xxix - She Got Choco From Other Guy

Participant and Pairings:

RainAlexi123 – TauMeli

rey_asha – SamaRain

Kurogane_Luna – VicRora

AisakiRoRa – LuciRhe

Cuzhae - ErnestOcha

.

.

.

TauMeli

"Meli ... itu apa?"

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Taufan membuat perempuan bermahkota cokelat ini menoleh ke kotak yang ada di tangannya, kemudian mengangguk kecil.

"Cokelat."

Jawaban singkat itu sukses membuat Taufan menghentikan aktivitasnya, iris safirnya kini menatap kotak berbungkus putih dengan pita berwarna merah tersebut.

"Hee, dari siapa?" tanya Taufan kemudian tersenyum.

"Salah satu rekan kerjaku," jawab Meli meletakkan kotak cokelat tersebut di meja kopi kemudian duduk di sofa yang ada di dekatnya, "aku terkejut tiba-tiba diberi."

Taufan diam-diam mengerutkan alisnya, namun kemudian dia mendekati Meli dan duduk di sebelah sang perempuan. Taufan juga meletakkan kotak kecil berbungkus biru di pangkuan Meli, menarik perhatian sang perempuan yang sedang bersandar di sofa.

"Happy White Day, Meli," ucap Taufan merangkul pundak Meli, memeluk sang perempuan.

"Ah, terima kasih," sahut Meli mengangguk malu, "bagaimana shooting hari ini?"

"Melelahkan," jawab Taufan menyandarkan kepalanya ke bahu Meli, "tapi berjalan lancar."

"Begitu ya?" sahut Meli membuka kotak pemberian Taufan, kemudian berkedip beberapa kali mendapati ada beberapa cookies putih di dalam kotak.

"Makanlah," sahut Taufan melirik ke arah wajah Meli.

Meli melakukan apa yang Taufan pinta, saat rasa manis kue menyapa lidahnya tampak membuat Meli terkejut karena rasa yang dominan dia rasakan adalah rasa cokelat putih.

"Bagaimana?" tanya Taufan tersenyum puas.

"Enak," jawab Meli kembali memakan kue kedua, "beli—oh, buatan sendiri ya?"

"Ya~" jawab Taufan bangga, "kau menyukainya?"

Meli mengangguk semangat, mood-nya tampak jadi lebih baik saat memakan kue buatan Taufan—dan itu cukup untuk Taufan merasa senang. Tampak sekilas iris safirnya melirik kotak cokelat yang mungkin sudah dilupakan oleh Meli, sebelum akhirnya dirinya kembali menutup matanya dan kembali bersandar pada bahu Meli.

"Syukurlah kalau begitu."

__________________

SamaRain

Pandangan Samatoki masih belum berpaling dari tas yang dijinjing oleh istrinya kala wanita itu pulang. Netra senada darahnya menatap kumpulan bungkusan berwarna merah muda dan merah itu seolah mereka menyinggungnya. Bukan bungkusannya, tapi maksud pemberian dari hadiah itulah yang membuatnya kesal.

Sudah menjadi tradisi di bulan Maret hari keempat belas, para wanita akan mendapatkan balasan atau jawaban atas pernyataan mereka sebulan yang lalu. Namun, seingatnya Rain tidak pernah menyebarkan cokelat di hari kasih sayang. Lantas mengapa wanita itu malah membawa pulang sekantung penuh cokelat—bahkan ia bisa melihat beberapa kotak hampir terjatuh lantaran tas tidak sanggup menampung semuanya.

"Dari siapa?" tanyanya saat Rain menarik pita putih yang menghiasi salah satu kotak.

Rain berdehem, mengerling jahil ke arahnya. "Para staffku. Sesuatu tentang berterima kasih karena menjadi atasan yang baik menjadi alasan utama."

"Staff... perempuan, kan?"

"Staff laki-laki juga kok," ujar Rain seraya memasukkan sekeping cokelat ke dalam mulut. Netra safirnya menangkap gerakan gelisah sang suami. "Kenapa? Kau cemburu?"

"Hah?" Samatoki beranjak dari posisinya, menyambar kantung berisi cokelat milik Rain lalu mengintip ke dalamnya. "Sebanyak ini? Dari staff laki-laki? Yang benar saja."

"Memang benar kok." Rain mengangkat bahunya acuh tak acuh, tidak alasan kemarahan suaminya. "Cokelatnya cuma bentuk apresiasi dari para karyawanku. Apa yang salah dengan itu?"

Samatoki mendengus, menghempaskan kantung berisi cokelat itu lalu berdiri di hadapan Rain yang tampaknya tidak terpengaruh. Sungguh. Apakah istrinya sangat tidak peka sampai kesulitan mengenali intensi dari staff yang memberikan cokelat padanya? Apakah cincin yang melingkar di jari manis Rain masih belum cukup keras menyuarakan status wanita itu yang terikat padanya? Atau para pria itu terlalu nekat lantaran belum mengenal baik siapa suami Rain?

"Kau cemburu," papar Rain menyunggingkan seringai congkak.

Samatoki menggeleng. "Aku tidak cemburu."

Iris kebiruan Rain menghunjam netra ruby Samatoki, mencari kebohongan dalam palung kemerahan sang suami. Bibirnya tertarik lebih dalam kala berhasil menyingkap sesuatu yang enggan yang diucapkan oleh Samatoki.

"Kalau begitu tidak masalah kalau kumakan cokelatnya, kan?" tanya Rain dengan sebelah alis terangkat.

Samatoki segera merampas kotak dalam genggaman Rain. "Tentu saja masalah. Aku tidak suka kau makan cokelat dari pria lain."

"Tapi kau bilang tidak cemburu."

"Aku bukan cemburu, kuso onna. Hanya tidak terima."

"Sama saja, Samatoki." Rain menghela napas pasrah. Ia mengulurkan tangan. "Kembalikan cokelatku."

Samatoki berdecak melihat kekeras kepalaan istrinya. Ia tahu. Ia tahu wanita itu merasa berada di atas angin karena bisa menjahilinya hari ini. Tidak menampik bahwa rmosi yang bergolak dalam dirinya disebabkan oleh cemburu, tapi Samatoki enggan memberikan kepuasan pada istrinya.

Lantas, ia menyeringai tipis ketika sebuah ide terbesit. Mengabaikan tatapan ingin tahu Rain yang tidak berpaling darinya, Samatoki berkata. "Kalau kau bersikeras ingin cokelatmu, silakan."

Ia memasukkan kepingan cokelat ke dalam mulut. Tangannya meraih pergelangan tangan Rain, menarik tubuh wanitanya mendekat lalu mempertemukan bilah bibir mereka. Lidahnya menyapu bibir bawah Rain, meminta wanita itu untuk membuka mulutnya tanpa suara. Ditelan erangan protes Rain, memilih untuk memindahkan kepingan cokelat dalam mulut istrinya.

Kecapan menggema di penjuru ruang tamu, saling bersahutan dengan erangan yang mengalun dari sang hawa juga deru pendingin ruangan yang menjadi latar. Samatoki menangkap tangan Rain yang berusaha mendorong bahunya, kian memperdalam ciuman mereka dengan menahan belakang kepala sang wanita.

Bukan yang pertama kalinya, tapi Samatoki bersumpah bahwa segalanya seperti yang pertama. Bagaimana seluruh indranya dipenuhi oleh sosok Rain. Wangi tubuh khas wanitanya, kehangatan Rain dalam pelukannya, rasa teh yang melebur bersatu dengan cokelat kala lidah saling membelit. Hanya ketika kepalanya terasa ringan, barulah ia melepaskan pagutan bibir mereka.

"Apa yang kaulakukan, bodoh!?"

Seringai pongah terulas di bibir Samatoki. "Kau ingin cokelat, maka kuberikan. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan?"

Itu konsekuensi karena membuatku cemburu, kuso onna.

__________________

VicRora

Masam dan menakutkan. Itulah yang cocok mendeskripsikan raut wajah sosok Victor Li sejak pagi. Entah apa yang terjadi padanya di tanggal 14 Maret yang indah ini sehingga membuat wajahnya seperti akan melempar seseorang keluar jendela, itulah yang dipikirkan oleh para karyawan perusahaan milik lelaki terkait.

Di batin si pria bernama Victor itu sendiri tengah merutuki para karyawan laki-lakinya yang dengan sangat berani memberi istri tercintanya coklat pada white day alias hari ini. Apakah cincin yang bertengger manis pada jari Rora tidak cukup memberi pernyataan bahwa perempuan itu miliknya seorang?

Atau haruskah Victor memberi tanda yang lebih vulgar agar orang-orang sadar diri bahwa perempuan berambut panjang itu tidak boleh diganggu oleh orang lain? Tapi mengetahui sosok Rora yang punya image tersendiri pasti wanita itu akan menyembunyikannya.

Ini sudah pria yang ke entah berapa yang memberi istrinya hadiah untuk merayakan hari white day. "Nona Rosellie, untukmu! Aku tahu kau suka sekali dengan mawar merah jadi kubuat coklat berbentuk mawar untukmu!" Batin Victor sudah memanas, mawar merah adalah bahasa cintanya dan Rora, tidak ada yang boleh memberi perempuan itu sesuatu yang berkaitan dengan bunga itu selain dirinya.

Suara sepatu Victor yang menghentak di lantai sudah memberi tanda bahwa pria itu kesal. Orang yang memberi Rora coklat White day itu melihat sosok suami dari wanita terkait yang berdiri di belakang Rora, pemuda malang tersebut seketika bergidik dan lari ketakukan.

Melihat itu membuat Rora spontan menghadap ke belakang, menghadap Victor yang mencuri coklat di tangan si perempuan berambut panjang itu. "Hei! Apa yang kau lakukan, Vic?!" protes Rora.

"Dummy, kau tidak memerlukan ini. Aku bisa memberikanmu pabrik coklat dan minta mereka untuk mengirim coklat berbentuk mawar setiap hari. Jadi buang saja yang ini."

"Enak saja, ini punyaku jadi terserahku mau aku apakan. Dan juga, Vic, apa kau cemburu?"

Victor mendengus. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

__________________

LuciRhe

"Permisi ... Prof Xu."

Suara asing. Bukan suara Lucien yang Rhea kenal. Ia menoleh, mendapati dua pemuda mengenakan jas lab. Dalam benak Rhea, ia menduga bahwa mereka mahasiswa Lucien. Rhea tersenyum, sebagai formalitas. Menurunkan handphone-nya.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Ekspresi dua pemuda itu terlihat senang. Pemuda yang berada di belakang memukul kecil temannya itu. Ibarat memberi isyarat. Rhea memperhatikan jelas tingkah laku mereka. Lantas, pemuda yang berada tepat di hadapan Rhea mengulurkan sesuatu--dengan sedikit gemetaran karena ia gelisah.

"J-jadi begini, Prof ... saya mau--memberikan cokelat kenapa Prof. Karena s-saya pikir, saya m-mengagumi Prof Xu," Ucap pemuda tersebut grogi ketika ia mengulurkan sekotak kecil berwarna putih berisikan cokelat.

Rhea bisa melihat kedua kaki sang pemuda gemetaran. Keringat yang mulai bercucuran karena cemas. Kemudian, Rhea terkekeh kecil. Menerima cokelat pemuda tersebut.

"Terima kasih ya." Balas Rhea tersenyum, bersikap ramah kepada mereka. Kedua pemuda itu saling tatap, mereka terlihat kegirangan. Lalu, pemuda yang memberikan cokelat kepada Rhea mengangguk. "Semoga Prof suka! Terima kasih, Prof Xu!" Ucapnya, sebelum akhirnya mereka beranjak pergi dari hadapan Rhea.

Setelah mereka pergi, selang satu menit kemudian--Lucien tiba. Bersama Pete disamping Lucien. Akhirnya sang suami tiba, ia menunggu Lucien sejak tadi. Rhea yang masih mengamati sekotak cokelat, menoleh ketika Lucien memanggil namanya. Kali ini, benar-benar sang suami yang memanggil Rhea.

"Rhea, maaf membuatmu menunggu." Jelas Lucien kepada sang istri. Rhea beranjak dari duduknya. Lalu, ia menatap satu pria dan satu pemuda yang mengenakan jas lab. Kali ini Rhea tersenyum, hanya senyum yang didedikasikan kepada Lucien.

"Tidak apa Lucien, aku tahu kamu masih ada urusan yang harus diselesaikan." Balas Rhea lembut.

Atensi Rhea pindah kepada Pete. Rhea mengulurkan tangan, dengan sekotak cokelat tadi,"Ini untukmu. Dari Lucien dan diriku. Terima kasih telah membantu Lucien selama ini."

Lucien memperhatikan Rhea. Seakan-akan tahu alasan Rhea memberikan sekotak cokelat itu. Pete menerima kotak tersebut dengan senang hati. "Terima kasih--aku tidak menyangka akan mendapatkan cokelat dari kalian." Jelas Pete sembari tersenyum kecil.

Lucien terkekeh kecil,"Anggap saja itu hadiah dari kami. Karena kerja kerasmu selama ini membantuku." Pete mengangguk, menyimpan kotak tersebut ke dalam saku jas nya.

"Kalau begitu--aku permisi duluan Prof. Ada urusan yang harus saya selesaikan setelah ini."

"Tentu saja, silahkan."

Setelah Pete berpamitan. Lenggang sejenak, meninggalkan Rhea dan Lucien yang masih berdiri disana. Menatap satu sama lain. Namun, suasana hening disana dipecahkan oleh kekehan Lucien. "Pintar sekali, my little butterfly."

"Kamu melihatnya ya?" Rhea menyeringai kecil. Lucien hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Kebetulan saja tadi aku melihat dua mahasiswa memberimu kotak tadi."

"Yakin cuman kebetulan?" Goda Rhea. Lucien lagi-lagi hanya tersenyum. Ia mengangkat salah satu tangannya, meletakkan tangan tersebut diatas puncak kepala Rhea. Mengelus rambut Rhea, sekaligus membuat rambut Rhea sedikit berantakan.

"Ya cuman kebetulan."

"Padahal aku masih menunggu seseorang memberikanku sesuatu. Aku berharap, lho." Ucap Rhea, sekaligus menyindir Lucien. Sang suami justru tertawa.

Lucien menatap Rhea lembut, kemudian ia menarik tangannya kembali."Kita jadikan makan siang? Kamu yang tentukan."

"Aku mau makanan manis. Boleh ya?"

"Tentu. Apapun yang kamu inginkan, my little butterfly.

__________________

ErnestOcha

Hari itu Ocha sengaja ingin pulang cepat dari hari biasa-biasanya. Keadaan seolah mendukung keinginannya dengan jumlah pasien yang harus ia tangani itu sedikit.

"Padahal ini masih siang, loh, Dokter. Anda tumbenan sekali ingin segera pulang ...."

Asisten Ocha mengernyit saat mendapati Ocha bergegas merapikan barang bawaannya.

"Sesekali aku ingin makan siang bersama Ernesto. Dia menjanjikan restoran pilihannya," balas Ocha, "apa kamu lupa hari ini adalah White Day?"

Benar, katakanlah jika Ernesto ingin berkencan di momen White Day ini. Pria itu menyempatkan waktunya di jam terbangnya yang padat.

Ocha memeriksa gawainya saat ada pesan masuk yang ternyata dari Ernesto. "Aku duluan, ya ... Ernesto sudah menunggu di depan. Kalau ada pasien lagi atau situasi darurat, jangan sungkan untuk menghubungiku."

"Baik, Dokter. Hati-hati di jalan."

Senyum Ocha kian melebar kala Ernesto membukakan pintu mobil untuknya. Ernesto juga terlihat cerah dengan rambut pirang sebahunya yang seperti memantulkan cahaya mentari.

Tujuan mereka yaitu restoran Eropa. Saat rapat dengan klien Ernesto pernah makan di situ dan memang rasanya enak, dia ingin Ocha juga ikut mencicipinya.

"Memangnya kamu tidak sibuk? Kok bisa ajak aku makan siang?" tanya Ocha.

"Tidak apa! Khusus hari ini aku mengosongkan jadwalku untukmu."

Ocha melongo mendengarnya. "Direkturmu tidak marah?"

Ernesto seketika terbahak. "Hahaha! Aku sudah dikasih izin, kok. Ocha tidak usah khawatir seperti itu, ya." Rambut Ocha diusapnya dengan sedikit energi, rambut yang dasarnya sudah berantakan kini tambahan berantakan.

"Aku hanya bertanya ...." Ocha merengut dan Ernesto hanya terkekeh.

Bisa dibilang interior dari restoran itu bergaya klasik dan makanan di menu pun pilihannya banyak, tidak heran jika ramai pengunjung.

"Selamat datang. Khusus hari ini kami memberikan cokelat gratis untuk pengunjung wanita dalam rangka spesial merayakan White Day," ucap seorang waiter pria menyambut Ernesto dan Ocha saat keduanya memasuki restoran. Waiter itu memberikan sebatang cokelat yang dibungkus dengan apik.

Dengan segera Ernesto menyambut uluran cokelat itu. Meski ia tersenyum lebar tapi entah mengapa aura di sekelilingnya terasa mengancam.

"Terima kasih cokelatnya." Suara Ernesto terdengar seperti keterpaksaan. "Nah, Ocha kamu duduk duluan, ya. Aku ada urusan sebentar."

"Ba-baiklah ...."

Setelah memastikan Ocha menjauh, Ernesto mendekatkan dirinya ke waiter pria itu dan berbisik, "Kamu kira saya tidak membelikan cokelat kepada istri saya. Bila perlu pabriknya pun pasti saya belikan." Kemudian Ernesto tersenyum simpul seolah tidak terjadi apa-apa dan pergi menghampiri Ocha yang sudah menunggu.

'M-menyeramkan!' batin sang waiter, tubuhnya bergidik ketakutan. Niatnya, kan, hanya mempromosikan event restoran, tapi rupanya dia dapatkan ancaman maut.

Published 23rd of March, 2022

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top