cepat mati?" Dengan intonasi panik.

"Bagaimana aku tidak berpikiran seperti itu?! Kemarin kalimatmu seperti kalimat perpisahan yang diucapkan orang orang di teve ketika menjelang ajal! Dan lagi suster tadi bilang pasien di kamarmu sudah tidak ada! Dan tadi pagi ayahku tergesa gesa pergi ke rumah sakit! Bagaimana aku tidak berpikiran seperti itu?!"

Teppei terpaku sejenak, sebelum tertawa lepas. "[y/n], [y/n]. Kamu terlalu banyak nonton teve."

Teppei.. Jangan tertawa! Jahat..

"Teppei baka." Celetukku menggunakan kosa kata yang diajarkan lelaki bertubuh 190cm ini. Aku bahkan tak menyangka akan menggunakannya.

Teppei masih saja tersenyum, tangan besarnya membelai-belai surai [h/c]ku lembut. "Ha'i ha'i. Aku memang bodoh." Ucapnya.

"Tapi aku tidak akan pergi tanpa pamit pada orang yang spesial sepertimu." Tambahnya. Well, lega rasanya mendengar kalimat itu meluncur dari mulutnya. Tapi.. Apanya yang orang spesial?

"Aku berencana tinggal lebih lama di sini. So, would you go out with me?"

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
What if he is your man, Kurang lebih 2000 kata setiap update.
Yandere darlin 3000-4000 kata per updte.
I hate you dan owari no seraph sekitar 1000-1500 kata.
Look at me sekitar 1400 kata.
Abaikan yang barusan :v

Bantu aku meng-ic kan chara dengan Vote or comment :3 ngomong ngomong chapter ini ngerti maksudnya ga? ;-;
oh iya, request are closed~ ;-; gomenn!!!

NEXT:
Hanamiya to Yahisa_Nashimi24
Haizaki to Yahisa_Nashimi24
Kuroko to fb fellas
Hayama to @TakanashiYumi13
Mayuzumi to @uchihaamandaaaaa @inanty
AkashixBadGirl! To @Yoshikuni_Asuka
MayuzumixBadGirl! To Yahisa_Nashimi24
Tsundere!Kise To @Yoshikuni_Asuka
Mayuzumi To @uchihaamandaaaaa
Kuroko To @kawaii_minion

Love,

Alicia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top