xx - She's Cursed
Participant and Pairings:
Asakura_Haruka → SamaRain
cheesecakebox → GavinAsa
Kurogane_Luna → ShawMela
RainAlexi123 → ItoAke
narake_28 → IdiCa
UnwrittenWhitePaper → JonahOcha
.
.
.
SamaRain
By: Asakura_Haruka
Samatoki menatap rembulan melalui jendela kamarnya dan menghela napas. Sudah berapa purnama berlalu sejak terakhir kali dia menjadi manusia?
Samatoki tidak ingat. Selama ratusan tahun dia hidup, saat bulan purnama, ia akan berubah menjadi serigala putih. Rumor mengatakan bahwa kutukan Samatoki akan hilang jika ia menemukan bunga peony emas.
"Mana ada peony berwarna emas, bodoh." Umpat Samatoki saat mendengar rumor itu.
Namun siapa sangka, beberapa minggu yang lalu, Samatoki benar-benar menemukan bunga peony emas itu. Membuatnya tanpa pikir panjang memetik bunga tersebut.
Alangkah terkejutnya Samatoki saat bunga yang dia petik perlahah berubah menjadi gadis cantik dengan rambut pirang terurai bebas.
"Ah, aku benar-benar jadi manusia." Ujar gadis itu sambil berputar kecil menelisik tubuhnya.
"Siapa kau?!" Tanya Samatoki kaget. Gadis itu hanya tersenyum polos.
"Aku adalah Rain. Aku adalah Bunga Peony Emas." Jawab gadis bernama Rain itu.
Samatoki tidak habis pikir, bagaimana bunga peony yang kini menjadi manusia, bisa menolongnya?
***
"Samatoki, kenapa manusia harus makan?" Celetuk Rain saat Samatoki menyiapkan makan malam untuknya dan untuk Rain. Entah bagaimana, gadis itu berakhir tinggal di mansion Samatoki di tengah hutan terlarang.
"Diam dan makan saja bagianmu." Samatoki seharian ini lelah dengan berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan Rain kepadanya. Rain selalu saja melontarkan pertanyaan basic tentang manusia. Seperti kenapa manusia bernafas, kenapa manusia harus berjalan menggunakan alas kaki, kenapa manusia harus tidur dan tadi adalah pertanyaan terbaru. Kenapa manusia harus makan.
"Memangnya kau bukan manusia?" Pertanyaan Samatoki lolos begitu saja saat mereka makan. Rain terdiam sejenak sebelum menjawab,
"Aku hanya setangkai bunga. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa berubah menjadi manusia." Jawab Rain polos.
"HEI, KUSO ONNA! PAKAI SENDOK DAN GARPU KALAU KAU MAKAN!" Teriak Samatoki saat melihat Rain menggunakan tangannya untuk memakan spageti buatannya.
Makan malam itupun diisi dengan Samatoki yang mengajari Rain cara menggunakan alat makan.
***
Terlepas dari pernyataan Rain yang mengatakan bahwa dia hanya setangkai bunga dan sama sekali tidak tahu cara hidup sebagai manusia membuat Samatoki semakin bingung.
Jika bunga peony emas adalah satu-satunya cara agar kutukannya menghilang, apa Rain bisa melakukan sesuatu agar kutukannya menghilang?
"Samatoki..." Panggilan Rain membuyarkan pikiran lelaki berambut putih tersebut.
"Dadaku sakit..." Rintih Rain. Mendengar hal itu kontan Samatoki mengalihkan semua atensinya pada Rain.
"Oi, apa yang terjadi?!" Tanya Samatoki dengan nada tinggi. Tapi jelas ada sirat kekhawatiran disana.
"Setiap melihatmu, dadaku berdetak lebih cepat dan keras. Rasanya mukaku juga agak panas dan ingin selalu berada di sampingmu. Aku kenapa?" Tanya Rain bingung sambil memegangi dadanya. Tatapan Samatoki juga hanya membuat wajah Rain bersemu merah hingga gadis itu memilih untuk menunduk.
Mendengar hal itu Samatoki raut mukanya ikut memerah. Andaikan Rain tahu makna dari ucapannya, mungkin dia akan memilih untuk tidak mengucapkannya. Samatoki menarik Rain dalam pelukannya dan berbisik pelan.
"Dasar bodoh."
Rain diam sejenak, merasakan kehangatan pelukan Samatoki, merasakan detak jantung pria itu sama cepatnya dengan miliknya. Menggelitik pikirannya hingga ia berucap,
"Apa kau juga bodoh? Jantungmu berdetak sama seperti punyaku."
__________________
GavinAsa
By: cheesecakebox
Awan putih cerah mendadak berubah menjadi hitam dikelilingi aura merah nan mencekam. Cepat seorang adam meraih tangan dara berambut hitam pekat dan menggenggamnya, menarik tubuh mungil sang wanita ke dalam dekapan. Ia tak peduli dengan rasa sakit yang perlahan menggerogoti, di pikirannya hanya satu—keselamatan wanita itu.
"Gavin ...?"
Wanita itu bersuara pelan, sedikit mengadah kepala walau rasanya tak bisa. Tubuh seakan mati rasa, tetapi ia dapat merasakan tangannya digenggam erat oleh sang lelaki yang dipanggilnya Gavin.
Iris merkuri Gavin memancar kekhawatiran. Walau tubuh benar-benar perih akibat duri-duri kecil yang menusuk, satu hal yang stuck di pikirannya hanya Asakura. Tidak peduli cairan merah serta jejak biru tercipta di badan, tangannya lekat menggenggam sang wanita dan mendekapnya erat.
"Iya, aku disini," ucap sang lelaki. "Tenangkan dirimu, Asakura." Suara lembut Gavin menyusup samar-samar ke indera pendengaran sang hawa juga genggaman yang kini mengepal erat tangan mungilnya. Ia berusaha untuk tenang, tapi tubuhnya tak dapat mengontrol duri-duri tajam yang terus bermunculan di tanah dan menyerang orang-orang tanpa dosa—termasuk Gavin. Lelaki tersebut begitu sigap melindungi wanita yang dicintainya tanpa peduli dirinya akan terluka.
"T-Tolong menjauh dariku," Asakura meminta lirih, berusaha untuk melepas genggamannya dari Gavin saat tahu dirinya tak bisa mengontrol dirinya lagi. Namun, semakin kuat ia memberontak, lelaki itu tak sedikit pun memberi celah untuk mengindahkan perkataannya. Gavin tak melepas genggamannya—menautkan jemarinya dengan milik Asakura—sementara satu tangannya yang bebas berada di pinggang sang wanita. Di saat yang sama pula, angin berhembus kencang tiba-tiba. Merasakan hal tersebut membuat lelaki pemilik iris merkuri tersentak, angin tersebut semakin kuat bergerak dan hampir membentuk badai besar. Ini bukan kendalinya, dia tidak mengendalikan angin ini tapi kenapa ... tubuhnya merasa bahwa ia adalah orang yang telah menggerakkannya?
Decihan tercipta spontan, membuat Gavin menggendong Asakura—meletakkan tangannya ke pinggang sang wanita sementara satu tangan lainnya berada di kedua lipatan kaki Asakura. Ia hendak menepi, tetapi sekali lagi wanita itu memberontak—tak ingin disentuh.
"Gavin, kumohon!" pintanya. Semakin keras Asakura memberontak, semakin kuat Gavin tak ingin melepaskan. Ia tahu, berada di dekat Asakura akan membahayakan nyawanya, tapi bagaimana pun juga ia tak mau kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kali. Tak masalah, tak masalah jika ia mati dengan sang wanita. Ia tak ingin hidup sendiri dan ditinggal oleh seseorang yang telah mengubah hidupnya menjadi lebih berarti.
Tatkala Gavin melangkah, badai mulai mendekati mereka. Orang-orang itu benar-benar membuat Evolver terkutuk.
Tak ada pilihan selain melawan.
Ia bergerak cepat, menjauhi Asakura dari gulungan angin lalu berdiri tegap menghadapi badai di hadapan.
Melihat sang lelaki berdiri tak jauh darinya, menghadang badai yang segera menghantam membuat Asakura berdiri dengan sisa kekuatannya. "Gavin! Apa yang kau lakukan?!" Lengkingan seorang hawa terdengar, tetapi Gavin tak peduli. Dia tidak bisa diam melihat mereka yang tidak bersalah terluka. Ia tidak peduli jika nantinya akan dibenci, Gavin tak memedulikan itu. Sejak dulu, tidak ada yang pernah menyukainya kecuali satu ...
Gavin menoleh pada sang wanita, mengulas senyum tipis. "Maaf," ucapnya. "Aku menyukaimu, Asakura."
Wanita berambut hitam pekat sebahu, memiliki senyum secerah matahari yang begitu menghangatkan diri, selalu bersembunyi di balik rasa sakit, juga begitu menyayangi semua orang yang ada di hidupnya.
"Setelah ini, aku ingin kita minum teh bersama lagi."
__________________
ShawMela
By: Kurogane_Luna
Melanie kadang kagum dengan barang-barang yang Shaw kadang bawa pulang untuk dipelajari tentang masa lalunya, entah itu sebuah guci tua dengan ukuran besar, berbagai macam koin dari era-era terdahulu, dan bahkan perhiasan para perempuan di abad-abad yang telah berlalu.
"Hei, Ann."
Melanie hanya berdehem ria menjawab panggilan Shaw. "Ann˜ lihat kemari, dong." Beberapa kali sudah pipi Melanie di-toel oleh sang lelaki. "Apa Shaw?" Shaw terkekeh sambil mencubit pipi perempuan berambut panjang itu. "Kau tahu soal apel yang beracun di cerita Putri Salju?"
"Kenapa soal itu?"
"Melihat bibirmu aku teringat dengan itu. Apa kau juga mau wajahmu juga seperti apelnya? Aku yakin cocok."
"Shaw!"
***
"Hei, Melanie. Kau mau apel?"
Melihat apel yang merah merona membuat bibir Melanie sedikit cemberut karena mengingat apa yang diperbuat Shaw kemarin. Hanya dengan jawaban anggukkan kepala Melanie mengambil satu potongan apel. 'Pahit,' komentar perempuan itu.
"Melanie? Kau tidak apa-apa?
Suara di sekitar Melanie menjadi buram, pandangannya juga mulai menggelap. Temannya langsung menangkap Melanie sebelum gadis itu terjatuh lantai kantin yang kotor. "Melanie! Kau kenapa!?" Perempuan itu ingin menjawab—namun apa daya setiap detiknya kesadarannya menghilang.
***
"Ann, kau tidak sedang bercanda kan?"
Tangan Shaw mengusap-usap pelan tangan dingin Melanie. Sudah berkali-kali nama Melanie diucapkan pria itu tapi sang wanita tak kunjung membuka mata—bahkan setelah Shaw mencubit hidung Melanie pun dia tetap tidak membuka kelopak mata.
"Padahal kemarin kita hanya bercanda soal apel beracun Putri Salju, kenapa sekarang malah kau benaran dikutuk tidur seperti dia?"
Kini rambut Melanie dibelai kemudian tangan pria itu bergerak mengusap pipi sang kekasih. "Hei, Ann, kalau kau tidak bangun akan aku cium lho? Kau tidak mau marah?" Tentu saja tidak akan ada jawaban dari sang perempuan. Ada kekehan yang lolos dari bibir Shaw. "Kau tidak boleh marah ya, Ann."
Satu kecupan, dua, tiga, dan empat telah mendarat di bibir perempuan. "Oh, ternyata memang mau dicium baru bisa bangun ya, Ann?" Melanie yang pelan pelan membuka matanya, mulutnya masih terasa pahit akibat apel 'beracun' yang dimakannya dan kini dia malah dihadapi dengan seringai nakal Shaw.
"Kalau kau mau dicium, tinggal bilang saja, jangan jadi putri tidur, Ann. Tadi jantungku mau copot, lho."
"SHAW!"
__________________
ItoAke
By: RainAlexi123
Akemi dan Itona adalah dua anak dari sekian banyak anak-anak yang ada di desa mereka. Desa kecil yang dikelilingi oleh pepohonan lebat, yang hanya bisa dilewati saat matahari sedang tinggi. Saat malam datang, mayoritas warga desa akan masuk ke rumah mereka. Anak-anak yang masih ingin bermain bahkan saat malam datang, tidak tahu kenapa orang tua melarang mereka untuk pergi keluar. Imajinasi mereka mulai mengarah pada satu kesimpulan: ada monster saat malam datang.
Saat itulah mulai beredar mitos untuk tidak keluar saat malam hari.
"Itona, di sini rupanya kau."
Mendengar namanya dipanggil oleh suara yang familier, laki-laki berambut perak itu menoleh—melihat perempuan berambut cokelat sedang menatapnya penuh senyum.
"Akemi."
"Apa yang kau lakukan sendirian di tempat sepi seperti ini?" tanya Akemi melihat sekitarnya, tampak semak-semak lebat mengelilingi mereka.
"Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?" balas Itona balik bertanya, membuat lawan bicaranya itu meletakkan kedua tangannya di pinggang.
"Mencarimu tentunya, hari sudah semakin gelap, orang tuamu mulai khawatir."
"Aku akan kembali nanti, kau duluan saja," sahut Itona masih berjongkok dan perhatiannya kembali ke semak-semak yang ada di depannya.
Akemi terdiam, kemudian wajahnya berubah menjadi tidak nyaman.
"Apa maksudmu dengan nanti? Kita harus kembali sekarang," ucap Akemi menarik kerah baju Itona, mencoba menarik sang laki-laki untuk berdiri.
"Sst ...!"
Begitu Itona meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya, Akemi spontan berjongkok mendekati sang laki-laki. Kedua tangannya kini meremas baju Itona.
"A-ada apa Itona?"
"Apa kau dengar itu?"
"Eh?"
Akemi mengikuti arah pandang Itona. Suasana menjadi hening cukup lama, sampai—
SRRK!
"AAH!!"
—seekor kelinci keluar dari semak-semak tersebut, namun Akemi terkejut hingga terjungkir ke belakang, menarik Itona yang ikut terjungkir.
"Rupanya hanya kelinci," komentar Itona mendengus.
Akemi yang baru sadar, langsung mengerutkan alis tak senang.
"Kukira apa ...," gumam Akemi.
Namun dia berkedip beberapa kali melihat Itona yang berdiri, dan saat tangan Itona terulur padanya, Akemi kembali tersenyum lalu memegang tangan Itona.
"Ayo kembali."
"Mhm."
Kedua anak-anak itu mulai berjalan menuju desa mereka, dengan Akemi yang berada di depan. Saat yakin perhatian Akemi sudah berpindah pada hal lain, Itona melihat ke belakang, menatap kelinci tadi.
SLASH!
Cepat dan sunyi, kelinci tadi terbunuh begitu saja. Lalu di belakang kepala Itona, muncul sepasang tentakel berwarna perak yang berasal dari rambut Itona. Iris kuning Itona menunjukkan kilat berbahaya, melihat kelinci tadi menguap seperti air, namun dengan asap berwarna hitam. Setelah itu tentakelnya kembali menjadi rambut perak Itona, dan dirinya menyusul Akemi yang berada di depannya.
Tapi apakah itu memang sekedar mitos? Atau tebakan anak-anak itu benar?
__________________
IdiCa
By: narake_28
"AHAHAHA!"
"Ecca-ssi!"
Keadaan semakin memburuk. Perlahan-lahan kulit gadis itu berubah semakin pucat, matanya perlahan menghitam dengan suara tawa yang tiada hentinya. Dua orang yang berada di hadapannya mematung melihat sosok itu terus meraung seakan ingin menjadikan mereka santapan, tetapi di sisi lain mereka dapat mendengar jeritan minta tolong.
"Nee-san!"
Suara gelas-gelas kaca yang pecah turut meramaikan suasana disusul meja, kursi dan barang lainnya jatuh tak terkendali. Gadis itu—Ecca—semakin membahayakan nyawa dua orang yang berada bersamanya dan turut membahayakan nyawanya sendiri. Semua kekacauan ini dimulai karena munculnya ide gila tentang percobaan di malam Halloween.
.
Satu kali ledakan kembali terdengar, tetapi rasanya bukan hal asing apabila bersumber dari tempat Ecca biasa bereksperimen. Bukan hal baru lagi bahwa percobaan-percobaan yang Ecca buat sering kali menimbulkan sedikit kekacauan. Seperti di malam Halloween tahun ini, Ecca kembali bekerja sepenuh hati memenuhi hasratnya untuk menyempurnakan ciptaannya kali ini. Dan untuk kesekian kalinya ia menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan.
"Kali ini pasti berhasil," ujar Ecca dengan wajah penuh antusias. Matanya berbinar menatap gelas kaca berisi cairan hasil penelitiannya selama beberapa bulan belakangan ini. Dan malam ini adalah malam penentuan dari percobaan ini.
Malam Halloween dipercaya memiliki sebuah kekuatan magis yang dapat memberikan energi pada beberapa hal. Termasuk pada percobaan Ecca kali ini—menurutnya. Tidak akan ada yang tahu sebelum ada yang mencobanya, maka Ecca akan menjadi orang pertama yang akan melakukannya.
Sekian banyak tahapan telah dilalui, pun telah banyak kegagalan yang Ecca hadapi. Pada malam ini Ecca akan membuktikan bahwa percobaannya ini akan berhasil.
Setetes darah dicampurkan ke dalam cairan tersebut sebagai bahan pelengkap terakhir sebelum percobaannya itu mencapai tahap akhir. Tidak banyak yang berubah dari cairan tersebut, tetapi Ecca berharap kesempatan terakhirnya ini akan membuahkan hasil.
Tanpa ragu ia menenggak cairan percobaannya itu. Ia yang akan membuktikan sendiri bahwa percobaannya itu akan berhasil.
"... sepertinya aku gagal la—kh!"
Mungkin ia terlalu cepat berbicara, karena sesaat setelahnya Ecca merasakan pusing yang luar biasa di kepalanya serta matanya yang mulai berkunang-kunang sebelum akhirnya ia menghempaskan meja yang ada di hadapannya. Cairan-cairan di meja tersebut bereaksi sehingga menimbulkan sedikit ledakan serta kegaduhan yang sekilas terdengar biasa apabila itu bersumber dari Ecca.
Namun, kali ini berbeda.
Semua berlalu begitu cepat hingga akhirnya Ortho dan Idia menghampiri Ecca yang tengah kesulitan mengendalikan dirinya sendiri. Ecca mengamuk seperti ingin menghancurkan segalanya. Kekacauan dapat menjadi lebih buruk apabila Ecca tidak menahan dirinya sendiri.
"Jangan bilang dia benar-benar melakukan percobaan Kutukan Malam Halloween itu!?"
Kepanikan memuncak ketika Ortho dan Idia menyaksikan Ecca yang semakin termakan oleh kutukan yang terundang akibat percobaan yang Ecca lakukan saat itu. Idia segera mendekati Ecca, mencoba untuk menyadarkan Ecca dari pengaruh kutukan tersebut sementara Ortho mencari hal lain seperti penawar untuk menolong Ecca keluar dari masalah.
"Ecca-ssi! Ecca-ssi!"
.
"I ... dia ...."
"Nee-san sudah sadar!" seruan gembira dari Ortho terdengar bagaikan angin sejuk bagi Idia.
Idia melihat Ecca membuka mata, menampilkan kembali kedua manik indah yang ia rindukan. Suasana haru dan bahagia semakin terasa ketika Ecca kembali menyebut nama Idia beserta Ortho, meskipun suaranya masih terdengar lemah.
"Nee-san sudah pingsan selama dua hari." Ortho menjelaskan keadaan selama Ecca tidak sadar. "Sepertinya efek dari Kutukan Malam Halloween itu hanya akan terlihat ketika malam Halloween saja. Sebab setelah matahari terbit Nee-san langsung pingsan tak sadarkan diri hingga hari ini."
Semua tidak menyangka hal seburuk itu akan menimpa Ecca karena percobaannya pada Malam Halloween, dan tidak ada pula yang sadar bahwa kutukan tersebut belum hilang meskipun Malam Halloween sudah berlalu.
Halloween adalah hari dimana semua kutukan akan bangkit dan memamerkan kekuatannya hingga fajar kembali.
__________________
JonahOcha
Biasanya ketika Jonah pulang kerja maka Ocha akan datang untuk menyambutnya, namun kali ini berbeda. Ocha menatap heran pada Jonah, ketika ditanya Ocha menjawab.
"Jonah, kenapa ada kutukan ditubuhmu?"
Pertanyaan itu cukup untuk membuat Jonah shock.
***
Setelah diperiksa, tidak ada yang mengetahui jenis kutukan apa itu. Tetapi kutukan itu membuat Jonah sangat kesakitan ketika menyentuh Ocha. Ocha sendiri kesal karena tidak tahu jenis kutukan apa itu, padahal dia adalah alumni dari Night raven College, sekolah bergengsi di dunianya.
"Kalau saja aku berasal dari asrama
Pomefi----"
Kata-kata Ocha terhenti, dia langsung mengambil sebuah cermin kecil dan mengucapkan sebuah mantra, cermin itu menjadi besar disertai sebuah wanita terlihat dari sisi lain.
"Hallo Ocha-chan, salah satu adik tersayangku, bagai---"
"Ecca nee-chan, dengarkan aku!"
Belum selesai wanita bernama Ecca itu berbicara Ocha langsung menyelanya. Awalnya Ecca sedikit kaget, namun mendengar seluruh penjelasan Ocha membuatnya paham. Pada akhirnya Ecca setuju untuk memeriksa Jonah.
"Eh.... ini kan kutukan dari dunia ini, kenapa Jonah-san kena? Kutukan ini akan
membuat penderitanya merasakan sakit yang hebat ketika menyentuh orang yang dicintainya, bisa dibilang ini kutukan yang cukup menyiksa" jelas Ecca bingung.
"Kutukan dari Twisted Wonderland? Pantas saja tidak ada yang mengetahuinya" kata Jonah.
"Apakah nee-chan tahu cara menghilangkannya?" Tanya Ocha.
"Tentu saja, sebagai salah satu alumni dari Pomefiore, aku bisa memberikan penawarnya. Walaupun begitu Jonah tetap tidak boleh menyentuh Ocha sampai bulan purnama datang kalau tidak ingin menyiksa diri" kata Ecca memperingatkan.
Jonah yang mendengar itu hanya bisa menghela napas kasar.
***
Sampai bulan purnama tiba Jonah mencoba menyibukkan diri dengan menyelidiki dalang dibalik kutukannya. Terkadang Jonah sangat frustasi karen Ocha menghindarinya walau Jonah tau itu deki kebaikannya. Lama kelamaan itu membuat Jonah tidak tahan dan mencoba menyentuh Ocha diam-diam, sayangnya rencana itu gagal karena Ocha dengan refleks menghindarinya. Ocha bahkan memutuskan untuk pisah kamar demi kebaikan Jonah, tentu saja itu membuat Jonah semakin frustasi.
Puncaknya adalah ketika Jonah diam-diam memasuki kamar Ocha. Awalnya dia hanya ingin melihat Ocha tidur dengan tenang, namun semakin lama semakin membuatnya ingin mencium Ocha. Namun sebelum bisa melakukannya Ocha sadar dari tidurnya dan langsung menghindar.
Hal ini diam-diam membuat Jonah sakit hati.
"Jonah, kau tahu apa yang lakukan berbahaya kan?!" Kata Ocha.
"Aku tahu, tapi aku sangat ingin menyentuhmu!"
Ocha hanya bisa menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan yang dia alami saat ini. Walaupun begitu melihat kondisi Jonah yang berantakan karena frustasi membuat Ocha iba.
'Tidak tidak, ini demi kebaikannya' kata Ocha.
Pada akhirnya Ocha hanya bisa membantu Jonah dengan melilitkan seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Aku tidak bisa melakukan apapun dengan kutukan itu, tapi setidaknya memelukku seperti ini bisa mengurangi rasa frustasimu" kata Ocha.
Jonah seketika langsung memeluk Ocha, walaupun tidak bisa menyentuhnya secara langsung tetapi ini cukup untuk mengurangi rasa frustasi nya.
"Terima kasih, Ocha" kata Jonah.
Ocha sendiri hanya mengangguk, tetapi wajahnya sangat memerah karena malu.
***
Tibalah saat bulan purnama muncul. Blanc mendatangi rumah Jonah dan Ocha untuk memberikan sebuah penawar titipan Ecca pada mereka. Ocha melihat isi ramuan itu berwarna ungu pekat dengan botol berukuran sedang yang cukup estetik.
".... ini ramuan kan? Bukan racun kan?" Tanya Ocha penuh selidik.
"Tentu saja itu penawar, aku tidak mungkin membuat salah satu adik tercintaku menjadi janda. Lagipula aku dibantu oleh Ma--- Vil-san dalam pembuatannya" bantah Ecca dibalik cermin.
"Menjelaskan mengenai tempat ramuannya yang seperti itu" kata Ocha.
Ketika Ocha dan Ecca berbicara, Jonah dengan segera meminum seluruh isi ramuan itu. Hal itu cukup membuat seisi ruangan terkejut. Setelah melakukan itu Jonah langsung menyentuh belakang kepala Ocha dan mencium bibirnya dalam-dalam, membuat Blanc dan Ecca tersenyum penuh arti.
"Ehem... inikah amarah dari suami yang
tidak bisa menyentuh istrinya?" Kata Blanc.
"Pastinya... aku berharap punya kamera sekarang, sayang sekali." kata Ecca.
Setelah mengatakan itu mereka berdua undur diri dan meninggalkan kedua pasangan suami istri itu sendrian bersamaan dengan amarah teredam Ocha yang meminta pertolongan.
Published 23rd of November, 2021
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top