xxv ‐ She/He Got Rejected

Participant and Pairing:

Cuhae – IdiCa

Healerellik – MiGumi
UnwrittenWhitePaper – JoRiel

rorovii_ – SenAi
.
.
.

IdiCa

Written by: Cuzhae

Nyatanya memiliki paras tampan dan maskulin tidak menutupi seseorang menjadi seorang wibu. Idia salah satunya.

"Ayolah, sekali iniii saja. Ya, ya, ya?!"

Idia terus membujuk istinya untuk memakai setelan yang ia berikan. Di hari libur ini seperti biasa Idia akan mendandani Ecca sedemikian rupa agar mirip dengan tokoh fiksi kesukaannya.

"Tidak untuk hari ini," tolak Ecca. Sudah lelah menjadi korban percobaan suaminya. Rencananya hari ini dia akan bereksperimen di dapur mumpung Idia ada di rumah, jadi pria itu bisa ikut mencicipi masakannya.

Disuruh untuk menirukan dan berpakaian layaknya karakter fiksi dengan berbagai atribut tambahan, singkatnya cosplay. Idia hobi sekali menyuruh cosplay untuk memenuhi ekpekstasinya.

"Aku janji akan habiskan masakanmu kalau kamu mau cosplay."

"Itu kan memang seharusnya begitu."

Raut wajah Idia mengkeruh. Baru kali ini Ecca tidak menghiraukan ucapannya. Permintaan sederhana yang ingin ia wujudkan. Idia rela PO dari jauh hari untuk membeli kostum yang menurutnya imut ini.

"Pasti Ecca cantik, deh, kalau jadi Lumine-chan ...," bujuk Idia kembali.

Mata Ecca melotot. Kesal dengan kelakuan sang suami. "Jadi maksudmu aku tidak cantik begitu?"

"Bu-bukan begitu ...." Keringat dingin mengucur di dahi Idia. "Ecca tetap paling cantik, kok. Tapi cosplay Lumine-chan pasti tambah imut."

Jangan sampai Ecca goyah dengan wajah memelas Idia. Pria itu setidaknya harus sadar agar tidak jadi pemaksa.

"Aku tidak mau. Terserah Idia mau ngambek atau sampai mendiamkan aku, enggak peduli."

_______________

MiGumi

By: Healerellik

"Bagaimana keadaan Tsumiki?" tanya Amilia begitu mendapati Megumi yang keluar dari kamar pasien. Aslinya dia datang untuk menjenguk, tetapi melihat adik dari orang yang akan dia jenguk keluar terlebih dahulu dari ruangan membuatnya segera menanyakan perihal tersebut.

"Kak Tsumiki sudah lebih baik. Dia baru saja beristirahat setelah meminum obat," jawab Megumi. Amilia pun mengangguk.

"Oh ya, aku lupa. Ini." Berkata demikian, Amilia lantas menyerahkan sekeranjang kecil berisi buah-buahan. Megumi mengangguk, lantas menerimanya.

"Kalau begitu ayo masuk," ujar Megumi, tapi jawaban pertanyaannya itu adalah gelengan.

"Tidak perlu. Biarkan Tsumiki beristirahat saja," ujarnya. Lagi, Megumi mengangguk saja. Dia kemudian masuk sendiri untuk meletakkan keranjang itu, lantas kembali pada Amilia yang menunggunya di pintu masuk.

"Kalau begitu, aku pamit dulu."

"Amilia, tunggu—"

Amilia yang baru saja membalikkan badan langsung kembali menghadap Megumi dengan cepat. Tatapannya penasaran, sebab tak biasanya lelaki itu terlihat gelisah seperti di depannya saat ini. Maka dia pun menunggu, sampai Megumi berdehem beberapa kali lalu menatap iris violetnya dalam.

"Mau makan siang seperti biasa?" ujar Megumi akhirnya. Amilia mengulas senyum. "Kukira kau membicarakan apa karena wajahmu gelisah seperti itu. Tentu saja. Ayo!"

Maka Amilia pun langsung menarik tangan Megumi ke arah kantin rumah sakit yang biasa mereka kunjungi. Dia yang berada di depan tidak melihat bagaimana wajah Megumi yang berubah warna.

Sampai di tempat yang dituju, mereka pun duduk pada spot favorit mereka. Penjaga kantin yang sudah familiar dengan mereka langsung mengiyakan begitu keduanya memberikan pesanan. Seraya menunggu itu, keduanya pun berbincang. Mulai dari perawatan Tsumiki, keseharian keduanya, sampai hal random yang terlintas di kepala.

Pesanan yang datang pun tidak menyurutkan pembicaraan mereka. Kali ini giliran Amilia yang menceritakan perihal negara asalnya. Bagaimana suasana di sana dan hal-hal yang menarik dari negara tropis tersebut. Megumi yang memangku wajah diam mendengarkan. Sungguh, biar pun dia tidak pernah mengatakannya, tapi momen seperti ini adalah kesukaannya.

Benar. Dia menyukai Amilia.

"Walaupun begitu, aku belum pernah mencoba—hei, apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Amilia yang menyadari sikap aneh si lelaki. Megumi yang tertangkap basah seketika gugup. Terlebih tatapan intens dari si perempuan yang seolah mendesaknya memuntahkan isi kepala.

"Hm, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Amilia."

"Oh ya? Kalau begitu aku akan mendengarkannya."

Megumi menghela napas melihat senyum itu. Benar-benar sosok Amilia yang selama ini membuatnya diam-diam jatuh hati. Awalnya dia mengira kalau si perempuan hanya sekadar teman bagi si kakak. Ternyata seringnya pertemuan yang terjadi justru menimbulkan persepsi berbeda tentang bagaimana Megumi melihat Amilia.

"Hmm ..."

"Ya?"

Megumi menarik napas sekali lagi.

"Aku menyukaimu."

Hening. Kantin yang kian ramai seolah membisu bagi mereka berdua. Terutama bagi Amilia yang seketika salah tingkah, terlebih setelah menemukan keseriusan dari manik biru gelap tersebut. Menghindarinya, Amilia pun menundukkan kepala.

"Maaf."

Setelah perang batin singkat, Amilia akhrinya memberi jawaban. Tentu bukan jawaban yang diinginkan. Namun, mau bagaimana lagi. Fakta bahwa Tsumiki adalah temannya secara tidak langsung membuatnya menganggap Megumi seperti adik juga. Jadi rasa suka mereka jelas berbeda.

"Maaf," ulang Amilia, "bukan berarti aku tidak menyukaimu. Tapi saat ini kau tidak lebih dari seorang saudara bagiku, Megumi."

Untuk ke sekian kalinya Megumi menghela napas. Dia sudah mempersiapkan diri untuk ini, tapi tetap saja dadanya sedikit nyeri. Apalagi melihat Amilia yang berpamitan.

"Tapi kita tetap berteman kan?" tanyanya menahan perempuan itu.

"Tentu," jawab Amilia dengan senyum yang dibalas setengah hati oleh Megumi.

_______________

JoRiel

By: UnwrittenWhitePaper

Ketika menyukai seseorang, manusia akan dihadapi oleh dua pilihan, menyatakannya atau menyangkalnya.

Rielle tahu sendiri kalau secara langsung atau tidak menyamakan dirinya dengan mantan kekasih Joonghyuk---- Seolhwa, dan Rielle membenci itu. Namun apa yang bisa dia lakukan? Semua pemikiran itu benar adanya.

Rielle menghela napas dengan isi pemikirannya, terlihat uap mengepul dari bibirnya. Sesekali Rielle menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Orang-orang tampak sibuk dengan urusannya sendiri di dalam kereta api. Termasuk pria di sampingnya.

"Dingin....." bisiknya.

Tiba-tiba sebuah jas jatuh dari atas mengenai dirinya, Rielle melihat dalangnya. Terlihat Joonghyuk yang sedang menatap kearah lain, ditubuhnya tidak terlihat jas yang tadi dia gunakan, setelah itu Rielle melirik kearah jas yang dia pegang. Rielle mengambil jas itu dan memakainya tanpa bertanya.

Setelah Joonghyuk memastikan Rielle memakainya, Joonghyuk menarik tangan kanan Rielle dan memasukannya kedalam sakunya bersamaan dengan kereta api yang kian melambat. Terdengar suara pengumuman perhentian selanjutnya--- destinasi terakhir Rielle. Orang-orang berdiri menunggu gilirannya turun, tetapi Rielle dan Joonghyuk sendiri memilih menunggu.

Sedangkan Rielle sendiri masih memproses apa yang sedang terjadi padanya dan tangan kanannya. Sebelum Rielle hendak menarik kembali tangannya Joonghyuk sudah menariknya pergi menuruni kereta api tersebut.

"Aku minta maaf, aku masih belum bisa memiliki hubungan seperti itu" kata Rielle

"Aku akan menunggu" ujar Joonghyuk.

"...... itu perbuatan yang sia-sia"

"......."

"Lakukan sesukamu"

Rielle teringat dengan kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian yang cukup merubah pemikirannya 180⁰ mengenai Joonghyuk. Walaupun begitu, apakah hal itu cukup untuk membuatnya menghindari pemikiran negatif yang kian menguat?

Rielle merasakan remasan beserta usapan di punggung tangannya dari ibu jari Joonghyuk, tetapi Rielle sendiri tidak melakukan apapun--- atau lebih tepatnya tidak sanggup melakukan apapun.

"Apa yang kau lihat dariku?" Tanya Rielle.

Joonghyuk melirik kearah Rielle.

"Apakah aku harus mengabsen seluruh hal dahulu?"

".... lupakan" jawab Rielle dingin.

Pembicaraan berhenti kembali. Kali ini mau Joonghyuk ataupun Rielle tidak berniat membuka pembicaran lagi dan memilih diam sambil menatap jalanan yang diselimuti salju di bulan Desember.

Perlahan-lahan rumah Rielle terlihat, ketika hampir sampai Rielle melepaskan pegangan tangan Joonghyuk dan berjalan melewatinya.

"Terima kasih sudah mengantarku" kata Rielle.

Joonghyuk memandang Rielle yang sesaat sebelum melirik kearah tangannya yang sebelumnya menggenggam tangan milirk Rielle.

"Aku mengerti, kalau begitu aku pergi dulu" kata Joonghyuk.

Rielle mengangguk kepalanya dan berjalan pergi meninggalkan pria didepannya. Sedangkan Joonghyuk sendiri masih menatap punggung wanita itu sampai tidak terlihat lagi dari jangkauan pandangannya.

"Apa lagi yang harus kukatakan agar kau paham, Rielle?" Bisik Joonghyuk.

Setelah mengatakan itu Joonghyuk berjalan pergi berlawanan arah dari jalan Rielle.

_______________

SenAi

By: rorovii_

"Hei, Ainawa. Aku rasa Prof Senkuu suka padamu, deh."

Untung saja saat itu Ainawa tidak sedang menyeruput teh yang ada di depannya. Jika tidak, teh yang baru saja diseduh itu sudah menyembur mengenai Chrome. Ainawa menghela nafas, dengan pelan menaruh cangkir dan piring keramik antik itu ke meja, dia tidak ingin menyiram Chrome—entah karena tersedak saat minum atau karena mulut Chrome yang perlu direm. Baiklah, mari kita tanyakan kenapa Chrome bisa berpendapat demikian, pikir Ainawa.

"Dari mana omong kosong ini?"

"Hm ... Kau tau kan kalau Prof Senkuu memperlakukanmu agak spesial."

"Dari mananya?"

Chrome mendesah, "ah, gak tau, intinya perlakuan Prof Senkuu itu agak berbeda padamu."

Oke. Ainawa melirik jam di dinding, istirahat mereka sisa lima menit lagi. Ainawa sungguh butuh teh itu. Ainawa segera meminum teh yang masih agak panas itu, tidak peduli lagi dengan Chrome yang membuat wajah aneh. Mungkin mendengarkan Chrome itu salah, beberapa menit itu bisa Ainawa pakai untuk makan siang—dengan apapun yang disediakan di ruangan istirahat itu.

... omong kosong. Kalaupun Ainawa sedang mengunyah sandwich waktu itu, tidak akan habis karena Chrome membicarakan rekan kerja Ainawa. Ya si dokter jenius itu–ya, Senkuu. Ainawa sendiri sadar kalau ada Senkuu disekitar gelagatnya menjadi sedikit lebih hati-hati, sedikit lebih memperhatikan sekitar, dan sedikit tidak nafsu makan. Ainawa berdiri, pamit kepada Chrome yang masih santai walau istirahat sudah selesai.

.

.

.

"Prof, bukannya kau terlalu pilih kasih?"

Oh, tidak. "Apanya?"

Chrome menggeram, memberi tatapan 'are you kidding me' pada Senkuu. Ainawa melirik dari stasiun miliknya, Senkuu masih sibuk dengan apapun yang dia buat dan hanya menjawab Chrome seadanya. Ainawa menghela nafas, kembali menatap pekerjaannya. Semoga Chrome tidak mengatakan apa-apa. Ainawa benar-benar ingin fokus pada penelitiannya sendiri, sungguh—tidak ingin terbebani dengan keberadaan Senkuu.

"Maksudku perbedaan perlakuanmu terhadap dua rekan kerjamu, aku dan Ainawa!"

Ainawa menahan nafas, hampir saja melakukan kesalahan pada eksperimennya.

"--Prof Senkuu, kau suka pada Ainawa, kan?"

"Prof? Hei, Prof!"

Ainawa ingin kembali ke awal, saat dia tidak kikuk seperti ini, saat dia tidak diam-diam mendengarkan dan menanti jawaban.

"Tidak ada yang spesial, Chrome. Aku juga tidak ingin menjalin hubungan romantis dengan siapa-siapa."

Gelas beaker di letakkan dengan pelan di meja. Ainawa menghembuskan nafas, menutup mata, menenangkan hati. Lalu kembali mengerjakan eksperimen miliknya. Betul begitulah faktanya Chrome, tidak ada yang spesial.

Published 1st of  February, 2022

#PAW


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top