viii - they reincarnated

Participant and Pairings:

Wizardcookie  ItoAke

cuzhae  ShawMela

narake_28  SamaRain

RainAlexi123 → GavinAsa

Asakura_Haruka  TauMeli

ItoAke

By: Wizardcookie

      Banyak yang percaya bahwa reinkarnasi benar adanya. Entah terlahir kembali menjadi manusia—menjalani hidup lebih baik, buruk atau sama seperti kehidupan sebelumnya. Terlahir kembali menjadi hewan peliharaan, liar, buas atau pun menjadi tumbuhan apik, tidak disuka dan mungkin liar. Tadinya Akemi tidak mau percaya, tetapi sejak dirinya menginjak tujuh belas tahun, satu persatu bunga tidur muncul. Bukan mimpi indah, melainkan mimpi buruk. Dalam tiga hari, tepat sejak dirinya bertambah usia, bak rekaman memori ia dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang tentara.

      Di dalam mimpinya, ia menjadi tentara muda yang harus berperang demi negara. Dapat dirasakan ledakan dan suara peluru memekakan telinga, ia memegang senapan berat begitu nyata, pula degup jantung seakan dirinya menjadi peran utama. Setelah mendapat mimpi sama berulang kali, meski ingin menepis fakta bahwa itu adalah memorinya di masa lalu, ia ingin percaya bahwa reinkarnasi benar-benar ada.

      Malam tadi ia berniat untuk tidak tidur karena mengerjakan tugas, tetapi rasa kantuk menyerang membuat mata pun refleks terpejam. Posisinya tidak begitu nyaman karena tidur di meja, ditambah mimpi saat dirinya menjadi tentara kembali datang semakin membuat tubuhnya terasa lelah. Akemi mengusap tengkuk, merasa nyeri karena salah posisi tidur ... juga dirinya kembali diingatkan dengan mimpi tersebut.

      Ia bertemu seorang lelaki berambut perak, memberinya pistol tetapi Akemi tak menggunakannya. Di saat itu pula mimpinya berakhir karena dirinya terbangun oleh dering ponsel, hanya saja ... ketika sang lelaki memberi senjata api tersebut, dadanya mendadak sesak. Entah apa yang terjadi antara ia dan lelaki itu, Akemi pelan-pelan penasaran dan segera mencari tahu.

      Larut dalam pikiran membuatnya tak sadar bahwa lampu untuk pejalan kaki belum berganti warna. Kakinya memijak zebra cross dan ia tak sadar saat klakson panjang bergema, tetapi dirinya langsung tersadar ketika seseorang menariknya ke belakang. Lantas enoleh pada pelaku, berniat untuk marah karena memegang tangannya tanpa permisi. Namun, saat melihat orang tersebut membuat jantungnya tak berdetak, begitu pula waktu seakan membeku. Di hadapannya adalah lelaki yang memiliki paras sama di dalam mimpinya ... rambut perak, iris emas, wajahnya begitu kaku dan terkesan dingin. Lelaki yang memberikan pistol di dalam mimpinya ... adalah lelaki yang sama di depannya.

      "Maaf, kupikir kau temanku," ucap sang lelaki sembari membungkuk. Dia tak tahu kenapa tubuhnya bergerak untuk menyelamatkan gadis tak dikenal. Namun, gadis di hadapannya benar-benar mirip dengan seseorang yang ia lihat di mimpi. Seorang gadis yang menjadi tentara muda, memiliki wajah manis dan terkesan maskulin. Bagaimana pun juga, gadis di dalam mimpinya tetaplah perempuan mungil yang harus dilindungi. Ia ingat betul setelah dirinya memberikan pistol pada sang gadis, sebuah ledakan tanpa diduga menyerang dan dirinya memeluk gadis tersebut. Mereka berdua pun mati karena ledakan karena tak dapat menyelamatkan diri.

      Akemi terlihat kikuk, mengibaskan kedua tangan karena merasa tak enak. Untung dia tidak jadi mengomel tadi. "Ah, tidak apa," jawabnya. "Terima kasih juga karena sudah menolongku," Ia melanjutkan. "Kalau kau tidak ada, mungkin aku sudah ditabrak tadi, hehe."

      Horibe Itona—lelaki perak tersebut mengangguk. Ia pun tak tahu mengapa, tubuhnya tiba-tiba bergerak saat melihat gadis itu hendak menyebrang padahal lampunya belum berubah menjadi hijau untuk pejalan kaki. Itona pun tak mempercayai reinkarnasi, malah merasa aneh karena didatangi mimpi yang sama berkali-kali. Kejadian sama, orang yang sama, perasaan yang sama.

      Saat berada di hadapan gadis ini pula, jantungnya berdegup kencang. Sungguh aneh tapi nyata, padahal mereka tak pernah bertemu sebelumnya.

      "Ngomong-ngomong, apa kau mau kesana?" Akemi bertanya, memecah suasana canggung di antara mereka. Ia menunjuk ke arah seberang jalan dan dijawab anggukan oleh Itona. "Kebetulan aku juga mau kesana. Apa kau mau ke supermarket?" Ia bertanya kembali dan sekali lagi lelaki itu mengangguk sebagai respon. Gadis itu menjentikkan jari, kebetulan menemukan orang yang bisa diajak berbelanja bersama. Yah, walau dirinya belum mengenal lelaki di hadapannya tapi lambat laun dia akan tahu bukan?

      Teringat saat lelaki itu menyelamatkannya, mengira Akemi adalah temannya membuat sang gadis tiba-tiba berpikir dan mengurungkan niat untuk mengajak lelaki perak tersebut pergi berbelanja.

      "Anu—kau mungkin sedang pergi dengan temanmu ya."

      Itona menggeleng. "Tidak, aku tidak punya teman."

      "Oh ...." Akemi mengangguk pelan. Jawaban tersebut seakan telak untuknya agar tidak banyak bertanya. Namun bukan Narahashi Akemi jika gadis itu hanya berhenti di satu topik. "Kalau begitu aku akan jadi temanmu." Ia menawarkan diri sembari meletakkan tangan di dada lalu mengulurkannya pada sang lelaki, berniat untuk berjabat tangan.

      "Narahashi Akemi."

      Itona menatap tangan yang mengambang di udara lalu beralih pada gadis di hadapan. Jika memang ini adalah awal dari lembar barunya bersama sang gadis, ia akan melakukannya dan mengerahkan kekuatannya untuk melindungi gadis itu. Itona tak mau kehilangan untuk kedua kali, ia benar-benar akan menjaga gadis bernama Narahashi Akemi apa pun caranya.

      "Horibe Itona," ucapnya memperkenalkan diri seraya menjabat tangan Akemi. Itona tak masalah jika gadis itu tidak mengingat masa lalu, lebih baik karena terlalu buruk untuk diingat. Ia ingin fokus pada dirinya yang sekarang—tidak, mereka yang sekarang.

__________________

ShawMela

By: Cuzhae

      Belakangan ini Shaw selalu memimpikan hal yang sama di tidurmya. Anehnya ia selalu terbangun dalam keadaan menangis.

      Dirinya berspekulasi bahwa itu adalah potongan memori dari masa lalu. Bunga tidur itu tentang seorang wanita bertudung merah yang tertembak melindunginya.

      Terpikir satu cerita yang mirip dengan mimpi Shaw.

      "Serigala dan Si Tudung Merah."

      "Kenapa? Kamu pengin ceritain kisah itu lagi kayak waktu kecil?" ledek Gavin.

      "Hah?! Siapa yang bilang begitu?" kilah Shaw tidak terima. Rasanya dia hanya bergumam saja tadi, tapi masih kedengaran Gavin.

      "Ya.. enggak usah ngegaslah!"

      Dengan raut wajah keki Gavin pergi menjauh dari Shaw. 'Kan niatnya bercanda saja, respons sang adik malah berlebihan.

      Mengabaikan Gavin yang mengambek. Shaw kembali memikirkan apa yang ia alami setiap tidurnya. Dia pergi ke museum, berharap dengan melihat macam-macam artefak bisa menghilangkan resahnya.

      Namun alih dapat ketenangan dia malah jadi tidak fokus dan melamun sampai harus menabrak seorang gadis yang tengah asyik memotret sekeliling.

      "Maaf!" Shaw menangkup kedua tangannya memohon maaf dengan menutup matanya sehingga tidak mengetahui siapa yang ditabraknya.

      Orang di depannya hanya terdiam tidak merespons Shaw, karenanya ia membuka matanya untuk mengetahui reaksi orang itu.

      Seorang gadis terpaku. Tampak mata berkaca-kaca dan menutupi mulutnya dengan satu tangan.

      "Shaw ..."

      'Duh, kok nangis, sih?' panik Shaw. Ingin menenangkan tapi dadanya juga mulai sesak entah karena apa. "Ann?"

      Sebenarnya kenapa ini? Mulut Shaw spontan menyebutkan nama itu.

***

      "Kau tidak takut padaku? Aku serigala, loh. Bisa saja sekarang ini aku langsung menerkammu sekarang juga."

      Biasanya jika ada manusia menemukan Shaw, Si Serigala, mereka akan lari atau tidak berusaha langsung membunuhnya.

      "Benarkah? Sayangnya aku tidak mudah percaya. Kita tidak akan tahu siapakah yang asli dari kita," ucap sang gadis bertudung merah itu.

      "Yang asli?"

      Sang gadis tidak menjawab dan hanya tersenyum manis.

       Hari-hari berikutnya Shaw selalu mengikuti sang gadis sambil bersembunyi di balik bayangan pohon. Mencari tahu alasan mengapa gadis itu tidak menjauh saat pertemuan pertama mereka.

      Namun pada hari yang lainnya sang gadis sadar kalau ia sedang dibuntuti. Dia hanya tersenyum dan berencana mengejutkan sang serigala dengan tiba-tiba mengilang sehingga mau keluar dari bayangan pohon.

      Tebakan Si Tudung Merah benar. Tidak lama Shaw menunjukkan diri, panik mencari sang gadis.

      "Kalau mau kenalan tidak usah sampai harus mengintil juga." Sang gadis tertawa renyah. "Namaku Melanie, panggil aku Ann. Salam kenal, Shaw, Si Serigala."

      Waktu kian berputar dan kedekatan mereka pun kian kuat. Setiap pagi atau sore

      Melanie selalu ke hutan untuk menemui Shaw yang menunggunya di sana.

      Tiba pada suatu malam purnama tragedi tak diinginkan terjadi. Melanie tahu akan hal itu, jadi ia berlari ke hutan dan mencari Shaw.

      Namun terlambat sudah hal yang ditakutkan sang gadis terjadi. Para warga menembak Shaw.

      Sebuah kenyataan teruangkap. Ternyata Shaw hanya memakai tudung yang bertelinga sebagai hiasan. Dia hanyalah manusia yang tersesat di hutan dan tidak tahu arah pulang. Sedangkan Melanie lah sang serigala yang asli. Tudung merah yang selalu ia pakai hanyalah sebagai penghalang untuk menutupi telinga serigala dan taring, cakar, serta ekor yang selalu ia samarkan muncul di malam purnama.

     Dengan amarah yang kentara Melanie langsung menghabisi orang-orang yang menembak Shaw dengan cakar dan taringnya. Dia berlari keluar hutan dan mengembalikan Shaw ke tempat asalnya.

      Walau sesampai di sana Melanie langsung disergap karena membawa Shaw— pemuda yang menghilang di desa— dalam keadaan terluka.

      Sebelum dia dibunuh Melanie hanya ingin mengatakan, "Terima kasih."

***

      Setelah kilasan ingatan yang menyakitkan itu mereda, Shaw langsung memeluk Melanie dengan erat.

      "Aku menemukanmu dan kau ... hidup."

      "Iya, aku di sini. Dan maaf membuatmu harus menunggu lama."

__________________

SamaRain

By: narake_28

      Samatoki mendekap erat tubuh wanitanya yang perlahan mendingin seiring berjalannya waktu. Di ruangan besar yang sedari tadi sudah didominasi dengan bau amis danbesi berkarat secara tidak sengaja Rain terkena salah satu tembakan dari musuh Samatoki.

      Sekali lagi Samatoki gagal menjaga perempuan paling berharga dalam hidupnya. Setelah Nemu, kini Rain.

     "Kau akan baik-baik saja," celetuk Samatoki sambil mulai mengangkat tubuh Rain yang sudah lemas akibat kehilangan banyak darah dari tubuhnya.

      "Turunkan aku," pintanya.

      "Ambulan akan segera datang."

      "Samatoki ...."

      "Jyuto juga sudah dalam perjalanan ke sini."

      "Dengarkan aku laki-laki sialan!" seru Rain sambil menarik kemeja putih—yang kini sudah lusuh akibat pertempuran sebelumnya—dengan sisa tenaganya. "Tenangkan dirimu ," lirihnya.

       "Bagaimana ore-sama bisa tenang melihatmu dalam keadaan seperti ini!?" Samatoki tahu, semuanya tidak akan sempat. Kenapa hidup sangat tidak adil sampai membuat Samatoki harus melihat wanita yang paling ia cintai merenggut nyawa karena dirinya tidak sanggup melindunginya.

      "Untuk terakhir kalinya ... aku ingin mendengarmu ... memanggil namaku," ujar si wanita dengan sisa napas yang ia miliki. Tangannya yang dingin mengusap lembut pipi Samatoki dan bergerak merasakan lembutnya helaian rambut putih laki-laki itu.

      "Jangan bercanda, sialan. Ore-sama dapat meneriakkannya sebanyak yang kau mau."

      Tertawa pelan, dan Rain hanya menjawab, "Jangan membuat janji yang tidak dapat kau tepati, bodoh."

      "Kumohon bertahanlah—"

      Siapa?

      "Samatoki, panggil namaku untuk terakhir kalinya ...."

      Siapa ... namamu?

***

      "Kakak mau tidur sampai kapan!?"

      Suara ketukan pintu yang kerasnya bukan main sudah lebih dari cukup untuk membuat Samatoki—putra sulung keluarga Aohitsugi—terbangun dari mimpinya. Mimpi yang dapat dikatakan sudah beberapa kali menghantuinya belakangan ini.

      "Ini sudah jam delapan pagi! Bukannya Kakak ada kelas pagi di kampus?"

      Sial. Samatoki terlambat bangun.

      Tanpa banyak basa-basi, laki-laki itu segera bangkit dari ranjangnya dan bersiap untuk pergi ke kampus dengan mengendarai motor kesayangannya. Tidak lupa bekal makan siang dari adik tercintanya dibawa.

      Benar saja, Samatoki sampai di kelas ketika dosen sudah mengajar. Sialnya lagi ia tidak diijinkan untuk memasuki kelas pagi itu karena keterlambatannya. Salahnya juga semalam asik bermain Game Online dengan sahabatnya hingga pagi buta, sehingga waktu tidurnya banyak tersita. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kantin untuk menunggu kelas selanjutnya dimulai.

      "Mesin sialan!"

      Baru saja Samatoki sampai di kantin, ia langsung disambut oleh seorang wanita yang sibuk mengomeli vending machine di pojok kantin. Tidak heran memang mesin itu sudah cukup tua dan terkadang macet, sehingga sering kali membuat penggunanya kesal karena uang mereka tertelan dan tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kurang lebih begitulah keadaan yang dihadapi wanita itu.

       Semula Samatoki tidak tertarik dengan wanita itu, tetapi ketika wanita dengan helaian rambut pirang itu mulai memukuli mesin di hadapannya pun Samatoki mulai tergerak. Seolah ada yang berbisik padanya untuk mendekat.

     "Oi, kau hanya akan membuat keadaannya menjadi lebih parah."

      Wanita itu berbalik dan langsung menatap manik merah Samatoki.

    "Siapa kau? Mau menggangguku, ha!?" ketus si wanita.

       Perempatan merah imajiner muncul di kepala putih Samatoki. "Aku berniat membantumu, wanita sialan!" seru Samatoki seraya turut memukul mesin tua di dekatnya. Dan hanya dengan satu pukulan saja minuman yang sebelumnya tersangkut pun jatuh, sesuai dengan harapan si wanita pirang itu.

      Tanpa pikir panjang, si wanita segera mengambil minuman tersebut—takut laki-laki di hadapannya ini hendak mengambil hak miliknya.

      "Kau harus berterima kasih padaku, wanita sialan." seulas seringai penuh kesombongan ditampakkan.

      Seraya memutar bola matanya, wanita itu berucap, "Ya, ya terima kasih, tapi setidaknya kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu, Tuan Tinggi Hati. Kau bisa membaca 'kan?"

      Kartu pengenal yang dikalungkan pun diangkat. "Kalau kau bisa membacanya sebut namaku, Bodoh."

      Nama ...

      Samatoki terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hah, akan kusebut namamu sebanyak yang kau mau."

      Sekarang aku ingat namamu.

      Rain.

__________________

GavinAsa

By: RainAlexi123

      "Sudah berapa kali kubilang, jangan menggunakan GEM-mu dengan berlebihan."

      Ocehan keluar dari mulut Asakura saat melihat kondisi Gavin.

      "Tapi aku tidak mengalami Loss," sahut Gavin tersenyum.

      "Dan lihatlah apa yang terjadi padamu! Penuh luka begini," sahut Asakura selesai dengan perban terakhir di lengan Gavin, sebelum akhirnya berpindah ke pipi sang laki-laki.

      Mana mungkin Gavin bilang dia sengaja gegabah 'beberapa kali' agar bisa melihat Asakura mengobati lukanya, kan?

      "Misi hari ini lumayan sulit," ucap Gavin berbohong.

      "Mendengar seorang Ace Protagonist mengatakan misinya sulit, sepertinya misi kali ini memang berbahaya," ucap Asakura menghela napas pasrah.

      Gavin sendiri hanya tersenyum.

      "Nah, dengan ini selesai perawatanmu, Tuan Gavin Bai," ucap Asakura menempelkan perban ke pipi Gavin, "jangan gegabah lagi lain kali—"

      Namun ucapan Asakura terpotong saat Gavin menarik tangan sang perempuan, kemudian menarik sang perempuan masuk ke dalam pelukannya.

      "G-Gavin??" panggil Asakura gagap—terkejut dengan sikap lawan bicaranya ini.

      Gavin sendiri, hanya menutup kedua matanya—menenggelamkan wajahnya ke rambut Asakura.

***

      "Kehidupan selanjutnya?" Gavin menoleh Asakura yang sedang asyik menyiapkan materi untuk murid-murinya di sekolah besok.

      "Ya, aku menemukan buku cerita yang menarik di perpustakaan sekolah hari ini," jelas Asakura tersenyum, "menceritakan tentang seorang pangeran yang pergi keliling dunia untuk mencari tuan putrinya—karena dia teringat dengan kehidupan masa lalu mereka, yang berjanji satu sama lain."

      "Mereka membuat janji?"

      Asakura menoleh ke arah Gavin, senyum tak luntur dari wajah ayunya.

      "Ya, jika salah satu dari mereka mengingat terlebih dahulu kehidupan mereka yang lalu, maka mereka harus mencari yang belum ingat, kemudian memberikan mereka sebuah pelukan—sihir kecil agar ingatan yang lalu segera diingat dan mereka bisa hidup bahagia!"

***

      Gavin membuka matanya, menjauhkan pelukannya dari Asakura yang wajahnya sudah semerah tomat—tentu sang perempuan tidak menduga kontak fisik dari dirinya.

      "A-ada apa tiba-tiba?" tanya Asakura menyadari Gavin tidak mengatakan apa-apa.

      Senyum terlukis di wajah Gavin, kemudian dirinya hanya tertawa kecil.

       "Tidak ada apa-apa, aku hanya teringat sihir yang dulu diceritakan padaku."

__________________

TauMeli

By: Asakura_Haruka

"Yang Mulia, anda harus segera pergi dari sini!"

"Aku... tidak bisa... aku sudah berjanji untuk menunggunya..." Sang gadis mengigit bibirnya.

Saat itulah letusan bergema diiringi gempa.

"YANG MULIA!" Sang pelayan itu berteriak frustasi memanggil sang gadis. Ia melihat orang-orang di sekitar istana sudah berlari menyelamatkan diri. Tinggal ia dan sang gadis yang kini masih duduk di bangku taman kerajaan. Pemuda itu yakin, tak lama lagi awan panas dari letusan gunung akan menyapu istana mereka dan menjadikannya abu.

"Yang Mulia, saya yakin Raja ingin anda segera menyelamatkan diri. Jadi tolong, kita harus bergegas menyelamatkan diri."

Gadis itu akhirnya menatap pelayannya dan tersenyum.

"Terima kasih, sudah memedulikanku. Kau bisa meninggalkanku di sini."

Sang pelayan mengepalkan tangannya erat, ia berjalan ke arah sang gadis dan memeluknya.

"Mana mungkin saya meninggalkan anda! nyawa saya sudah saya sumpahkan hanya untuk anda!"

KRIIIIINGG!!

      Meli membuka matanya dengan malas karena mendengar suara alarmnya yang memekakkan telinga. Setelah usahanya meraba meja di samping tempat tidurnya, akhirnya ia berhasil mematikan alarm yang mengganggu tidurnya.

     Setelah menggeliat perlahan, Meli berusaha mengingat kembali mimpinya.

     Rasanya akhir-akhir ini aku sering memimpikan hal itu. Batin Meli.

     Namun, Meli tak ambil pusing. Buru-buru dia mandi dan bergegas ke sekolahnya.

     "MEEEELIIIIII!!!!!!" Baru sampai di gerbang sekolah, Taufan sudah berteriak memanggil Meli.

     Membuat sang gadis memutar bola matanya bosan.

     "Taufan, aku bisa mendengarmu. Kau tidak perlu berteriak seperti itu." Omel Meli yang hanya ditanggapi cengiran tak berdosa Taufan.

     Hari ini, Asakura-sensei memberi tugas untuk mempelajari opera pompeii sebagai bahan pentas akhir tahun kelas Meli dan Taufan.

     "Syricuse benar-benar mendedikasikan hidupnya pada Selena ya... walau dia hanya seorang pelayan, dia berada di samping Selena sampai detik terakhirnya."

      Celetukan salah satu teman kelas Meli, mau tak mau membuat Meli penasaran. Selena dan Syricuse... kedua nama itu nampak tak asing bagi Meli.

      Meli mencoba membaca skenario yang dibagikan ketua kelasnya. Ternyata itu berisi kisah cinta tragis seorang puteri kerajaan Pompeii. Sang Putri, bernama Selena ditunangkan dengan Loreius, seorang raja yang adikuasa dan memiliki kerajaan besar di seberang Pompeii. Suatu ketika, Loreius pergi ke luar negeri untuk urusan kerajaan, meninggalkan

     Selena dan pelayan kepercayaannya, Syricuse.

      Selang beberapa hari, terjadi letusan gunung Vessuvius yang membuat Pompeii terkubur hingga berabad-abad kemudian. Sedangkan Selena yang diminta agar menyelamatkan diri, memilih tetap berada di Istananya karena berjanji untuk menunggu Loreius di sana. Syricuse yang ditugaskan untuk menjaganya, memilih tetap bersama Selena. Terkubur dalam abu vulkanik.

      ".... Meli, kau dengar tidak?" Lamunan Meli buyar saat Taufan memanggilnya.

     "Ah, apa?" Tanya Meli.

     "Kau kenapa?"

     "Aku cuma berpikir... kenapa Syricuse mau berada di samping Selena?" Gumam Meli.

    Taufan tertegun sebelum akhirnya tersenyum dan memegang tangan Meli.

     "Mungkin dia sebenarnya menyukai Selena. Tapi ia paham posisinya yang tidak akan bisa menandingi posisi Loreius. Jadi dia memilih tetap berada di samping Selena sampai saat terakhir."

      Meli menatap Taufan yang pandangannya menerawang, seolah mengingat sesuatu hal dari masa lalu. Sekilas, Meli teringat wajah lelaki yang berada dalam mimpinya. Pelayan yang memeluk sang puteri sampai detik kematian mereka.

Published 17th of August, 2021

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top