ix - They're Noble and Commoner
Participant and Pairing:
Maya → JonahOcha
Heaira → ShawMela
Rhea → SenAi
Ocha → SamaRain
LuciRhe → Rhizu
OliRi → Rain
JonahOcha
By: Wizardcookie
Semilir angin pagi meniup mahkota hitam Ocha, tetapi tak membuat langkahnya terhenti untuk berjalan menyusuri kota Cradle. Ya, bisa dibilang dia tersesat dan tak tau kemana ia harus berhenti. Ia tak bisa berbuat banyak karena uang yang dimiliki tidak mencukupi, bahkan untuk membeli air saja sulit. Sementara ini Ocha harus mencari sungai untuk mengisi botol airnya.
Di sela-sela melangkah, tercium aroma roti membuat perutnya berbunyi. Lantas memegang perut keroncongan—meraung ingin diberi makan, menoleh pada sebuah kafe yang menyuguhkan roti gandum di etalase kaca. Sejenak ia merogoh saku jaket, mengeluarkan uang yang dimiliki. Di telapak tangannya hanya ada tiga koin, sama sekali tidak cukup untuk membeli roti membuatnya menghela napas pasrah.
Pokoknya dia harus mencari sungai terlebih dahulu.
Bohong, deh.
Baru beberapa langkah menjauh dari kafe, ia memutar tubuhnya dan kembali berdiri di luar etalase kafe dan melihat makanan manis tertata rapi. Tidak hanya roti gandum, mereka juga menyajikan potongan kue cokelat. Baik mata maupun perutnya teracuni untuk menyicip kue tersebut, tetapi apa daya tak memiliki uang cukup hanya bisa membuatnya memandangi makanan dari luar.
"Uh, padahal aku ingin sekali kue cokelat itu," gumamnya, lantas mendengkus dan memutuskan untuk meninggalkan kafe. Mengabaikan perut yang semakin keras bunyinya, Ocha melanjutkan perjalanan untuk mencari sungai.
"Hei, kau."
Namun, dirinya mendengar suara seseorang—seperti memanggilnya—membuat Ocha menoleh, tetapi ia tak mendapati siapa pun membuatnya kembali melangkah.
"Kau yang pakai tas jerami," ujar orang itu, orang yang sama saat memanggil Ocha. "Congek ya?"
Hanya dia yang mengenakan tas jerami di tempat ini membuat Ocha spontan menoleh, mencari siapa yang telah membuatnya kesal karena sebutan "Congek" tersebut. Ia dapati seorang lelaki berdiri tak jauh darinya, melempar tatapan rendah pada sang gadis. Diperhatikan penampilan lelaki tersebut dari atas sampai ke bawah, mengenakan pakaian serba putih dengan pernak-pernik merah—atau entah apalah itu, Ocha pun tak tahu, bahkan rambutnya tertata rapi membuatnya menduga bahwa lelaki di hadapannya adalah seorang bangsawan ... yang sombong.
Terdengar dengkusan mengejek dari sang lelaki, membuat Ocha mengernyit. "Kulihat kau begitu terpaku pada kue cokelat di kafe. Tidak punya uang untuk membelinya ya?"
"Jonah sialan," umpatnya. Lelaki yang dipanggilnya Jonah itu mendengkus sekali lagi, memberikan kotak putih pada sang gadis. Ocha bingung, kenapa lelaki ini tiba-tiba memberikannya kotak? Lagi, apa isinya ia pun tak tahu.
Ah, sial. Padahal aku tidak mau bersikap seperti mengenalnya! Ocha menggerutu sembari memukul kepalanya, seakan lupa bahwa dirinya tak boleh terlihat mengenal petinggi Red Army—Jonah Clemence. Ia akan meninggalkan Cradle untuk sementara waktu—berujung tersesat, tak tau jalan pulang, malah membuatnya dipertemukan dengan lelaki ini lagi.
"Penampilanmu sangat ...," Jonah menatap Ocha dari bawah ke atas, melihat betapa mengerikannya gadis itu di hadapan. "Buruk."
"Terima kasih atas pujiannya dan aku tidak menginginkan ini," Ocha berujar sembari menyodorkan kotak putih tersebut pada sang lelaki, tetapi Jonah tak menyentuhnya sama sekali bahkan menjauhkan tangannya.
"Kalau kau mengembalikannya, itu berarti kau bersedia mati kelaparan."
"Memangnya ini ap—" Ucapan Ocha terhenti saat membuka kotak, mendapati sepotong kue cokelat di dalam sana. Ia menatap lawan bicara tak percaya, menutup kotak lalu menggeleng. Ia tidak boleh menerima pemberian dari Jonah, kesannya dia begitu lemah untuk pergi tanpa usahanya sendiri.
"Aku tidak butuh."
"Tidak ada yang boleh membantah perintahku," cetusnya. "Cukup satu perintah saja yang kau langgar, Ocha Clemence."
__________________
ShawMela
By: Healerellik
"Tuan muda Shaw menghilang lagi!"
Jeritan itu terdengar sampai jalan tikus yang kini dilewati oleh seorang laki-laki jangkung. Dia hanya tertawa kecil mendengarnya, seolah itu adalah lelucon keseharian yang dia lakukan. Manik kuning keemasannya berkilat begitu ujung jalan terlihat.
***
Keramaian itu tidak pernah gagal membuatnya kagum. Hiruk pikuk manusia yang menjalankan kehidupan biasa, bukan persiapan perang yang kadang membuatnya muak dengan hanya mendengar komandonya saja.
Shaw, lelaki dengan rambut abu kebiruan itu menatap satu persatu tenda penjual yang ada. Karena kabur di saat menjelang makan malam, maka kini dirinya kelaparan. Nasib baik baginya begitu menemukan sisa koin emas pada pakaian penyamarannya.
"Ayo rasakan daging berkualitas ini! Hanya satu keping perak!"
"Sayuran segar seharga tiga keping tembaga!"
"Kain baru dari negara sebelah!"
Begitu ramai. Sampai Shaw menemukan tenda yang menjual makanan tradisional di ujung jalan. Dia kembali mengamati sekitar setelah memesan. Kemudian terpaku pada sebuah lorong kecil di depannya.
Ada yang ganjil.
Alisnya berkerut melihat sepasang insan yang sepertinya bertengkar di dalam sana. Perempuan pembawa bakul itu tampak dipaksa oleh lelaki yang memeganginya. Buat firasat Shaw tak enak, terlebih ketika melihat tangan si lelaki terangkat tinggi.
"Tuan! Makananmu sudah jadi!"
Panggilan si penjual tidak dia dengar, karena saat ini Shaw sudah merangsek di antara mereka dengan menendang si lelaki hingga terpental. Dia langsung memasang badan di depan perempuan yang terkejut karenanya. Tidak terjadi pertengkaran lebih lanjut, karena lelaki itu kabur hanya dengan deathglare dari Shaw.
"T-terima kasih, Tuan!"
Shaw berbalik, sudah dapati perempuan itu menunduk sedikit kepadanya. Begitu manik keduanya bertemu, tak Shaw pungkiri dia terpaku. Cara manik cokelat itu menatapnya penuh rasa syukur buat dirinya mendadak kaku. Dia baru bergerak begitu si perempuan tampilkan gelagat sama.
"Uh ... kau tidak apa, Nona?" tanyanya di samping si perempuan.
"Kali ini tidak apa-apa karena ada Tuan."
Kali ini katanya? Berarti ini sudah sering terjadi?
"Bagaimana kalau kita mampir ke depan? Setidaknya saya ingin membalas pertolongan Tuan."
"Tidak perlu. Itu sudah seharusnya."
Selanjutnya canggung. Keduanya terdiam sampai keluar dari lorong. Shaw beberapa kali melirik ke arah lawan. Dalam hati puji bagaimana si perempuan tak kalah rupawan dari bangsawan yang dia ketahui. Andai dia salah satu dari mereka, mungkin Shaw bisa berteman lebih dekat.
"Baiklah. Saya akan pergi ke arah sini. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya." Si perempuan berambut hitam itu tunjuk arah yang berlawanan. Senyum di wajahnya mengembang tipis, sebabkan Shaw bertindak impulsif.
"Hei, boleh kutahu namamu?"
Walau sempat jeda karena ragu, perempuan itu akhirnya menjawab, "Melanie."
"Melati?" beo Shaw.
"Ppftt," Melanie tertawa kecil, "Melanie. Nama saya Melanie, Tuan."
"Ah yaa ... Melanie yang benar, haha." Shaw menggaruk tengkuk. Heran mengapa salah paham ini membuatnya merasa malu, padahal kelakuannya sehari-hari tidak pernah membuat dirinya merasa demikian.
Dia pun membalas lambaian tangan Melanie. Tetap diam di tempat menyaksikan bagaimana perempuan kecil itu ditelan keramaian.
'Melanie. Cantik,' pikirnya.
"Tuan, anda belum membayar pesanan anda."
Shaw menoleh, ada pemilik tenda makanan yang menatapnya tajam. Undang perhatian dari mereka yang berlalu-lalang.
Malu kedua Shaw rasakan.
__________________
SenAi
By: rey_asha
"Kakak melakukan apa!?"
Ainawa menatap kakak laki-lakinya penuh tuntut, memperhatikan gerak-gerik Akasachi yang gelisah. "Aku setengah mabuk. Lagipula ia mengincar Aira untuk diperistri, pikirmu aku akan membiarkan Aira bersama dengan pria itu?"
"Tapi bukan duel jalan keluarnya," serunya frustasi.
Kekhawatiran Ainawa jelas berdasar. Pria yang saat fajar akan berduel dengan Akasachi adalah Judd, pria yang dikenal keji dan penembak jitu. Setiap orang yang berduel dengannya tidak berakhir baik. Ada yang tidak bisa menggunakan lengan kirinya lagi karena tembakan di bahu, bahkan ada yang menemui ajal. Ia tahu informasi ini ketika membaca surat kabar.
"Aku tahu," Akasachi menghela napas berat. "Kesadaranku tidak berguna saat itu, tapi aku sudah memanggil temanku untuk menjadi pendamping duel nanti."
Sebelah alisnya terangkat. "Siapa? Temanmu dari penerbitan?"
"Bukan. Teman bangsawanku. Yang merekomendasikan aku di kelab malam kelas atas," Akasachi menoleh keluar jendela, tepat setelah kereta berhenti. Sang kakak menoleh padanya. "Masukkan rambutmu dalam topi. Ada alasan kenapa aku menyuruhmu mengenakan celana."
Ainawa menurut. Ia menyembunyikan rambut panjangnya ke dalam topi, memperbaiki kemeja dan celananya. Meski tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi dengan bantuan sepatu khusus juga ukuran celana yang lebih panjang, ia tampak seperti pria muda yang kurus daripada seorang gadis di umur dua puluhan.
Turun dari kereta sewaan Akasachi, ia langsung disambut dengan pria berambut unik. Kalau bisa dikatakan, rambut pria itu mirip dengan sawi. Rambut berwarna putih dengan ombre hijau juga gaya rambutnya yang menjulang ke atas, tentu bukan gaya rambut yang umum ditemukan—kebanyakan pria bangsawan memilih untuk berpenampilan necis. Namun, baginya iris semerah darah pria itu lebih menyita perhatian.
"Ishigami-san," Akasachi mengangkat topi, menyapa pria itu. "Terima kasih karena bersedia membantuku. Maaf mengusikmu di pagi buta begini."
"Tidak masalah. Aku juga berhutang banyak padamu. Buku-buku yang kau rekomendasikan juga informasi tentang kolektor darimu sering menolongku," pria itu tersenyum miring. Sesaat kemudian netra merahnya beralih fokus. "Adik perempuanmu?"
Ainawa terhenyak. Tidak menyangka bahwa penyamarannya begitu mudah dikenali, terlebih oleh orang asing yang tidak pernah melihatnya. Namun, Akasachi tidak menunjukkan keterkejutan yang sama. Kakaknya hanya mengangguk kecil.
"Ainawa. Adik bungsuku," Akasachi memberi isyarat padanya untuk mendekat. "Ainawa, ia adalah Ishigami Senkuu."
Ainawa sedikit membungkuk, menyapa sopan pria di hadapannya. Ishigami Senkuu... Ishigami Senkuu... sepertinya ia pernah mendengar nama itu, tapi di mana?
"Kita harus bergegas. Sudah waktunya."
Cemas yang sempat hilang, kini kembali merayapinya. Nasib Akasachi akan ditentukan sebentar lagi. Ketakutannya tidak bisa hilang meski sang kakak sudah berulang kali berkata bahwa ia akan baik-baik saja, bahwa dengan adanya Ishigami dan dirinya semua akan berjalan lancar.
Perjalanan dengan kereta pribadi Ishigami berlalu sangat singkat. Tepat ketika fajar mulai menyingsing, mereka tiba di tempat yang dijanjikan. Sebagai pendamping, ia dan Ishigami hanya bisa berdiri dan menyaksikan dari jarak tertentu. Ainawa bahkan tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan duel ini atau Akasachi yang menanggung akibatnya, peraturan yang ditetapkan memang demikian.
"Kak," ia menarik lengan Akasachi. "Minta jaraknya menjadi dua puluh langkah."
Tidak hanya Akasachi, Ishigami pun tampak terkejut dengan permintaannya. "Kenapa begitu?"
"Sudah lakukan saja."
Ainawa melepas kepergian sang kakak dengan hati kalut. Akasachi berhadapan dengan Judd. Sepuluh... dua belas... lima belas... delapan belas... dua puluh. Bukan tanpa alasan ia meminta Akasachi untuk bernegosiasi soal hitungan menjadi dua puluh langkah. Bahkan pria sekaliber Judd pun bisa sedikit meleset jika jaraknya diperlebar.
Kedua pria itu langsung berbalik. Letusan senjata api menggema, memecah keheningan pagi. Akasachi menurunkan pistolnya perlahan-lahan, menatapnya syok.
"Kakakmu tidak kena tembak," suara Ishigami terdengar tenang. "Letusannya tetap terdengar, tapi pelurunya tidak keluar dari pistol."
"...kau?"
Netra senada darah itu menatapnya, menyeringai tipis. "Judd tidak akan sadar kalau bubuk mesiunya kuganti dengan yang lain."
Kini, ia ingat siapa Ishigami Senkuu. Pria bergelar bangsawan yang jarang muncul pada aktivitas sosial, memilih untuk bersembunyi di dalam laboratorium. Beberapa penemuannya bahkan telah dipublikasikan di surat kabar. Tidak heran jika Akasachi memintanya untuk menjadi pendamping duel.
"Memperbesar kemungkinan tembakan Judd meleset dengan menambah hitungan," Senkuu menatapnya penuh arti. "Kau gadis yang menarik, Ainawa."
__________________
SamaRain
By: Kurogane_Luna
"Tuhan, jika kau adil, bisakah orang rendahan seperti diriku ini, mendapatkan sebuah keindahan yang bisa kumiliki hingga akhir hidupku."
Samatoki tidak ingin menghitung sudah berapa kali dia mendengar kalimat itu dari gereja tua di tengah hutan tempat dia dan perkumpulannya membuat markas. Pria itu tidak mengerti, kenapa ada orang yang sangat putus asa untuk mencari sebuah 'keindahan' dalam kehidupan, sehingga mencari berbagai cara demi menggapainya.
Walau dirinya juga tak jauh berbeda, tapi dia hanya menginginkan uang demi bisa memberi adik tercintanya kehidupan yang indah tidak seperti dirinya yang berakhir menjadi bandit di kerajaan, yang kerjaannya tidak lebih dari merampok rumah-rumah para bangsawan kerajaan.
***
Kali ini gerombolannya telah menargetkan bangsawan Eastaugffe yang kediamannya tak jauh dari markas dadakan milik Samatoki. Mereka sudah mengintai tempat itu lebih dari seminggu, dan jika mereka telah menghitung dengan benar maka kediaman itu hanya akan berisi para pelayan yang mereka bisa lumpuhkan dengan mudah tepat pada hari ini.
Semuanya sudah berjalan dengan mulus, para pelayan dan staf di kediaman itu telah diamankan. "Harusnya ruangan itu ada disini kalau si mata empat itu tidak mencoba membohongiku." Samatoki berbicara pada dirinya sendiri sementara iris merahnya melirik sekitar dengan awas. Pria berambut putih menyadari, di setiap lorong yang dilewatinya sedari tadi selalu ada potret seorang berambut pirang yang terpampang dengan indahnya.
Samatoki tahu siapa sosok pada potret itu, yang tak lain adalah nona muda kediaman Eastaugffe, dan juga orang yang sama yang kini dilihat oleh Samatoki tengah memanjat jendela ruangan ketika lelaki itu membuka pintu kamarnya.
"OI ONNA! APA YANG KAU LAKUKAN?!"
"Kau siapa—"
Pegangan Rain pada pembatas balkon terlepas, beruntung Samatoki langsung menarik lengan perempuan itu sebelum tubuh Rain jatuh dari ketinggian. "Kau sudah gila, ya?!" Rain menatap Samatoki dengan kesal—padahal sedikit lagi dia bisa kabur dari menjadi boneka orang tuanya. Tanpa sadar dia meninggikan suaranya ketika menjawab pertanyaan yang dilempar Samatoki padanya, "Iya! Aku gila terus-terusan berada di rumah ini!"
***
Samatoki menatap Rain yang duduk di sebelahnya sambil mengingat kejadian yang menjadi alasan kenapa perempuan itu kini ikut bersama dengan kelompoknya. Terhitung sudah 2 minggu Rain meninggalkan rumahnya, setiap kali Samatoki pergi mengunjungi kota para pembawa berita tak hentinya mengumumkan bahwa putri keluarga Eastaugffe telah menghilang dan setiap harinya bayaran untuk yang berhasil membawa perempuan bermata biru itu bertambah.
Mata merah milik Samatoki masih melekat pada sosok Rain yang tampaknya mulai risih dengan tatapan sang pria. "Apa? Ada sesuatu di wajahku?" Samatoki hanya menjawab dengan kata "Tidak." Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, tanpa melihat pun dia tahu Rain tengah menatapnya dengan bingung.
'Bisakah orang rendahan seperti diriku ini, mendapatkan sebuah keindahan yang bisa kumiliki hingga akhir hidupku.' Kalimat itu kembali bermain di pikiran Samatoki setiap kali dia melihat Rain. Ada perasaan yang menggila di lubuk hati Samatoki, entah itu ingin terus melindungi sosok perempuan itu, atau hanya ingin melihat Rain tersenyum walau sebentar saja.
"Oi, Rain."
"Apalagi sekarang?"
Samatoki tidak tahu apa yang dia pikirkan ketika mengucapkan ini, "Ayo kita kawin lari saja—lalu kabur dari kerajaan ini agar keluargamu tidak mencarimu terus."
"... Kau sudah jadi sinting, Samatoki?"
__________________
LuciRhe
By: Rhizurola
Desas-desus mengudara, disana para mulut bergantian memberikan berita dari kota dan sampailah menuju perkampungan. Warga desa, terkhusus gadis pemilik klinik herbal menerima berita itu bak angin lalu, atau seperti biasa berasumsi bahwa itu propaganda rumah bangsawan yang hendak naik pamor.
Namun, roti dengan tekstur lembut benar-benar sampai ke tangan mereka. Tak tanggung-tanggung, puluhan kereta kuda mengangkut ratusan kotak roti panas siap santap. Bahkan tak sedikitnya karung pemberian isi roti dingin dibekalkan pada mereka. Hiruk-pikuk desa pinggiran perbatasan yang terkenal kumuh dan tidak terawat itu bak negeri kecil yang diberi kemerdekaan. Akhirnya kota kerajaan memberikan sedikitnya perhatian.
Namun, gadis dengan gaun rumahan yang banyak ditambal kain warna lain, memandang miris rumahnya. Di dalam sana, tergeletak banyak pasien, di teras, terdengar rengkuhan bahkan teriakan kesakitan. Semua pasien yang datang memohon pertolongan. Rhea mengusap matanya yang memanas. Sarat akan kesedihan dan amarah.
"Mereka memakai keju busuk dan gandum sisa ... keji!" Dia tahu betul, meneriaki, emosi di tempatnya berpijak tak akan menyembuhkan semua warga desa yang terkena sakit perut.
Pemuda-pemudi desa geram. Ketika bantuan turun, yang mereka terima hanyalah racun. Penindasan terhadap rakyat biasa! Berbondong-bondong mereka hendak mendemo langsung ke rumah bangsawan yang memberikan mereka pangan! Rhea menghadang, dia kehabisan bahan obat. Ingin ikut serta.
***
Lucien menyaksikan bagaimana gerbang rubuh dan manusia kumuh berdatangan masuk. Dia tersenyum kecil, membiarkan, dan bahkan menolong mereka semua masuk. Toh akhirnya saingan di keluarganya akan berguguran bahkan atas dasar ide licik mereka sendiri.
"Memberikan bala bantuan layak ke tempat yang tidak diperhatikan Raja, mereka mendapatkan poin." Kacamata yang melorot, dibetulkannya. "Namun, orang lapar lebih berbahaya dari apapun."
"KAMI KE SINI UNTUK MEMINTA TANAMAN HERBAL KALIAN! SEMUANYA! TERKHUSUS UNTUK PENDERITA SAKIT PERUT!"
Lucien terkesiap di tempat penyaksian, kedip-kedip banyak, melihat bagaimana gadis bermata cokelat menatap gerbang dan bersedekap. Sudut bibir Lucien terangkat semuanya.
"Ke sini bukan untuk ganti rugi tapi meminta obat? Betapa uniknya gadis itu." Lucien tertawa hampir terbahak.
Hei gadis unik, siapa namamu? Dimana tempat tinggalmu? Boleh aku tahu tanaman herbal apa saja yang kau tahu?
__________________
OliRi
By: RainAlexi123
Hei apa kau sudah dengar beritanya?"
"Tentu saja! Hampir semua orang membicarakannya!"
"Tentang Duke Oliver Kirkland ya?"
"Sst! Jangan disebut namanya!"
"Oh berarti benar tentang beliau ...."
"Kalau tentang beliau, tentu saja topiknya tentang itu ya?"
"Ya, tentang Duke Kirkland yang jatuh hati pada seorang rakyat jelata, yang adalah pelayannya sendiri."
.
.
.
"Rhizu~ Sudah waktunya minum teh loh~"
Laki-laki dengan rambut gulali itu memunculkan kepalanya dibalik pintu dapur—mengagetkan petugas dapur yang sedang mempersiapkan makan malam kelak.
"Tu-Tuan Duke!"
"Hm, apa tidak ada Rhizu di sini?" herannya menelik tiap sudut dapur.
"Tuan Duke Oliver."
Mendengar suara yang familier memanggil namanya, Oliver memutar tubuhnya—ke sumber suara—mendapati seorang perempuan berambut pirang dengan seragam maid sedang berdiri di dekatnya. Iris kuning sang perempuan menatap Oliver dengan seksama.
"Jika Tuan mencari saya—seharusnya Tuan Duke menunggu di taman, saya sudah berada di sana sejak tadi," jelasnya kemudian.
Oliver mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng.
"Sudah berapa kali kubilang untuk memanggilku Oliver, kan?" tanya Oliver, "lagi pula yang lebih pantas dipanggil Tuan Duke itu Arthur, bukan aku."
Rhizu, perempuan yang dicari oleh Oliver itu hanya diam cukup lama, sebelum akhirnya menghela napas lalu tersenyum kecil.
"Baiklah jika itu yang Anda inginkan, Oliver."
Wajah Oliver mencerah, dan laki-laki itu berjalan menuju taman dengan mood bagus, sementara Rhizu mengikuti dari belakang.
"Hari ini Anda ingin teh apa, Oliver?"
Mendengar namanya kembali disebut, senyum Oliver melebar. Namun segera kembali normal saat mengingat pertanyaan sang perempuan. Dia menoleh ke arah Rhizu, dengan senyum seperti biasa.
"Oh, sebenarnya aku ingin mengajakmu membuat cupcake bersama."
Mendengar ucapan Oliver, Rhizu berhenti sejenak. Air mukanya yang terlihat baik, kini menunjukkan ekspresi sinis yang dingin.
"Jika itu yang kau inginkan, Oliver—ayo membuat cupcake bersama."
.
.
.
"Ngomong-ngomong, kenapa kita tidak boleh menyebut namanya?"
"... itu karena ada rumor mengerikan yang berkeliaran akhir-akhir ini."
"Rumor mengerikan?"
"Ya, walaupun aku tidak tahu bagaimana bisa rumor ini sampai ke rakyat kota, tapi kudengar beliau sering membuat cupcake."
"Cup ... cake?"
"Tentu saja bukan itu yang menjadi sumber mengerikannya—melainkan bahan cupcake itu sendiri, yang terbuat dari orang-orang yang mencoba mengganggu keluarga Kirkland dan pelayannya itu."
Published 24th of August, 2021
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top