6. Hear The Unblooms
the grace within thy vessel
shall not flourish
whilst thy heart still doth beat.
Pemuda itu berlari kecil sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertinya, dia tidak memiliki kesabaran untuk berkeliling kota dengan santai. Hal itu bukanlah sebuah kesalahan, mengingat sebentar lagi malam akan tiba.
Semakin lama berlari kecil, napas sang pemuda semakin habis. Dia berhenti, menarik napas yang dalam. Kelihatannya, dia sedang mengumpulkan udara dalam paru-paru agar dapat melanjutkan perjalanannya.
Siapa, ya, dia?
"Sial," rutuk pria itu di sela-sela tarikan napasnya yang semakin teratur. Dia berbalik, menyapu pandangan ke segala arah, lalu menggaruk kepala agak kasar.
Sang pemuda berdiam, menatap masing-masing ujung kedua kakinya. Agaknya, ia tengah memikirkan sesuatu. Dari alisnya yang berkerut dan sepasang pupil yang bergetar itu, sang pemuda tengah mencoba untuk memecahkan suatu masalah dalam benak.
Apakah dia tengah mencaritahu cara agar dapat bertemu dengan rekan-rekannya yang lain mengingat dia terdampar seorang diri di bagian tenggara Yorkshire?
Padahal, yang perlu dilakukannya adalah berjalan sedikit lagi untuk sampai di sebuah lapangan luas. Mungkin, area itu terlihat terlalu mencurigakan baginya, mengingat kabut terlihat menyelimuti lapangan dengan setia.
Pria itu membenahi letak kacamatanya yang tadi miring, kemudian kembali menunduk.
....
Haha, keheningan ini membuat saya merasa canggung. Ternyata, tidak membaca pikiran orang itu ada kekurangannya juga. Menurutmu, Penonton, haruskah saya mencoba mendobrak privasi mereka?
"Ini, kok jadi gini, sih?" gumam sang pemuda.
Akhirnya dia berbicara pada diri sendiri.
"... Do they have something to do with this?"
Wah, dia sedang menuduh orang. Menuduh atas apa, ya, kira-kira?
Haha.
Pemuda itu terduduk di trotoar sembari menangkupkan dagu pada tangan kiri yang tertumpu di paha kirinya.
Kedua alisnya yang semula bertemu kini terangkat secara perlahan. Pandangan matanya yang semula tegas kini berubah sendu, diiringi dengan bibir yang tertekuk samar.
Belum lama dia beristirahat, suara langkah kaki yang terdengar cukup samar mengisi udara di sekelilingnya. Perlahan, sang pemuda meraba lengan kanannya yang tiada, lalu beranjak dari duduk dengan cepat.
Ketika ia memutarkan tubuh ke sumber suara, cahaya keemasan yang agak pudar keluar dari lengan kanannya yang tidak lengkap; dipotong secara paksa. Saya ingat, lengannya dibuang karena suatu ancaman yang menyusup masuk.
Maka, bukankah seharusnya tubuh sang pemuda bersih dari noda dan kerusakan?
Cahaya keemasan tadi berdansa di udara, memanjang dan mengelilingi lengan kanannya sehingga membentuk tangan yang terlihat tembus pandang dan tidak sempurna.
Luar biasa.
Dia bisa melakukan itu, padahal dia masih hidup.
Kelompok ini ... lain.
Ketika sang pemuda mendapati sumber suaranya adalah orang yang dia kenal, tangan buatan yang seolah diaktifkan hanya ketika ada bahaya itu menguap. Cahaya keemasan mulai memudar, berubah menjadi bercak-bercak sinar seolah kunang-kunang, dan melebur bersama udara.
"Kak Eris ...!" seru sang pemuda.
Eris tersenyum lebar. "Andrew imouto."
Ah, iya. Andrew.
Pemuda itu namanya Andrew.
Haha. Wah, bahaya.
***
Mereka tidak banyak berbicara. Sesekali, Andrew bertanya apakah Eris paham mengapa semua ini terjadi; mereka yang seharusnya bebas malah terdampar kembali di tempat asing tanpa penghuni.
Menurutnya, tempat ini masih merupakan Eldorath (ya, dia tidak salah, sih. Haha). Maka, bukankah pintu keluar di mal itu hanya pintu yang mengaitkan mereka ke tempat lain di Eldorath?
Hm, hipotesisnya tidak buruk.
"Chita dan Elin," Andrew melepaskan kacamata dengan lensa retaknya itu untuk memijat pangkal hidung, "tiba-tiba hilang pas aku dan yang lain lagi berantem sama makhluk ular jadi-jadian campuran cacing pipih gitu."
"Waw." Eris mengangguk-angguk.
"Terus, mereka berhasil bunuh-bunuhin banyak monster dan nyampe di gerbang yang seharusnya kita lewatin bareng. Anehnya, mereka enggak langsung pergi berdua, tapi malah berdiri di depan gerbang. Terus ...."
Wajah Andrew kelihatan masam. Ia menutup mulut dengan tangan kiri seraya mengerutkan dahi seolah sedang mencoba mengingat suatu informasi yang penting sekuat tenaga.
"Terus ...," kedua alis Andrew semakin menyatu, "aku enggak inget. Aku cuma inget, ada ledakan gitu. Ledakan cahaya. Udah gitu, aku kebangun depan hotel terlantar. Sendirian."
Eris mengangguk, kemudian berhenti berjalan sehingga Andrew pun melakukan hal yang sama. Mereka kini berdiri di tengah jalan, di antara toko-toko aksesori dan toko-toko perlengkapan olahraga; sudah menjauh dari tempat Eris berada ketika ia kali pertama membuka mata di Yorkshire.
Selain bulan yang mulai menggantikan cahaya matahari di balik awan-awan kelam di langit, satu-satunya sumber cahaya mereka ialah lampu-lampu yang berdiri sepanjang trotoar, bersiap untuk menerangi jalan ketika langit kelabu itu berubah gelap.
Malam semakin dekat.
Mereka harus cepat.
"Andrew imouto pinter jaga rahasia?" tanya Eris setelah beberapa lama mereka berada dalam keheningan.
Agaknya, pertanyaan Eris yang seolah tidak berdasar membuat Andrew sedikit terkejut. Namun, dia tidak mengatakan apa pun dan hanya menggangguk sebagai jawaban.
"Apa yang mau Eris lakuin bakal jadi rahasia kita, ya," ucap Eris tanpa membuat kontak mata dengan Andrew.
Haha.
Kelihatannya, Andrew merupakan pemuda yang jujur. Saking jujurnya, dia tidak bisa mengontrol ekspresinya yang jelas-jelas kebingungan. Bahkan, sepertinya, mencurigai Eris barang sedikit.
Eris menutup mata, lalu menebas udara di hadapannya dengan tangan kanan. Di sela-sela napasnya, bisikan yang ditutur oleh Eris terdengar.
"Kara."
Ketika nama itu diucapkan, kedua mata Eris terbuka. Alih-alih lensa mata berwarna cokelat kehitamannya yang biasa, bola mata Eris berubah putih sepenuhnya diiringi oleh pancaran cahaya hijau kekuningan untuk sesaat.
Pemandangan itu adalah kali pertamanya saya---dan, tentu saja, Andrew---menyaksikan seorang manusia mengeluarkan sinar dari kedua matanya walau hanya untuk beberapa detik. Setelah cahaya itu menghilang dan pupil Eris kembali ke tempat seharusnya mereka berada, tubuh pria tersebut terhuyung seolah mengalami nyeri pada kepala.
Andrew buru-buru merentangkan tangan kirinya untuk memberikan penopang bagi tubuh Eris. Walau demikian, Eris menepis tangan sang pemuda seraya mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja.
"Barusan itu," Andrew berdeham, "apa?"
"Sulap," jawab Eris sekenanya.
"Kak, kayaknya ini bukan saat yang tepat buat kita bercanda."
Eris tertawa. Dia menepuk-nepuk pundak kanan Andrew. "Eris enggak bercanda, beneran sulap. Ajaib, ya?"
"... Kara itu apa?" tanya Andrew.
Keheningan kembali menemani mereka, bertengger beberapa saat sebelum akhirnya Eris memalingkan wajah dari Andrew dan memandangi entah apa.
"Malaikat."
Kelihatannya, Andrew tidak ingin menanyakan lebih jauh. Namun, mulutnya tetap bergerak. "Malaikat ..., maksudnya?"
"Malaikat penjaga FLC," imbuh Eris. "Cantik, lo, mirip Megumin."
"Kak---"
Sebelum Andrew menyelesaikan kalimat---atau pertanyaan---yang hendak ia lontarkan dari mulut, Eris memotong dengan intonasi yang terdengar menekan. "Andrew, dengerin baik-baik."
Seakan komando absolut, sekujur tubuh Andrew seketika menegang; terdiam sampai Eris kembali membuka mulut.
"Andrew, inget enggak, kita sisa berapa?"
"Ah ...," wajah Andrew berubah masam, "29 ... 29 orang."
Eris tersenyum kepadanya. Entah mengapa, kelihatannya senyuman itu bukan untuk menenangkan Andrew, melainkan memiliki arti lain. "Andrew percaya sama Eris?"
Butuh beberapa detik bagi Andrew untuk mengangguk.
"Eris, sama kayak Andrew, bisa pakai jiwa. Tapi, beda sama Andrew, Eris enggak pakai jiwa Eris."
Kalimat itu membuat kedua mata Andrew membelalak. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi urung seketika saat ia melihat senyum yang terukir pada wajah Eris.
"Eris itu Dora; Eris punya peta. Tadi, Eris buka peta biar tau di mana aja temen-temen yang lain. Di peta, temen-temen bakal kelihatan sebagai titik hidup."
Andrew mengangguk. "Aku paham."
Senyuman Eris sedikit meluntur. "Eris lihat ada 41 titik hidup, termasuk kita, di peta."
Mendengar pernyataan tersebut, kedua alis Andrew semakin terangkat. Kaki kanannya melangkah ke belakang tanpa membawa tubuhnya mundur untuk menjauh. Agaknya, itu adalah reaksi spontan yang ditunjukkan oleh tubuh sang pemuda kala ia sangat terkejut.
Tanpa memberikan kesempatan kepada Andrew untuk berbicara, Eris menempatkan jari telunjuk kanannya di hadapan bibir, masih dengan senyuman tipis yang belum luntur sepenuhnya.
"Kak---"
"Andrew," Eris memotong, "tiga di antara 41 titik hidup itu ada di sebelah sana."
Ketika sang pria menyelesaikan kalimat tersebut, tangannya menunjuk ke arah belakang Andrew, tepatnya pada toko perkakas terbesar dengan jendela yang pecah.
"Dan tiga-tiganya punya warna yang berbeda dari kita."
Oh, menarik.
Saya tidak tahu Kara bisa melakukan itu.
Namun, tetap saja. Apabila mereka nekat untuk mendekati tiga titik hidup itu sekarang, bersama Andrew, bukanlah pilihan yang bijak.
... Haha.
1.291 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top