xxxix - He/She Attended Their Child First Day At School

Participant and Pairing :

rey_asha - MasaKao

Healerellik - JoRiel

RainAlexi123 - SenAi

queenofjoker_ - SamaRain

rorovii_ - LuciRhe

IshikawaKaori – KiyoSoph

.

.

.

   » MasaKao

Masamune memandangi pantulan dirinya di cermin. Kecemasan yang kentara terpancar jelas dalam matanya. Berusaha menenangkan diri dengan kembali mengikat dasi di leher, tapi sia-sia. Pikirannya terlalu kalut oleh kekhawatiran pada anak mereka.

Tidak dapat dipungkiri, meski perasaan bangga turut bercampur dengan kegelisahan yang mulai bermuara dalam benaknya, Masamune yakin kekhawatirannya jauh lebih mendominasi. Ia takut anaknya akan mengalami hal yang serupa dengannya. Ia takut anaknya akan diasingkan dari teman-temannya. Ia takut akan ada seseorang yang mencoba menyakiti anaknya—baik secara fisik maupun batin.

Sekali lagi, Masamune memejamkan mata lalu menghela napas panjang. Mungkin hanya perasaan gugup karena hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah.

Netra dwiwarnanya bersirobok dengan iris violet dari cermin. Sudut bibirnya tertarik tanpa sadar, selalu begitu kala sang istri berada dalam jarak pandang.

"Sudah selesai?" tanya Kaori. Wanita itu berjalan mendekat hingga mereka berdiri bersisian. "Ia sudah tidak sabar ke sekolah."

Masamune menghela napas panjang. "Apakah ia benar-benar harus pergi hari ini?"

Kaori terkekeh pelan. Tangannya terulur, membingkai rupa prianya dengan sebelah tangan. "Ia sudah menantikan hari ini, Masamune. Ia sangat antusias untuk bertemu dengan teman baru."

Masamune menyandarkan pipi pada telapak tangan Kaori, membiarkan seluruh indranya dikuasai oleh sang istri. Ia tahu apa yang dikatakan Kaori benar. Ia juga tak bisa menunda pendidikan anak mereka lebih lama—dan ia selalu kalah berhadapan dengan tatapan memohon yang serupa dengan milik Kaori.

"Ia akan baik-baik saja, Masamune," bisik Kaori. Wanita itu berjinjit, membelai pipi sang pria dengan bibirnya. "Ia akan berbaur dengan yang lain dan memiliki teman baru. Ia akan belajar dengan baik. Aku yakin."

Perlahan tapi pasti, ketegangan dalam tubuhnya mulai sirna. Luar biasa memang, bagaimana kalimat Kaori juga tatapan tedunya mampu menggoyahkan dan melunturkan kekhawatirannya dengan mudah.

Masamune menangkup punggung tangan Kaori, menggenggam jemari yang lebih kecil darinya dengan lembut. "Tentu ia akan belajar dengan baik. Kau ibunya."

"Dan kau ayahnya. Karena itu aku yakin ia akan menjadi anak yang luar biasa." Kaori mengulas senyum, membiarkan dirinya dirangkul lebih dekat oleh suaminya. "Kau yakin siap melepasnya? Karena aku bisa mengantarnya kalau kau tidak bisa."

Masamune menggeleng. "Tokomu membutuhkanmu, Kaori. Lagipula Kojuro bersikeras agar aku sendiri yang mengantarnya di hari pertama. Sesuatu tentang menjalankan tugas sebagai ayah."

Kaori tergelak, menggeleng maklum. "Mungkin kau akan merasakan yang dirasakan Kojuro."

"Mungkin saja." Masamune menjaga kontak mata dengan Kaori. Netra dwiwarnanya menelusuri rupa memesona sang istri. "Kau tahu, satu-satunya alasan mengapa aku bisa berada di sini. Merasakan kekhawatiran tentang hari pertama anakku, kebanggaan pada apa yang berhasil ia capai juga bahagia tiap kali memeluknya. Semua itu karenamu."

Kaori mencium dagu Masamune. "Butuh dua orang untuk menjadi orangtua, Masamune. Kau juga bagian dari bangga dan bahagiaku."

"Oh, Kaori." Masamune merangkul pinggul sang istri, bibirnya menggapai kening dan kelopak mata si penguasa hati. "Kau membuatku bahagia untuk yang ke ribuan kalinya hari ini."

Alis Kaori terangkat. "Ribuan kali?"

Masamune berdehem, menggesekkan puncak hidungnya pada hidung Kaori. "Sejak hari pertama kita menikah hingga hari ini."

__________________

   » JoRiel

"Kau yakin tidak turun?" tanya Jonghyuk sembari melepas sabuk pengamannya. Rielle di kursi sebelah mengangguk yakin, sebelah tangannya memegang bagian perut. "Kram periodku kali ini lebih sakit, mungkin kita bisa pergi ke Seolhwa sehabis ini," ujarnya.

"Baiklah kalau itu maumu. Kalau ada apa-apa, langsung telepon."

"Iya iya. Sudah, kau keluar saja. Dia pasti sudah menunggu appa-nya."

Tidak bisa dipungkiri bahwa sudut bibir Jonghyuk tertarik begitu mendengar kalimat tersebut. Maka dia pun beranjak dari mobil, setelah tak lupa mengecup singkat buku jemari sang istri. Tinggalkan Rielle yang menggerutu kecil di dalam sana.

Lantas di sini lah Jonghyuk berada. Di depan sebuah kelas dengan papan penunjuk 1.1 terpampang pada pintu. Dia melirik jam di pergelangan tangan, seharusnya bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Namun, melihat isi kelas yang begitu khidmat mendengarkan guru di dalam sana, dia pikir ada sebuah pengumuman penting yang diberikan.

Hingga matanya bertemu dengan manik merah dari seorang bocah lelaki yang duduk paling depan. Manik merah itu menyipit, seiring dengan senyum tipis dan lambaian kecil yang ditujukan kepadanya. Beritahukan sekilas bahwa harinya sudah berjalan baik di tempat itu.

Begitu suara pintu terbuka, para murid keluar dengan tertib. Melihat bagaimana beberapa anak langsung memeluk erat orang tua mereka yang turut menunggu di sana, hati kecil Jonghyuk tergelitik membayangkan hal yang serupa terjadi padanya. Namun, mengingat bagaimana anak mereka adalah copy-paste Rielle, mungkin sapaan dengan nada bersemangat sudah cukup baginya.

"Appa!"

Senyum tipis itu melebar begitu melihat seorang anak lelaki berumuran 7 tahun mendatanginya dengan sedikit berlari. Jonghyuk pun refleks menekuk kaki, menyejajarkan tinggi mereka, sebelum mengelus rambut seputih salju tersebut.

"Bagaimana hari pertamamu?"

"Baik! Aku mendapatkan banyak teman baru di sini," ujar si anak. Sekilas membuat Jonghyuk terkejut, yang tentunya dalam artian baik. Mengingat tadi pagi ketika mereka mengantarkannya, buah hati mereka itu sedikit merajuk. Enggan berpisah dengan kedua orang tuanya katanya. Hingga Jonghyuk dan Rielle harus bergiliran memberikan kata penyemangat.

Setelah merapikan sedikit pakaian dan vest moka di depannya, Jonghyuk pun menggenggam tangan yang jauh lebih kecil daripada miliknya itu untuk diajak mengikutinya sampai ke parkiran. Rupanya Rielle sudah menunggu di samping mobil. Senyum tipisnya membuat senyum si anak melebar, hingga dia melepas genggaman tangan Jonghyuk untuk menemui wanita itu.

"Mama! Mama sudah lebih sehat? Appa bilang perut Mama sakit," ujarnya dengan mata yang berkilat khawatir. Sungguh, Rielle rasanya memeluk dan mengusak gemas rambut pendek tersebut. Namun, mengingat bagaimana situasi dan kondisi mereka saat ini, yang Rielle lakukan hanya berdeham pelan seraya menepuk pelan bahu anak tersayangnya. Menuntunnya untuk masuk ke kursi belakang.

"Sudah lebih baik," jemari Rielle menjawil singkat pipi tembam itu, "tapi sepertinya kita harus singgah dulu di kliniknya Bibi Seolhwa sebelum pulang. Tidak apa?" Anggukan mantap itu membuat hati Rielle menjadi hangat.

Jonghyuk yang memerhatikan semua itu dari kursi depan mengulum senyum. Terus begitu sampai dia akhirnya menyalakan mobil dan melajukannya. Terutama kala sang anak menceritakan harinya sepanjang perjalanan.

__________________

   » SenAi

"Bukannya sudah kuperingatkan untuk tidak berlebihan?"

"Uhh, aku lupa ...?"

Senkuu menghela napas panjang, kemudian punggung tangannya menyentuh kening Ainawa. Helaan napas kembali keluar saat dia merasakan sensasi panas di tangannya.

"Jelas sekali kau mengabaikan peringatanku," komentar Senkuu meraih kain yang direndam dalam mangkok di atas nakas, "tidur saja, aku yang akan mengantar anak-anak."

"Tapi bukannya hari ini ada rapat penting di kantor?" tanya Ainawa setelah kain dingin yang telah diperas itu diletakkan di keningnya oleh Senkuu.

"Rapat bisa ditunda, atau mereka bisa memulai tanpaku," sahut Senkuu berjalan keluar dari kamar mereka.

Walaupun terlihat habis memarahi sang istri, senyum gemas tampak muncul di wajah Senkuu. Dirinya kemudian berjalan menuju dapur untuk memasukkan kotak bekal ke dalam tas si kembar.

"Mama kenapa, Papa?"

Senkuu menoleh ke belakangnya saat merasakan celananya ditarik pelan, mendapati anak kecil yang menyerupai dirinya sedang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Senkuu berjongkok lalu menepuk kepala sang laki-laki.

"Mama sedang mengisi tenaganya," jawab Senkuu, "mana Syuua, Aozora?"

Aozora tampak memasang pose berpikir yang menggemaskan, sebelum akhirnya menatap Senkuu dengan penuh semangat.

"Mama harus mengisi tenaganya agar bisa bermain bersama Aozora dan Syuua!" ucap Aozora, "dan Syuua sedang mengambil topinya di kamar!"

"Begitu dong anak Papa," sahut Senkuu mendengus puas lalu memberikan tas Aozora, "ayo tunggu adikmu di depan pintu."

Baru saja mereka berdua beranjak, sang perempuan yang dimaksud sudah berdiri dengan bangga di depan pintu masuk dapur. Topi seragam TK berwarna biru tampak terpasang miring di kepala Syuua.

"Syuua siap berangkat!"

Senkuu sendiri hanya bisa menggelengkan kepala dengan gemas, kemudian mendekati sang anak guna memperbaiki letak topi dan memberikan tasnya.

"Bagaimana dengan Mama?" tanya Syuua memiringkan kepalanya.

"Mama sedang mengisi energi," jawab Aozora.

"Ooh," balas sang adik mengangguk.

Senkuu hanya diam melihat interaksi mereka, sampai akhirnya dia kembali berjongkok dan mengulurkan kedua tangannya.

"Sudah siap berangkat?"

Mereka berdua saling tatap sebelum akhirnya mengangguk dan meletakkan tangan kecil mereka di atas tangan Senkuu.

"Mhm!"

"Jangan lupa untuk mengingat kegiatan kalian selama di sekolah, oke? Mama tentu ingin mendengar cerita kalian."

"Oke!"

__________________

   » SamaRain

Sejak Samatoki pergi seminggu karena pekerjaannya yang belum kunjung selesai, Rain yang harus menjaga rumah dan anak kembar mereka. Samatoki mengatakan bahwa dia belum tahu kapan bisa kembali karena kali ini tugasnya agak merepotkan, dan dia belum mau bercerita apapun sampai masalahnya selesai.

Sampai dua minggu kemudian, Samatoki akhirnya pulang. Beruntungnya, dia pulang dua hari sebelum kedua anak kembarnya masuk sekolah. Rain juga sedang kewalahan dengan kerjanya, entah sudah berapa banyak tugasnya yang menumpuk sementara itu dia harus mengawasi Satoshi dan Satomi. Samatoki menatap Rain yang tiduran di atas sofa sementara laptopnya masih menyala.

"Tidak perlu menyambutku, aku tahu," Samatoki menghela napas. Dia berjalan mendekati istrinya, membelai belakang rambutnya. Lelaki itu merasakan kedua netra safir Rain menatapnya lemah.

"Nanti hari Senin mendatang, kamu antar Satoshi dan Satomi ke sekolah ya, gantikan aku saja untuk sehari," balas Rain.

Samatoki terdiam sejenak. Untungnya saja dia sedang luang dan baru saja pulang, seharusnya dia diberi kesempatan untuk beristirahat dari tugasnya. Bossnya seharusnya tahu jelas bahwa Samatoki sudah memiliki keluarga yang harus dia jaga. Tidak mungkin juga dia meminta batuan Nemu, adik perempuannya sedang sibuk juga dengan pekerjaannya.

"Iya, iya, serahkan si kembar padaku. Mereka jarang melihatku juga," Samatoki tersenyum tipis.

"Terima kasih, Samatoki."

"Untuk apa berterima kasih padaku? Aku orang tua mereka. Aku justru meminta pulang lebih awal demi mereka berdua." Samatoki duduk di samping Rain, lalu membuat kepala Rain tidur di pangkuannya.

Rain dan Samatoki diam dalam beberapa menit berikut. Rain masih tiduran di pangkuan suaminya, menikmati waktu hening berdua ketika si kembar sedang tertidur lelap di kamar mereka. Samatoki juga tidak ingin banyak bercerita terlebih dahulu, takut membuat Rain makin kepikiran macam-macam.

Satu jam telah lewat, seharusnya keduanya telah bersiap-siap untuk tidur. Rain bangun dari tidurnya, berniat untuk ke kamar mandi dan bersiap untuk tidur. "Aku mau tidur duluan, dan bangun siang karena besok libur," ucapnya, sambil mengusap satu matanya.

"Jadi aku yang menjaga si kembar seharian?" tanya Samatoki, menaikan satu alisnya.

"Ya, jangan beri pengaruh buruk untuk Satoshi dan Satomi. Aku tahu Jyuto dan Riou tidak akan aneh-aneh pada mereka, ya kalau kamu membawa si kembar jalan-jalan besok dan bertemu mereka, tapi aku masih tidak mempercayai mereka berdua sama-sama mengajarkan yang benar," jawab Rain, langsung memarahi Samatoki.

"Oi, kenapa jadi marah sih?! Lagipula Jyuto dan Riou juga bisa jadi paman yang baik!" sambar Samatoki, suaranya agak meninggi.

Samatoki agak meragukan Jyuto karena dia bisa mengajarkan ajaran sesat di usia dini Satoshi dan Satomi. Tapi, seingatnya Jyuto sudah menikah dan punya anak, seharusnya dia paham posisinya. Dia masih agak mempercayai Riou dalam ajaran sikap, tapi tidak makanan aneh-anehnya. Membayangkannya itu kembali saja sudah membuatnya sangat mual.

"Berisik, nanti si kembar bangun!"

"Jangan marah-marah dong, nanti ubanan!"

"Ngaca!"

***

Tepat di hari Senin, Samatoki membawa Satoshi dan Satomi ke sekolah mereka. Lokasi sekolahnya tidak terlalu jauh dari kantornya, jadi Samatoki masih bisa mengunjungi kantornya sebentar sebelum menjemput keduanya nanti. Setelah menjemput mereka, mungkin mengajak makan siang bersama dan jalan-jalan sampai sore akan terdengar menyenangkan. Pemikiran ideal Samatoki seperti itu, sampai dia melihat sosok Jyuto yang sedang berpatroli dekat sana.

Samatoki tidak ingin mendengar celotehan Rain dari A sampai Z, dari pagi sampai malam, hanya karena Satoshi dan Satomi ditinggal kerja sebentar lalu bergaul dengan paman mereka yang sangat meresahkan kalau tidak diawasi.

"Papa nggak pergi dari sekolah kan? Papa masih tunggu di sini?"

Kalimat Satoshi dan Satomi itulah yang makin membuat Samatoki membuyarkan semua rencananya. Tidak perlu berpikir dua tiga kali jika kedua buah hatinya yang meminta. Mau sedingin apapun Samatoki di luar, hati hello kitty-nya akan luluh sekejap. Mau dari pagi sampai malam pun dia akan tunggu demi si kembar, apalagi mereka dengan polosnya yang meminta. Kalau ditolak, urusannya pasti lemparan sendal maut Rain di rumah.

"Iya, iya, papa tunggu di sini. Satoshi, Satomi, jangan nakal ya, jangan bikin ibu guru marah," balas Samatoki, mengelus puncak kepala si kembar. Dia tidak menyadari bahwa dia tersenyum lembut.

"Iya, papa~" balas Satoshi dan Satomi bersamaan. Keduanya langsung masuk ke dalam sekolah, disambut oleh seorang guru yang menunggu di depan pintu masuk.

__________________

   » LuciRhe

"Ibu dan Ayah tidak usah datang, aku bisa sendiri."

"... Huh?"

Sepasang suami-istri itu memandang anaknya dengan mata terbelalak, Lucien—sang suami tidak bisa berkata-kata, sedangkan Rhea—sang istri menatap anak mereka dengan air mata berlinang. Dalam hati Rhea seperti di pukul; apakah mereka sudah melakukan kesalahan fatal sehingga anak yang begitu mereka sayang itu marah pada mereka?

"Kenapa, nak? Apakah kamu marah kepada kami?" Lucien juga berpikiran demikian, namun dalam otak jeniusnya itu seribu kalipun dirinya mengulang, Lucien tidak menemukan kesalahan yang mengubah sifat anaknya itu. Atau jangan-jangan... anaknya sedang pendewasaan dini dan sekarang tengah dalam fase remaja yang sedang labil dan ingin memberontak? Anaknya yang baru saja ingin masuk sekolah dasar itu?

"Tidak ada apa-apa 'yah, kalian tidak perlu mengantarku karena sudah ada tuan sopir, kalau begitu, aku pergi dulu." Pasangan suami-istri yang terkenal dengan otaknya yang sangat encer itu untuk pertama kalinya hanya bisa melongo, menatap anaknya yang dibantu naik keatas mobil oleh supir pribadi yang mereka siapkan jika tidak sempat mengantar. Sedetik kemudian mereka saling berpandangan, lalu mengangguk, sangat in tune dengan pemikiran satu sama lain sampai tanpa bicarapun mereka sudah bersepakat.

Hari ini mereka akan mengawasi buah hati mereka untuk tahu apa yang terjadi, dan apa yang membuat anak mereka itu bersikap demikian.

"Buah hati kita tiba di sekolah lebih cepat lima menit dari biasa kita mengantarnya, dia sekarang sedang berjalan ke arahmu, Rhea." Rhea mengangguk, menjawab ke dalam handy talk 'roger' sanbil mengawasi dari balik dinding belokan koridor sekolah, benar kata Lucien kalau buah hati mereka sedang berjalan ke arah Rhea. Dengan cekatan, Rhea bersembunyi sedemikian rupa di samping loker agar anak mereka tidak melihatnya. Setelah anak mereka berlalu Rhea mengangkat lagi handy talknya.

"Target melewatiku, kemarilah, Lucien." Mendengar suara rendah yang berkata roger, Rhea menyimpan alat komunikasinya, kembali mengawasi anak mereka, sekarang dia sedang berbincang dengan guru wali kelasnya yang memiliki kebiasaan menunggu murid-muridnya di depan pintu. Sang wali kelas menyapa, dan anak mereka membungkuk, menyapa kembali. Mereka kemudian berbincang sesaat ketika sang guru lalu menatap mata Rhea, memberikan anggupan tipis ketika Rhea bergestur agar dia menyembunyikan.

Suara sepatu terdengar, langkah kaki itu adalah milik Lucien. Tanpa basa basi Rhea langsung menyuruh Lucien agar tidak berisik, Lucien yabg melihat Rhea mengintip, pandangannya teralih dan jatuh pada anak mereka. Lucien yang baru saja ingin berkata sesuatu langsung diam, memilih untuk mendengarkan percakapan wali kelas dan anak mereka.

"Apa orang tuamu tidak lagi akan mengantarmu?"

"Karena aku sudah besar, aku sudah harus mandiri. Bu guru juga yang bilang, kan."

Rhea dan Lucien tersenyum, lega. Sungguh alasan yang imut.

__________________

   » KiyoSoph

Menjadi orangtua bukanlah perkara mudah. Itulah yang dirasakan Sophie yang kini tengah bersiap mengantar ketiga anaknya di hari pertama mereka masuk sekolah. Anak kembar Akira dan Ren memasuki sekolah dasar dan anak bungsu memasuki taman kanak-kanak. Dan itu membuat Sophie dan suaminya, Kashuu kelimpungan untuk mencari sekolah dengan kualitas dan kuantitas yang terbaik.

Dan soal biaya mereka tidak mempermasalahkannya sekalipun harus mengocek harga tinggi. Tidak apa-apa, asalkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan tentunya dengan lingkungan sekolah yang baik untuk mental sang anak.

"Mama!" Teriak si bungsu Arashi sambil memeluk kaki Sophie yang masih berdandan.

"Hm? Ada apa sayang?"

"Papa beneran tidak ikut bersama kita?"

Sophie tersenyum, gemas melihat si bungsu yang terlihat rapi dengan seragam taman kanak-kanaknya ia pun menggendongnya lalu mengecup pipi gembilnya.

"Papamu kemarin baru saja pulang dari Korea, jadi biarkan istirahat dulu. Kau tidak Sarapan?"

Arashi menggeleng lalu memeluk leher ibunya manja. "Aku ingin cepat ke sekolah" Ujarnya dengan nada melas.

Wanita berambut hitam panjang itu menggeleng kepalanya lalu melangkah kakinya menuju ruang TV dimana suami dan anak kembar sedang bersiap untuk berangkat bersama menggunakan kendaraan pribadi milik Kashuu yang akan di kendarai Sophie.

***

"Baiklah anak-anak, apa kalian siap di hari pertama sekolah?" Tanya Kashuu dengan nada yang semangat

"Oooo!!"

Si Kembar, Akira dan Ren beserta si Bungsu, Arashi di gendongan Sophie mengepalkan kedua tangannya keatas dengan antusias. Melihat pemandangan didepannya membuat wanita cantik itu hanya tertawa kecil, betapa semangatnya ketiga anaknya ini untuk pergi ke sekolah.

"Baiklah, kalian bisa pergi ke dalam mobil ya. Ada yang harus mama lakukan sebelum kita berangkat" Ujar Sophie sambil menurunkan Arashi.

Akira dan Ren hanya mengangguk lalu mengajak Arashi untuk menaiki mobil yang sudah dinyalakan oleh Kashuu. Setelah melihat ketiga anaknya masuk ke dalam mobil, Sophie langsung melangkah kakinya cepat ke dapur guna menyiapkan bekal makanan dengan cepat untuk dirinya dan Kashuu.

Di pagi buta tadi, Sophie dan Kashuu saling kerjasama untuk menyiapkan segala perlengkapan ketiga anaknya. Mulai dari buku, baju seragam, dan bekal untuk makan siang mereka hingga Sophie lupa bekal untuk dirinya sendiri. Melihat semangat dan antusias mereka membuat pasangan itu juga ikut bersemangat.

"Eh?"

Sophie berjengit kaget ketika kedua tangan melingkari perutnya. Siapa lagi kalau bukan suaminya, Kashuu. Pria itu mendengus lalu menghela nafasnya pelan lalu menaruh dagunya dibahu istrinya.

"Entah kenapa aku merasa sedih" Ungkap pria itu tiba-tiba.

"Ada apa?"

Kashuu pun terdiam sebentar sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya dengan nada yang sedikit sendu. "Aku merasa baru saja kemarin aku melihat Akira dan Ren masuk Taman kanak-kanak, sekarang mereka sudah berada di sekolah dasar. Dan juga aku merasa baru saja kemarin menggendong Arashi, dan sekarang bocah itu sudah mulai masuk sekolah..."

Sophie yang mendengar hal itu hanya tersenyum lembut. Ia pun menyetujui apa yang dikatakan Kashuu. Waktu begitu cepat baginya melihat perkembangaan sang anak begitu pesat. Ia merasa bersyukur, jadwal pekerjaannya yang padat sebagai CEO tidak membuat pekerjaannya sebagai Ibu dengan 3 anak terganggu, Sophie pun sangat menikmati waktunya.

"Aku harap waktu tidak berjalan lebih cepat. Aku masih ingin menikmati momen bersama mereka" Sambung Pria itu lagi.

Mendengar hal itu membuat netra ungu Sophie berkaca-kaca. "Ya aku pun juga berharap begitu. Aku belum bisa membayangkan mereka beranjak remaja dan punya kekasih." Ujar wanita itu sambil terkekeh pelan.

Kashuu tersenyum lembut, mencium pipi istrinya dengan kasih sayang lalu memeluknya lagi dengan erat.

"Kau benar, bahkan aku belum siap mereka beranjak dewasa dan menikah"

"Pikiranmu terlalu jauh, Kashuu."

"Kau pun tadi juga berpikir mereka akan punya kekasih dimasa mendatang"

"Ya tapikan--"

"Mama, papa!"

Debat kecil Sophie dan Kashuu terhenti ketika Akira memanggil mereka berdua dengan tatapan kesal khasnya dan ternyata disitu pun ada Ren yang tengah menatap kedua orangtuanya dengan tatapan polos. 

Published on 19th of October, 2022

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top