vii - They Skip Class Together

Participant and Pairings:

rey_asha → SamaRain

RainAlexi123 → TauMeli

Cuzhae → SenAi

Healerellik → LuciRhe

SamaRain

By: rey_asha

      Rain sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Ichiro menghampirinya di kantin. Rain menahan desakan kuat untuk segera melarikan diri ketika kakak kelas itu mendekatinya. Keberadaannya di kantin memang hal yang jarang terjadi—karena Samatoki bertanggung jawab atas bekalnya hampir setiap hari, tapi karena pemuda berambut putih itu tidak terlihat batang hidungnya saat istirahat Rain memutuskan untuk membeli makanan saja. Ia tidak menyangka akan didatangi oleh kakak kelas.

     "Bolos lagi ya?" tuding Rain.

      Ichiro mengangguk sambil menyeringai. "Dia ingin kau mencarinya, mungkin."

      Rain mendesah pasrah. "Kakak kelas menyusahkan."

      Kakinya berganti haluan, melaju ke tempat persembunyian Samatoki saat membolos pelajaran. Urung sudah niatnya untuk makan siang dengan tenang. Kini berganti dengan hasrat membara untuk mengomel pada teman kecilnya.

      Itu dia. Sosok berambut putih yang bersandar pada batang pohon besar di halaman. Dari kejauhan memang tidak terlalu terlihat, tapi Rain yakin pemuda itu tengah memejamkan mata—tidur dengan damai ditemani angin sepoi-sepoi.

      "Samatoki! Senpai!"

      Teriakan Rain mampu memaksa Samatoki membuka mata, membuatnya curiga bahwa sebenarnya pemuda itu tidak benar-benar tertidur. Alisnya mengerut sebal ketika Samatoki memandangnya sembari menyeringai arogan.

      "Baru sehari aku tidak datang ke kelasmu untuk makan siang. Kau sudah merindukanku?"

      "Rindu apanya!" sembur Rain jengkel. "Ichiro memberitahu katanya kau bolos lagi."

      "Lalu, masalahnya apa?" sahutan itu terlontar dengan santai.

      "Mau sampai kapan bolos? Keseringan bolos saat jam pelajaran, kau bisa tinggal kelas tahu," omel Rain.

      Ia tidak habis pikir bagaimana pemuda itu bisa santai menjalani kebiasaannya membolos saat kenaikan kelas menjadi taruhannya. Ditambah lagi dalam beberapa minggu mereka akan memasuki minggu ujian. Ia tidak mengerti apakah Samatoki percaya diri atau arogan.

      Samatoki mendengus geli. Amarah yang berkedok peduli dari Rain selalu berhasil menghiburnya. "Sampai kantukku hilang. Sekarang naik sini. Waktu istirahat hampir habis."

      Rain memandang pohon yang ditumpangi dengan sangsi. "Kenapa bukan kau saja yang turun dan makan di bawah seperti manusia normal. Kau bukan tarzan."

      "Naik atau aku tidak akan membuat bekal untukmu lagi?" ancam Samatoki setengah hati, tahu bahwa ia akan tetap mengurus teman kecilnya meski Rain menolak mengikuti permintaannya. "Mungkin tiket pertunjukkan teater minggu ini juga kuserahkan pada Shaw saja kali ya?"

      "Iya, iya aku naik!" cetus Rain. "Bantu aku naik."

      Rain menggerutu, memaki Samatoki dalam hati ketika pemuda itu terkekeh puas. Licik sekali, mengancam akan memberikan tiket pertunjukkan yang sangat ia tunggu pada temannya. Ia menerima uluran tangan Samatoki dengan berat hati. Rain mendengus saat Samatoki merangkul pinggangnya, memastikan bahwa ia duduk di dahan pohon dengan nyaman.

      Meski sudah berulang kali diculik paksa oleh Samatoki untuk menemaninya bolos lalu kabur ke atas pohon, Rain masih mengagumi pemandangan di sekitarnya. Potret halaman sekolah yang luas dari ketinggian tertentu selalu membawa ketenangan tersendiri dalam dirinya.

       "Mau makan sendiri atau kusuapi?" tanya Samatoki jahil.

      Rain melirik tajam. "Tanganku masih berfungsi normal, terima kasih."

      Rain mendecak ketika Samatoki memberikan kotak bekal sambil tertawa. Mungkin karena terbiasa dengan rasanya, mungkin juga karena telah menjadi rutinitas, Rain mendapati dirinya menggumam puas saat menelan makanan buatan Samatoki.

      "Enak?" Samatoki menyeka sudut bibir Rain dengan ujung blazernya.

      Ia mengangguk. Matanya berbinar sekilas, teringat sesuatu yang penting. "Kau ingin aku mencarimu, makanya tidak memberitahuku kalau kau mau bolos?"

      Dahi Samatoki mengernyit. "Siapa yang bilang?"

      "Ichiro."

      "Jangan memikirkan yang tidak perlu. Habiskan saja makanannya, setelah itu temani aku membolos," sergah Samatoki. Tatapan tajamnya membawa janji untuk memberi balasan yang setimpal pada Ichiro karena membeberkan rahasianya.

      Rain mendelik. "Kenapa aku? Ajak temanmu saja."

      Samatoki menghela napas lalu mengusak rambut Rain, mengabaikan protes yang dilayangkan gadis itu. "Baka onna. Aku ingin ditemani olehmu, bukan biang kerok seperti mereka."

__________________

TauMeli

By: RainAlexi123

      Hari ini cukup panas.

      Ralat, hari ini sangat panas.

      "Musim panas tahun ini kejam sekali."

       Amilia mengipas wajahnya, berharap sedikit angin dapat membuatnya merasa dingin.

      "Benar sekali," sahut Aizura menghela napas panjang.

      "Setidaknya lab kimia Rhea-sensei penuh dengan AC," sahut Ainawa tersenyum, "jadi mari bertahan sedikit lagi."

      Rielle sendiri hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka bertiga. Rora? Bolos, seperti biasa. Amalia menghentikan langkahnya, kini mereka sedang dalam perjalanan pergantian pelajaran, dari matematika di kelas ke kimia di laboratorium.

      "Tapi panas seperti ini lebih enak kalau mandi di kolam renang, kan?"

      Suara baru masuk ke pembicaraan mereka.

      "Benar—huh? Tunggu, suara ini—"

      Amalia menoleh ke belakangnya, melihat Taufan dengan senyum bahagia seperti biasa. Amalia menoleh ke depan, menyadari teman-temannya masih berjalan menuju lab, sepertinya mereka belum sadar dengan Amalia yang sudah berhenti berjalan, ataupun Taufan yang berada di belakangnya sekarang.

      "Taufan, apa yang kau lakukan di sini?"

      "Bolos," jawab Taufan enteng, langsung menarik tangan Amalia.

       Iris Amalia melebar kaget, tidak sempat memanggil teman-temannya untuk meminta tolong. Taufan tetap menarik Amalia berlari, entah pergi ke mana.

      "Taufan, kalau ketahuan—"

      "Tenang saja, hari ini kolam sekolah tidak dipakai, jadi tidak akan ada guru yang menangkap kita."

      'Kolam sekolah?'

      Benar saja, saat Taufan berhenti berlari—mereka sudah sampai di depan pintu masuk kolam renang sekolah. Tanpa ragu Taufan langsung membuka pintu masuk lalu mengajak Amalia masuk. Mereka berdua langsung dihadapkan oleh kolam renang yang elegan.

      "Panas-panas begini enaknya berenang kan?" tanya Taufan berjalan menuju ke kolam renang sambil melepas sepatu dan kaus kakinya.

      Amalia hanya bisa menganga kaget saat melihat Taufan dengan mudahnya melompat ke dalam kolam renang. Sang perempuan secara refleks menoleh ke pintu masuk—takut-takut suara air yang Taufan buat menarik perhatian orang di luar, terutama guru.

      "Amalia."

      Suara Taufan menarik perhatian Amalia, membuat dirinya menoleh ke arah sang laki-laki—mendapati Taufan sudah berada di tepi kolam, menunggu Amalia.

      "Airnya segar loh, apa kau tidak mau masuk?"

      Amalia berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya mendengus geli.

      "Untuk sekali ini saja, ya?"

__________________

SenAi

By: Cuzhae

      Ainawa berjalan dengan aura hitam yang menguar, pasalnya hari ini seharusnya ia dan Senkuu pergi ke lab. Namun, laki-laki itu malah membuatnya harus menunggu tanpa kepastian. Tidak seperti biasanya Senkuu mangkir dari yang namanya sains. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan kepala sawi itu.

      Sebentar lagi akan ada olimpiade dan mereka harus segera menyiapkannya.

      'Awas saja kalau ketemu dan dia asyik leha-leha, kupangkas rambutnya nanti!' batin Ainawa. Tangannya terkepal menahan amarah.

      BRAK!

      Dengan tidak santainya membuka— yang terkesan seperti mendobrak pintu kelas Senkuu.

      "Senkuu-senpai! Ayo ke lab!" Suara nyaring Ainawa membuat penghuni kelas kaget, tapi kemudian dengan cepat pula menjadi tenang kembali. Karena ini bukan pertama kalinya Ainawa seperti ini.

      Salah satu anak yang cukup mengenali Ainawa pun menyahut, "Anu.. Ai-chan, Senkuu sedang di UKS, tadi dia pingsan."

      "Ah, terima kasih, Senpai." Ainawa membungkuk sebentar lalu segera cus pergi dengan cepat. Perasaan tadi pagi Senkuu terlihat baik-baik saja.

      Namun jika itu Senkuu, Ainawa tidak sampai heran kalau suatu waktu laki-laki itu tiba-tiba drop. Senkuu sering lupa makan apabila sudah berkencan dengan segala eksperimennya.

      UKS adalah tempat orang sakit, oleh karena itu gadis itu memutar pelan kenop pintu tanpa membuat keributan. Benar saja tampak pemuda dengan rambutnya yang khas tengah tepar di salah satu ranjang.

      Keringat dingin yang keluar dari dahi menandakan bahwa Senkuu tengah demam. Ainawa menempelkan telapak tangannya di atas dahi seniornya.

      "Panas," desis Ainawa. Ia pun mencari kain bersihkan dan menuangkan air hangat di baskom kecil untuk mengompres dahi Senkuu.

      Kelas telah dimulai kembali, tetapi Ainawa lebih memilih menemani Senkuu saja. Duduk di sampingnya dan memandang wajah pemuda itu yang keningnya beberapa kali berkerut.

      Lama-kelamaan kantuk menyerang sang gadis dan perlahan matanya menutup, tertidur. Namun tidak lama kemudian Senkuu pun tersadar.

      Senkuu mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Meraba dahinya dan mengambil kain basah itu.

      'Tadi aku pingsan, huh?' batin Senkuu. Begitu menggulirkan mata ke samping. Ada kekasihnya yang terlelap dengan berbantalkan kedua tangannya. Senkuu kemudian bangun dan memindahkan kekasihnya ke atas kasur dengan perlahan dan berbaring bersama.

      Biarlah untuk sesekali mereka berdua melewatkan kelas. Untuk urusan guru nanti Senkuu yang tangani dengan akalnya.

      'Selamat tidur, Ai.' Senkuu menarik pinggang Ainawa, mumpung orangnya sedang tidur jadi ia tidak perlu gengsi.

__________________

LuciRhe

By: Healerellik

      "Asakura-sensei dan Lucien-sensei terlihat dekat seperti biasa ya."

      "Huum. Cocok kan ya?"

      Rhea mengembuskan napas dengan pelan. Entah itu sudah kali ke berapa dirinya mendengarkan rumor tersebut. Rumor yang kian menjadi seiring waktu, juga semakin parah karena Lucien yang terkadang mengiyakan saja pertanyaan para murid tentang itu. Membuat spekulasi tak berdasar seolah menjadi fakta yang benar.

      Tiba di depan pintu kelas, dia menarik napas lalu mengembuskannya sekali lagi. Begitu pintu terbuka, pikirannya seketika jernih. Mau bagaimanapun, dia harus tetap bersikap profesional. Membiarkan perasaan pribadi mempengaruhi kinerjanya? Hal yang tidak pernah ada dalam to-do-list milik Rhea.

      "Baiklah. Sesuai kesepakatan minggu kemarin, hari ini kita akan mengevaluasi dua bab materi yang sudah kita pelajari. Saya minta tidak ada benda apapun di atas meja kecuali alat tulis dan kalkulator ilmiah."

      Sambutan dari ketua kelas baru saja terdengar, Rhea langsung memberikan instruksi dengan tegas. Tatapannya mengawasi satu per satu muridnya. Memastikan mereka akan melakukan perintahnya.

      "Saya tidak perlu mengingatkan peraturan dalam setiap ujian. Walau kalian tidak paham materi yang saya ajarkan, setidaknya kalian tahu tentang peraturan, bukan?"

      Rhea mengatakan hal itu seraya membagikan lembar soal dan jawaban untuk ujian kali ini. Pembawaannya yang tenang justru membuat para murid menjadi segan. Pandangan mereka yang semula saling melirik satu sama lain, segera menunduk kala wanita berambut sebahu itu sudah kembali ke mejanya.

      "Waktunya adalah dua jam. Dimulai dari sekarang!"

      Seketika hening. Hanya ada suara angin yang berembus, guratan bolpoin di atas kertas, juga suara konstan dari laptop Rhea yang sedang digunakan. Setidaknya suasana demikian berlangsung hingga menjelang paruh pertama, sebelum suara ketukan sedikit keras membuat atensi semua orang teralihkan.

      "Permisi. Saya ingin berbicara kepada Rhea-sensei."

      Sosok dengan tinggi 180 cm itu seolah menjulang dibandingkan pintu kelas yang dia ketuk. Senyumnya tetap terpasang walau matanya jelas menangkap raut datar pada lawan bicaranya.

      "Kalian tahu kan resiko jika mencontek di ujian saya?" adalah kalimat yang Rhea ucapkan begitu dirinya berjalan mengikuti Lucien ke luar kelas. Lelaki itu menggelengkan kepala melihat betapa tegasnya wanitanya itu.

      "Kau juga. Ada perlu apa mencariku? Jangan bilang kau lupa bekalmu. Kelasmu sendiri bagaimana? Sekarang musim uji—?!"

      Rhea yang berbisik di belakang Lucien segera terdiam begitu lelaki tersebut berbalik dan memeluknya kala mereka sampai di lorong terdekat. Jika tidak ingat tempat, mungkin saja Rhea mau membalas perilaku tersebut. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat.

      "Baiklah, baiklah. Tidak perlu memberikan tatapan seperti itu." Lucien mengangkat tangan begitu Rhea memberikan kode mengenai tindakannya. Biar pun demikian, dia tetap tersenyum.

      "Kau belum menjawab pertanyaanku."

      "Aku sudah memberikan tugas kepada siswaku. Aku juga tidak melupakan bekalmu; tadi aku mengintipnya, terlihat enak seperti biasa. Alasanku menemuimu karena aku rindu."

      Giliran Rhea yang mendadak salah tingkah mendengarkan jawaban terakhir Lucien yang diucapkan dengan begitu lancar. Dia melirik ke arah lain, mengembuskan napas sebentar, lalu menatap Lucien lekat.

      "Dan kau meninggalkan kelasmu hanya karena itu?"

      "Ppft—"

      Lucien menahan tawanya. Diliriknya tatapan Rhea yang masih sama. Dia kemudian merogoh saku jas lab yang selalu dia kenakan. Rhea hanya mengeryit begitu lelaki itu menyodorkan dua kotak susu cokelat kesukaannya.

      "Aku datang untuk mengantarkan ini," Lucien menepuk singkat kepala Rhea, "nikmati dan jangan hiraukan rumor yang ada. Kau tahu itu tidak benar, Darling."

      "Hei!"

      Rhea sedikit meninggikan suaranya kala Lucien meninggalkannya begitu saja. Dia mendengus begitu tegurannya ditanggapi oleh lambaian tangan. Sebelum akhirnya berubah menjadi senyum tipis begitu melihat apa yang ada pada genggamannya.

Published 3rd of August, 2021

#PAW

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top