xxxviii - They Lost Their Child

Participant and pairing :

Wizardcookie - JoRiell

AisakiRoRa - ShawMela

queenofjoker_ - VicRora

rorovii_ - KiyoSoph

.

.

.

   » JoRiell

Sebuah pusat perbelanjaan begitu ramai akan manusia yang berlalu-lalang dan sibuk dengan kegiatannya. Lain hal dengan kedua pasangan yang saling menggenggam tangan dan membelah keramaian, tetapi pihak perempuan terus memikirkan kesalahan yang ia perbuat.

"Gak usah dipikirin." Seakan membaca pikiran sang wanita, Jonghyuk berucap–menenangkan perempuan yang digenggamnya. "Kita cari sama-sama."

"Bukankah seharusnya kita berpencar?"

Pertanyaan Rielle tak dijawab, pria itu terus berjalan sembari menyisir setiap sudut tempat guna menangkap anak kecil yang mereka cari. Ia terlalu fokus, juga tak setuju dengan tawaran si wanita. Ya, mereka sedang mencari buah hati mereka yang hilang di keramaian. Dasarnya anak kecil memang senang mencari tahu banyak hal tanpa memikirkan resiko, diperlukan pengawasan ketat pula dari orangtua agar anak-anaknya tidak berada dalam bahaya.

Rielle tahu akan hal itu. Ia pun dirundung rasa bersalah karena tak bisa menjaga anaknya dengan baik.

Mereka berhenti di depan arkade, genggaman mereka tak lepas dan saling beradu tatap. Tatapan datar Jonghyuk sedikit membuat Rielle khawatir, takut-takut kalau ternyata sang pria murka padanya.

"Terakhir di sini 'kan?" tanyanya, dijawab anggukkan oleh wanita berambut perak tersebut. "Kita belum masuk ke tempat ini, siapa tahu dia ada di dalam sana."

Jonghyuk menarik tangan Rielle, membawa sang wanita masuk ke dalam arkade tetapi pergerakannya ditahan. Iris merah Rielle menatap lawan bicaranya penuh harap, menginginkan tawaran mengenai "berpencar" diterima karena lebih mudah dan efektif daripada mencari berdua.

"Bagaimana kalau kita berpencar saja?" Rielle menawar lagi, berharap Jonghyuk menerimanya.

Dengkusan tercipta, tangan sang pria menyentuh pipi mulus Rielle dan mengusapnya. Tatapan Jonghyuk melunak saat melihat kekhawatiran tersirat di wajah wanitanya. Tidak, dia tak marah pada Rielle. Dia khawatir karena anak mereka belum juga ditemukan dan mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengumuman orang hilang sebelum benar-benar mencari. Jika mereka berpencar di tempat seluas ini, bimbang jika Rielle ikut hilang dan tidak ditemukannya. Dia tak ingin hal itu terjadi.

"Lebih baik kita cari sama-sama," ujarnya. "Aku tak mau kehilanganmu."

__________________

   » ShawMela

"Dimana Silvia?" Tanya Melanie sambil melihat sekitarnya. Tidak menampakan batang hidung sang gadis kecil berusia lima tahun itu. Melanie mulai panik, ketika ia tidak bisa menemukan Silvia--anak perempuan Shaw dan Melanie. Shaw sembari menggendong Sean yang berusia dua tahun lebih muda dari Silvia, mulai ikut panik. Mencari anak perempuannya yang menghilang tiba-tiba.

Sore itu, mereka menghabiskan waktu bersama di Taman Hiburan. Sesuai janji mereka kepada dua anak mereka yang ingin sekali pergi ke sana. Tentu hal ini menjadi hari bahagia mereka, begitu juga dengan Silvia dan Sean yang senang melihat banyaknya wahana yang menarik perhatian mata. Namun, ditengah perjalanan mereka, Silvia tiba-tiba saja menghilang. Padahal, Melanie yakin ia telah menggandeng tangan Silvia erat-erat.

Melanie mulai cemas, keringat mulai bercucuran dengan dahi yang ia kerutkan. Melanie

melihat kesana-kemari pun tetap saja tidak menemukan anak gadisnya. "Astaga Shaw, bagaimana ini? Silvia tidak ada!" Ucap Melanie panik, ia memegang lengan Shaw erat. Bahkan, Melanie rasanya ingin menangis jika Silvia tak kunjung di temukan ditengah ramainya Taman Hiburan.

"Tunggu disini, biar aku mencari Silvia. Titip Sean ya, sayang."

Shaw memberikan Sean kepada Melanie, sang istri mengangguk lantas meraih Sean ke pelukannya. Menggendong Sean dengan erat seraya mengelus rambut anak laki-laki mereka. Segera Shaw beranjak dari tempatnya. Ia bergegas mencari Silvia yang menghilang dari mereka.

Dengan rasa khawatir juga cemas, Shaw berlari mencari Silvia dengan tatapan tajamnya. Ia juga tidak segan-segan akan menggunakan evol-nya jika dibutuhkan. Namun, sekarang bukanlah hal yang tepat. Shaw juga mengunjungi beberapa wahana dan tempat yang mereka kunjungi sebelumnya, tetapi hasilnya nihil. Hingga Shaw akhirnya menghentikan langkahnya ketika melihat sosok yang ia cari.

Silvia menangis. Terduduk di salah satu bangku taman di dekat air mancur. Ia sendirian. Shaw akhirnya bisa menghela nafas lega. Kemudian, ia berjalan mendekati anaknya. "Silvia, ayah menemukanmu." Sahut Shaw lembut sambil menepuk pundak sang gadis. Silvia pun mendongak, kedua matanya yang berkaca-kaca pun terlihat.

"Ayah! A-aku takut."

Silvia memeluk Shaw. Badan mungil itu, memeluk sang ayah dengan erat. Shaw mengerti jika anak ini pasti ketakutan, sendirian dan tidak tahu harus kemana. Shaw membalas pelukan Silvia, sesekali mengelus rambut Silvia.

"Ayah disini, jangan khawatir."

"T-tapi tadi ... Silvia tidak menemukan kalian. Silvia tersesat saat jalanan mulai ramai." Suara Silvia mulai tersedu-sedu akibat tangis yang mulai keluar. Shaw menepuk punggung kecil sang gadis. Menenangkan Silvia. "Ssstt ... sudah, jangan menangis ... Ayah sudah bersama Silvia kan sekarang? Ayah tidak akan kemana-mana kok." Suara Shaw melembut sembari menghapus air mata Silvia yang mengalir di pipi.

"Maaf tadi aku--tidak menyadari jika Silvia tidak ada disamping Ayah. Bagaimana sebagai permintaan maaf, aku belikan es krim?"

"..."

"Dua es krim?"

"Empat!"

Shaw terkekeh, mengangguk. Kemudian mengangkat tubuh kecil Silvia, menggendong anak perempuannya yang mirip sekali dengannya. Kemudian, Shaw tersenyum.

"Baiklah, ayo kita temui dulu Bunda dan Sean ya? Mereka khawatir mencarimu."

__________________

   » VicRora

"Vict, kamu tahu dimana Arthur dan Maeve? Mereka belum pulang dari sekolah, lho."

Rora berjalan mendekati Victor sambil menggendong Pudding. Kedua netra birunya menatap suaminya khawatir. Wajar saja jika Rora tiba-tiba merindukan anak mereka meskipun mereka nanti akan pulang sore hari karena menjalani pendidikan. Sisi keibuan Rora selalu aktif kapanpun dimanapun di dalam situasi apapun sejak kelahiran mereka berdua.

Namun, kali ini berbeda di dalam keluarga Li. Sebentar lagi adalah jam makan malam, dan Rora sudah menyiapkan makan malam mereka. Rora telah menghubungi Arthur dan Maeve, tetapi tidak ada jawaban apapun dari mereka. Niatannya tadi Rora menelepon sekolah mereka dan bertanya pada tata usaha atau guru mereka, tetapi Victor menahan tindakannya karena mereka berdua sudah cukup dewasa.

"Jangan-jangan mereka menginap di rumah teman-teman mereka lagi, tapi lupa mengabari kita, terutama Maeve," balas Victor.

"Oh ayolah, Vict, memangnya mereka lahir dari batu? Insting ibuku tiba-tiba bangkit, dan kau tahu sendiri Arthur selalu mengabariku atau mengabarimu kalau dia telat pulang," Rora mendengus kesal, sebelum menurunkan Pudding.

"Apa karena jam tambahan di sekolah mereka?" duga Victor, mengusap dagunya.

Rora menggelengkan kepalanya, "kemarin itu jam ekstrakulikuler Arthur dan Maeve. Mereka biasa pulang jam setengah delapan malam. Itupun kalau ada kesempatan, kamu selalu menjemput mereka berdua."

"Kapan terakhir kali kamu menelepon mereka berdua?" Victor bertanya sekali lagi.

"Terakhir dua puluh menit yang lalu, jeda dua menit untuk menghubungi mereka. Aku juga sudah mengirimkan pesan ke mereka, tapi hanya centang satu. Biasanya mereka juga cepat responnya." Tiap kali Rora membalas pertanyaan Victor, raut wajahnya makin khawatir.

Victor dan Rora saling bertatapan, menciptakan keheningan di ruang keluarga. Victor masih duduk diam di atas sofa, sementara Rora berdiri tidak jauh darinya. Kelihatan dari gerak-gerik Rora bahwa dia ingin sekali menjemput keduanya anaknya di sekolah mereka karena tidak mendapatkan kabar apapun dari mereka.

"Aku tidak ingin berpikir negatif, tapi kita akan menjemput Arthur dan Maeve sekarang," perempuan berambut hitam-violet itu beranjak dari tempatnya, segera mengganti pakaiannya.

***

Victor dan Rora akhirnya memutuskan menjemput Arthur dan Maeve di sekolah mereka. Rora masih berusaha berpikir positif, mungkin dia kelelahan bekerja sehingga dia selalu berpikir hal buruk. Beberapa kali juga Victor berusaha untuk menenangkan istrinya kalau mereka berdua akan baik-baik saja. Entah berapa kali Victor harus memeluk Rora sejenak karena sang istri yang masih panik.

Sekali lagi, perasaan Rora tidak mendukungnya. Insting keibuannya mengatakan ada hal buruk menimpa kedua anaknya.

Keduanya tiba di depan gerbang sekolah, dan mendapati kondisi sekolah yang sepi tidak ada murid satupun berkeliaran. Gerbang sudah terkunci, menandakan bahwa sekolah ditutup. Atensi mereka berpindah pada beberapa mobil polisi dan gerombolan orang tidak jauh dari tempat mereka.

"Apa itu? Ada kasus dekat sekolah?" Rora menggenggam erat tangan Victor, masih menatap ke arah kerumunan.

Victor tidak menanggapi Rora, tetapi dia menggandeng istrinya ke arah kerumunan. Begitu mereka mendekat, keduanya melihat ada dua tubuh yang ditutupi semacam kain abu-abu. Di jalan itu masih ada bekas darah, mengering mengotori sekitarnya. Ambulans baru saja tiba ke TKP, sementara itu polisi sedang berbicara dengan beberapa saksi.

"Apakah kalian orang tua dari Arthur Li dan Maeve Li?" seorang polisi perempuan mendekati Victor dan Rora dari belakang, tidak sengaja mengejutkan mereka. Padahal niatan sang polisi itu berbeda.

"Ada apa? Kami orang tua mereka," jawab Victor, berbalik menghadap polisi perempuan itu.

"Kedua anak Anda mengalami kecelakaan maut yang terjadi dekat sekolah, sekitar jam tujuh tadi karena mobil yang remnya rusak," polisi itu langsung memberikan laporan, menatap Victor dan Rora bergantian.

***

"Bangun, mama!"

Rora membuka kedua matanya cepat, dalam keadaan jantungnya berdetak kencang. Kedua netra birunya menangkap sosok anak perempuannya, Maeve, yang berusaha membangunkan ibunya dari mimpi buruk. Tidak jauh dari posisi Maeve, Arthur duduk di sofa agak dekat dengan posisi Rora.

"Mama kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanya Maeve menepuk pipi Rora pelan. Sorot matanya terlihat sedih dan panik.

"Sepertinya mamamu sedang kelelahan karena kerja, jadi dapat mimpi buruk." Rora melirik ke belakang Maeve, dan baru menyadari keberadaan Victor. Sang suami belum mengganti pakaian kerjanya, dan sepertinya dia baru saja pulang dari kerja.

"Mama sampai menangis begitu, mimpinya pasti tidak mengenakan. Mama juga sangat berkeringat," sahut Arthur, menanggapi sang ayah.

Semuanya adalah mimpi buruk yang terlalu nyata bagi seorang ibu. Entah apakah itu adalah kabar baik atau buruk. Rora hanya bisa diam saja, mencoba untuk memeluk Maeve dan menahan air matanya. Tubuhnya masih terasa sangat lemas karena efek dari mimpi itu.

__________________

   » KiyoSoph

Jujur saja, Kashuu bukan orang yang memiliki rasa sayang yang besar terhadap anak kecil. Dari dulu Kashuu sedikit menganggap bahwa manusia kecil bodoh yang sulit diatur itu menyebalkan, dan sebisa mungkin Kashuu tidak ingin berinteraksi dengan anak kecil. Maka dari itu juga Kashuu bertanya-tanya, apakah itu karma baginya yang tidak peduli pada anak kecil, ketika Istrinya memberikan kejutan berupa kartu usg, tersenyum dengan wajah cerah, tercerah dan terindah yang pernah Kashuu lihat sepanjang dirinya mulai mencintai Sophie hingga saat itu.

"...."

Dalam hati Kashuu seringkali bertanya-tanya sepanjang melihat perubahan perut sang istri–tiap hari kian melebar, ada ketakutan, selama ini Sophie hanya milik Kashuu, tidak pernah terpikirkan bahwa dia akan membagi Sophie pada siapapun; termaksud anaknya sendiri.

"Kashuu, tolong aku–tolong anakku, Kashuu darahnya banyak sekali, tolong, tolongtolongTOLONG!"

"...."

Rasanya baru saja kemarin Kashuu sekali lagi bimbang akan kehamilan sang istri, dan hari ini Sophie sedang terduduk di lantai dengan mata berlinang, tangan yang memeluk lembut perut yang besar, dan genangan darah disekitarnya. Setelah saat itu Kashuu tidak bisa melihat Sophie, meskipun kini Sophie menunjukkan sisi kerapuhannya setiap hari, tidak ada desir hangat di dada Kashuu, hanya rasa pilu–ah, seandainya Kashuu bisa mengambil semuah perih yang Sophie rasakan.

"Kalau laki-laki, nama apa yang bagus, ya."

Setelah beberapa lama, Kashuu jadi sadar juga bahwa dia cukup sering membayangkan seperti apa buah hati mereka. Apakah cantik seperti Sophie, atau malah mirip dengan Kashuu? Bayang-bayang itu muncul ketika Kashuu sedang melakukan apa saja, secara acak. Terkadang saat sedang membeli pakaian, sedang memandang langit, memasak, membaca, dan yang paling sering adalah ketika Kashuu tidak sengaja masuk ke kamar 'itu'. Lebih sering setelah membayangkan, padangan Kashuu mengabue dan pipinya panas dan basah. "... kalau diberi kesempatan lagi, aku akan mencintaimu sebagaimana aku mencintai ibumu, nak."

"Selamat! Bayi anda kembar!" Mata Kashuu terbuka, pandangan beralih kepada pintu yang terbuka–jantung Kashuu berdebar kencang, seolah sedang berlari sprint dalam waktu yang panjang. Rupanya semuanya hanya imajinasi, tidak ada keguguran, Shopie dan kedua bayi kembar mereka sehat. Saat melihat keduanya, Kashuu sedikit takut, namun desiran hangat dan rasa yang seolah mencekik di tenggorokan ini meyakinkan, kedua bayi ini adalah malaikat mereka.

"... Selamat datang, Akira, Ren."

Published 11th of October, 2022

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top