i - He Propose
Participant and Pairing:
rorovii_ → TauMeli
Evellyn_93 → JoRiel
Asakura_Haruka → IdiCa
Cuzhae → RayA
UnwrittenWhitePaper → GavinAsa
.
.
.
TauMeli
By: rorovii_
Taufan gelisah gundah gulana. Lelaki yang biasanya terlihat tenang dengan pembawaan karismatik itu tidak biasanya merasakan emosi seperti ini—rasa tidak nyaman yang menggelitik seluruh tubuh hingga tangannya mengeluarkan keringat. Sepanjang pagi Taufan seperti itu, otaknya tidak bisa tenang, tangannya meremas satu sama lain dan kakinya terus menapak lantai. Sungguh, ada sesuatu yang mengganjal benak Taufan.
Lebih tepatnya—Taufan mengkhawatirkan apa yang akan dilakukannya hari ini. Pada kencan pikniknya dengan Meli. Ya, kencan ini sangat penting, hari ini sangat penting bagi Taufan.
"Aku pulang," suara Meli terdengar dari depan, Taufan bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke teras dan menyapa Meli. Untuk hari ini, Meli sengaja pulang lebih awal dan Taufan juga sengaja menunggu di rumah Meli untuk rencana hari ini. "Selamat datang, Meli."
Meli mengangguk singkat, melangkah masuk ke rumah bersama Taufan.
"Bagaimana, hari mu?"
"Seperti biasa, anak-anak daycare sedikit menjengkelkan hari ini."
"Kau pasti lelah, mau istirahat sebentar?"
Meli menggeleng, "kita ada kencan hari ini, kan? Aku akan segera bersiap-siap."
"Tidak, Meli, Istirahatlah dulu." Taufan membujuk, tapi akhirnya mengalah saat Meli bersikeras ingin segera pergi, membiarkan Meli masuk ke kamar tidurnya untuk mengganti pakaian penitipan anak dengan pakaian santai.
***
Wajah Meli terlihat bingung—namun samar, Taufan melihat rona merah di pipi gadis itu. Sementara Taufan, jantungnya berdegup begitu kencang, tangannya yang memegang cincin bergetar.
"... Taufan?"
"... Meli," Taufan meneguk saliva, "aku sudah lama sadar, aku tidak bisa hidup tanpamu. Tapi aku juga takut meminta yang lebih padamu, karena aku tidak ingin menjadi beban dalam hidupmu."
"Aku masih belum bisa menebakmu, kau masih menjadi orang yang sangat misterius bagiku bahkan setelah hubungan kita selama ini."
"Taufan—"
"Tapi aku juga tidak bisa memikirkan hari tanpa aku mengenalmu lebih dalam, aku ingin melihat senyumanmu setiap hari, aku—aku masih belum mengenalmu seutuhnya, dan aku ingin menghabiskan hidupku untuk mengetahui setiap lapisan dalam dirimu, Meli."
Taufan mengambil tangan Meli dalam genggamannya, mencium punggung tangan yang lebih mungil itu, lalu meletakkan cincin berlapis perak dengan permata kecil di atas besi yang didesain simpel itu di atasnya—di atas jari manisnya. Lalu Taufan mengangkat mata, menatap Meli yang hanya bisa menatapnya dengan mata lebar. Kalimat yang sangat ingin Taufan katakan, akhirnya keluar juga dari bibirnya.
"Meli, maukah kau menikah denganku?"
_________________
JoRiel
By: Evellyn_93
Awan kelabu memayungi kota, membungkusnya dengan gerimis sepanjang siang. Rintikan hujan nampaknya belum memberi tanda agar segera reda. Hingga gelap menyapa, gerimis juga belum usai. Sepasang kekasih duduk berhadapan di dalam kafe yang hangat. Tepat di samping jendela besarnya, dimana tetesan air satu persatu menetes, membekas jejak tersendiri yang sejak tadi diperhatikan oleh gadis berhelai salju.
Seorang kekasih di luar jendela tertangkap oleh sepasang rubi milik sang gadis. Berjalan di bawah payung yang sama, menukar senyum sarat akan kasih sayang, bahkan saat gerimis tak kunjung reda, kebahagiaan tetap menyelimuti mereka.
Bukankah indah jika memiliki seseorang yang selalu ada? Yang melihatmu apa adanya, bukan sebagai orang lain. Yang bisa mengisi lubang dalam hati yang kian hari kian membesar, dipenuhi oleh ketakutan dan rasa tidak percaya. Akan sangat menyenangkan jika Rielle punya satu. Namun dalam hidup, dia belum pernah punya. Satu pun tidak.
"Rielle," suara berat membuat maniknya mengerjap. Butuh beberapa saat hingga atensinya beralih ke pria yang sedang menyesap minumannya, "Makan." Lanjutnya singkat.
Lantas pandangannya jatuh pada hidangan di atas meja. Baru saja ditinggal melamun sebentar, pesanannya sudah siap saja. Rielle mencuri kesempatan untuk melihat sang pria. Duduk di hadapannya dengan dahi yang berkerut heran. Mungkin memikirkan alasan mengapa gadisnya melamun sejak tadi dan tidak menyentuh makanannya.
"Makan." Ulangnya. Jemari itu meraih sumpit lantas mengangguk pelan.
Ada satu lagi yang membuat Rielle jatuh dalam lamunan, sebenarnya.
Ide makan di luar ini adalah milik Jonghyuk. Serta, tadi—yang membuat Rielle keheranan—cara mengajaknya agak manis.
***
Rielle tidak habis pikir, sebenarnya Jonghyuk ini mabuk atau bagaimana? Tapi agak lucu juga jika mabuk adalah hal yang melatarbelakangi kelakuannya dua minggu ini. Dua minggu lalu, Jonghyuk mengajak Rielle untuk makan di luar dengan cara yang ... Ya, cukup manis. Cukup untuk takaran seorang Yoo Jonghyuk, karena sifat lakunya masih mendominasi.
Tapi akhir-akhir ini, sifat manisnya keterusan.
Sungguh. Mungkin Yoo Jonghyuk sudah kerasukan.
Secara verbal sih tidak, tapi secara kelakuan iya. Hari berikutnya setelah makan malam di sela gerimis itu, Jonghyuk menjemput Rielle tanpa diminta. Hari berikutnya, setelah Rielle selesai dengan pekerjaan menyanyinya, ajakan jalan-jalan ke mal dilontarkan. Kalau jalan-jalan biasa sih tidak masalah, tapi hari itu Jonghyuk seakan tak ingin melepaskan genggamannya pada Rielle. Jemarinya terpaut pada sang gadis, terkadang ibu jarinya bergerak untuk mengusap punggung tangan Rielle.
Siapa gerangan yang mengajarinya?
Rielle selalu menghargai setiap waktu yang ia habiskan dengan Jonghyuk. Tapi waktu tempo hari ... Bukankah terlalu berlebihan buatnya? Bagaimana jika Jonghyuk berbuat baik padanya untuk keuntungannya sendiri?
Terlalu banyak bagaimana di kepalanya hingga satu notifikasi pesan muncul di layar ponselnya.
Temui aku di taman, sekarang.
Itu Jonghyuk. Entah kejutan macam apalagi yang akan Rielle dapat malam ini.
Seperti punya radar alami yang terpasang di badan masing-masing, Rielle menemukan Jonghyuk dalam sekali jalan. Di bawah lampu taman, seorang pria bersandar di sana. Lantas kakinya beranjak untuk mendekat.
"Ada apa?"
Manik sang pria jatuh pada netra semerah rubi itu. Hatinya bagai digantung dengan benang renjana karena hari terakhir ia melihat Rielle adalah lusa lalu. Iya, dua hari kebelakang Jonghyuk hilang bak dibawa angin. Mengesalkan memang. Tapi baik Rielle maupun Jonghyuk, pertemuan malam itu bagai mengobati rasa rindu masing-masing.
"Aku banyak berpikir soal ini, sudah lama." Jonghyuk membuka suara. "Tapi aku sadar, yang seperti ini tidak cukup jika hanya dipikirkan, namun juga harus dirasakan."
Belajar dari mana dia?
Rielle mematung di tempatnya. Ia yakin benar jika Jonghyuk akan memunculkan topik yang berat. Penasaran menyerang. Detakan jantungnya mulai meningkat seiring Jonghyuk yang mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
"Rielle," namanya disebut pelan, dengan lembut, seperti angin malam yang membelai mereka berdua. Lantas kotak berisikan cincin dibuka di hadapannya, "menikahlah denganku."
Manik merah membola, tiada aksara yang keluar untuk berikan jawaban, kebingungan membanjiri pikiran. Rielle, kau harus apa? Lantas amarahlah yang mengambil alih dirinya.
"Apa-apaan ini—"
"Aku tahu," sang pria memotongnya, wajahnya masih santai seakan sudah menebak reaksi Rielle.
"Tidak ada laki-laki yang baik di mata perempuan yang trauma. Aku tahu itu."
Karena Yoo Jonghyuk tidak sekedar membersamai Rielle secara fisik selama ini.
"Tapi aku ingin belajar untuk mencoba menjadi lelaki yang baik untukmu."
Namun Jonghyuk juga menghadirkan hatinya.
"Untuk menjadi lelaki yang kau percayai seumur hidup."
Untuk Rielle.
"Untuk berbagi senang maupun susah bersamamu."
Untuk seseorang yang ia pandang apa adanya, bukan sebagai mantan kekasihnya.
_________________
IdiCa
By: Asakura_Haruka
Idia menatap kotak kecil berwarna hitam yang ada di depannya sambil menghela napas. Memutar kembali untaian kalimat yang seharusnya ia ucapkan ketika bertemu sang calon pemilik isi kotak itu.
Namun, sisi introvert Idia membuatnya tidak bisa merangkai kata yang pas untuk momen yang nantinya akan ia lalui sekali seumur hidup.
"Nii-san? Kau baik-baik saja?" kemunculan Ortho bahkan membuat Idia nyaris terjengkang dari tempat duduknya karena pikiran lelaki berambut eksotis itu sedang mengembara entah kemana.
"Ah.. Ehm.. Yah... kurasa..."
Melihat gelagat Idia, mau tak mau membuat Ortho memiringkan kepalanya sedikit bingung. Namun setelah melihat kotak kecil dihadapan Idia, membuat Ortho paham apa yang sebenarnya terjadi.
Ia memegang tangan sang kakak dan berusaha tersenyum menyemangati.
"Tenang saja, Nee-san pasti akan senang menerimanya."
Idia berusaha membalas senyum Ortho dan mengacak rambut adiknya pelan sebelum mengambil kotak kecil tersebut dan berjalan keluar kamarnya untuk menemui Ecca.
Tak lama mencari gadis itu, ia bisa melihat Ecca tengah duduk santai di sebuah bangku taman sambil membaca buku resep masak. Idia memang berjanji menemui Ecca hari ini.
Dengan langkah gugup, Idia berjalan mendekati Ecca. Membuat mata hijau Ecca mendongak menatapnya.
Perlu perjuangan luar biasa saat Idia mengeluarkan kotak hitam dari saku celananya dan membukanya untuk diperlihatkan kepada Ecca. Sebuah cincin emas putih berkilau tertimpa matahari sore.
Idia membuka dan menutup mulutnya. Hendak mengatakan sesuatu. Tapi anehnya tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Membuatnya makin keringat dingin dan salah tingkah.
Ecca yang melihat hal itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia mengambil kotak itu sebelum memeluk Idia.
"Dengan senang hati, Idia."
Ucapan Ecca entah bagaimana membuat Idia lega. Gadis itu tidak perlu banyak kata darinya, untuk mengerti apa isi hatinya. Ia pun menyalurkan perasaan itu dengan membalas pelukan Ecca.
_________________
RayA
By: Cuzhae
Lembayung yang tampak di langit dan Aizura— atau sering disapa dengan panggilan Ai —masih berkutat dengan lamunannya. Beberapa waktu lalu sang perempuan ditawari untuk membantu di klinik. Namun, kesibukan di rumah sakit saja telah menyita waktunya, apa ia bisa?
"Ai, waktunya pulang loh~" Dari arah kanan, pemuda dengan surai hitam berlari ke arah sang perempuan. Ia berjongkok menatap wajah Ai, sekilas ia tersentak, "jangan bilang kamu lembur lagi?"
Ai tak menggubris, tetap dengan lamunan di dalam benak. Tangannya bergerak memijit keningnya. Lingkaran hitam di bawah mata pun terlihat samar.
Ray—nama sang lelaki yang diketahui kekasih dari Ai—menarik tangan sang perempuan ke dalam genggamannya sambilan mengelusnya dengan ibu jari.
"Apa enggak bisa minta izin dulu? Lima hari—tidak, tujuh hari dihitung sampai sekarang kamu belum pulang dari rumah sakit," tutur Ray. Netra biru Ai memperhatikan wajahnya. "kamu kangen gitu sama Belle— kucing kita?"
"Kan ada kamu, Ray ..."
Jawaban singkat dari sang perempuan sepertinya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Bila sudah seperti ini akan sulit membujuk Ai sekadar untuk beristirahat di rumah meski hitungan jam. Ray menarik sang kekasih untuk bertemu langsung dengan pembimbing Ai. Lelaki itu akan berbicara langsung agar ia bisa mendapatkan izin supaya Ai bisa beristirahat.
"Kamu bereskan barang-barangmu dulu. Aku saja yang minta izin biar kamu bisa pulang." Tanpa menunggu balasan Ai, Ray segera meninggalkannya. Pasrahlah Ai, gadis itu mendoakan sang kekasih, semoga bisa bertahan dengan omelan pedas pembimbingnya.
***
"Selagi aku bebas dari tugas, hari ini aku enggak bakal biarin kamu bekerja. Harus dipakai istirahat," omel Ray berdiri di hadapan Ai yang duduk di tepi kasur. Bagaimana Ray bisa bebas keluar-masuk apartemen Ai? Atas inisiatif lelaki itu sendirilah yang membuat kunci duplikat sendiri, ia melakukannya demi kebaikan Ai juga.
"Padahal kamu enggak perlu repot ngurusin aku," Ai merasa tidak enak pada Ray. Namun, selain itu ia juga bersyukur karena ada yang perhatian padanya.
Seulas senyum terbit di wajah Ray. "Kamu itu sering lupa kalau kamu juga butuh istirahat, Ai ... Aku enggak keberatan sama sekali."
Bagaimana bisa Ai tidak jatuh hati jika ada yang mengerti dirinya seperti ini?
"Aku tahu ini kurang romantis dan bukan waktu yang pas, tapi kamu 'kan suka sibuk di rumah sakit dan aku yang terkadang ada tugas mendadak, kutakut enggak ada waktu lagi," ucapan Ray menjadi lebih serius. Ia menarik laci nakas di samping ranjang, sebuah kotak berlapis kain merah. Kemudian dibukanya ke hadapan sang perempuan. "Nikah, yuk?"
Rasa kantuk bergelayut di netra biru Ai seketika hilang, tidak menyangka sebuah cincin emas dengan permata putih kecil di tengahnya tepat dihadapkan padanya. Tawaran menjadi teman hidup yang selama ini Ai dambakan kini sudah terpampang nyata.
"Ray ..." Ai tak sanggup berkata apa-apa lagi.
"O-oh, maaf ... kukira kamu udah siap."
Gelengan kuat seraya mata yang mulai berair, Ai berujar cepat, "Bodoh, mana mungkin aku menolakmu!" Lalu Ai ambruk jatuh ke dalam pelukan Ray, kotak cincin di tangan lelaki itu pun terjatuh karenanya.
Usaha Ray berhasil, tidak menutup kemungkinan ia juga ikut menangis bersama kekasih—ralat, calon istrinya itu. Ray mengecup puncak kepala Ai seraya mengucapkan terima kasih berulang kali. Dengan ini Ray bisa bebas menjaga Ai dan menjadi tempat keluh kesahnya.
_________________
GavinAsa
Jejak kaki kecil terlihat di bibir pantai. Jejak kaki itu berasal dari seorang wanita cantik yang berjalan mengitari pantai tanpa alas kaki. Tangan kirinya menjinjing sandalnya sembari menikmati langit sore.
Seharusnya saat ini Asakura menikmati keindahan pantai bersama pacarnya, Gavin. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung datang dari waktu yang ditentukan dengan alasan pekerjaan mendadak. Asakura tahu bahwa pacarnya ini adalah orang yang sibuk dan mencoba memakluminya, walaupun terkadang hati terasa sesak karena kesepian.
"Langitnya sangat indah, aku ingin Gavin juga melihat pemandangan ini" bisik Asakura.
Hatinya kembali berdenyut dengan pernyataan yang terlontar dari mulutnya sendiri.
"Tidak apa-apa Asakura, ini bukan akhir dari segalanya" gumamnya.
Tangan kanannya terulur mengarah ke matahari senja sambil menutup matanya. Aroma angin laut disertai sinar senja yang hangat menerpa Asakura mampu membuatnya lebih tenang.
'Aku tahu ini egois, tetapi aku berharap bersama Gavin disaat seperti ini.'
Tiba-tiba angin laut tidak menerpa Asakura, seperti ada yang menghalangi, disertai dengan tangan kanan yang tadi terulur disentuh oleh seseorang.
Asakura membuka kedua matanya dan melihat Gavin dengan pakaian polisi lengkap sedang berlutut sambil memegang tangan Asakura.
"Gavin?!" Kaget Asakura.
Asakura tidak menyangka Gavin muncul didepan matanya.
"Maaf aku baru datang, sebenarnya aku ingin melakukan ini setelah selesai kita berkencan, namun aku kehabisan waktu di pekerjaanku," Gavin mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya dan menyodorkannya pada Asakura.
"Di tempat ini dengan matahari yang kian terbenam, suara sapuan ombak, dan langit berwarna jingga yang menjadi saksi. Asakura, will you marry me?"
Asakura tertegun, dirinya tidak mampu memproses segala informasi. Gavin yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan langsung melamar cukup membuat dirinya menjadi batu. Mata Asakura perlahan-lahan mengeluarkan air mata, tangan kanan yang disentuh oleh Gavin menggenggam erat.
Ketika Asakura membuka mulutnya hendak menjawab pernyataan Gavin, terdengar suara alarm jam, dan seketika semuanya pudar dan Asakura terbangun dari mimpinya.
Kedua mata Asakura terbuka, dirinya mencoba memahami apa yang terjadi. Ketika kepalanya menoleh ke kanan, dia melihat Gavin sedang memeluknya sambil tertidur. Namun hal itu tidak berlangsung lama, kedua mata Gavin ikut terbuka.
"Ada apa, Asakura?" Tanya Gavin khawatir.
Asakura menatap wajah Gavin sambil menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa, tadi aku memimpikan sesuatu yang indah, tetapi saat ini ada sesuatu yang lebih indah dari mimpiku" ucap Asakura bahagia.
Published 08th of June, 2021
#PAW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top