v - He/She Graduated
Participant and Pairings:
Asakura_Haruka → TauMeli
RainAlexi123 → GavinAsa
Cuzhae → SamaRain
TauMeli
By: Asakura_Haruka
Taufan menoleh kesana kemari untuk mencari gadis pujaan hatinya. Hari ini adalah upacara kelulusan mereka dan ia tidak bisa menemukan Meli.
"Issshhh kemana dia?" Taufan menggerutu pelan. Setelah memutar otak, ia akhirnya mencoba mencari Meli di halaman belakang sekolah.
Bingo!
Ia mendapati Meli dengan santainya tiduran di bangku yang tersedia.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Taufan. Meli membuka matanya perlahan.
"Ah, Taufan ya...." Ia berganti posisi menjadi duduk dan tersenyum kepada Taufan.
"Aku sedang bosan dengan keramaian di gedung utama. Jadi aku beristirahat disini saja." Jawab Meli santai.
Taufan menyeringai menatap Meli lalu menarik tangan gadis itu.
"Ikut aku yuk!"
"Hah? Kemana?" Tanya Meli bingung.
"Udah, ikut aja."
Meli hanya pasrah membiarkan Taufan menarik tangannya dan mengikuti langkah dari sang lelaki.
Ternyata pemuda itu hanya mengajaknya pergi ke tempat yang cukup berkesan untuk mereka selama mereka menuntut ilmu di sekolah tersebut.
Mulai dari perpustakaan tempat Meli dan Taufan belajar bareng untuk ujian, lapangan voli dimana Taufan sering bermain skateboard sambil menunggu kelas tambahan Meli selesai, hingga ke kantin dimana mereka sering makan siang bersama. Selama itu pula, Taufan sering mengungkit kenangan mereka berdua selama bersekolah di sana.
"Taufan..." Langkah Meli terhenti di salah satu koridor dan menatap Taufan secara seksama.
Taufan ikut menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Meli bingung.
"Ada yang kau sembunyikan, bukan? Tidak biasanya kau membicarakan hal-hal penuh kenangan seperti itu."
Taufan tertegun sejenak, sebelum akhirnya tertawa lepas dan mengacak rambut Meli seolah memujinya karena tebakan gadis itu benar.
"Kau seperti cenayang saja, mampu membaca pikiranku." Taufan tersenyum. Ia kembali menatap Meli kali ini dengan ekspresi serius.
"Aku berencana melanjutkan pendidikan ke luar negeri setelah ini. Jadi hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."
Hening
Butuh beberapa detik bagi Meli untuk mencerna ucapan Taufan. Melihat wajah bingung sang gadis, Taufan merengkuh tubuh Meli dalam pelukannya.
"Tenang saja, aku pasti akan selalu menghubungimu dan mengabari keadaanku. Kau tak perlu khawatir."
Meli diam selama beberapa saat sebelum membalas pelukan Taufan, dan berbisik pelan.
"Dan aku akan menunggumu. Sampai kau kembali lagi padaku."
__________________
GavinAsa
By: RainAlexi123
Kelulusan sekolah.
Mendengar salah acara sekolah itu cukup mengundang banyak perasaan bercampur aduk, entah itu senang, sedih, lega, ataupun menyesal.
"Tadi permainanmu bagus sekali, Asakura-senpai!"
"Tolong ajari kami saat klub besok ya!"
Asakura tersenyum melihat antusias yang terpancar dari adik kelas yang satu klub dengannya.
"Iya-iya, besok kuajarkan ya?" ucap Asakura.
"Siap, senpai!"
Setelah berbicara singkat mengenai klub musik mereka, akhirnya adik kelas Asakura pergi meninggalkan sang perempuan sendiri. Asakura melihat ke luar jendela-menampilkan gedung sportorium yang menjadi tempat kelulusan murid kelas tiga dilaksanakan.
'Syukurlah masih ada waktu sebelum acaranya benar-benar selesai.'
Setelah memberikan penampilan piano sebagai persembahan kepada anak kelas tiga, Asakura kemudian pergi ke kelasnya untuk beristirahat sejenak, juga mengambil buket bunga yang ingin dia berikan ke beberapa kakak kelas yang sudah membantunya selama dua tahun terakhir.
"Apa kau dengar? Bai-senpai tidak ada di acara!"
"Lagi?"
Langkah Asakura terhenti saat mendengar nama kakak kelas yang sangat dia kenali. Kedua tangannya mengepal untuk sejenak, sebelum kedua alis Asakura berkerut.
"Apa senpai baik-baik saja?" gumam Asakura.
Dirinya menggeleng pelan, kemudian kembali melanjutkan langkahnya ke kelas. Saat dirinya sampai di kelas, jantung Asakura melewati satu detakan saat dirinya melihat apa yang ada di atas mejanya.
Sebuah surat tergeletak di atas mejanya, namun yang fokus Asakura adalah bercak darah yang ada di atas surat tersebut.
Asakura tampak ragu mendekati surat tersebut, namun setelah memantapkan hati cukup lama-akhirnya sang perempuan mendekati mejanya, dan mengambil surat tersebut.
Dari: Gavin
Untuk: Asakura
"Eh?"
Spontan pegangan Asakura melemah, membuat surat tersebut terlepas dan kembali mendarat di atas mejanya. Segala macam pikiran segera memenuhi pikiran sang perempuan.
'Apa aku berbuat salah pada Gavin-senpai? Ada perlu apa senpai denganku?' pikir Asakura tak karuan.
Iris abu-abunya melirik surat tersebut, sebelum akhirnya menoleh ke buket bunga yang ingin dia ambil tadi.
'Tidak apa-apa jika aku menganggapnya tidak ada, kan?'
***
"Terima kasih, Asakura."
Asakura tersenyum mendengar ucapan terima kasih dari kakak kelas yang baru menerima bunga darinya. Setelah melambai pada sang kakak kelas, Asakura memutar tubuhnya-berencana untuk pulang ke asrama karena acara kelulusan sudah selesai dan hari sudah sore.
'Gavin-senpai benar-benar tidak ada di acara sampai akhir,' pikir Asakura melangkahkan kakinya di jalan yang menghubungkan sekolah dan asrama.
Saat Asakura menanyakan keberadaan Gavin pada Minor-teman Gavin-yang ditanya justru tertawa lalu mengatakan bahwa sang laki-laki sedang sibuk hingga tidak sempat mengikuti acara kelulusan.
"Asakura."
Sang perempuan spontan berhenti, irisnya membelalak kaget mendengar suara yang tidak dia dengar seharian ini. Asakura mengangkat kepalanya, melihat mahkota cokelat terang disertai iris yang mengingatkannya akan warna madu.
Gavin Bai.
"Senpai?"
Ah, karena Asakura tidak membuka surat dari Gavin, jadi sang perempuan tidak tahu bahwa sang laki-laki ingin bertemu dengannya di taman yang berada di antara sekolah dan asrama.
Gavin sendiri tampak gugup-walaupun tidak terlihat jelas-saat berhadapan dengan Asakura. Deretan kata yang sudah dia siapkan jauh hari kini berhamburan hilang entah mana saat melihat sang perempuan berdiri di depannya. Namun saat melihat wajah pucat Asakura, Gavin langsung memprioritaskan satu hal, yaitu Asakura sendiri.
"Ada apa?" tanya Gavin mendekati Asakura, "wajahmu pucat, apa kau sakit?"
Wajah Asakura pucat tak lain dan tak bukan karena dirinya teringat surat berdarah dari Gavin. Berbagai macam skenario buruk sudah berputar di kepala Asakura.
"Kudengar dari Minor kau memainkan piano untuk kami."
Saat tangan Gavin terangkat untuk memeriksa suhu tubuh Asakura di kening sang perempuan, fokus Asakura langsung tertuju pada luka yang ada di tangan Gavin. Saat itu juga Asakura tersadar bahwa kakak kelasnya ini memiliki banyak luka dan tangannya terdapat bercak darah.
Apakah darah itu darah yang sama dengan darah yang ada di surat yang tertuju untuk Asakura?
"Tunggu dulu, senpai," ucap Asakura langsung menangkap tangan Gavin-mengagetkan sang laki-laki.
Tanpa berkomentar lagi, Asakura langsung mengeluarkan plester, juga sapu tangan miliknya yang sudah dia basahi dengan air minum yang tersisa di botol minumnya-kemudian membersihkan tangan dan luka Gavin, juga menempelkan plester tadi ke pipi sang laki-laki.
Gavin sendiri tampak masih kaget, namun saat plester tadi menyentuh pipinya-dirinya tersadar. Melihat Asakura yang begitu cekatan membersihkan luka dan mengobati dirinya, membuat Gavin tersenyum kecil lalu menangkap tangan Asakura yang menjauh setelah menempelkan plester.
"Ah-" Asakura tersadar, dan dirinya menjadi panik karena jarak mereka sudah dekat-bahkan Asakura samar dapat mendengar suara napas Gavin.
Asakura tak sempat bergerak atau bereaksi saat Gavin menautkan jari mereka satu sama lain, lalu Gavin mendekat untuk mengecup kening Asakura.
"Terima kasih, Asakura."
Namun ucapan terima kasih Gavin sukses mengagetkan Asakura. Gavin sendiri, dirinya sudah tidak peduli dengan apa yang ingin dia ucapkan sebelumnya, karena dia tahu apa yang ingin dia ucapkan pada Asakura di hari perpisahan mereka-walaupun perpisahan ini hanya untuk sementara, ataupun kalimat yang ingin dia ucapkan hanya akan dia simpan sendiri.
'Tunggu aku-saat aku kembali, akan kupastikan untuk menyampaikan perasaanku dengan benar.'
__________________
SamaRain
By: Cuzhae
Tidak terasa bagi Samatoki, hari kelulusan tinggal menghitung minggu. Setelah banyak ujian yang harus ia hadapi sampai otaknya seperti mengepul. Sudah tibanya ia berpamitan kepada sekolah termasuk kepada kekasihnya, Rain.
Berbicara tentang Rain, gadis itu kini disibukkan oleh persiapan acara kelulusan nanti, apalagi dialah ketua OSIS-nya. Itulah mengapa pemuda dengan rambut putih ini tak bisa mengganggu gadis itu.
"Hatchuh!" Samatoki bersin untuk ketiga kalinya, "pasti ada yang membicarakanku."
"Lebih tepatnya mengomel sih. Mana ada orang yang sudi bergosip tentangmu," balas Rain, menyembul di balik dahan yang menjadi sandaran Samatoki.
Namun tidak menutup kemungkinan jika Rain duluan yang mengganggu waktunya.
"Heh! Jaga ucapanmu ya, onna." Tatapan kesal dari netra semerah darah serasa menghujam sang gadis. Samatoki mendengkus pelan, "tumben kau ke sini?"
"Terserah aku mau kemana. Itu, 'kan, bukan urusanmu."
"Astaga ... aku hanya bertanya!"
Ayolah, apakah tidak bisa satu hari saja Samatoki bersikap lembut pada gadisnya?
Rain menyeringai, sekali lagi ia mencoba menyulut emosi pemuda di sampingnya itu. "Kok jadi kau yang marah?!"
"AKU TIDAK MARAH, YA! DASAR ONNA MENYEBALKAN!"
Gotcha! Mudah sekali membuat seorang Samatoki kegerahan. Rain tak bisa menahan gelak manisnya, melihat Samatoki tersulut menjadi hiburan tersendiri baginya.
Namun, senyuman di paras sang gadis perlahan menurun begitu ingat bahwa tak lama lagi Samatoki sudah bukan lagi seniornya. Sedangkan masih ada satu tahun lagi untuk Rain menyusul Samatoki.
"Setelah lulus, rencananya kau mau kemana?"
Aneh, ada apa gerangan dengan kekasihnya, tidak biasanya Rain membahas hal seperti ini dan sepertinya kali ini dia sedang serius.
"Aku mau cari pekerjaan untuk menghidupi diriku dengan Nemu," jawab Samatoki, menengadah memandang langit cerah tanpa awan.
"Tidak mau lanjut kuliah?" tanya Rain sekali lagi.
Samatoki mengangkat satu alis. "Untuk apa? Aku ini cukup pintar sekadar mendapatkan pekerjaan layak meski tidak kuliah juga."
Lihatlah, pemuda ini mulai menunjukkan rasa sombongnya, membuat sudut siku-siku di dahi Rain. Menahan agar tidak membogemnya.
"Aku mau cari uang sebanyak mungkin agar bisa melepaskanmu dari keluargamu," lanjut Samatoki.
Gadis itu sedikitnya paham maksud dari ucapan pemuda itu, tapi Rain tidak mau terlalu percaya diri. "Hah?! Kau mau jadi penculik?"
"Iya, aku akan menculikmu lalu membawa ke altar pernikahan dan kita pun sah jadi suami-istri, babe."
Sialan! Halus sekali Samatoki mengucapkannya tanpa tahu sudah membuat gadisnya dirundung malu.
Published 13th of July, 2020
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top