xi - She's a Historical Killer

Participant and Pairings:

raladelrey → IchiRora

AisakiRoRa → LeRyn

rorovii_ → TobiTha

MoonElegy → JoRiel

.

.

.

IchiRora

By: raladelrey

     Jam tiga pagi, selepas malam yang sisanya segera ditelan angin dingin. Waktu saat seharusnya, siapapun yang tengah memunguti patah hati, istirahat.

     Bukankah begitu? Semakin malam, semakin jujur. Dipikirnya, karena senyap tidak ada lagi yang mendengar.

     Yamada Ichiro terdiam di balkon apartemen pribadinya, terletak di ujung Kota Tokyo. Dengan sebatang rokok terselip diantara dua jari, netra hetero memandang sepi.

     Ada yang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu bukan perokok akut, tidak sama sekali. Ia punya kesehatan diri sendiri serta perempuan yang tinggal bersamanya yang harus selalu dijaga.

     Keadaan yang berat memaksa laki-laki itu mencari mekanisme koping yang tidak sehat, belakangan jiwa raga Ichiro tengah disapa penat. Perempuan yang ia selamatkan beberapa bulan lalu, kini menjadi buronan internasional.

     "Siapa?"

     "Rora Rosellie."

     Pemuda itu menaikan kedua alis, "Tidak kenal."

     Percakapan itu belakangan sering sekali terjadi. Tak terhitung berapa kali ketukan asing mengganggu pintu kediaman Ichiro, atau pencegatan di tengah umum yang menarik banyak perhatian.

     Potret manis Rora tersebar dimana-mana. Manis, Ichiro masih menyimpan pujian itu dalam hati. Tak sempat terucap si perempuan keburu pergi.

     Hari ini, satu Januari. Tepat manusia di bumi merayakan pergantian tahun masehi. Riuh di luar Ichiro tatap dengan mata redam, penyesalan mulai menggerayami badan.

     Gadis itu– Rora. Pernah bercerita bahwa dirinya seorang penjelajah waktu. Pekerjaannya mencari manusia-manusia yang nantinya akan membawa petaka ke dunia, lalu membunuh mereka.

     Ichiro menolak percaya, ia hanya lanjut mengendus mahkota hitam perempuan itu seraya bersyukur takdir mereka bertemu saat itu.

     Kalimat terakhir yang Rora ucap sebelum menghilang ditelan waktu masih menghantui Ichiro sampai saat ini.

     "Tunggu aku kembali, ya."

__________________

LeRyn

By: AisakiRoRa

     Levi pikir, ia hanyalah seorang gadis biasa yang pernah ia temui di sebuah toko bunga. Paras sang gadis yang indah saat menyirami bunga-bunga, membuat Levi terpesona akan hal itu. Levi pun masih tidak menyangka, ia menyapa sang gadis. Dari langkah awal yang hanya bertegur sapa, mengajak sang gadis kencan, dan saling mengikat janji sebagai sepasang kekasih. Kemudian hari demi hari, Levi semakin dekat dengannya. Walaupun begitu, Levi terkadang belum bisa sedekat seperti apa yang ia pikirkan.

     Lalu, pada malam ini. Ketika Levi akan memasuki sebuah bar, untuk bersantai tentu saja. Ekspresi yang Levi dapatkan bukan lain adalah diam membatu. Kedua matanya melebar beserta alis yang naik ke atas. Kedua mulut Levi terbuka melihat pemandangan di depannya. Bar yang seharusnya ramai akan orang-orang menarik kesana-kemari dengan menikmati malam bersama minuman mengandung anggur merah--semua itu berubah drastis. Justru digantikan oleh genangan darah yang berserakan ketika Levi mencium aroma amis darah. Beberapa orang sudah tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa, lampu penerangan yang minim cahaya, dan perabotan disekitarnya berantakan. Dengan pemandangan yang membuat Levi lebih terkejut lagi, terdapat seseorang yang masih berdiri disana dengan mengangkat sebuah belati berlumuran darah yang masih segar. Terdapat orang yang bermandikan darah di bawah seseorang tersebut.

     Seorang gadis, yang Levi kenali tentu saja. Mengenakan pakaian serba hitam tertutup, tudung jubah yang terbuka memperlihatkan sosok tersebut. Lalu, sinar cahaya yang masih tersisa menyoroti sosok tersebut. Ryn.

     "Oh, Levi ya? Selamat malam." Sang gadis, Ryn, menoleh ke arah Levi. Tersenyum manis kepada sang pemuda yang masih mematung di tempat. "... Jadi, rumor itu benar?" Ungkap Levi pelan, namun Ryn masih bisa mendengar ucapan Levi karena suasana bar yang sunyi.

     "Hmm ... benar tidak ya? Kenapa kamu harus mendengarkan gosip yang tidak jelas dibandingkan bertanya kepada orang yang tepat dihadapanmu sekarang?" Ryn terkekeh kecil. Menurunkan belati yang ia bawa, memasukan ke dalam sakunya yang berada di samping pinggang tanpa membersihkan jejak darah terlebih dahulu. Sedangkan Levi, mengigit bibit ketika Ryn berjalan mendekatinya.

     Mereka berdua berhadapan satu sama lain saat Ryn berhenti tepat di depan Levi. Aroma Ryn masih tercium khas baunya, namun sedikit bercampur dengan aroma darah karena melihat sang gadis terkena cipratan darah yang Ryn buat sendiri. Levi terdiam di dalam benaknya, mempertanyakan semua hal yang Ryn perbuat. Padahal, mereka sudah setahun mengenal satu sama lain. Ternyata, setahun tidaklah cukup untuk mengenali gadis yang menjadi kekasihnya itu.

     "Apakah setelah ini, aku menjadi targetmu selanjutnya?" Tanya Levi, dengan wajah dan nada suara yang datar. Ryn justru tersenyum lagi terhadap Levi.

     "Tidak." Jawab Ryn singkat. Kemudian, Ryn mendekati Levi, memeluk sang pemuda tanpa peduli mengotori kemeja putih yang Levi kenakan. "Aku tentu saja tidak akan membunuh seseorang yang sangat berharga bagiku, Levi." Ucap Ryn dibalik pelukan mereka sembari menyeringai kecil. Levi masih terdiam ditempat. Berusaha mencerna semua ini.

     "Lupakan tentang semua yang terjadi malam ini. Kamu hanya ingat Ryn, sang gadis yang berada ditoko bunga dengan senyuman cantiknya saat kamu menyapa nya."

__________________

TobiTha

By: rorovii_

     Tobio menginjakkan kaki di lorong yang gelap dan sepi itu, begitu sepi, hingga rasanya langkah kaki lelaki berseragam militer itu bergema hebat di telinga. Padahal, begitu banyak benda berceceran di tempat minim penerangan itu yang dapat meredam suara tapak kaki seorang lelaki dewasa. Tobio menekan rasa tidak nyaman itu, dan terus masuk, mencari sesuatu, dan dia menemukannya.

     "Tha," lirihan suara terdengar dari sang lelaki, menatap wanita yang duduk membelakanginya, mengerjakan sesuatu.Sejenak, wanita itu diam, berpura-pura tidak mendengar, tapi entah karena apa,

     "... Tobio." Athalia memutuskan berbalik dan menatap orang yang sangat dikenalnya.

     "Tha," panggil Tobio lagi, kali ini mendekat selangkah, dua langkah, "sudah, hentikan, Tha."

     "Tidak bisa, Tobio." Athalia mengangkat wajah yang sempat ditundukkannya, menatap Tobio tajam dengan iris coklat itu.

     Apa yang ada di benak bangsawan itu? Apa tujuan Tobio mencari Athalia?

     Apakah untuk kesenangan hati? Tobio memang sebodoh itu, berangan-angan wanita yang menjadi pujaan hati dapat kembali, kepada Tobio, ke pelukan Tobio yang pernah jadi orang terpenting. Iya, selama ini Tobio membodohi diri, menghayalkan hal mustahil.

     "Tha, kembali Tha, semua bisa diperbaiki!"

     "Jangan bodoh, Tobio!" tegas wanita berambut coklat, di gesturnya sekelilingnya, "apa kau benar-benar berpikir aku bisa kembali setelah melihat ini?!"

     Darah yang bercipratan, bau anyir, juga mayat seorang wanita--yang samar-samar membangkitkan ingatan Tobio, di sebuah aula dansa, wanita yang menjadi partner dansa satu lagu. Terlupakan karena kesan pertama yang tidak berarti. Lalu ingatan itu kembali terbuang saat langkah kaki sang wanita di depan Tobio terdengar, Athalia sedang melangkah pergi.

     "Aku akan melindungimu--aku akan mencari kebenaran untuk orang tuamu!"

     Athalia terhenti, tapi tidak menatapnya.

     "Kebenaranmu itu tidak akan menang melawan bangsawan kotor itu, Tobio."

     .

     .

     .

     Dalam sejarah, ditemukan puluhan bangsawan yang meninggal, terbunuh. Pelakunya. adalah seorang wanita, mantan bangsawan yang keluarganya hancur karena telah memberontak pada kekaisaran.

__________________

JoRiel

By: MoonElegy

     Rielle melepas apronnya, warna putih gading bercampur dengan merah samar yang terciprat sedikit. Menggantungnya di sebelah meja, dingin kaku, seonggok daging berbaring di sana tanpa suara. Kali ini terlalu kurus. Rielle memasukkan potongan terakhirnya ke dalam peti kayu, menaburkan garam ke atasnya dan memastikan garam sudah memenuhi segala sisi petinya. "Sedikit sekali." Gumamnya pada diri sendiri.

     Telinganya menangkap ribut angin yang bertengkar dengan daun jendela. Membawa langkahnya cepat menutup sang onar. Badai datang hari ini, menerpa villa besarnya di bawah kaki bukit jauh dari kota.

     Seorang lady, paras cantik dambaan pujangga, mengapa ada di pedalaman menyedihkan ini? Tidak, sebaiknya jangan bertanya karena jawabannya tak akan semenyenangkan itu. Rielle mendekap kedua tangannya di dada. "Terima kasih untuk makanannya." Pandangnya kosong pada rusa betina bertotol putih di hadapannya.

     Dikelilingi hutan, Rielle harus bisa bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri. Dua bulan lalu Tuhan menuntunnya ke kehampaan ini, obor dan garpu rumput mengejarnya dengan tergesa hingga kaki kudanya membawanya jauh dari pandang.

     Waktu itu takdir sungguh mempermainkannya kejam dan Tuhan memberinya kekuatan lebih untuk bertahan. Tak sengaja, sebuah pertahanan diri, jika ada yang bertanya. Siapa juga yang berpikir untuk menusuk leher pria besar dengan sebilah pisau roti, hingga merah pekat mengotori putih bersih surainya yang tergulun rapi.

     Dan sungguh tangan yang terlanjur kotor akan sulit untuk dibersihkan kembali.

     Kedua kalinya jauh lebih mudah dari yang pertama. Tapi jalannya tak selamanya mulus, pria botak pelaku percobaan pelecehan pada gadis kecil yang diselamatkan Rielle berhasil kabur dengan belati masih menancap di pangkal hidungnya.

     Dan nyatanya, keadilan hanya milik mereka yang berkuasa.

     Lorong gelap dilewatinya, sunyi senyap sangat berbeda dengan keriuhan badai di luar sana. Mata merahnya terpejam guna memfokuskan telinga pada suara-suara yang mengganggunya sedari tadi--suara langkah kaki yang terdengar dari pintu utama. Setenang bayangan, Rielle menghampirinya dengan sebuah belati di balik tubuh rampingnya.

     "Jonghyuk," gumamnya tak percaya.

      Seorang pria berdiri dihadapannya dengan mata obsidian yang indah berkilau dalam gelap, basah kuyup diterpa badai, bulir-bulir air menetes dari surai hitamnya yang berantakan.    

     "Rielle... akhirnya—"

     "Kenapa kamu disini?" Sanggah Rielle, suaranya menggema di keheningan malam.

     Jonghyuk menghela nafasnya pendek. "Untukmu, tentu saja, dan aku tidak percaya dengan segala yang mereka katakan. Rielle, aku percaya padamu."

     Rielle mematung lama, dadanya sakit, nafas susah diatur benar. Kerinduan menerpanya bagai ombak musim semi. Tapi ia tak bisa menyeret pria ini lebih dalam ke masalah yang dibuatnya sendiri.

     Rielle mengeluarkan belatinya dengan cepat dan mendaratkannya ke leher jenjang jonghyuk yang lembab. "Bagaimana jika semuanya benar dan aku bisa melakukannya lagi sekarang."

     Sebuah senyum terulas dibibir Jonghyuk "Lakukanlah"

     Rielle mengeratkan pegangannya, setetes darah mengalir di ujung belatinya. Tapi ia tak bisa. Sepasang mata memandangnya lekat. Mata itu, bukan mata ketakukan dan kengerian. Mata itu, bukan sebuah dendam dan kebencian. Mata itu, mata Yoo Jonghyuk, mata yang sangat hangat dan teduh hingga sekuntum bunga mekar di sana. Sebuah belati jatuh ke lantai bersahut dengan petir yang menggelora dan Rielle jatuh ke dekapan Jonghyuk.

     Ia tak bisa lari lagi. Karena sekuat apapun ia berlari, cinta akan menemukannya kembali.

Published 09th of September, 2021 

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top