vi - They Fell Asleep In the Library
Participant and Pairings:
AisakiRoRa → OliRi
rey_asha → IdiCa
Rhizurola → IchiRora
UnwrittenWhitePaper → JonahOcha
Kurogane_Luna → TauMeli
Cuzhae → LuciRhe
.
.
.
Enjoy!
OliRi
By: AisakiRoRa
"Rhizu-chan kalau sedang tidur manis sekali ya." Oliver memandang perempuan yang duduk disampingnya, Rhizu, yang tertidur dengan meletakkan kepala di atas meja. Perpustakaan sedang sepi, tidak banyak orang yang disini. Jam pulang sekolah sudah lewat sepuluh menit yang lalu.
Kemudian, Oliver mengalihkan pandangan. Melihat satu sampai tiga tumpukan buku yang berada di dekat Rhizu. Oliver mengambil salah satu buku tersebut. Memperhatikan sejenak buku apa yang sedang dibaca oleh muridnya yang satu ini.
"Ilmu sihir gelap...?" Gumam Oliver, buku bersampulkan berwarna hitam dan keras. Oliver bertanya-tanya untuk apa gadis yang menjadi muridnya ini membaca buku seperti ini. Ia hanya menduga-duga jika buku itu hanyalah karangan fiksi. Oliver kembali meletakkan buku itu ke tempat semula.
"Cupcake ... Oliver."
"Hmm?" Atensi Oliver beralih menjadi memperhatikan Rhizu. Sang gadis bergumam kecil—di tengah-tengah tidurnya. Ia pikir Rhizu terbangun. Lantas, Oliver tersenyum kecil. Ia meraih salah satu tangan untuk meletakkannya di atas puncak kepala Rhizu. Membelai dengan lembut rambut Rhizu, kemudian semakin lama berpindah kepada telinga berbentuk runcing seperti kucing milik Rhizu.
Lembut. Bahkan, Oliver tidak ingin berhenti mengelus.
Sang pemuda, Oliver, ikut meletakkan kepala di atas meja. Melipat salah satu tangan yang masih bisa digunakan sebagai bantalan. Menatap Rhizu lekat sembari tersenyum. Kesempatan yang bagus untuk menikmati waktu bersama Rhizu, murid kesayangannya.
"... Oliver-sensei?" Seseorang memanggil nama sang pemuda setelah beberapa menit berlalu. Oliver sedikit terkejut ketika Rhizu sendiri yang memanggilnya. Sang gadis terbangun, dengan cepat Oliver menarik kembali tangannya dari kepala Rhizu. Lalu, Rhizu mengangkat kepala disusul oleh Oliver.
"Kenapa sensei ada disini?"
"Untuk menemanimu tentu saja. Kenapa, Rhizu-chan?"
Rhizu mengerutkan kening. Setahu sang gadis, hari ini bukanlah waktu Oliver pergi ke perpustakaan. Bahkan, Oliver sendiri bilang kepadanya jika hari ini setelah pulang sekolah ia akan rapat bersama guru-guru lain. "Ah mungkin aku lupa mengatakan ini padamu, hari ini rapatnya dibatalkan."
"Oh ... begitu." Rhizu menghela nafas lega.
"Tapi sepertinya ada yang merindukan cupcake buatan ku tadi. Atau justru, rindu pada diriku ya?" Tanya Oliver sekaligus menggoda Rhizu. Sang gadis hanya memiringkan kepala sedikit, penuh tanda tanya. "Maksud sensei?" Tanya Rhizu pada Oliver.
"Rhizu-chan manis sekali saat tertidur tadi. Terlihat sangat tenang sampai-sampai aku tak ingin membangunkan mu. Bahkan kamu pun mengginggau." Jelas Oliver, mengingat-ingat kejadian tadi cukup membuat Oliver terkekeh. "Apakah ada sesuatu yang lucu saat aku tidur sehingga sensei tertawa?" Lagi-lagi Rhizu bertanya.
"Kamu mengginggau menginginkan cupcake, kemudian menyebut namaku. Lucu."
Penjelasan Oliver membuat Rhizu terdiam. Kemudian, bagaikan asap keluar dari kepala Rhizu--kedua pipi Rhizu memerah. Fakta bahwa Rhizu menyukai Oliver, tetapi melihat ginggauannya cukup membuat Rhizu malu. "Sensei pasti bercanda kan?"
"Aku serius, Rhizu-chan. Mau kuperlihatkan di CCTV?"
"Tidak perlu!"
Cepat-cepat Rhizu mengalihkan pandangannya. Wajah sudah bak tomat merah, Rhizu benar-benar malu sehingga menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Oliver terkekeh puas. Waktu setelah pulang sekolah terasa lama, mereka menikmati waktu kebersamaan mereka. Tidak peduli dengan sekitar. Berbagi canda dan tawa bersama. Andai saja tadi aku membawa kamera, batin Oliver. Ia tersenyum.
__________________
IdiCa
By: rey_asha
Idia menggerutu pelan. Posturnya membungkuk sebagai usaha untuk menyatu dengan latar, meski sia-sia karena rambutnya yang biru menyala tetap membuatnya menjadi sorotan. Sebuah peristiwa langka ia berani melangkahkan kaki keluar dari persembunyiannya—sudut perpustakaan yang setiap hari ia tempati hingga kini menjadi hak milik tak tertulis. Semua jerih payahnya ini karena satu orang.
Siapa lagi kalau bukan Ecca.
Entah kenapa, hari ini Idia tidak merasa puas hanya mengamati Ecca melalui CCTV sekolah. Muncul desakan kuat dalam dirinya untuk bertatapan langsung dengan tunangannya ketika diam-diam memperhatikan wanita itu sibuk menjelaskan tentang teori asam-basa melalui berbagai macam cairan di laboratorium melalui tabnya.
Inikah yang dirasakan para protagonis ketika mencari heroinenya? Batin Idia, mencurahkan atensi pada layar tabnya. Melelahkan sekali.
Ia sudah mencari Ecca ke laboratorium kimia, namun sia-sia. Niat hati ingin menjemput wanita itu berakhir menyedihkan karena kenyataannya ia harus menekan dorongan kuat untuk melarikan diri di bawah tatapan heran siswa lainnya.
Padahal sudah memilih koridor yang paling sepi. Aku memang tidak bisa menjadi protagonis, ringis Idia dalam hati.
Idia menghela napas lega ketika sapuan sejuk dari pendingin ruangan perpustakaan menyapanya. Ia memutuskan untuk menunggu Ecca di sudut perpustakaan miliknya. Ia tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama jika ia bisa tenang tanpa gangguan manusia manapun.
Atau... setidaknya itulah rencana awalnya. Kini ia mendapati sosok Ecca yang duduk di meja mereka dengan kepala menunduk. Idia mendekati sosok Ecca perlahan, tidak ingin mengejutkan wanita itu.
"Ecca-ssi?" panggilnya pelan. Namun, tidak ada respon yang berarti.
Idia duduk di samping Ecca. Seketika wajahnya merona saat mengetahui bahwa Ecca tengah tertidur. Sebelah tangan wanita itu masih menggenggam pulpen merah, di hadapannya berserakan kertas hasil ujian juga buku paket—yang sudah pasti menampilkan rumus dan unsur-unsur yang familiar.
Bagai tekadnya belum cukup diuji, Ecca menjatuhkan kepala tepat di bahunya. Ingin kabur sejauh-jauhnya, tapi tidak tega jika harus membangunkan Ecca yang kelelahan. Namun, jika tetap dibiarkan, ia tidak yakin jantungnya sanggup menahan debaran yang tidak normal ini.
Kalau bisa kugambarkan, rasanya sama seperti mendapatkan kartu SSR dari karakter paling langka yang muncul hanya pada event tertentu saja, Idia berusaha mengalihkan perasaan tersipunya dengan menggumam dalam hati. Butuh nyali yang luar biasa agar ia tidak segera angkat kaki dan meninggalkan Ecca.
Netranya melirik ke arah Ecca setelah beberapa saat sibuk meredakan jantungnya yang menggila. Irisnya menelisik wajah damai Ecca, menemukan kantung hitam di bagian bawah mata wanita itu.
"Akhir semester memang paling sibuk ya?" bisik Idia. "Tidur saja yang nyenyak."
Tangannya gatal, ingin menggenggam sesuatu. Bukan. Bukan tangan Ecca. Ia akan menghabiskan seluruh health pointnya jika berinisiatif meraih jemari wanita itu lalu pingsan dengan memalukan. Ingin sekali bermain game, ambisius untuk menaiki leaderboard tetapi suara game bisa saja membangunkan Ecca.
Baca manga saja kalau begitu, putus Idia.
Dari manga, Idia menyadari satu hal. Saat bersama Ecca, ia bagai hero legendaris yang mampu mengalahkan Raja Iblis dan mengumpulkan item langka dalam sekejap. Meskipun tidak ada label yang cocok untuk perasaannya saat ini. Tidak salah lagi, kenyamanan yang ia dapatkan bersama Ecca persis dengan apa yang dirasakan oleh protagonis dalam manga.
"I-idia."
Wajah dan lehernya sontak memerah. Ecca menyebut namanya dalam mimpi. Pertanda apa ini!? Jantungnya kembali berpacu. Pendingin ruangan tidak memberikan efek apapun untuk meredakan panas di muka dan lehernya. Instingnya untuk kabur kembali menguasai. Namun, karena wanita itu masih belum terjaga, tidak ada yang bisa Idia lakukan. Ia hanya bisa berharap Ortho tidak muncul mendadak dan mengabadikan peristiwa ini.
Tanpa diketahui Idia, Ecca sudah terbangun sejak merasakan keberadaan pria itu di sampingnya. Iya, Ecca sengaja merebahkan kepala di bahu Idia dan sengaja mendesiskan nama Idia. Apa boleh buat? Idia yang serupa dengan lobster rebus itu sangat menggemaskan.
'Andai aku bisa melihat Idia sekarang,' batin Ecca. 'Bisa kusantap kalau menyaksikan betapa manisnya tunanganku ini.'
__________________
IchiRora
By: Rhizurola
Sungguh disayangkan di kelas akhir Ichiro tidak sekelas dengan Rora. Rora merasa sedikit kesepian, ah bukan, sangat kesepian. Hanya Ichiro yang bisa tahu kapan dia butuh penunjang mood. Lebih dari itu sebenarnya. Satu kata setelah melihat namanya dan nama Ichiro terpisah; kecewa. Tak bisa melayangkan protes, tentu. Keduanya menerima keadaan.
"Hanya kelas, kita punya gawai, jam istirahat, waktu luang, pulang sekolah, bahkan bolos pun akan aku lakukan jika kau ingin berjumpa! Haha!" Tawa renyah Ichiro menghantarkan kehangatan yang tak terduga.
"Tidak usah bolos." Rora melirik ke samping, menyembunyikan rona, dan tersenyum kecil.
Beda kelas, beda mata pelajaran. Otak Rora rasanya mengepul setelah pembahasan dua materi sains berturut-turut tanpa jeda. Untung saja jam pelajaran ketiga hanya disuruh membuat rangkuman dari buku paket. Mengambil tempat pensil dan barang lainnya yang dirasa perlu, Rora segera melipir ke perpustakaan setelah kelas kosong—ya, bisa dibilang dia tak suka berbondong-bondong, menyempil di tengah-tengah keramaian yang memekakkan.
Setibanya di perpustakaan, setengah jalan dalam tugas, mengantuk melihat sinar matahari yang mulai meninggi. Kepala terkulai dan tidur di jam menuju istirahat.
***
Ichiro berlarian ke penjuru kantin, oh ya ampun teman sekelas kekasihnya pun tak tahu kemana perginya dia.
"Kantin mungkin?"
"Dia bosan, lalu bolos!"
Jawaban yang memakan waktunya. Mengintip jadwal kelas Rora, bertanya diberikan tugas apa, ketika tahu jawabannya, Ichiro tanpa ragu berlari ke perpustakaan. Tampak OSIS berteriak agar tidak berlari di sepanjang lorong.
Rora ditemukan di kursi dekat jendela, terdengar dengkuran halus dari dekat. Melirik jam dinding, Ichiro terkekeh.
"Bolos berdua."
Perlahan Ichiro duduk, memindahkan sandaran Rora dari meja ke pahanya. Sembari mengelus surai hitam terkasih, Ichiro memandangi penuh rasa gemas.
"Akan aku foto muka bantalnya nanti!"
__________________
JonahOcha
Napas terengah-engah sembari berlari di sekitar koridor sekolah. Sesekali mata melirik kearah jendela untuk melihat pantulan dibelakangnya.
"Bagus, setannya sudah mengilang" kata Ocha.
Namun tanpa disadarinya didepannya terdapat sesosok orang yang berdiri dengan bertolak pinggang. Ketika sadar didepannya terdapat seseorang Ocha dengan sigap menghindar agar tidak terjadi kecelakaan, namun malangnya dia terjatuh karena mencoba menghindar.
"Akhirnya kau tertangkap!" Kata Jonah.
Ya, sosok yang sedari tadi mengejar dan dianggap setan oleh Ocha adalah seniornya sendiri, Jonah Clemence.
"Kenapa kau mengejarku?! Aku sudah berpakaian seragam kan?!" Kesal Ocha.
Perempatan imager terlihat di kening Jonah. Kedua tangannya bergerak merapikan pakaian Ocha.
"Dasi tidak terpasang, kerah terbuka, blazer berantakan, dan yang paling parah..." tangan Jonah melirik kaki, atau lebih tepatnya celana Ocha ".... peraturan sekolah menyuruh wanita memakai rok. Apakah ini yang kau sebut rapih, Ocha?"
"Heh... setidaknya ini rapih dalam kasta kerapihanku, dan tunjukkan padaku peraturan wanita harus menggunakan rok!" tantang Ocha.
Perempatan imajer Jonah semakin banyak, dia mengambil kerah Ocha dan menyeretnya menuju perpustakaan seperti kucing. Sesekali Ocha mencoba melepaskan diri namun perbedaan kekuatan sangat jelas diantara mereka. Sesampainya di perpustakaan, Jonah meminta sesuatu pada penjaga perpustakaan dan meletakkan Ocha disalah satu kursi.
"Aku sudah beberapa kali mengatakan peraturan itu tetapi sepertinya kedua kuping kouhai ku ini tidak mendengar atau mungkin kepalamu tidak menyaring informasi dengan baik?" Ejek Jonah.
Mendengar ejekan Jonah, Ocha hendak protes sebelum sadar dirinya sedang berada didalam perpustakaan. Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, namun wajahnya sudah menunjukkan kemarahan.
"Sebagai senpai yang baik aku akan memberitahu" dia memberikan sebuah buku kepada Ocha "buka halaman 288 baris ke 34 dari atas, dan baca itu didepanku!" perintah Jonah.
Awalnya Ocha hanya menatap buku itu dengan kesal namun akhirnya dia membukanya. Beberapa detik kemudian dia menemukan hal yang dicari.
"Siswa diwajibkan menggunakan atribut lengkap dengan celana sedangkan siswi diwajibkan menggunakan atribut lengkap menggunakan rok, jika tidak maka akan ditindak lanjuti"
"Bagus, dan bagaimana dengan nona Ocha, apakah sudah mematuhi peraturan?" Tanya Jonah. Ocha tidak menjawab, dia hanya memalingkan kepalanya kearah berlawanan dengan kedua tangan terlipat. "Oh... ternyata nona Ocha tidak memahami, baiklah, Sebagai hukuman nona Ocha akan menghabiskan waktu di perpustakaan ini dengan menulis peraturan itu hingga kelas terakhir, targetnya adalah satu buku ini" Jonah mengeluarkan sebuah buku tulis dan memberikannya pada Ocha.
Ocha yang mendengar itu protes, namun belum sempat dia mengutarakannya Jonah sudah berjalan menuju pintu keluar.
"Ingat Ocha, jika kau tidak mengerjakan hukumanmu maka akan kupastikan hukuman selanjutnya lebih berat dari ini, camkan itu"
Dan Jonah menghilang dibalik pintu perpustakaan itu meninggalkan Ocha yang kesal. Mau tidak mau Ocha mencoba menuliskan peraturan itu. Selembar, dua lembar terisi oleh Ocha. Tapi perlahan-lahan kedua matanya memberat dan tanpa disadari Ocha tertidur di perpustakaan.
Beberapa jam kemudian Jonah kembali ke perpustakaan untuk melihat kemajuan hukuman Ocha. Dia melihat Ocha sudah tertidur pulas diatas buku hukumannya. Jonah hanya bisa menggeleng kepalanya melihat tingkah adik kelasnya. Dia menarik buku dibawah Ocha untuk melihat seberapa jauh perkembangannya. Betapa kagetnya Jonah ketika melihat setengag isi buku itu sudah penuh.
"Heeee... aku tidak menyangka dalam waktu segitu kau bisa menyelesaikan setengahnya, padahal ini buku yang cukup besar" Jonah membalikkan halam demi halaman buku itu "tapi kuberi nilai nol untuk penulisanmu, jelek sekali, aku bahkan tidak bisa membacanya" keluh Jonah.
Jonah melirik lama kearah Ocha yang masih tertidur lelap. Senyum kecil tertempel di wajahnya.
"Setidaknya kau berhasil, kerja bagus" kata Jonah sambil mengelus kepala Ocha.
***
Ocha tersentak ketika sadar dirinya tertidur. Ketika melihat kedepan dia tidak melihat siapapun kecuali sandwich, sebotol minuman, dan sebuah surat.
"Jika kau membaca surat ini berarti waktu hukumanmu sudah selesai. Kerja bagus menyelesaikannya, tapi kuharap kau belajar dari hukuman ini. -Jonah Clemence"
Membaca surat itu membuat Ocha bingung.
"Selesai? perasaan aku baru menulis setengah buku itu sebelum tertidur"
Ocha membaca lagi surat itu dan menemukan sebuah pesan kecil.
"Lebih baik kau segera pulang sebelum 'mereka' mengganggumu"
Seketika Ocha bangkit dari kursinya dan memperhatikan sekelilinya. Tidak ada orang sama sekali di ruangan itu. Tiba-tiba terdengar sebuah kunci dan langkah kaki, disertai warna biru yang kian mendekat, tanpa pikir panjang Ocha mengambil hadiah Jonah dan kabur dengan kecepatan kilat dari tempat itu.
"CLEMENCE-SENPAI SIALAAAAN!!!" Teriak Ocha.
Omake:
".... T-tidak sopan sekali, padahal aku hanya ingin bilang perpustakaan mau ditutup. Sudah kuduga aku memang terlihat mengerikan" keluh Idia.
"Pfffft.... dia hanya terlalu kaget karena merasa sendirian disini, jangan dipikirkan" kata Ecca menenangkan.
Ortho disamping mengangguk membenarkan pernyataan Ecca.
__________________
TauMeli
By: Kurogane_Luna
Jemari lentik Meli mengabsen satu per satu buku yang telah disusun dengan begitu rapi oleh para petugas perpustakaan. Dia menghela sejenak, sudah berapa lama dia mencari material untuk tugasnya yang tidak kunjung selesai ini. Meli berhenti sejenak kala melihat topi yang lumayan familiar di ujung rak. 'Masa sih?' Meli mendekati sosok itu perlahan sambil keheranan.
"Tau ... fan?" Benar saja, orang yang tengah rebahan di antara tumpukan buku yang masih belum diletakkan kembali ke rak. 'Loh, loh, loh, kok Taufan disini, tidur pula dia,' pikir Meli sambil berjongkok di samping Taufan, ragu ingin membangunkan pemuda itu atau tidak. Tangannya mengguncangkan bahu Taufan dengan perlahan. "Taufan? Taufaan?" Pemuda itu tidak kunjung bangun juga.
'Duh, gimana nih. Jangan-jangan dia—'
"Hoaaaam—Oh, ada Meli?"
Kepanikan di kepala Meli terhenti ketika mendengar suara si pemuda yang dari tadi tertidur lelap itu bangun dan kini tengah merenggangkan tubuhnya. Mata biru Taufan menatap Meli dengan penasaran. "Kau kenapa ada di sini, Meli?"
"Aku? Ah, aku tadi lagi nyari material buat tugasku sih, tapi aku belum ketemu sampai sekarang." Perempuan berambut hitam itu menghela napas dengan lelah. "Oh! Kalau gitu, aku bantu, mau?" Meli mengerjapkan matanya beberapa kali mendengar ucapan Taufan.
"Boleh sih ...."
***
"Eeh, bukunya sudah dipinjam ternyata."
Begitu bertanya pada sang pustakawan, misteri kemana perginya buku yang ingin digunakan Meli pun terjawab. Perempuan itu kalah cepat menemukan bukunya, dan sedihnya salinan lain dari buku terkait juga sudah habis dipinjam.
"Yah, sudah dipinjam semua ternyata." Taufan duduk bersender pada rak setelah lelah berkeliling kesana kemari mencari buku tersebut. "Maaf ya, Taufan. Aku hanya merepotkanmu saja daritadi," lirih Meli yang berdiri tak jauh dari Taufan. Pemuda itu tertawa pelan, dia tidak pernah keberatan jika harus repot untuk membantu Meli.
"Meli, sini, sini, kau pasti capek, kan? Ayo duduk dulu."
Mengikuti ucapan Taufan, Meli duduk di samping pemuda itu—yang seketika menarik kepalanya untuk bersender di bahu Taufan. "Eh—Eeeeh?! Taufan—"
"Istirahat aja dulu, Meli. Tidur juga gapapa, kok. Kubangunin nanti, tenang aja."
Walau sedikit ragu, Meli pelan-pelan menutup matanya. Samar-samar dia bisa mendengar suara Taufan. "Mimpi indah Meli."
__________________
LuciRhe
By: Cuzhae
Rhea menghela napas setelah menyelesaikan sif mengajarnya untuk hari ini. Sebenarnya ada sisa luang sekitar tiga jam pelajaran untuk sampai bel pulang. Namun ia teringat hari ini memiliki tugas di perpustaan, lagipula sambil menunggu Lucien beres dengan kerjaannya bisa dengan membaca buku.
Perpustakaan tampak sepi karena para murid masih dalam kelas, sih, jadi Rhea tak heran. Karena suasana sepi dan aroma buku yang menguar, membuat Rhea mengantuk dan tak lama kemudian tertidur.
***
Jas putih disampirkan Lucien di kursi lalu membereskan barang-barangnya dan terakhir yaitu mengunci UKS.
"Rhea pasti sedang di perpustakaan," ucap Lucien seraya tersenyum kecil. Sudah hapal dengan kebiasaan istrinya.
Bagaimana Lucien tidak menyunggingkan senyuman di wajahnya tatkala Rhea sampai ketiduran, pun di sampingnya terdapat tumpukan buku.
Lucien mengambil duduk di samping sang istri. Disingkirkannya anak rambut yang menutupi paras Rhea. "Mau dalam keadaan apa pun istriku memang cantik," ucapnya penuh kasih. Ia tak ingin segera membangunkan Rhea, melihat betapa damainya ia tertidur.
Lama mengamati wajah tidur Rhea, akhirnya dengan berat hati Lucien harus membangunkan sang istri.
"Sayang, bangun yuk. Kamu tidak mau sampai menginap di perpustakaan, bukan?"
Suara lembut penuh ketegasan milik Lucien pun masuk telinga Rhea sehingga ia terbangun.
"Tidurnya nanti lanjut di rumah, ya," kata Lucien kemudian mengecup kening sang istri.
Rhea berkedip beberapa kali mencerna apa yang terjadi. Setelah dicukup sadar, ia tersentak, "Ma-maaf, aku ketiduran!"
Melihat respons kekasih hatinya tawa kecil lolos dari mulut Lucien.
"Istriku memang imut dan aku tahu itu."
Published 20th of July, 2021
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top