xxii - They Married but Didn't Love Eachother
Participant and Pairing:
holwest – SenAi
Healerellik – RayA
Kurogane_Luna – MaToru
Evellyn_93 – JonahOcha
.
.
.
SenAi
By: holwest
Wanita yang memiliki rambut cokelat gelap sepunggung itu duduk di lantai balkon kamarnya dengan tenang. Sinar bulan membiaskan ke celah-celah helai rambutnya hingga tampak berkilauan. Angin dingin sama sekali tidak mengganggu wanita itu, malahan memberikan rasa nyaman padanya.
"Ainawa-"
Ucapan Senku terhenti kala melihat wanita -yang awalnya adalah orang asing kini menjadi 'istri', itu sedang duduk tanpa alas di balkon kamarnya. Sejenak dia memikirkan kembali, 'Kenapa wanita ini mau saja menikah dengannya?' padahal mereka berdua sama sekali tidak ada rasa romantis yang ada.
Malahan, keduanya seperti terpaksa. Jika mungkin bisa, Senku ingin menanyakan alasan Byakuya menjodohkannya. Ah- jika mengingat perilaku Byakuya, lebih baik dia mengurungkan diri untuk bertanya. Karena jawabannya pasti, 'Tebak sendiri.'
"Kenapa kau malah duduk di lantai itu dengan bodohnya, Ainawa?"
Akhirnya malah ucapan itu yang terlontarkan dari bibir Senku, dengan sedikit canggung tangannya menggaruk tengkuk. Wanita itu menoleh dengan santainya, rambut yang tergerai lurus serta tanpa kacamata diwajahnya membuat Senku merasa aneh. Karena biasanya dia melihatnya dalam gaya ponytail serta berkacamata, setidaknya itu yang selama ini Senku ingat.
Biasanya dalam adegan seperti ini orang akan mengatakan 'cantik' atau 'indah' semacamnya tanpa sadar. Namun ini pengecualian buat seorang Senku. Karena yang ada dipikirannya hanyalah fisika dan sains.
"Hm.. hanya mengagumi langit?"
Nada Ainawa malah seakan berbalik menanya kepada Senku, seperti melupakan ucapan sebelumnya. "Huh, kenapa malah bertanya padaku?" Senku memandangi Ainawa bingung.
Melihat pria yang menjadi 'suaminya' itu menghampiri dalam balutan jas lab, membuat Ainawa penasaran hingga akhirnya bertanya lagi. "Apa kau baru menyelesaikan eksperimenmu itu?" sejenak Ainawa masih coba mencermati pola aktifitas Senku. Yang pasalnya ini masih baru beberapa minggu semenjak keduanya menikah.
Mau tidak mau Ainawa harus ikut menyesuaikan diri.
Senku menganggukinya, lalu ikut duduk disamping tanpa bicara, hingga akhirnya Ainawa berbicara lagi. "Makananmu-"
"Aku sudah memakannya." Senku memotong ucapannya, Ainawa pun menganggukinya.
"Selanjutnya biar aku yang membuatnya, agar tidak merepotkan satu sama lain tentunya." Ucap Senku melanjutinya, mengingat seharusnya dia ikut membantu, dan tidak malah terlalu larut dalam eksperimennya lalu melupakan sekitarnya.
Hening sejenak, Ainawa pun menganggukinya dengan sedikit ragu. "Boleh, jika bisa kita mengatur jadwal untuk yang lainnya segera."
"Tentu, jadi sekarang ayo bangun. Aku tidak ingin sakit karena masuk angin."
Celetuk Senku yang mulai bangkit, tentu saja diikuti Ainawa di sampingnya. "Uhm."
__________________
RayA
By: Healerellik
"Aku pulang."
Suara itu bergema ke seluruh rumah kala Ray membuka pintu depan. Didapatinya ruang tengah sudah gelap. 'Mungkin Aizura sudah tidur,' pikirnya. Maka dengan itu dia pun berhati-hati melepas sepatu dan meletakkannya di rak terdekat. Sementara sebelah tangannya terus menekan pinggang kanan, tepatnya pada sebuah luka yang baru saja dia dapatkan kala bertugas.
"Kau sudah pulang?"
Ray langsung mendongak. Iris emeraldnya bertemu dengan manik azure milik perempuan berambut pink sepinggang yang menatapnya datar. Tanpa Ray sadari, dia pun turut memandang wajah datar kala perempuan itu langsung melengos tanpa menunggu jawabannya.
Tidak peduli dengan itu, Ray dengan sedikit tertatih segera menuju sofa. Napasnya yang terengah-engah mulai menjadi stabil. Pun nyeri yang dia rasakan mulai sedikit berkurang karena akhirnya bisa beristirahat. Tengadahkan kepala dengan menyangganya pada punggung sofa, mata itu pun terpejam singkat.
Benar-benar singkat karena Ray langsung membukanya begitu mendengar suara benda terjatuh yang sedikit keras. Ternyata itu adalah sekotak peralatan P3K yang diletakkan di depannya, sementara Aizura sudah ada di sisi lainnya.
"Buka bajumu," perintah Aizura datar. Ray mengeryit karenanya. "Untuk apa?"
"Kau mau membiarkan sofa ini kotor karena darahmu yang mengering? Jangan bercanda. Ini baru saja dibersihkan kemarin."
Ray mendengkus mendengar jawaban itu, tapi dia pun tidak bisa memprotes. Memang sudah seharusnya begitu mengingat Aizura tidak memiliki alasan untuk berbicara sopan kepadanya. Katakan mereka sudah menikah, tapi itu semua hanya kedok semata akibat sebuah perjanjian antara keluarga mereka. Alhasil, mereka tetap hidup secara individu terlepas tinggal di rumah yang sama.
Namun, Ray yang sudah kelelahan akibat tugasnya kali ini pun memilih untuk mengalah. Dibukanya outer berikut kemeja yang dia gunakan, tampilkan sebuah luka sayatan memanjang di bawah rusuk kanan.
"Kau mau apa?" tanya Ray melihat Aizura yang membuka kotak P3K.
"Apa lagi? Tentu saja mengobati lukanya."
"Oh ya? Kau yakin? Bisa saja kau malah memperparahnya, kan?"
Seketika itu juga Aizura melayangkan deahtglare yang dibalas oleh dengkusan singkat dari Ray. Buat perempuan itu lantas mendecak kesal. "Aku akan melakukan itu jika sudah menemukan cara untuk membungkam ocehan para tetua di keluargaku. Jadi tidak akan ada masalah jika nanti pewaris keluarga Blackwell ditemukan mati di rumahnya sendiri."
"Oh? Atau mungkin saja malah keluarga Harcourt yang akan membuka rumah duka, bukan?—aw!"
Ray langsung mengerang kala Aizura dengan sengaja menekan lukanya. Hal tersebut undang kekehan kecil dari pemilik surai gulali itu.
"Kau bilang begitu tapi malah berteriak seperti kucing kawin. Pft, dasar payah."
Suasana ruang tengah saat itu remang-remang karena hanya satu lampu meja yang dinyalakan. Tapi cukup untuk membuat Ray melihat dengan jelas bagaimana mata Aizura yang menyipit akibat menertawakan dirinya. "Kukira dia akan datar seperti patung saja," gumam Ray.
"Apa? Jadi kau menganggapku patung?" Alis Aizura langsung menukik mendengar kalimat yang tanpa sadar diucapkan dengan keras oleh lelaki itu. Buat Ray seketika gugup.
"Tch. Ternyata sia-sia saja aku mengobatimu. Dasar maniak kucing."
Aizura langsung berdiri dan meninggalkan Ray yang ternganga akibat perbuatannya. Dia mengerjap sebentar, inginnya meminta maaf dan kalau bisa meminta perempuan itu melanjutkan perawatannya—karena Ray benar-benar kelelahan jika harus melakukannya sendiri. Namun, begitu dia hendak bangun, dia menyadari bahwa bagian tengah tubuhnya sudah diperban dengan rapi. Cukup untuk membebat lukanya agar tidak terbuka beberapa waktu ke depan.
Hal itu membuat Ray tanpa sadar menyunggingkan senyum. "Terima kasih, kurasa?"
__________________
MaToru
By: Kurogane_Luna
Semuanya hanya berawal dari kesalahpahaman.
Berawal dari surat yang ditemukan ibu dari sang lelaki, mereka menapaki jenjang pernikahan yang tidak mereka sangka akan tuju. Kedua pihak bisa saja menjelaskan bahwa ini tak lebih dari salah paham belaka, namun hati lelaki bernama Makoto itu tak tega ketika melihat ekspresi senang sang ibunda. Kesalahpahaman ini mau tamau harus mereka lanjutkan.
Hubungan mereka selama ini hanya terasa datar. Mungkin karena selama ini interaksi dan pertemuan mereka itu cukup kurang normal. Baik Makoto maupun Satoru juga sama-sama tidak ingin membahas masalah terkait, masa-masa itu lebih baik tetap ada di waktu lampau.
Rumah tangga mereka terasa seperti kau hidup dengan teman berbagi rumah daripada pasangan suami istri. Bagaimanapun, Makoto tidak akan memaksa Satoru jika perempuan itu tidak mau.
'Kurasa itu yang kau rasakan jika menikah tanpa ada rasa.' Mata Makoto menatap cangkir kopinya lalu ke Satoru yang tengah berkutat dengan laptop. Rambutnya berwarna jelaga, selalu disanggul keatas agar tak menghalangi aktivitas perempuan itu. Sesekali kacamata yang akan merosot dari batang hidung didorong pelan dengan telunjuk tanpa memutuskan kontak mata dari pekerjaannya.
Bekas luka di wajah perempuan itu menambah pesona tersendiri di mata Makoto dan dia tidak akan menyangkalnya. Satoru adalah perempuan yang cantik. Makoto juga mengingat-ingat jika Satoru itu orang yang mudah bergaul, walaupun kadang wanita itu lebih memilih untuk tidak sering-sering bersuara, Makoto tidak akan berkomentar apa pun soal itu, itulah yang membuat sosok sang perempuan itu dirinya dan sang lelaki akan terus menghargai semua hal-hal tentang Satoru.
Tapi ... tidak ada dari semua itu yang berhasil menumbuhkan rasa cinta di lubuk hati Makoto.
Jantung sang lelaki kuning kusam itu berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tangannya meremas erat kertas yang dibawanya sejak kembali dari tempat yang ia tuju sebelumnya.
Surat cerai.
Makoto mengambil keputusan ini demi Satoru, dia merasa tidak enak pada perempuan itu selama ini. Tidak seharusnya perempuan ini menikah dengannya hanya karena masalah sepele. Dia akan bertanggungjawab bagaimanapun dan apapun yang akan terjadi.
"Hei, Satoru."
Sang perempuan melihat suaminya yang menatapnya dengan sedih padahal ia yakin tadi laki-laki itu baru saja bersenandung bahagia setelah sarapan. Sebuah surat disodorkan ke hadapannya. Mata Satoru membulat sebentar, 'Begitu.' Satoru dapat mendengar suara Makoto yang berbicara dengan lembut.
"Kita ... sudahi saja?"
__________________
JonahOcha
By: Evellyn_93
Sejak awal, Jonah juga tahu kalau hati Ocha bukan untuknya dan dia tidak mempermasalahkannya. Pernikahan mereka cuma karangan orang tuanya saja dan saat itu Jonah hanya bisa diam dan mengangguk. Banyak orang yang bilang kalau cinta akan tumbuh seiring waktu, cuma butuh sabar sampai rasa itu datang. Tapi tiga tahun berjarak setelah mereka berdua mengucap janji sehidup semati, belum juga muncul perasaan itu di antara mereka. Baik Jonah maupun Ocha, rasanya tidak keberatan kalau harus berpisah setelah tiga tahun—lebih, jika ditambah waktu sebelum menikah—hidup bersama.
Mereka tidak saling suka, tapi tidak menegaskan jika keduanya saling benci. Tidak ada dendam yang ikut terbawa jika keduanya berpisah. Selama ini Jonah menganggap Ocha sebagai temannya, pun Ocha merasakan hal yang sama—walau dalam beberapa waktu, tensi darahnya dibuat naik karena kenarsisan sang lelaki yang kelewat tinggi.
"Akan lebih enak jika panekuknya diberi strawberry. Ah, dan jangan pakai piring itu. Kurang aesthetic." Usul Jonah setiap pagi di meja makan mereka. Ocehan soal tatanan piring, makanan sampai sendok dan garpu saja dibicarakan.
"Buku ini lebih bagus dari review-nya di internet. Aku harus baca seri keduanya!" Begitupun Ocha yang kadang berceloteh soal bukunya selepas bekerja di perpustakaan.
Dingin sering menyapa saat keduanya sibuk dengan dunianya sendiri. Karena, tidak bohong, dunia Ocha dan Jonah sungguh berbeda. Mereka tak punya dunia yang dibagi jadi dua untuk ditinggali bersama karena mereka tak berbagi perasaan yang sama. Namun keduanya tidak meributkan hal itu. Selama tidak ada yang terganggu, tidak jadi soal bagi keduanya. Juga, mereka punya perjanjian tersendiri yang dibuat setelah menikah.
"Ocha," sapa Jonah saat Ocha melihat tayangan kesukaannya di televisi, "sepertinya kau sudah menemukannya."
Iris biru sang gadis melirik, lemparkan tanya lewat tatapan sementara mulutnya diam. Jonah lanjut menjelaskan, "aku sering melihatmu berbicara dengan seorang lelaki saat jam makan siang dan orang itu selalu sama."
Dahi Ocha berkerut, "tunggu, kau memata-mataiku?"
"Tidak, enak saja." Dan sang lelaki langsung mengeluarkan raut muka andalannya saat menyangkal sesuatu. "Aku sering lewat di depan kafe dekat perpustakaanmu. Wajar kalau aku tahu. Lagipula kau juga sering makan di area outdoor kan."
Sang hawa mengangguk pelan sebelum kembali menonton televisi, diam-diam membenarkan perkataan Jonah jika akhir-akhir ini dia memang dekat dengan seorang lelaki. Rei Sakuma namanya dan—Ocha masih ragu dengan ini—membuat Ocha jatuh hati. Lelaki di sebelahnya menyilang kan kaki, ikut menonton televisi walau tidak minat-minat amat dengan acaranya. Tidak setitik pun rasa cemburu terlihat di matanya.
"Jonah juga sedang dekat dengan perempuan kan?" Balas Ocha setelah beberapa saat berdiam. Sudut matanya menangkap Jonah yang melirik ke arah yang lain. Sudut bibirnya sedikit tertarik, kalau sudah mulai cari alasan untuk berbohong, artinya yang Ocha katakan memang benar. "Staff perempuan yang sering ada di studio foto, Alice."
"Cuma dekat." Jawab Jonah setelah berdehem singkat. Walau perkataan Ocha juga tidak salah. Model ternama, Jonah Clemence, sedang dekat dengan staff perempuannya sendiri. Tapi bukan Jonah namanya kalau terus terang mengatakan perasaannya.
"Kalau begitu, sudah sesuai perjanjian kita dulu."
Jika cinta tidak tumbuh di antara mereka, mereka bisa berpisah setelah menemukan orang yang dicintai. Begitu isi perjanjiannya. Jonah mengangguk, situasi ini memang sudah sesuai dengan perjanjian mereka tiga tahun dulu. Sekejap Ocha menanyakan soal persetujuan di pihak keluarga Clemence dan Jonah bilang jika dia akan mengurusnya. Helaan napas keluar dari keduanya, sesaat memikirkan tentang apa yang sudah mereka lalui tiga tahun ini dalam diam.
"Jangan banyak begadang, Ocha. Perhatikan kantung matamu."
"Perawatan wajahmu banyak sekali, Jonah. Aku saja kalah."
"Heh, pakai dulu sunscreennya sebelum keluar!"
Walau tidak saling cinta, keduanya beruntung bisa peduli satu sama lain tiga tahun ini. Saling menjaga walau cekcok tetap ada, saling ada saat satu sama lain membutuhkan. Kalau dibilang tiga tahun mereka sia-sia, rasanya tidak juga. Jonah juga banyak belajar dari Ocha walau dia tak mau mengakuinya secara gamblang, begitu pula Ocha.
Tapi tidak selamanya mereka hidup tanpa rasa cinta. Jadi sekarang, mereka harus saling melepaskan.
Published 10th of January, 2022
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top