What if Stephanie Brown was just an ordinary student.
Stephanie Brown menatap layar komputer di perpustakaan sekolahnya sambil menarik napas panjang. Hari ini adalah hari di mana dia harus menyerahkan esai terakhirnya tentang "Perubahan Sosial dalam Masyarakat Modern." Seperti biasa, tenggat waktu selalu datang terlalu cepat, dan dia hanya punya waktu beberapa jam lagi untuk menyelesaikannya. Meskipun ia tak pernah menjadi anak yang paling rajin di kelas, Stephanie memiliki keinginan untuk selalu mencoba, setidaknya agar nilai-nilainya tidak terlalu buruk.
Ia melempar pandangannya ke luar jendela dan melihat lapangan sepak bola di kejauhan. Saat itu, para pemain tengah berlatih untuk pertandingan akhir pekan nanti. Ia mengenali salah satunya—Tim Drake, cowok pendiam tapi selalu tersenyum hangat yang duduk satu kelas dengannya di pelajaran sejarah. Ia hanya mengenalnya sebatas teman sekelas, namun diam-diam, Stephanie sering memerhatikannya. Tim tampak berbeda dari yang lain, seolah ada sesuatu yang dalam di balik senyumnya.
Stephanie lalu menghela napas dan memfokuskan pandangannya kembali ke layar komputer. Ia tahu, hidupnya akan terasa berbeda jika ia bisa lebih berani, jika ia bisa mencoba sesuatu yang lebih dari sekadar menulis tugas esai atau menonton pertandingan dari bangku penonton. Tapi apa? Stephanie adalah gadis biasa, bukan seseorang yang berani mengambil risiko besar, atau yang bisa menyelamatkan orang lain dalam keadaan bahaya. Ia hanyalah Stephanie Brown, siswi biasa di sekolahnya.
Namun, keinginan itu tetap ada—perasaan bahwa ia ingin melakukan sesuatu yang berarti.
Di lorong sekolah, bel tanda istirahat berbunyi. Stephanie membereskan barang-barangnya dan keluar dari perpustakaan, berjalan perlahan menuju kantin. Begitu memasuki ruangan kantin yang ramai, matanya langsung tertuju pada sebuah meja yang di sekitarnya penuh dengan tawa. Di sana, Tim Drake tengah duduk bersama teman-temannya, tampak menikmati cerita-cerita konyol yang dibagikan.
Stephanie berusaha mengalihkan pandangannya, tapi Tim tiba-tiba menyadarinya dan melambaikan tangan, menyuruhnya mendekat. Stephanie terkejut sejenak, namun kemudian, dengan gugup, ia melangkah ke arah meja Tim.
"Hai, Steph! Mau duduk bersama kami?" Tim bertanya ramah.
Stephanie mengangguk dengan canggung dan duduk di sampingnya. Meski awalnya merasa gugup, ia kemudian merasa nyaman. Tim dan teman-temannya ternyata ramah, membuatnya tertawa dan merasa diterima. Saat-saat seperti inilah yang membuat Stephanie merasa lebih hidup, saat dia merasa dihargai bukan karena nilai atau keberaniannya, tapi hanya karena dirinya sendiri.
Setelah beberapa waktu berlalu, Tim berbisik padanya, “Hei, kau mau pergi ke taman kota nanti sore? Kudengar mereka akan mengadakan acara musik di sana. Seru lho!”
Stephanie mengangguk, merasa senang atas undangan itu. Hari itu akhirnya menjadi hari yang sederhana namun berharga. Stephanie menyadari, terkadang, kebahagiaan tak perlu datang dalam bentuk petualangan besar atau keajaiban; kebahagiaan bisa datang dari momen-momen kecil, seperti saat dia duduk di samping Tim dan tertawa bersama.
Dan mungkin, meski ia tak akan pernah menjadi pahlawan, Stephanie tahu bahwa di dunia ini, ia tetap memiliki peran penting: menjadi teman yang baik, menjadi sahabat, dan mungkin, suatu hari nanti, seseorang yang bisa membuat perbedaan dalam hidup orang-orang di sekitarnya—tanpa perlu kostum atau identitas rahasia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top