xviii - She's A Ghost
Participant and Pairings:
rorovii_ → SamaRain
RainAlexi123 → GavinAsa
Asakura_Haruka → IchiRora
AisakiRoRa → JoRiel
.
.
.
SamaRain
By: rorovii_
Dingin.
Suhu dingin ruangan yang sepanjang malam pendingin ruangan menyala itu menusuk, cukup membuat Samatoki menggeliat, terbangun karena tidak tahan akan hawa. Terbangun bukan berarti Samatoki sudah sadar, dia masih ingin tidur, memeluk tubuh di sampingnya, menarik tubuh ramping itu hingga punggung telanjang bertemu dengan dadanya. Tangannya segera mencari tubuh itu, bukannya rasa hangat dari tubuh sang Istri, tangannya hanya bertemu dengan kain dingin. Cukup dingin hingga membuat Samatoki segera membuka mata, memastikan adanya wanita berambut pirang panjang yang berserakan.
Tapi nihil, tidak ada, sprei putih itu seolah mengejek Samatoki.
Segera bangun menjadi posisi duduk, tidak ada tanda-tanda sosok Rain di kamar luas dan bergaya itu. Samatoki memanggil Rain, meneriakkan 'Oi, Baka Onna, di mana kau?!' berkali-kali sambil mengelilingi rumah megah mereka. Ponsel Rain juga, tidak bisa dihubungi, bahkan terhubung saja tidak bisa.
Pilihan terakhir, Samatoki menelepon Jyuuto. Biasanya Jyuuto tau jika sesuatu seperti ini terjadi.
"Rain, siapa Rain?" tanya lelaki berkacamata itu, jika saja Jyuuto ada di depan Samatoki, sudah pasti kena tonjokan laki-laki itu.
"Jangan main-main denganku, jawablah cepat, bagaimana caraku mencari Rain?!" Samatoki tidak peduli dia berteriak pagi-pagi dan membangunkan seluruh penduduk kompleks, di mana Rain?! Samatoki ingin berteriak sekali lagi, tapi Jyuuto mendahului nya, "Samatoki, apa selama ini kau menikahi hantu?"
Samatoki terdiam, tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin, bahkan jika seluruh tubuhnya lemas, Samatoki tetap memaksa dirinya untuk bangkit, membuka lemari-lemari baju Rain, kosong. Tidak ada apa-apa. Masih ada album pernikahan dan potret pernikahan, tapi menghilang, kemana, kemana, kemana, kemana?! Kini Samatoki terduduk di lantai, menatap nanar, matanya panas, sepertinya ... dia akan menangis.
Rain, Rain, tidak mungkin, Rain yang dicintainya tidak mungkin seorang hantu.
Rain, Rain, Rain ... "Samatoki?" suara itu sangat dikenal, Samatoki segera berbalik, dia di sana, Rain di sana. Berdiri menenteng dua koper besar, menatap Samatoki dengan dua kelereng safir yang menawan, kedua alis tertekuk, mulutnya terbuka. "Sedang apa kau ... tidak, kau menangis?"
Koper ditinggalkan, wanita berambut pirang itu berjalan dan mendekat, berhenti di hadapan Samatoki, terlihat bingung harus berbuat apa dengan kondisi Samatoki sekarang. Bagaimana cara seseorang menenangkan orang yang sedang menangis? Selama ini, Rain adalah orang yang selalu ditenangkan oleh Samatoki saat menangis, bukan sebaliknya. Rain baru saja ingin menghapus air mata Samatoki, dan tertahan oleh Samatoki yang meraihnya, membawa Rain dalam dekapan, menghirup sampo yang dikenakan. Samar, Rain mendengar bisikan Samatoki, "Kau disini, kau nyata ... dasar, kuso onna."
Ingin rasanya Rain membalas, tapi ada yang lebih penting.
"Apa yang terjadi?" tanya Rain.
Samatoki seperti tersadar, seolah air mata itu hilang, "Jyuuto! Si Bangsat, dia bilang kau hantu!"
Hah? "Lalu kau percaya?" tanya Rain, tidak bisa menyembunyikan senyum mengejek, penampilan Samatoki menandakan dirinya baru bangun tidur, suami Rain itu pasti ngelantur. Rain melanjutkan, tidak bisa menyembunyikan nada mengejek, "dia pasti kesal di telpon pagi-pagi, dan akhirnya menjahilimu. Lagipula, kenapa kau percaya, sih?"
"Habisnya, baju-baju mu menghilang, album foto dan potret pernikahan juga, lagipula, kau kemana sih, kuso onna?!"
"Aku ke London, tapi aku memang tidak bilang, ada pekerjaan mendadak semalam, baju-bajuku dibawa untuk di model ulang, dan album dan foto pernikahan kita di bawa ke tempat restorasi untuk menjaganya dua hari yang lalu, kan."
"Kenapa kau tidak bilang-bilang?" Tanya Samatoki.
Rain menaikkan bahu, padahal sudah biasa Rain harus pergi ke London tiba-tiba, bukan yang pertama kali. Samatoki terdiam, dan akhirnya menghela nafas, menggerutu dengan suara berbisik yang tidak bisa Rain dengar. Tapi entah kenapa, sosok nya yang menyembunyikan tengkuk leher dengan tangan terasa lucu. Rain tidak tahan untuk tidak tersenyum.
"Jadi, kau mengkhawatirkanku?" tanya Rain, pipinya memerah, tapi Samatoki terlalu sibuk berteriak, "Hah?! Apa maksudmu, baka onna!"
Rain diam, masih menatap Samatoki dengan senyum miring. Samatoki juga diam.
Yang tidak terduga, adalah Samatoki yang kembali memeluk Rain.
"Tentu saja ... aku khawatir, baka onna."
Ah, Sial. Kedua wajah mereka memerah.
Baiklah, hanya sekali ini, Rain tidak akan menyangkal. "Well, I'm here. I'm not a Ghost, I'm ... your wife."
__________________
GavinAsa
By: RainAlexi123
"Trick or Treat!"
Gavin menatap sekelompok anak kecil yang berdiri di depannya, masing-masing dari mereka membawa keranjang kecil. Mereka semua tampak memakai kain putih dengan berbagai macam pernak-pernik, simpel dan mudah dibuat, memang menjadi hantu di kartun itu paling menguntungkan.
"Aku pilih treat ya?" sahut Gavin tersenyum, mengundang sorak hore dari anak-anak.
'Untungnya Asakura memberitahuku untuk membeli permen sebelum menjemputnya,' pikir Gavin mengeluarkan berbagai macam permen dari kantong plastik kemudian memberikannya pada mereka.
"Arigato, Onii-san!" ucap mereka serempak, sebelum akhirnya kembali berlari masuk ke kelas mereka.
"Jadi kau memberikan mereka permen buah."
Mendengar suara yang sangat dia kenali, Gavin menoleh ke sumber suara lalu tersenyum.
"Mereka sudah mendapat banyak permen cokelat, satu atau dua permen buah tidak akan membuat mereka sedih berkepanjangan," sahut Gavin lalu menyadari sesuatu, "kau ingin pulang seperti itu?"
Asakura yang sedang memasang sepatunya, hanya bisa tersenyum canggung lalu menggerakkan kepalanya ke arah pintu kelas tadi, menunjukkan anak-anak yang masih menatapnya dengan diam-diam, walaupun sebenarnya mereka terlihat jelas di mata sepasang suami istri itu.
"Mereka akan memarahiku jika aku melepaskan kostumku sekarang," jelas Asakura memainkan kain putih yang menutupi setengah kepalanya, "aku akan melepasnya saat kita sudah tidak terlihat oleh anak-anak."
Gavin mengulum senyum, kemudian bersandar pada pintu masuk TK tempat Asakura mengajar—menutup jalan keluar, membuat sang perempuan memiringkan kepalanya.
"Gavin?"
"Kata ajaibnya?" tanya Gavin tersenyum jahil.
Asakura diam sejenak, sebelum akhirnya kedua pipinya merona. Dirinya sesekali melirik ke belakangnya, yang ternyata dihadapi oleh anak-anak yang penuh antusias.
Jelas sekali mereka ingin mendengar guru mereka mengatakan 'Trick or Treat'.
"Kau sudah mendapatkannya tadi," gumam Asakura mencoba menggeser Gavin dari pintu masuk.
"Tapi aku kan mau dengar juga darimu," sahut Gavin melebarkan senyumnya—membuat rona merah di pipi Asakura semakin jelas.
Sadar bahwa Gavin tidak akan bergerak dari pintu masuk, Asakura hanya bisa menyerah, sebelum akhirnya mengangkat kedua tangannya—berperan seperti hantu.
"Trick ... or treat."
"Ah, permenku sudah habis," ucap Gavin pura-pura sedih, "kalau begitu, apakah Asakura-sensei akan memberikan trick padaku?"
Mendengar ucapan Gavin, anak-anak yang mengintip jadi makin semangat. Selama mereka melakukan 'Trick or Treat' pada orang yang datang, mereka selalu mendapat permen jadi ini kali pertama mereka mendengar pilihan trick.
"Yang benar saja?"
"Kau bisa periksa, jika tidak percaya," sahut Gavin berdiri tegak lalu mengangkat kedua tangannya yang memang tidak membawa apa-apa selain kantong yang sudah kosong.
Tentu saja semua barangnya sengaja dia tinggalkan di jok motor yang ada di parkiran sekolah.
Asakura sendiri hanya bisa menggerutu malu. Beruntung kain putih yang dia kenakan menutupi setengah wajahnya—sehingga Gavin tidak sepenuhnya melihat wajahnya yang mungkin sudah semerah tomat.
"B-because you didn't have treat, I will trick you," gumam Asakura.
Kemudian dirinya mengangkat kedua tangannya lebih tinggi.
"Boo~"
Hari itu, Gavin Bai, terkena serangan jantung karena istrinya terlalu imut.
__________________
IchiRora
By: Asakura_Haruka
Rora selalu tahu bahwa pekerjaannya berbahaya. Ichiro sendiri juga paham bahwa Rora mencintai pekerjaannya. Namun takdir kejam harus memisahkan pasangan yang baru meresmikan hubungan mereka setahun yang lalu.
Rora gugur dalam tugas.
Ichiro terpukul? Tentu saja. Ia tidak menyangka gadis yang dia sayangi sepenuh hati itu akan dengan cepat meninggalkannya. Lelaki itu sempat depresi selama beberapa minggu, membuat Rora tidak tenang dalam istirahat terakhirnya.
Dan disinilah Rora sekarang. Berdiri di hadapan Ichiro yang tidak bisa melihatnya tentu saja. Sebagai hantu, waktu Rora tidak banyak. Ia harus membuat Ichiro kembali ke sedia kala, atau tidurnya tidak pernah tenang.
"Ichiro..." Rora menuliskan sesuatu pada buku catatan kecil miliknya. Satu-satunya benda yang bisa dia pegang dengan leluasa, dan merobeknya lalu menaruhnya di depan Ichiro.
Ichiro kaget dan membaca tulisan tersebut,
Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu murung seperti itu.
Lebih dari siapapun, Ichiro tahu itu tulisan siapa. Ia beranjak berdiri dengan cepat, menoleh kesana kemari. Seolah ingin memastikan pemilik tulisan tersebut masih ada di ruangan tempat ia berada.
"Rora! Jika kau masih di sini, jawab aku! Rora!" Ichiro berteriak panik. Ia tahu, sang isteri telah tiada. Namun ada setitik keinginan di hati terdalamnya. Mengharapkan bahwa semua yang terjadi adalah mimpi.
Rora menatap Ichiro sendu.
"Ichiro, maafkan aku..." Ujar Rora lirih.
Ia bisa dengan jelas mendengar suara Ichiro. Namun suara lirihnya tak bisa lagi didengar oleh suaminya.
Tidak bisakah Tuhan mengizinkannya untuk bertemu Ichiro sekali lagi? Agar dia bisa berpamitan dengan benar. Tanpa membuat Ichiro depresi dan dia bisa istirahat dengan tenang.
Kesempatan itu perlahan datang.
Setitik sinar kecil pertanda fajar bersinar lemah. Menunggu untuk membesar sedikit-demi sedikit.
"Rora?" Ichiro kini berdiri di hadapan Rora yang menundukkan kepalanya menahan tangisnya. Kepala perempuan itu mendongak perlahan.
"Ichiro... ?"
Detik berikutnya, tubuh Rora sudah berada dalam pelukan Ichiro. Membuat air mata yang ia tahan sedari tadi meluncur tak terkendali.
"Maafkan aku, Ichiro... aku tidak bisa menepati janjiku untuk kembali kepadamu. Maafkan aku, aku membuatmu menderita. Maafkan aku, karena aku kau..." Rora tidak sanggup melanjutkan kata-katanya karena tenggelam dalam isakannya. Merasakan bahwa pelukan Ichiro sedikit bergetar.
"... Terima kasih, sudah menemuiku. Walau ini yang terakhir kalinya. Setidaknya, aku bisa melihatmu lagi." Bisik Ichiro.
Rora tersenyum dalam tangisnya. Ia mengeratkan pelukannya pada Ichiro. Merasakan kehangatan lelaki itu untuk terakhir kalinya.
Sinar fajar yang semakin terang, perlahan menghapus keberadaan Rora. Meninggalkan Ichiro sendirian, yang kini lebih tabah ditinggalkan sang isteri.
__________________
JoRiel
By: AisakiRoRa
Jonghyuk, berdiri di antara pasir yang ada di tepi pantai. Air laut yang sesekali membasahi kedua kaki sang pemuda. Terik matahari menyapa Jonghyuk di pagi kala itu. Burung camar berterbangan di sekitar dermaga untuk menangkap ikan. Serta angin sejuk menyambut pagi hari mereka. Pantai belum terlihat ramai akan orang-orang dan juga nelayan serta kapal yang berlabuh. Itu cukup membuat Jonghyuk tenang, sekaligus cemas.
Seraya menatap pemandangan laut yang menyejukan, Jonghyuk menoleh ke samping. Tidak begitu jauh dari tempat Jonghyuk berpijak, ia memperhatikan gadis cantik berambut putih bermain dengan air yang datang dan pergi menyambutnya. Terlihat cahaya harapan dari kedua mata merah gadis tersebut, karena ia tersenyum ke arah Jonghyuk. Rielle, melambaikan tangan ke arah Jonghyuk.
"Jonghyuk! Air-nya terasa dingin, namun ini menyegarkan. Kamu harus merasakannya juga." Ajak Rielle. Sosok sahabat Jonghyuk sejak kecil, berjalan ke arah sang pemuda. Kemudian, menarik salah satu tangan Jonghyuk dengan semangat. Raut wajah Rielle terlihat sangat jelas ia gembira. Jonghyuk tersenyum kecil melihat tingkah Rielle.
"Aku sudah merasakannya juga, Rielle."
"Tidak masalah. Tetapi, aku ingin kamu merasakannya juga bersamaku. Jangan berdiam diri membatu dan memperhatikan ku saja." Jelas Rielle pada Jonghyuk. Lagu-lagi, senyuman Jonghyuk semakin melebar.
Mereka berjalan mendekati laut--tidak cukup jauh dari mulut pantai, namun cukup membuat air laut menjadi selulut kaki. Rok putih yang dikenakan Rielle mulai terkena air, basah. Namun, ia tidak peduli. Begitu juga dengan Jonghyuk, ia tidak peduli celana hitam yang ia kenakan basah. Ia juga tidak peduli jika orang-orang yang melintas, melihat Jonghyuk seperti orang gila yang berdiri sendiri di tepian laut.
Karena, hanya Jonghyuk yang bisa melihat Rielle. Hanya ia yang bisa melihat betapa bahagianya Rielle saat sang gadis menangkup air di bawahnya, lantas memercikannya kepada Jonghyuk. Membuat kemeja Jonghyuk ikut basah. Kemudian, Rielle tertawa.
"Setelah ini kau sepertinya harus mengganti pakaianmu." Ucap Rielle kepada Jonghyuk. Masih dalam tawa Rielle yang sama. Jonghyuk ingin sekali waktu berhenti sekarang. Ia tidak ingin Rielle meninggalkan Jonghyuk. Karena, Jonghyuk sendiri sudah menganggap Rielle lebih dari sekedar sahabat.
"Rielle." Panggil Jonghyuk kepada sang gadis. Rielle menoleh, melihat pemuda bertubuh tinggi tersebut. Raut wajah Rielle penuh pertanyaan, karena Jonghyuk memasang wajah serius.
"Aku akui, aku tidak sanggup kehilanganmu."
***
Sudah hampir sebulan Rielle tak sadarkan diri. Sebulan lalu ia jatuh koma karena kecelakaan. Terpaksa Rielle harus di opname selama itu. Jonghyuk cemas, khawatir, juga takut. Jarang sekali ia merasakan perasaan seperti itu. Hanya Rielle yang mampu menbuat Jonghyuk memiliki rasa empati dan simpati. Berkat Rielle, hidup Jonghyuk lebih berwarna. Maka dari itu, ia tidak mau melewatkan tiap detiknya untuk jauh dari Rielle. Ia akan melakukan apapun untuk sang gadis.
Seperti sebuah keajaiban, dalam sebulan saat itu. Saat Rielle jatuh koma. Ia melihat sosok tembus pandang yang mirip sekali dengan sahabatnya itu di lorong rumah sakit, Rielle. Ia pikir Rielle sudah sadarkan diri. Namun, itu hanyalah jiwa Rielle yang kehilangan arah. Belum bisa kembali ke dalam raga. Lalu, hanya Jonghyuk yang bisa melihat Rielle.
Malam hari tiba, pukul sepuluh malam telah berlalu. Detak jantung Jonghyuk berdebar-debar saat dokter membawakan kabar jika Rielle telah sadarkan diri. Ia yang baru saja pergi sebentar menuju minimarket dekat rumah sakit, saat menerima telepon dari dokter-- ia tanpa basa basi segera mengambil langkah seribu menuju kamar Rielle.
"Rielle!"
Suara teriakan Jonghyuk terdengar keras saat ia membuka pintu kamar Rielle di rumah sakit. Sang perawat yang sedang sibuk membantu Rielle yang sudah membuka kedua matanya--lantas menoleh, terkejut dengan kehadiran Jonghyuk. "Astaga Tuan! Saya terkejut dengan teriakan Anda. Mohon pelan-pelan saja, teman Anda tidak akan kemana-mana." Jelas perawat tersebut. Jonghyuk telah melangkah mendekati Rielle. Benar saja, sang gadis telah membuka kedua matanya. Deru nafas Rielle terlihat stabil.
"Kalau begitu saya tinggal terlebih dahulu, segera hubungi saya jika Anda butuh bantuan." Lantas, perawat tersebut beranjak pergi. Menyisakan Rielle dan Jonghyuk di kamar inap tersebut.
Setelah perawat tersebut pergi. Jonghyuk memperpendek jarak antara dirinya dengan Rielle. Merentangkan kedua tangan untuk menciptakan sebuah pelukan. Menutup rasa rindu yang telah Jonghyuk tahan selama ini. Sang gadis hanya terdiam. Pandangan Rielle terlihat kosong.
"Rielle, aku merindukanmu."
"..."
"Akhirnya, penantianku tidak sia-sia selama ini."
"M-maaf ... Anda siapa?"
Bagai ditusuk oleh seribu pasak, Jonghyuk diam membatu. Mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Rielle. Suara lirih Rielle terlihat menyakitkan bagi Jonghyuk. Sang pemuda melepaskan pelukannya, menatap Rielle sembari menepuk kedua pundak Rielle. "Kamu--tidak ingat siapa aku?" Tanya Jonghyuk pelan, sedikit datar. Namun tersirat emosi.
"Tidak. Aku tidak ingat siapapun." Balas Rielle datar. Sangat datar tanpa emosi. Setengah sebuah genangan air. Jonghyuk menatap lekat Rielle, begitu sebaliknya.
"Sungguh Rielle, kamu tidak mengenali--"
Rielle tertawa. Sebuah tawa terdengar dalam kamar sang gadis. Jonghyuk lagi-lagi terdiam. Ia mengerutkan kening. Ia kebingungan dengan reaksi Rielle. Terdengar Rielle menghembuskan nafas.
"Bagaimana aku bisa melupakanmu? Tentu saja tidak semudah itu. Aku ingat kata seseorang yang tidak ingin kehilanganku kok."
Published 9th of November, 2021
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top