Past Lie [Takao Kazunari]
#54
Bom! hahaha, bawain langusng dua update~
Pokoke happy reading lagi~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Musim dingin hampir tiba. Angin musim gugur seolah mengucap selamat tinggal. Aku duduk di bangku taman sekolah sendirian sambil menatap lapangan kosong di hadapanku. Teringat aku pada masa-masa ketika kami masih menjadi siswa tahun pertama di sekolah ini. Saling bercanda gurau, melakukan segala hal bersama, bertingkah gila dan mendukung satu sama lain. Sungguh masa-masa yang menyilaukan.
Suaranya, senyumnya, saat pertama kali kami bertukar sapa, masih membekas jelas pada ingatanku. Saat itu kami berada di kelas yang sama. Sesama siswa tingkat junior yang masih lugu terhadap kehidupan SMA.
Aku duduk di bangkuku sambil mendengarkan musik menggunakan earphone. Tahu-tahu dia menyapaku dengan senyum lebar nan bersahabat. "[y/n]-chan~! Atau aku salah menyebut namamu?"
Saat itu aku langsung melepaskan earphone-ku sambil menatapnya bingung.
"Kubilang, namamu [full name], kan?" ulangnya masih dengan senyum lebar.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.
Lalu dia mengulurkan tangan, memintaku menjabat tangannya. "Yoroshiku, [y/n]-chan. Takao Kazunari," katanya memperkenalkan diri.
Aku selalu merasa geli jika mengenang hal itu. Habis, saat yang lain sangat menghargai privasiku yang memilih menyendiri dulu di kelas; sibuk bercengkrama hanya dengan teman yang sudah mereka kenal di awal, Kazunari malah asik berkeliling kelas sambil menyapa setiap orang. Termasuk menyapaku.
Tapi, dari sana aku bersyukur. Jika tidak, mungkin aku tidak akan berani menegurnya setiap ada kesulitan di kelas. Dan mungkin, kami tidak akan jadi teman dekat setelahnya. Pergi ke kantin bersama, makan siang bersama, pergi ke perpustakaan, kami hampir melakukan segalanya bersama. Dia bahkan merawatku ketika aku sakit.
Ya, saat aku demam setelah kehujanan di jalan pulang sekolah bersamanya. Saat itu sedang musim dingin, aku ingat sekali. Lucunya hanya aku yang sakit, padahal dia juga basah kuyup.
"Itu curang," ucapku merajuk, duduk di atas ranjangku sambil menyilang tangan di depan dada. Sementara Kazunari duduk di kursi tepi ranjangku sambil memeriksa thermometer; memeriksa suhuku.
"Hehehe... aku kan, sudah bilang kalau aku ini kuat sama masuk angin," ia terkekeh, lalu menempelkan plester penurun panas di keningku, kasar. "Kalau aku sakit, nanti siapa yang mengurusmu?"
"Aduh! menoyor atau menempelkan plester, sih?" keluhku masih sebal, namun lagi-lagi dia hanya tertawa.
"Kalau dua-duanya? Haha, bercanda. Habis aku tidak tahan, wajahmu super merah lalu merajuk begitu. Lucu, tahu!"
"Masa bodoh, Kazu."
"Jangan marah, lah. Harus bersyukur kalau aku tidak ikut demam. Teman macam apa, kau ini?" tuturnya.
Aku kembali diam, menggulung diriku menjadi sebuah burrito manusia. "Ya, syukurlah. Jika tidak, entah apa jadinya dengan tim basketmu..." aku bergumam, "Kalian sedang dalam babak seleksi, bukan?"
Kazunari mengangguk, masih dengan senyum yang biasa kau pampangkan untukku.
"Bukannya seharusnya kau pergi latihan?"
"Hari ini libur. Kalau tidak, buat apa juga aku ke sini? Atau bisa-bisa kepalaku dibidik oleh nanas."
"Kapten?"
"Yap. Entah sejak kapan dia jadi suka melempar nanas ke kepala orang."
"Sebentar," aku keluar dari burrito-ku, "itu bahaya namanya!"
"Hahaha... daijoubu," dia menyangkal, "itu cuma bercanda, kok. Nah, buka mulutmu."
Aku mengerjap bingung. Tahu-tahu dia sudah menyendok sup hangat yang kukeluh hambar rasanya. Sekejap kemudian sendok yang dia pegang sudah berada di depan mulutku. Ia menyuapnya masuk ek dalam mulutku. "Rasanya tidak hambar, kan, kalau disuapi orang ganteng?"
Terus saja bercanda. padahal saat itu dia sedang berbohong. Sebenarnya dia ijin dari latihan demi merawatku. Aku diberitahu oleh Midorima segera setelah aku sembuh. Aku ingat, aku langsung marah pada Kazunari di sekolah.
Siang hari itu dia mengajakku makan siang bersama seperti biasa. Tapi Midorima ikut duduk bersama kami di meja kantin. Tahu-tahu saja Midorima memaki kawannya karena tidak hadir latihan kemarin. Dari situlah aku tahu kebohongan Kazunari tersebut.
"Partnermu itu kemarin menghabiskan sorenya di rumahku," tuturku pada Midorima, sebenarnya kesal pada kawannya.
"Dia lebih memilih temannya yang sakit demam daripada latihan bersama timnya. Lucu, kan?" Aku gebrak meja dengan meletakan sendokku, lalu pergi meninggalkan mereka berdua terperangah di sana.
Aku sangat marah waktu itu. Pertama, Kazunari berbohong. Kedua, dia memprioritaskanku daripada tim. Itu bodoh namanya, padahal kalian sedang berada di babak yang penting.
Aku tidak mau berbicara kepadanya untuk waktu yang cukup lama. Sungguh kekanak-kanakan, bukan? Padahal hanya masalah sepele. Bahkan pernah juga Kazunari mengejarku, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun aku menolak dan malah balik memarahinya karena bolos latihan. "Harusnya memang tim yang kau utamakan, bukan aku. Kau tahu aku tidak menyukai hal itu, tak enak dengan timmu."
Tapi Kazunari malah balas berteriak, "Kau dan tim, tentu bagiku kau yang lebih penting! Tahu kau sakit justru membuatku membatin. Kau sakit karenaku, kaukira aku tidak kepikiran? Kalau saja waktu itu kuajak kau berteduh, bukannya malah main hujan-hujanan!"
Jujur saja aku terkejut. Itu pertama kalinya Kazunari marah padaku, sampai kata-kata pun enggan keluar dari mulutku.
Dia terlihat sangat kacau saat itu. Sangat berbeda dari dirinya yang biasanya ceria, kesana-sini penuh tawa. Iatepuk wajahnya kuat-kuat sampai berbekas merah di pipi, lalu berujar, "Selama ini aku menyimpan perasaan yang lebih dalam daripada sekedar teman padamu, [y/n]-chan. Aku menyukaimu lebih dari teman."
Masih kuingat jelas bagaimana wajahnya merona saat itu. Seluruh wajah, bahkan sampai ke telinga. Mengatakannya pastilah membutuhkan keberanian yang luar biasa, bukan? Sama halnya yang terjadi padaku ketika aku menjawab pernyataan tersebut.
"Aku juga menyukaimu lebih dari sekedar teman...."
Kemudian kami mulai menjalin hubungan yang lebih serius daripada sekedar teman. Menjadi sepasang kekasih sekaligus sahabat. Kami berdua sangat bahagia dahulu sekali. Bergandengan tangan saat pulang sekolah, saat di jalan maupun stasiun. Duduk berdua di dalam gerbong, Kazunari bahkan membiarkanku tertidur di bahunya.
Aku sangat menyukainya, saat ia menggengam tanganku. Perasaan hangat dan aman akan menyelubungiku. Rasanya sungguh nyaman.
"Ne..." panggilku, "suatu hari nanti... apa kau akan berhenti menggenggam tanganku seperti ini?"
Kazunari melepas senyum yang biasa ia pamerkan seraya bertutur, "Bicara apa, sih? Mana bisa aku melepaskanmu?" Mendengarmu berbicara seperti itu, sungguh membuatku tenang. Senyum simpul pun terukir di wajahku.
"Janji, loh!" ucapku sambil bermanja.
"Janji.... Ah... tapi sepertinya aku tidak bisa janji."
Seketika aku bangun, menatapnya bingung dengan dahi yang agak berkerut. Namun, di sisi lain Kazunari malah menyeringai, seringai karena ia tak kuat menahan senyum.
"Yah, kalau aku mau pergi ke toilet, mau pulang ke rumahku, mau latihan basket, tentu aku mau tidak mau harus melepaskanmu, bukan?" candanya.
Dahulu, banyak sekali bahan candaannya. Aku merajuk kala itu, tetapi kemudian ia mengecup keningku singkat. Hal itu selalu berhasil mengurangi amarahku dengan ajaibnya.
"Aku benci kerutan di dahimu itu. seperti nenek-nenek, siapa juga yang mau pacaran sama nenek-nenek?"
"Oi..."
Terkadang candaannya memang agak menyebalkan, tapi aku bersyukur, setidaknya karena hobi bercanda itu, Kazunari bisa membuat suasana timnya menjadi santai. Seperti saat kalah dari beberapa tim basket lawan, ia berdiri bersama mereka untuk menyemangati dan membuat mereka tersenyum lagi. Sama halnya seperti yang kaulakukan saat aku terpuruk dan sedih akan suatu hal.
Aku ingat hari saat aku mengecewakan orangtuaku. Kazunari satu-satunya yang datang dan merangkulku. Pelukannya selalu membuatku tenang, Sentuhan-sentuhannya selalu membuatku terbuai, dan kalimat-kalimat lucunya selalu membuatku tertawa. Kemudian rasa cintaku semakin besar kepadamu setiap harinya, hingga tiga tahun masa pendidikan usai, bahkan hingga sekarang kami duduk di jenjang sarjana.
Perasaan cinta itu kian bertambah sampai di pikiranku hanya ada dia, dan mataku buta terhadap lelaki lain. Hanya dia... hanya dia....
Tak berjumpa atau mendengar kabar sehari saja dapat membuatku gelisah. Tak mendengar suaranya mengucap kata "Oyasumi," saja rasanya hariku tak lengkap. Dan malamnya serasa gila, mungkin karena seluruh cintaku terlanjur tertujukan untuknya.
Aku gila.
Bahkan menangis saking merindukanmu.
Kazunari selalu tersenyum padaku, memeberi semangat, mengusir gundah serta meringankan masalah yang kupunya. Ia tak pernah membiarkan setitik air mataku jatuh. Sementara aku? Aku tidak tahu bahwa selama ini rupanya dia menanggung beban yang begitu besar di belakangku. Benar-benar tidak peka, kekasih yang gagal.
Namun Kazunari, malah tersenyum padaku. Tertawa lemah berbalut pakaian putih khas rumah sakit. "Berarti aku sukses besar menipumu selama ini. Ah, tapi tidak juga. Pada akhirnya kau tahu bahwa aku sakit."
Ia duduk di ranjang rumah sakit dengan selang infus yang terhubung di lengannya. Dan yang kulakukan hanya bisa duduk di sebelah ranjang sambil menahan tangis. Aku sangat marah pada saat itu, entah sudah berapa kali ia membohongiku. Tetapi aku tidak bisa mengeluh atau marah pada Kazunari. Apalagi setelah melihat kondisinya
Dokter bilang ia sudah tidak bisa bermain basket lagi sebab penyakit yang sudah begitu parah, tapi Kazunari masih saja bisa tersenyum. "Masih ada hal lain yang bisa kulakukan selain basket. Daijoubu...," ucapnya seraya menyeka air mataku.
Tangannya menggapaiku, menarikku agar duduk di sebelahnya. Dengan hati-hati ialingkarkan lengannya di pundakku, menyandarkan kepalaku pada bahunya, membelai rambutku dengan hati-hati, serta mengecup keningku lembut.
"Menangis hanya untuk orang lemah. Kau itu kuat, [y/n]-chan, jadi jangan menangis. Aku tidak apa-apa, kok. Cuma butuh istirahat sebentar lalu sehat seperti sedia kala."
Aku sangat percaya kata-katanya yang mengatakan bahwa ia akan segera sembuh dan kembali ke kampus secepatnya. Setiap hari aku berkunjung sampai malam menjelang. Setiap hari pula ia menyambutku dengan keceriaan, tanpa mau membuatku khawatir lagi. Namun, tiga minggu berlalu dan ia belum masuk kuliah juga.
Suatu sore saat aku mengunjunginya, aku terperangah. Pasalnya pasien yang berada di kamar Kazunari kini berganti bukan dirinya. Aku panik bukan main. Lalu aku mencari, bertanya kepada suster. Katanya Kazunari telah dibawa pulang.
Lalu mengapa jika ia sudah pulang, ia tidak mengabariku? Aku bergegas menuju rumahnya, tetapi tahukah apa yang kutemukan di ruang tamunya? Seguci abu dan dupa yang masih segar.
Tahu-tahu saja air mataku meluncur turun. Setiap kali kuingat kejadian itu, dadaku langsung terasa sakit. Mungkin ini trauma yang ditinggalkan dari kejadian tersebut.
Orangtuamu bermata sembab sepertinya baru selesai menangis. Dadaku sesak, sungguh sesak mengira itu adalah abumu. Apalagi sewaktu ibunya melirihkan nama putranya.
"[y/n]-chan..., Kazunari-kun..."
Sungguh, aku tidak bisa menahan tangisku. Kazunari berbohong lagi, sebuah kebohongan terbesar yang pernah ia perbuat padaku.
"[y/n]-chan?" seseorang membuyarkan acara kilas balikku. Aku mengadah ke samping, sosok itu menyeringai khawatir padaku.
"Kazu...." Itu ia, seseorang yang nyaris membuatku kehilangan harapan untuk hidup.
Ia menghampiri lalu ikut duduk di sebelahku. Tangannya menyeka wajahku dengan hati-hati, menyingkirkan jejak air mata yang entah sejak kapan ada di sana. "Kenapa menangis? Kau habis terjatuh, atau bagaimana?" tanyanya khawatir, meski kalimatnya terdengar agak mengejek.
Aku cemberut padanya, "Aku bukan anak kecil lagi, masa jatuh bisa membuatku menangis?"
"Habisnya kan, siapa yang tahu?" tutur Kazunari diiringi tawanya. "Jadi apa yang membuatmu melanggar janji untuk tidak menangis lagi, [y/n]-chan?"
Oh, iya. Dahulu sekali, semenjak kejadian itu Kazunari membuatku berjanji untuk tidak menangis lagi, apapun yang terjadi. Begitu pula dengannya yang berjanji tidak akan membuatku menangis, apapun yang terjadi.
"Ah... aku habis teringat masalalu," sahutku. "Saat kau dan orantuamu menipuku dengan kematianmu."
Kazunari tertawa puas. "Aku minta maaf lagi soal itu. Pokoknya hal itu, jangan dipikirkan lagi."
"Pokoknya aku akan menangis setiap hari kalau hal itu terulang lagi!"
"Aduh, jangan, dong...." rengek Kazunari, dan aku terkekeh karena ekspresinya yang cemas-cemas lucu.
Kazunari berdiri lalu mengulurkan tangannya sambil tersenyum padaku. "Urusanku sudah selesai di sini. Sekarang pulang, yuk?"
Aku mengangguk lalu menyambut uluran tangannya, membiarkan Kazunari menariku hingga berdiri. Kami pun berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.
Setidaknya hingga sekarang ia masih menepati janjinya untuk terus menggenggam tanganku.
"Ne, [y/n]-chan, mau main ke suatu tempat dulu, tidak?"
"Apa ini ajakan kencan?"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aaaaaa sekian dulu. Semohlga kamu suka! Maaf aklaua da kekurangan ;w;
Love,
Alicia.
ttps:\t
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top