xxi - They Celebrate Halloween

Participant and Pairing:

Healerellik → LuciRhe

Cuzhae → SamaRain

Kurogane_Luna → LeRyn

MoonElegy→ SenAi

rey_asha → TauMeli

RainAlexi123 → JonahOcha

.

.

.

LuciRhe

By: Healerellik

Angka 31 di pojokan kalender dilingkari warna merah. Menjadi alasan Rhea bersenandung kecil seraya menenteng sebuah mangkuk besar. Dia menuju dapur, membuka kantung belanjaan, lantas mengeluarkan beberapa pack permen beraneka bentuk. Senandungnya kian terdengar kala menggunting bungkusan itu, lalu menuangkan isinya ke dalam mangkuk. Terus begitu hingga semua bungkusan dia buka. Terakhir, dia mencampurkan isi mangkuk besar itu.

. "Dengan begini, selesai!" ucap Rhea, lantas kembali ke ruang kerjanya. Abai terhadap eksistensi Lucien yang tengah bersantai ditemani secangkir teh di atas meja.

Tidak protes, Lucien justru menikmatinya. Atensinya kini tertuju sepenuhnya pada Rhea yang tengah berkutat dengan pekerjaannya. Dilihatnya wanita itu yang sibuk mengetik, sesekali terdiam beberapa saat, mengetik kembali, terdiam lagi, menjadi pola pengulangan dalam dua jam terakhir.

Maka Lucien pun bangkit. Dia melangkah ke belakang Rhea, ditepuknya pelan bahu wanita itu, lalu diciumi puncak kepalanya. Bisikkan beberapa kata yang membuat Rhea mengerjap.

"Ah, benar. Aku harus menyiapkan makan malam."

Rhea meregangkan badannya yang pegal, buat Lucien terkekeh kecil karenanya. Diam-diam Rhea mengulum senyum, sebelum kembali ke dapur yang belum lama dia tinggalkan.

"Hari ini aku akan memasak makanan kesukaanmu, Lucien~" celetuk Rhea yang memasang apron. Lucien yang turut ke dapur langsung mengambil tempat di kursi yang ada pada meja makan. Memerhatikan dari belakang bagaimana istrinya itu dengan cekatan mengolah bahan.

'Ah, kau selalu saja cantik, Little butterfly.'

Rhea menoleh, seolah mampu mendengarkan pikirannya, lantas mendengkus kecil. Alhasil Lucien pun tertawa. Dia tetap menggumamkan pujian hingga beberapa saat ke depan. Ingin rasanya dia turut membantu wanita itu memasak, tapi dia tahu kalau Rhea akan bersikeras untuk memasak sendiri jika yang dibuat adalah kesukaan Lucien.

Ting tong!

Suara bel terdengar. Membuat keduanya menoleh. Maka Rhea menghentikan kegiatannya dan mematikan kompor. Sekilas dia melirik ke arah Lucien, tersenyum, kemudian mengambil mangkuk besar berisikan permen. Lucien menyusul setelah itu.

Sesuai dugaan keduanya, yang datang adalah para bocah yang sedang berkeliling mengumpulkan permen pada hari itu. Rhea dengan senang hati menyodorkan mangkuk, agar mereka bisa memilih sendiri. Salah satu anak yang sudah mengambil permen menengok ke belakang Rhea, dapati Lucien yang tersenyum padanya.

"Eh, ada Mister Lucien?" tanyanya dengan wajah polos yang langsung berubah jutek karena kena sikut temannya yang mengambil permen.

Rhea mengerjap beberapa kali, lantas tertawa kecil. "Iya, kebetulan hari ini dia pulang," jawabnya. Mereka ber-"oh" ria, lantas meninggalkan pekarangan rumah itu setelah ucapkan terima kasih.

"Ah, hari ini anginnya lumayan kencang. Dingin ..." celetukan Rhea terhenti begitu Lucien memeluknya dari belakang. Sunggingkan senyum tipis, Rhea pun menutup pintu.

Di dalam, Rhea dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya yang sudah setengah jalan. Ditatanya dua mangkuk gyuudon yang masing mengepulkan asap, berikut seteko teh earl grey dan cangkirnya di atas nampan, lalu dibawa keluar dapur. Lucien hanya menggelengkan kepala, memaklumi mengapa mereka hari ini tidak makan di ruang makan.

Pintu kayu terbuka, tampilkan kamar mereka dengan sebuah meja untuk dua orang tak jauh dari ranjang. Dengan lihai Rhea menata bawaannya. Lucien pun mengambil tempat di depan wanita itu, tapi tidak menghalangi tatapan Rhea yang tertuju pada sebuah pigura hitam di atas nakas.

"Lucien ..." Rhea menarik napas sejenak, lalu mengeluarkannya dengan berat, "ternyata benar kau ada di sini ya? Kukira aku berhalusinasi, tapi mendengar ucapan Pete tadi ..."

"Aku sudah berjanji akan selalu bersamamu selamanya, Little butterfly."

Lucien sudah ada di belakang Rhea, merengkuh wanita itu semampunya, tapi sepertinya itu tidak bisa menghentikan tubuh Rhea yang kini bergetar. Sebelum isakan tangis memenuhi kamar mereka. Hingga Rhea sesak karenanya.

Asap dari isi meja masih mengepul. Seolah menjadi dupa di depan foto berpigura hitam yang ada sejak Lucien dinyatakan hilang dalam ekspedisi penelitiannya setengah tahun lalu.

__________________

SamaRain

By: Cuzhae

Jalan setapak dengan cahaya remang dari lampu jalan menjadi teman jalan Rain pergi ke apartemen Samatoki. Tangannya tidak kosong begitu saja. Di tangan kanannya ia membawa makanan hangat yang akan disantap setibanya ia di sana.

Sudah lama ia tidak bertandang ke rumah kekasihnya. "Pria bodoh itu selalu saja membahayakan dirinya," gumam Rain kemudian terkekeh mengingat selalu saja ada selipan pertengkaran tidak berarti menghiasi hubungan mereka. Namun bukan maksud menjadikan itu ladang emosi.

Menekan bel untuk kedua kalinya Rain masih menunggu di depan pintu apartemen Samatoki. Jika ketiga kalinya ia menekan tak kunjung ada jawaban juga, Rain akan masuk sendiri, dia hafal kata sandi dari apartemen kekasihnya itu.

'Apa tidak ada orang? Sedang pergi semua kah?' batin sang perempuan.

Baru saja tangan menyentuh kotak kata sandi pintu kemudian terbuka oleh perempuan muda, adik Samatoki. "Eh? Nee-san rupanya. Aku pikir siapa yang bertamu malam-malam," ujar Nemu seraya tersenyum simpul. "Tumben sekali Nee-san datang kemari."

"Sengaja. Kau ingat sekarang adalah malam Halloween, 'kan? Bukannya lebih menyenangkan kalau dirayakan bersama?"

Sebenarnya Rain pernah sekali mengajak Samatoki untuk melakukan trick or treat dengan memakai kostum unik selayaknya banyak orang. Akan tetapi pria ber-ahoge itu langsung menolaknya dengan alasan kalau itu sama sekali tidak keren untuknya.

"A-ah ... benar."

Namun ada satu hal yang terlupakan oleh gadis bersurai pirang itu. Sebuah kenyataan pahit yang belum bisa ia terima sampai saat ini. Menolak kenyataan bahwa sosok istimewanya sudah pergi.

"Kakakmu belum pulang juga. Padahal dia sudah janji akan menghias labu bersama," keluh Rain.

Nemu sedih melihat perempuan yang usianya beberapa tahun di atasnya mengatakan hal yang tidak mungkin bisa terjadi.

"Rain-nee, tolong jangan berkata seperti itu lagi."

"Kenapa? Apa Samatoki melakukan hal buruk padamu, Nemu?"

Kemana sebenarnya ingatan kuat Rain yang selalu dielukan itu? Kenapa ia melupakan hal yang membekas seperti ini?

"Bukan begitu! Sadarlah bahwa Nii-san sudah tiada dan relakan dia pergi."

__________________

LeRyn

By: Kurogane_Luna

"Oi, Ryn, berapa lama lagi kau akan bersiap-siap?" Levi mendecak kala melihat jam tangan melingkar dengan manis di pergelangan tangannya. Jarum pendek hampir mencapai pukul 7, pesta di kantor sang lelaki dimulai pukul setengah 7 nanti. Tidak pernah ada kata terlambat di kamus milik seorang Levi Ackerman, itulah yang menjadi dasar ketukan kaki pria itu tak henti dari tadi.

"Tunggu sebentar! Dasar tidak sabaran." Ryn melihat kembali diri di cermin besar yang ada di kamar tidurnya. Tangannya beberapa kali merapikan rambut kepangnya hingga dikiranya sudah pantas untuk dirinya tampil di depan rekan-rekan sang suami.

Levi dapat mendengar langkah kaki yang menuruni tangga lantai 2 rumah mereka dengan tergesa-gesa. Dapat dilihat dari mata hitam milik Levi sosok Ryn yang berlari sambil menggangkat sedikit rok kostum penyihirnya.

Jika Levi bisa, mungkin dia akan membatalkan niatnya pergi dan duduk di rumah sambil menyeruput teh dari cangkir koleksinya. Tapi istrinya sudah bersiap seperti itu, dan dia juga tidak ingin mendengar Hanji bercakap panjang lebar nantinya, ada baiknya dia segera berangkat.

"Tunggu dulu, bocah."

Langkah sang perempuan terhenti kala Levi menahan pita yang melingkar di pinggangnya. "Kau mau kemana dengan pita yang tidak rapi itu?" Dengan cekatan laki-laki itu mengikat kembali pita berwarna hitam mirip dengan warna matanya sendiri. Walau mereka adalah pasangan suami dan istri, tapi tetap saja perempuan itu merasakan detak jantungnya berdegup kencang hanya karena Levi begitu dekat dengannya.

***

"Uwah Levi, ini kan pesta Halloween, kenapa kau malah pakai seragam?"

"Mata empat, kau berisik. Kau dalami saja peran badut kostummu itu."

"Duh, ucapanmu selalu menusuk hati ya, Levi?"

Levi tidak menjawab, matanya senantiasa melirik Ryn yang sedang berbincang dengan anak-anak buahnya sambil menyantap hidangan yang disajikan. Lamunannya dipecahkan Hanji yang menyikut sang lelaki sambil tertawa-tawa, "Ck, ck, ck, ck, Kapten Levi ternyata suka menatapi istrinya ya."

Sang pria menatap masam Hanji yang juga menatapnya dengan senyum lebar. "Tenang, aku tahu kok, kalau kau hanya ingin memastikan Ryn menikmati pesta Halloween-nya." Levi melipat tangan di depan dada, hanya sebuah "Hmph." yang menjadi jawabannya

__________________

SenAi

By:Dan

Radio mengalun dalam mobil, tak berima, hanya ocehan seorang penyiar yang memberitakan kemacetan parah yang terjadi akibat longsor yang menutupi sebagian besar jalan malam ini.

Ainawa bersandar menghadap jendela dalam mobil, sesekali melonggarkan sabuk pengamannya yang terasa tak nyaman karena sudah lebih dari satu jam diam dalam posisi yang sama.

Sementara itu, Senkuu tengah sibuk dengan handphonenya, jemarinya dengan apik bermain di layar ponsel pintar miliknya.

"Sudah menemukan jalan alternatifnya?" Tanya Ainawa yang kini memalingkan wajahnya ke arah Senkuu.

"Ya, kau lihat belokan yang di sana? Kita bisa lewat situ." Ujar Senkuu sambil menunjuk sebuah gang yang hanya berjarak dua meter dari tempat mereka.

Ainawa menatapnya sesaat, terlihat gelap dan sepi.

"Tapi Senkuu-kun..."

"Ainawa, GPSku bilang begitu dan aku yakin sepuluh milyar persen kita akan sampai walau mungkin sedikit terlambat." Timpal Senkuu memotong kalimat Ainawa. Ia melihat keraguan di mata Ainawa tapi ini lebih baik dari pada sorot kekecewaan yang terlihat di sana jika mereka harus terjebak semalaman disini.

Apalagi seharian ini Ainawa terlihat bersemangat dengan pesta Halloween yang akan mereka hadiri malam ini. Kostum yang sudah repot-repot dipersiapkan Ainawa pun sudah tersimpan rapi di kursi belakang walaupun Senkuu masih tak yakin apakah dirinya akan memaikainya atau tidak nanti. Tapi ada hal-hal yang tak bisa ditolak oleh Senkuu apalagi menyangkut wanita di sebelahnya.

Jalan perlahan mulai melonggarkan mobil-mobil yang berhimpit rapat. Merayap sedikit demi sedikit walau jarak yang dibuat hanya hitungan senti. Hingga mobil keluarga Ishigami ini tepat bersebelahan dengan gang yang dituju Senkuu. Dalam gelap Senkuu memacu mobilnya perlahan.

Gang sempit beralas tanah basah dan bebatuan, disekeliling pepohonan rimbun pada sisi-sisi jalan. Kadang Ainawa merasakan seperti ada sorot-sorot mata yang memandang mereka dari pepohonan.

Hingga sebuah cahaya membuat Ainawa bernafas lega, tepat di hadapan mereka terlihat ujung dari gang sempit ini. "Senkuu-kun, itu pasti jalan besarnya." Seru Ainawa, sebuah senyum merekah di sana tapi sesaat berlalu dan perlahan senyum di wajah Ainawa pudar menyisakan kening yang berkerut keheranan.

Tak kalah kaget dari Ainawa, Senkuu pun terlihat keheranan. Ia menginjak remnya tak jauh dari sana, mengambil handphonenya gusar dan terus menerus merefresh GPSnya. Tepat di hadapan mereka terhampar danau luas yang bercahaya terpantul oleh bulan terang.

"Tch, aku tidak percaya teknologi bisa menipuku seperti ini." Cibir Senkuu.

Tiba-tiba suara yang sangat besar mengagetkan mereka. Terlihat kembang api yang meluncur dari balik pohon seberang danau. Ainawa keluar dari mobil lalu disusul oleh Senkuu.

Warna-warni menghiasi langit gelap yang kosong, bunga-bunga api yang indah menyebar seolah menari dalam keheningan malam. Memanjakan mata dengan pesona cantiknya dan tanpa sadar membuat senyum kembali merekah di wajang sang wanita.

Senkuu mengulurkan tangannya pada Ainawa, membawanya duduk di atas kap mobil mereka.

"Maaf ya, halloweennya jadi seperti ini." Ujar Senkuu.

Ainawa menggeleng lembut. "Tak apa-apa. Asal sama kamu.."

Sebuah kembang api amat besar meluncur menutupi kalimat terakhir Ainawa dengan suara besarnya.

"Hah? Aku tidak dengar."

"Ah, bukan apa-apa Senkuu-kun."

Suami-istri ini, menghabiskan malam mereka memandang kembang api, dengan jari yang saling bertaut dan pundak yang menempel erat.

__________________

TauMeli

By: rey_asha

Taufan meletakkan sepiring kue kesukaan Meli di atas meja, sengaja dipanggang demi memenuhi hasrat Meli yang senang camilan. Ekor matanya menangkap sosok sang wanita yang melempar pandangan keluar jendela dengan secangkir teh berada dalam genggaman.

Musim gugur telah menyapa, menggantikan cantiknya bebungaan yang menyembul kala musim semi. Dedaunan kering yang menutupi jalan juga embusan angin yang kian sejuk dibarengi dengan beberapa labu yang terpajang di halaman rumah meneriakkan suasana Halloween.

"Yakin tidak ingin merayakannya di luar?" tanya Taufan sembari mendudukkan diri di samping istrinya.

Meli menggeleng. "Tidak mau. Melelahkan."

Taufan tertawa kecil, paham dengan sifat Meli yang enggan bersosialisasi di luar rumah. Istrinya lebih suka kenyamanan dalam rumah dengan perapian juga teh favoritnya, tempat ia bisa melepaskan senyum ramah untuk menepis titel 'jutek' lantaran sungkan mengulas senyum.

Meli menyesap tehnya dalam diam, sibuk memandangi langit yang perlahan menggelap seiring dengan hilangnya mentari di ufuk barat. Sementara Taufan tak sanggup mengalihkan netra biru safirnya dari wanita yang berhasil menjerat atensi dan dunianya. Ia meraih helaian jelaga sang wanita, mengumpulkannya di satu kepalan tangan.

"Apa yang kaulakukan?" Meli bertanya, menoleh sedikit menghadap Taufan.

Taufan tersenyum tipis. "Menguncir rambutmu."

Meli berdehem pelan, tidak berkomentar ataupun menyingkirkan tangan sang pria dari rambutnya. Diam-diam ia juga menikmati perlakuan penuh afeksi dari Taufan mengingat dirinya tak terlalu nyaman mengumbar kemesraan—meski tidak keberatan jika tersembunyi dari pandangan publik.

"Apa yang kau lakukan?" belum sempat Taufan menyahut, terdengar ponsel sang pria berdering di atas meja. "Ponselmu berbunyi."

Abai dengan kemungkinan bahwa manajernya yang menelepon, Taufan mengeratkan pelukan pada tubuh sang wanita. Wajahnya dibenamkan di lekuk leher Meli, menghirup dalam-dalam aroma khas istrinya. Matanya terpejam untuk menikmati kehangatan yang tersalurkan melalui dekapan erat.

"Biarkan saja," sahut Taufan pelan. "Siapapun yang menghubungiku pasti berniat untuk mengajakku ikut pesta Halloween."

"Kalau begitu kenapa tidak ikut?" Meli balas memeluk sang suami, merebahkan kepala di sisi leher prianya. "Aku tidak apa-apa ditinggal di rumah."

"Itu masalahnya," gumaman Taufan tertahan kala bibirnya menjejaki bahu Meli. "Aku tidak ingin meninggalkanmu di rumah. Hari libur seperti ini lebih baik dihabiskan dengan orang terkasih, kan?"

Samar tapi pasti, sudut bibir Meli tertarik saat mendengar pernyataan Taufan. Sebelah tangannya mengusap punggung sang pria, tahu bahwa Taufan sedang kelelahan. Tidak apa-apa, untuk malam ini Meli bersedia menjadi tempat Taufan beristirahat setelah berulang kali sang pria yang menunjukkan afeksinya.

Taufan mendesah nyaman. Inilah yang ia inginkan. Ketenangan di luar dunia entertainment, berada dalam pelukan sang istri juga melihat senyum Meli. Harinya sudah sempurna.

__________________

JonahOcha

By: RainAlexi123

"Ocha."

"...."

Melihat istrinya tidak memberikan respons membuat Jonah menghela napas singkat.

Pesta Halloween yang dibatalkan.

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari batalnya pesta yang ditunggu-tunggu selama sebulan penuh. Namun nyatanya itulah yang terjadi sekarang, pesta Halloween yang akan diadakan di dekat rumah sepasang suami istri Clemence ini, satu minggu yang lalu mengumumkan bahwa acara mereka tidak bisa dilaksanakan karena kecelakaan kerja. Mendengar berita itu cukup membuat perempuan berambut hitam ini terpukul mengingat dirinya sangat antusias untuk mengikuti acara kostum yang terjadi di ujung bulan Oktober itu.

"Kau bahkan tidak memakan permen yang sudah kusiapkan," komentar Jonah duduk di sofa sebelah Ocha.

"Nanti kumakan," jawab Ocha singkat, tak mengangkat wajahnya dari bantal sofa yang dia peluk.

Sang istri bahkan tidak memakai kostum yang sudah dia siapkan jauh hari. Jonah sendiri mencoba mengalihkan perhatian Ocha sejak seminggu yang lalu agar tidak terlalu kecewa dengan batalnya acara yang dia tunggu, namun Jonah sendiri tidak berdaya saat D-day yang dihindari pada akhirnya datang juga.

Melihat Ocha seperti ini membuat dada Jonah terasa sesak, tidak hanya karena dipenuhi oleh perasaan sedih namun juga rasa kecewa. Dia sudah tahu apa yang menyebabkan Ocha seperti ini, namun dirinya tidak bisa menghilangkan penyebab tersebut, dan itulah yang membuatnya merasa kecewa.

"Ocha," Jonah meraih permen cokelat yang ada di atas meja, kemudian membuka bungkusnya.

"Hm?"

Ocha berkedip kaget saat Jonah meraih dagunya dan membuatnya menatap sang laki-laki, dan semakin terkejut saat Jonah menyuapinya permen cokelat. Jonah mendengus geli melihat Ocha yang menatapnya kaget, namun mulutnya dengan cepat memakan permen cokelat yang dia beri.

"Kenapa kau tidak memakai kostummu?"

Mendengar pertanyaan Jonah sukses membuat Ocha mengangkat sebelah alis heran.

"Percuma kalau kupakai kan?"

Ocha seketika membatu saat Jonah mempertemukan kening mereka, dan dua pasang iris berbeda warna pun saling beradu tatap.

"Kata siapa? Aku yakin Luka ingin tahu kostum apa yang kakak iparnya pakai."

Ocha yang masih syok langsung tersadar—membuat rona merah muncul di pipinya—lalu mengalihkan pandangannya dari Jonah.

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti," gumam Ocha.

"Maksudku," ucap Jonah mengecup singkat kening Ocha, "ayo pergi ke rumah Luke, aku yakin di dekat rumahnya juga mengadakan pesta Halloween."

Abaikan sikap sang adik yang jelas-jelas tidak menyukainya, setidaknya untuk sekarang Jonah lebih fokus untuk membuat Ocha bahagia terlebih dahulu.

Published 30th of November, 2021 

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top