xxviii - He Got Chocolate From Other Girl
Participant and Pairing:
rorovii_ - KiyoSoph
Asakura_Haruka - ErnestOcha
Kurogane_Luna - AkeNya
queenofjoker_ - GavinAsa
rey_asha - VicRora
AisakiRoRa - LuciRhe
.
.
.
KiyoSoph
By: rorovii_
"Kashuu-san! Tolong terima cokelat ini!"
Kiyomitsu Kashuu tersenyum canggung, tangannya yang memegang pena berhenti sebelum sempat menggoreskan tanda tangannya ke album sang penggemar wanita. Sudah beberapa kali hal ini terjadi hari ini, ingin rasanya Kashuu menolak iktikad baik fans-fansnya, tapi pasti perusahaannya akan menegur. Cukup hari ini saja, Kashuu sedikit kesal karena acara fanmeet diadakan pada hari valentine—hari yang harusnya dapat Kashuu habiskan bersama istri tercinta, Sophie.
Jujur saja, Kashuu tidak ingin menerima coklat dari siapapun selain Sophie. Hari ini spesial, hari yang seharusnya menjadi saat Kashuu dan Sophie berbagi kasih sayang. Kashuu juga sebenarnya sangat menantikan coklat Sophie.
"Kashuu-san," panggil sang manajer yang mengawasi dibelakang Kashuu.
"Terima kasih," ucap Kashuu dengan senyum sewajarnya. Fanmeet itu berlangsung lancar, namun pada akhirnya para staff harus membawa hampir sekarung full coklat dari para penggemar. Kashuu tidak memakan satu pun coklat itu, membiarkan para staff mengambil semuanya. Begitu selesai dan kembali ke agensi, Kashuu langsung pamit, begitu merindukan Sophie.
"Sophie," panggil Kashuu, tidak kuasa untuk memeluk istri tercinta yang juga baru pulang kerja. Lebih tepatnya mereka pulang bersama, Sophie belum sempat berganti pakaian, dan begitu pula keadaan Kashuu. Kashuu tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Sophie dengan harapan Sophie mengerti apa yang ingin Kashuu sampaikan.
"Jika ini tentang keterpaksaan mu menerima coklat dari wanita lain, aku tidak apa-apa, sungguh." Sophie meletakkan tangannya diatas tangan Kashuu yang melingkari pinggangnya, tersenyum simpul. "Aku juga bekerja di industri hiburan, jadi aku mengerti."
"Bukan begitu, Sophie." Kashuu mengeratkan pelukan. "Hari ini hari spesial."
"Karena hari ini spesial, harusnya aku hanya mendapatkan hal spesial darimu, Shopie."
Sophie tersenyum mendengarnya, "hanya karena kau menerima hadiah dari fans-fans mu, bukan berarti apa yang akan kuberikan itu kehilangan keistimewaannya."
Dengan lembut Sophie melepaskan lingkaran lengan Kashuu di pinggangnya. Shopie lalu berbalik pada Kashuu.
"Fansmu yang telah membawamu ke titik ini, jadi kau harus menghargai mereka."
"Aku menghargai mereka, hanya saja ..." sanggah Kashuu, namun terhenti oleh ibu jadi Shopie di bibirnya.
"Aku mengerti. Tapi tenang saja, hadiah dariku adalah yang paling spesial untukmu."
__________________
ErnestOcha
By: Asakura_Haruka
Ernesto menghela napas kasar. Sejak pagi ini Ocha selalu menghindarinya. Bahkan jika biasanya ia menemukan gadis itu di ruang kerja ataupun sekedar menemukannya terbaring di tempat tak terduga.
"Dokter Ocha..." baru saja Ernesto berpapasan dengan Ocha tapi gadis itu buru-buru.berbalik badan dan pergi.
"Dia kenapa?" Ia hanya memasang wajah lesu melihat Ocha menghindarinya. Apa gadis itu membencinya? Apa ada alasan kenapa Ocha menghindarinya? Ernesto menyusun berbagai kemungkinan di kepalanya tapi tidak ada yang mampu menjelaskan tindakan aneh sang gadis.
"Kakak yakin tidak melakukan apapun pada Kak Ocha?" Rafaela menatap Ernesto penuh ingin tahu menyaksikan Ernesto seperti puppy yang tidak dipedulikan majikannya. Pundung dengan aura kelam.
"Aku bahkan belum berbicara dengannya hari ini! Bagaimana mungkin..." ucapan Ernesto terhenti ketika melihat beberapa kotak cokelat di atas mejanya. Menyadari tatapan Ernesto, Rafaela berujar.
"Oh, itu kemarin Kak Ocha datang sambil bawa kotak-kotak cokelat itu. Katanya itu dari beberapa staf perusahaan kakak untuk kakak."
Ernesto melihat kotak cokelat itu satu persatu dan benar saja. Semua kotak cokelat itu kiriman dari perempuan-perempuan yang merupakan staf perusahaannya.
"Sepertinya aku tahu penyebabnya."
Gumam Ernesto pelan lalu melangkahkan kakinya mencari Ocha.
Perlu usaha sedikit banyak untuk mencari perempuan itu dan membuatnya berdiri tepat di hadapannya untuk meluruskan kesalahpahaman ini.
"DOKTER!" Ernesto berlari mengejar Ocha yang langsung melangkahkan kaki mendengar suara Ernesto.
"Dokter, tunggu dulu!" Ernesto akhirnya berhasil mengejar Ocha dan menarik tangan gadis itu. Menahannya agar tidak kabur lagi.
"Dokter, Dokter belum ngasih aku cokelat lho." Ujar Ernesto.
"Untuk apa? Kau sudah dapat banyak dari bawahanmu." sarkas Ocha. Ia tidak memedulikan
Ernesto dan berdiri membelakanginya walau salah satu tangannya ditahan pemuda berambut pirang tersebut.
Ernesto menghela napas lalu memeluk Ocha dari belakang dan kembali bersuara dengan nada manja.
"Tapi aku maunya cokelat dari Ocha." Ocha sedikit terperangah dengan muka memerah. Satu-satunya saat pemuda tersebut memanggil namanya langsung adalah saat pemuda itu menunjukan keposesifannya.
"Kalau kau tidak mau memberiku cokelat, boleh kuminta hal lain?" tak kunjung mendapat respon Ocha, membuat Ernesto kembali bersuara.
"...apa?"
"Aku ingin meminta waktumu malam ini."
__________________
AkeNya
By: Kurogane_Luna
Tanggal hari, 14 Februari. Hari valentine.
Coklat memenuhi toko, begitu pula ragam hadiah lain yang akan dihadiahkan pada orang terkasih pada hari yang penuh akan kasih sayang.
Tidak mengherankan pula jika sosok Akechi Goro akan mendapatkan setidaknya satu atau dua hadiah dari sosok penggemar rahasia yang sudah bukan rahasia lagi, karna apa yang tidak pemuda itu tahu dari sekitarnya.
Ia menghela napas, berpikir akan dikemanakan semua ini. Lelaki berambut coklat itu tidak memerlukan itu semua. Selama itu bukan dari sosok Annya, Akechi merasa hadiah itu tidaklah penting.
Lain halnya pada sosok Hanagami Annya. Si perempuan mungil itu melirik coklat di tangan yang telah dibungkus rapi dalam plastik bening dengan pita sewarna mata sang pacar alias Goro.
Coklatnya dibuat sendiri dengan telaten, Annya beberapa kali menolak tawaran temannya yang senang hati membantu si perempuan agar setidaknya tidak ada kecelakaan dapur yang akan terjadi—bahkan jika Annya sendiri sudah terbiasa di dapur. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Kakinya berjalan pelan-pelan seraya melirik sekitar dengan kedua mata berwarna cyan pudar milik si perempuan. "Goro kemana ya ...," ia berbisik pelan pada diri sendiri.
Helaian rambut coklat terang tertangkap oleh netra milik Annya. Sang wanita hendak menyapa ketika sadar si lelaki tengah berbincang dengan sosok perempuan lain yang tampaknya juga salah satu orang menjadi penggemar dari seorang Akechi Goro.
"Goro-kun selamat hari valentine! Ini untukmu!"
Kotak dan isinya itu terlihat lebih mahal daripada buatan tangan Annya, cukup untuk membuat Annya merasa insecure sedikit dengan coklatnya.
Coklat terkait diterima semata-mata karena formalitas Goro pada orang yang tidak dikenalnya dengan begitu dekat. Toh mungkin coklat itu akan berakhir di tong sampah atau di tangan orang lain, pemuda itu tidak juga memperdulikannya.
***
"Goro," Annya memanggil itu dengan lembut. Goro menatap sang kekasih yang lebih mungil dari dirinya itu dengan hangat. "Selamat hari Valentine, Goro, maaf aku hanya bisa membuat ini saja." Suara si perempuan semakin pelan di akhir.
Goro paham, pasti Annya barusan melihat dia mendapatkan coklat mahal itu. Tanpa ba bi bu laki-laki berambut coklat muda itu menerimanya dengan senang hati. "Kau bicara apa, Annya." Satu potong coklat itu dimasukkan ke mulut. "Ini hadiah yang sempurna untuk valentine-ku. Karena itu darimu."
__________________
GavinAsa
By: queenofjoker_
Asakura tahu bahwa Gavin tidak akan pernah mau menerima coklat dari perempuan lain. Rekan-rekan perempuan Gavin di tempat kerjanya sudah tahu bahwa lelaki itu telah menikah, dan mendapatkan wanita yang sempurna seumur hidupnya. Mau itu tradisi atau bukan, setiap Valentine pasti para wanita teman-teman kerja Gavin pasti tidak mungkin memberikan coklat, buatan atau beli.
Tapi, tidak semuanya tahu tentang hubungan Gavin dan Asakura. Kabar dari Gavin bahwa di tempat kerjanya ada cukup banyak orang-orang baru, dan belum banyak yang tahu tentang hubungan mereka, seakan rahasia publik di kalangan tempat kerja. Kedatangan orang-orang baru juga terjadi beberapa hari sebelum Valentine, jadi ya wajar saja jika ada yang memberikannya coklat.
Gavin mengatakan bahwa dia akan pulang dari Shanghai, mengambil cuti mumpung urusannya selesai. Atasannya juga mengizinkan Gavin pulang menemui istrinya, sesuai janjinya sebelum pria itu menjalani tugasnya. Rencananya kepulangannya akan menjadi kejutan spesial untuk Asakura.
Perempuan berambut pendek itu sedang merangkai bunga di ruang utama, tidak tahu bahwa Gavin akan pulang pada hari itu. Asakura juga tidak akan menanyakan kapan suaminya pulang karena pasti sedang sibuk. Mengingat Gavin jarang menghubungi Asakura atau membaca chatnya akhir-akhir ini, pasti tugasnya sangat berat sampai tidak ada waktu luang. Asakura tidak mungkin meneleponnya, bisa jadi dia menelepon ketika Gavin sedang fokus pada pekerjaannya, mumpung stressnya sedang meluap hebat.
"Tapi kalau dengar suaraku, pasti Gavin akan lebih semangat kerja, kan?" gumam Asakura, menatap lekat hasil karyanya. Kucingnya Rudy sedang tidur di sisinya, jadi tidak ada teman bicara sama sekali.
Rangkaian bunga itu awalnya sebagai hadiah untuk Gavin. Dia menggantikan rangkaian bunga lama, dan tepat niatnya ketika hari Valentine. Karena temanya hari kasih sayang, Asakura sengaja memilih bunga-bunga berwarna merah dan merah muda, diimbangi dengan warna putih.
Di waktu luangnya, di luar waktu kerjanya, kemampuan Asakura dalam merangkai bunga makin baik. Gavin mengetahui hobi istrinya, dan mendukungnya. Dia mengatakan sendiri bahwa dia menginginkan Asakura makin baik kemampuannya, dan ingin melihat karya baru setiap kali pulang dari Shanghai.
Kedua pipi Asakura merona mengingat ucapan Gavin kalau dia cukup senang dan langsung sembuh dari penatnya. Ucapannya terus terngiang karena pria itu selalu mengucapkannya seperti kaset rusak- mengulang-ulangnya terus, sampai Asakura hafal mati.
Tiba-tiba pintu utama diketuk, membuat Asakura sadar dari lamunannya. Perempuan itu memiringkan kepalanya, bingung siapa yang datang ke rumahnya. Asakura tidak memesan paket, atau mendapatkan kabar dari teman-temannya kalau mereka mau berkunjung ke rumah. Untungnya Asakura tidak perlu ganti baju karena dari tadi dia mengenakan baju santai yang lebih sopan.
"Iya, iya, sebentar," ucap Asakura, beranjak dari kursi sofa.
Pintu utama tidak dikunci, sepertinya perempuan itu lupa. Dia baru menyadarinya ketika meraih gagang pintunya. Asakura tidak terlalu memikirkannya, dia lebih memilih untuk membukakan pintu untuk sang tamu.
Asakura terkejut ketika melihat Gavin di balik pintu. Entah bagaimana dia harus bereaksi; antara senang, kaget, marah karena suaminya tidak mengabari. Gavin tersenyum senang, belum sempat menyambut istrinya, perempuan berambut pendek itu langsung memeluk suaminya.
"Haha, maaf, maaf, aku tidak mengabarimu. Aku sengaja memberikan kejutan," tawa Gavin, memeluk erat istrinya, "selamat hari Valentine kembali untukmu."
"Dasar! Kamu buat takut saja!" balas Asakura.
"Ya mau bagaimana? Aku sudah bilang kan kalau pekerjaanku selesai tepat waktu, aku akan pulang cepat. Tepat pada Valentine lalu," lanjut Gavin.
Oh, ya, soal Valentine. Asakura mengernyitkan dahinya.
"Aku mendapatkan coklat dari beberapa rekan baru, kebanyakan perempuan, sih," cerita Gavin, "tapi, lebih spesial kalau Valentinenya dapat coklat darimu, kan? Tidak apa kalau bukan coklat, keberadaanmu di keluarga kecil ini sudah menjadi bukti kok."
__________________
VicRora
By: rey_asha
Jarum jam masih menunjuk ke arah jam sembilan pagi, tapi kepalanya sudah pening. Penyebabnya adalah jajaran tas berwarna merah dan merah muda yang menumpuk di depan ruangan Victor. Rora maklum, mengingat hari ini adalah hari kasih sayang. Namun, bukan berarti kobaran emosi dalam dirinya padam begitu saja.
"Siapa yang menaruh tas-tas ini?"
Goldman susah payah menelan ludah. "Aku juga tidak tahu, tapi banyak sekali karyawan perempuan yang masuk lebih pagi hari ini."
Rora menghela napas panjang. Tidak perlu tingkat intelejensi yang tinggi untuk mengetahui bahwa tas-tas itu berisi cokelat yang ditujukan untuk tunangannya. Rora menunduk, mengumpulkan tas-tas itu ke dalam satu tempat sebelum membuka pintu ruangan Victor.
Kosong. Ruangan yang didominasi dengan warna monokrom itu lengang tanpa keberadaan sang CEO. Victor telah lebih dulu mengabari saat mengantarnya ke LFG bahwa pria itu akan mengurus sesuatu di luar sebelum kembali ke kantor. Sambil menunggu kembalinya pria bermata ungu itu, Rora menyibukkan diri dengan menyusun serangkaian dokumen yang Victor butuhkan untuk rapatnya sore ini.
Pikirannya melayang liar pada setumpuk cokelat yang diterima sang tunangan. Rora tidak ingin membiarkan suara insekuritasnya yang mendominasi, tapi membayangkan Victor harus memakan cokelatnya—yang ia jamin rasanya aneh, dibandingkan tumpukan cokelat yang kelihatannya mahal... Rora merasa dirinya kembali jatuh dalam jurang inferior.
Tanpa sadar ia kembali mempertanyakan dirinya, apakah ia berhak berdiri di samping sang pria setelah meninggalkannya sekian lama. Memang tidak ada niatan untuk pergi, tapi luka yang ia tinggalkan dalam diri Victor rasanya masih terlalu basah untuk diabaikan.
Rora mengembuskan napas dalam. Dari pergulatan batinnya, ia bertekad untuk melakukan sesuatu yang spesial untuk sang pria—meski belum tau apa. Setelah yakin dokumen yang diperlukan Victor sudah tersusun sesuai dengan topik rapat, ia berniat untuk mencari sesuatu untuk tunangannya.
"Nona Rosellie?"
Rora terhenyak melihat salah satu karyawan yang cukup sering berinteraksi dengannya menghampiri. Senyum sopan terulas. "Ya, ada yang bisa kubantu?"
Rekan kerjanya itu tampak gelisah, ragu untuk menyuarakan keperluannya pada Rora. Pria itu kelihatan menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya dengan telinga memerah. Menunggu dengan sabar, Rora mengulas senyum ramahnya.
"Jadi?"
Rekan kerjanya berdehem pelan. "Aku... hanya ini memberikan ini padamu, Nona Rosellie."
Rora terperangah dengan kotak berwarna merah muda yang disodorkan oleh rekan kerjanya. Kepalanya berputar cepat untuk merangkai kalimat penolakan yang tidak akan menyakiti pria itu, yang cukup halus agar di kemudian hari situasi mereka tidak berubah canggung. Namun sebelum Rora menyuarakan untaian kata yang berada dalam kepala, seseorang menarik tubuhnya dari belakang hingga punggung menyentuh dada.
"Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan dengan rekan kerja di LFG," suara bariton yang familiar itu menyiratkan ketegasan yang dingin. "Tapi ia milikku."
Debaran jantungnya menggila beberapa saat sementara napasnya tercekat di tenggorokan. Ia mendongak terkejut dengan kedatangan sang pria yang tiba-tiba, netra birunya memancarkan sirat kebingungan cenderung kaget.
Rekan kerjanya segera menunduk, membungkuk hormat pada Victor dengan raut panik. "Maaf, Bos. Aku tidak tahu kalau Nona Rosellie sudah menjalin hubungan dengan anda."
Victor berdehem pelan. "Tidak perlu beritahu yang lain."
"Saya mengerti, Bos."
Sejenak tatapan keduanya terpaku pada punggung rekan kerja mereka yang menghilang dari balik lorong sebelum netra ungu Victor berpaling pada Rora. Ia bergeming di bawah tatapan mengintimidasi sang tunangan lalu merengut saat otaknya berhasil mencerna apa yang terjadi barusan.
"Kau baru saja membongkar hubungan kita."
"Tidak masalah," Victor merangkul bahu Rora, menuntun gadis itu masuk ke ruangan pribadinya lalu menyematkan kecupan ringan di pelipis sang gadis. "Ia tidak akan membeberkannya pada siapapun. Kau sendiri kenapa tidak langsung menolaknya. Apakah seseorang senang mendapatkan perhatian dari pria lain, dummy?"
Rora mendengus, menyentakkan kepala ke arah tumpukan tas. "Kau sendiri bagaimana? Senang mendapat atensi banyak karyawan perempuan di kantor?"
Victor mengerling, sirat jenaka tersimpan dalam iris keunguannya. "Kau cemburu?"
"Iya, memang kenapa? Kau tidak suka?"
"Untuk apa, dummy?" Victor terkekeh. "Aku tidak akan mengejar gadis yang tidak kulihat di masa depan bersamaku."
Rora mendecih, memalingkan wajah. "Bagaimana rapatmu?"
"Siapa yang bilang rapat? Aku menyiapkan makanan di Souvenir," Victor mengambil jaket Rora, menyampirkan mantel itu di bahu sang gadis. "Lasagna dan pudding untuk seorang dummy."
__________________
LuciRhe
By: AisakiRoRa
"Rhea, aku pulang."
Lucien menutup pintu ketika ia telah sampai di rumah. Suasana di rumah hening, bahkan sang istri pun tidak menampakan batang hidungnya sama sekali. Jarang sekali hal ini terjadi. Lucien mengheran, ia segera beranjak mencari Rhea.
Tidak lama Lucien menemukan Rhea yang duduk di meja makan. Sebuah buku sang istri baca dengan penuh perhatian. Lucien menghela nafas lega. Sembari meletakkan jas miliknya di stand gantungan, Lucien mendekati Rhea. Memeluk Rhea dari belakang. Melingkarkan kedua tangan pada leher sang istri sembari membungkuk dan meletakkan dagu di bahu kanan Rhea. Lucien tersenyum kecil, mengamati buku yang dibaca sang istri.
"Menikmati bacaan mu?"
"Ya."
Rhea membalas singkat. Seolah-olah acuh kepada Lucien. Tentu saja sang suami merasakan sesuatu yang tidak biasa kepada Rhea. "Bagaimana harimu hari ini, menyenangkan?" Tanya Lucien dengan maksud memancing topik pembicaraan. Pandangan Lucien beralih pada wajah cantik Rhea yang serius. "Tidak begitu buruk. Namun, tidak baik juga."
"Makan siang yang kau bawakan tadi siang sangat enak sekali, my little butterfly."
"Tapi sepertinya ada yang lebih 'enak' dibandingkan makan siang yang kubawakan." Tukas Rhea datar, perlahan ia menutup bukunya. Melirik Lucien yang berada di pundak.
Dugaan Lucien benar. Terjadi sesuatu terhadap Rhea--dan lagi-lagi, Lucien menduga-duga sesuatu. Lucien mengeratkan pelukan Rhea, sedangkan sang istri tidak terlihat sebuah penolakan. Senyuman Lucien belum luntur sejak tadi.
"Kau marah padaku ya?" Bisik Lucien kepada Rhea lembut.
Rhea mendengus kecil, meraih kedua tangan Lucien yang melingkar. Melepaskan pelukan tersebut.
"Menurutmu?"
Rhea beranjak dari tempat duduknya. Lucien mundur selangkah, membiarkan sang istri berjalan mendahuluinya. Rhea melangkah menuju dapur. Berniat menyiapkan makan malam. Tetapi sebelum Rhea melanjutkan langkahnya, tangan Rhea dihentikan oleh Lucien. Menarik tangan sang istri untuk masuk kedalam pelukan sehingga jarak pun akhirnya musnah.
Kepala Rhea bertemu dengan dada bidang Lucien. Ia pun bisa mencium bau parfum Lucien yang masih membekas di pakaian sang suami. Sambil memeluk, Lucien meletakkan salah satu tangannya di atas puncak kepala Rhea. Membelai Rhea lembut. Lucien menghela nafas.
"Kau marah padaku karena tadi siang tidak bisa bertemu dengan ku ya, little kitten?"
"Tidak hanya itu. Sepertinya kau juga sibuk kepada mahasiswi mu saat mereka memberikan cokelat. Aku tidak berniat mengganggu, lebih baik aku segera pulang saja."
Respon Lucien justru terkekeh, dugaan Lucien sedari tadi benar. Lantas, Rhea meregangkan sedikit pelukan mereka. Begitu juga Lucien. Mereka berdua saling beradu tatap. Lucien bisa jelas melihat raut wajah Rhea cemberut. Ia yakin sang istri cemburu.
"My little butterfly, aku suamimu. Hatiku hanya berlabuh padamu seorang."
"Dasar perayu."
Lucien tersenyum. Kemudian menangkup wajah Rhea. Lucien bisa melihat wajah cantik nan indah sang istri. Lalu membelai pipi Rhea, sangat lembut. Benar-benar memberikan Lucien harapan di dunia ini.
"Kau tidak perlu khawatir. Semua cokelat itu kuberikan semua pada Pete."
"Oh, benarkah?"
Sang suami tidak membalas, ia justru menempelkan bibirnya pada dahi Rhea. Mencium lembut dahi sang istri. Rhea terdiam. Semburat merah muncul pada kedua pipi Rhea. Namun, ia sangat menyukai hal ini. Tidak berniat menolak.
"Jiwa dan ragaku hanya kuberikan padamu. Hanya khusus untukmu. Jadi kau tidak perlu khawatir, my little butterfly."
Published 22nd of February, 2022
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top