5. Listen, The Name's ... Eris

to the nonexistent fervor
and invisible force,
I will not rest
until your vanished soul
find peace.

"TINGGALKAN AKU!"

Suara yang udah enggak asing itu kedengeran lagi. Berkali-kali aku coba buat berhenti denger, berkali-kali juga suara-suara lain kedengeran di saat-saat yang acak; aku enggak bisa matiinnya.

Aku enggak bisa berhenti mengingat apa yang bukan merupakan ingatanku.

Setelah ada cahaya putih---yang kayaknya dateng dari kelakuan Chita dan Elin sama bapak-bapak gaul pada masanya itu---aku terbangun di tengah-tengah lapangan kosong yang berkabut.

Beberapa kali aku coba buat manggil temen-temen yang lain, yang terakhir kali bareng, tapi suaraku malah menggema. Berarti, lapangan ini kosong dan aku sendirian.

Aku belum pergi ke mana-mana.

"Kumohon."

Aku enggak bisa berjalan dengan tenang sama semua suara ini.

"Ambil aku, lepaskan mereka; kumohon."

Sesekali, aku coba pijat-pijat kepala dikit, atau pukul karena frustrasi. Tapi tetep aja, suara dan bayangan-bayangan memori itu enggak bisa berhenti; terus ngalir kayak air gunung yang disalurkan ke rucika sehingga bisa mengalir sampai jauh.

Ah, sebuah ingatan lagi nendang otakku; memaksa untuk mengingat padahal aku bukan pemilik memori.

Aku melihat ... karnival.

Karnival itu kelihatan tua banget; permainan-permainan yang biasanya ada di sana enggak kutemukan di bayangan-bayangan itu. Ada bianglala, kuda putar, beberapa stand lempar bola, dan wahana anak lainnya. Tapi, semuanya kelihatan tua.

Pandanganku kelihatan seperti film-film yang pakai konsep found footage, seolah aku di sana jadi orang yang bener-bener ngelihat itu semua dengan mata kepalaku sendiri. Aku main banyak permainan sama seorang pria yang enggak aku kenal dan perempuan lain yang sepantaran denganku.

Mereka teman.

Teman siapa?

Temanku.

Ţ̵̢̲̳̫̩͕̮̖̯̠͇̘̂͗̈̔̏͐͛̉̔ę̵̨̢͉̼̟̰͙̤͎͚̬̤͈̳̫͓͕͕̜͓̮͓͚̼̪̜̙̥̬̗̉͑̿̚͜͜ͅm̴̢͙̖̗̮͈̻̟͙͍̆̏̎́́̕͘̚͜a̷̡̰̘͓̞͙̘͓̝̪͙̣͓͕̿̅̔n̷̡̡̧̧̞͖͈͈͕̖̦͉̬͚͒̑̆̅̆͗̈́̅̉̽̀̊͛̓̿͋͌̂͑͐̍͋̓̓̓̀͐͌̅̂͑̆͋̊̚̕͠ ̸͓̟̬̖͈̩̠͈͈̗̼̎̓̃̽̈̃͆̓́̅̋̕͝Ķ̷̧̢͉͚̝͕̖͕͕̦̺̜̞̩͕̦͔̣̹̜̠͔̮̳̣̰̥̘̯̜̬͖͈͔̜̖͗̇̀̎̾̆̔̑̈́̽̀́̂̇̉̃̇̐̏̋͆̆̆́͒̅̈́̓̃̓̍͂̓̅̕͘͠͠a̶͇̘͕͚͉̠̣̥̝̝̺͕̳̫̮̯̾͐̾̚ͅŗ̵̛̛̮͕͚͎̼̦͕̻̰̟͎̜̯̺̺͍̮̪̹̭̥͖̳̓̈́͛̀͌̈͒͊̓̀̑͛͗̇̂̆̕a̶͈̝͇̪̗̜̣͓̗̙̺̞̥̳͓̰̺̦̭̬͚̯̩͙̎̃̐̈́́̈́̃̆̎͛̉̐͗̒̌̉͜͠ͅ.

Temanku.

Aku menggelengkan kepala pelan.

Enggak lama setelah Kara---Fani---memberiku Epiphany-nya sepenuhnya, aku mulai mendengar, melihat, dan ngerasain hal-hal yang enggak seharusnya aku rasain. Banyak hal---banyak gambar, bayangan, suara---menabrakku seolah kereta cepat.

Karenanya, sesekali, aku merasakan sakit teramat sangat dan berat di balik dada.

Sudah banyak memori yang kuingat setelah hilangnya ... aku. Kara.

Pertama, aku melayani sepasang pelanggan dan bawain mereka teh, panekuk, dan waffle.

Kedua, aku memilih baju baru. Enggak ada yang cocok.

Ketiga, aku jalan-jalan sama seorang pria. Pria itu pria yang sama yang dateng bareng aku di karnival.

Bukan.

Bukan aku.

Kara.

"Sial," bisikku kepada diri sendiri.

Sejak kami semua menyusuri lantai dua, tanpa henti, aku dihujani dengan berbagai memori acak milik Kara. Bermacam-macam; berbagai bentuk. Ada yang sedih, ada yang senang, ada yang membosankan. Ketika Kara merasakan sesuatu, maka aku pun merasakannya juga.

Sayang sekali perasaan-perasaan itu diiringi dengan rasa nyeri di ubun-ubun.

Aku menghela napas pelan, mengepalkan tangan beberapa kali untuk menahan rasa nyeri itu. Mungkin, kedengarannya menyakitkan, tapi selain hujan ingatan semasa ... hidup, aku juga mendapatkan hal lain.

Sebuah ingatan tentang Daki muncul, sejak pertama bertemu dan terakhir bertengkar. Mereka teman baik. Daki ternyata orang yang enggak punya pendirian. Yah, enggak heran sih.

Terus, aku juga lihat semua ... semuanya. Eldorath dan isinya; Beldam dan cahayanya; si bapak-bapak gaul pada masanya dan tongkatnya.

Aku bisa melihat bentuk nyata dari makhluk-makhluk buatan Beldam, yang padat maupun yang tidak, menempel dan menyembunyikan diri di berbagai tempat; menyelundup dan berpura-pura menjadi orang yang kukenal.

Sebenarnya, untuk yang terakhir itu, aku tidak keberatan. Dengan begitu, aku tahu mengapa Riq selalu tiba-tiba berubah. Bisa bekerjasama, tapi kadang menyudutkan juga; karena Epiphany-nya diselimuti sesuatu yang busuk.

Ini berat.

Seolah telah lama aku mendekam di Eldorath.

Seakan-akan aku sebenarnya udah mati.

Ketika aku sedang berusaha keras untuk menghentikan derasnya memori yang datang dari Epiphany Kara, rasa sakit itu akhirnya menghilang, digantikan dengan sebuah sentuhan pada dahiku.

"Kamu terlihat kesulitan untuk mengontrol Epiphany miliknya," ucap sebuah suara yang terdengar jauh lebih berat dibanding suaraku. Tapi, kedengerannya masih lembut, sih.

Suara si bapak-bapak gaul pada masanya.

Setelah ngedip-ngedip beberapa kali, bapak-bapak itu nampak di depanku dengan senyuman lebarnya yang enggak pernah luntur. Dia bertepuk tangan satu kali, terus terdengar suara ketawa kecil.

Hobinya emang selalu ketawa, ya? Sejak dulu, dia begitu.

"Akhirnya kita bertatap muka secara langsung, Anomali."

Aku tersenyum. "Halo, ... um."

Aneh. Aku ngerasa kayak aku kenal dia; kayak aku tahu namanya siapa. Tapi, aku enggak bisa inget. Kenapa? Padahal udah lebih dari 40 tahun kami kenal.

Eh?

"Ingatkah kamu dengan namamu?" tanya bapak-bapak itu.

Kara.

Bukan.

Eris.

"Eris," ucapku.

Walau senyumnya enggak gerak, aku ngerasa dia melebarkan senyumannya. Tangannya bergerak dengan lembut, menghasilkan suara, "Eris itu apa?"

Eris itu apa?

Eris itu aku.

Eris itu aku.

Eris itu ....

"Tamvan," ucapku. "Eris itu tamvan."

Aku Eris; Eristan. Aku Wakil Ketua Komunitas Four-Leaf Clover, komunitas menulis berbasis Wattpad. Aku orang yang suka bercanda dan banyak menghibur kenalanku, walau beberapa di antara mereka ada aja keselnya. Aku masih kuliah, aku manusia abad ke-21. Politik itu salah satu topik yang kutekuni.

Eris itu aku.

Aku bukan Karabelle Winston.

"Saya belum pernah melihat manusia yang menerima Epiphany penuh dari seorang jiwa, Eristan," ujar si bapak-bapak. "Maka, ini adalah kali pertamanya juga bagi saya."

Oh, apa karena itu dia mau bantu Eri---aku. Apa karena itu dia mau bantu aku untuk mengeluarkan Steven dari mal tanpa banyak tanya?

Karena kasusku menarik.

Karena anomaliku menarik.

"Eris tahu Eris tamvan, tapi Bapak enggak usah datengin dan minta tandatangan." Aku melirik ke arah lain, mencoba untuk melihat di balik kabut tipis yang mengelilingi kami.

Si bapak-bapak ketawa. "Saya tidak memahami kiasan yang kaugunakan, Eristan, tidak seperti kiasan milik Kara maupun Mela. Namun, saya mengerti bahwa kamu bertanya, apa tujuan saya datang kemari?"

"Kalau gitu," kepalaku menoleh ke arahnya dengan pelan, tertunduk sedikit entah karena apa, "jawab."

Kami berdiam diri selama beberapa saat sebelum akhirnya si bapak-bapak kembali tertawa. "Saya tidak akan memberitahu soal posisi rekan-rekanmu, Eristan. Namun, sebagai gantinya, saya ingin menanyakan beberapa hal."

"Kayak apa?"

Dia mengedikkan bahu. "Misalnya, seberapa jauh kamu mendapatkan memori-memori Kara?"

Aku terdiam.

Karabelle Winston, asal Inggris, lahir awal tahun 1900-an, bulan September.

"Lahir," jawabku. "Kara lahir. Kara bayi gendut kata Bun---ibunya."

Si bapak-bapak mengangguk. "Fascinating. Namun, apakah kamu paham sebesar apa Epiphany milik Kara?"

Sejujurnya, aku enggak tahu. Aku juga lagi enggak mood buat celetukin kalimat aneh yang kedengarannya enggal jelas. Jadi, yang aku lakukan hanya menggeleng. Saat ini, pikiranku masih berusaha dengan keras untuk menekankan bahwa aku ini Eris.

Laki-laki.

Bukan perempuan.

"Kara dapat membuat ... ilusi, seperti Mela. Bisakah kamu melalukan itu?"

Aku enggak ngejawab.

"Tahukah kamu ilusi seperti apa?"

"Dinding?" tanyaku. "Yang ngehalangin pandangan Eldorath itu, Kara, 'kan?"

Si bapak-bapak---ah, capek. Panggil aja dia Nyengir. Nyengir menganggukan kepala pelan. "Jiwa Kara yang penuh dengan ... harapan, dapat memberikan ilusi dengan dampak positif untuk kalian para manusia. Saya berani berasumsi bahwa kamu banyak menonton memori-memori kehidupannya setelah Epiphany-nya kauserap."

Aku ngangguk.

"Adakah dari ingatan-ingatan itu, Kara bersikap kasar maupun buruk?"

Enggak ada.

Aku enggak jawab.

"Epiphany---jiwanya---kuat karena itu. Walk with me," ajak Nyengir sembari merentangkan tangan ke arah kanannya. Aku hanya mengikuti, berjalan beriringan dengan manusia yang enggak lagi hidup.

Dia datang buat ceramah, ya?

"Saya tidak datang untuk ceramah."

Wah, baca pikiran.

"Saya tidak membaca pikiran, kalau itu yang kamu pikirkan. Hanya saja, ekspresimu kelihatan jelas."

Aku mengernyit. "Nyengir kenap Steven imouto?"

"Nyengir?" beonya.

"Namamu sekarang Nyengir."

Dia ketawa. "Baiklah."

Kami berjalan lagi untuk beberapa saat, lalu berhenti ketika sampai di perbatasan trotoar, aspal, dan lapangan berumput yang sudah beberapa menit kami telusuri. Dia baru saja menunjukkanku jalur yang harus kutempuh, ya?

"Kara masih hidup, Eris," celetuknya.

"Enggak boleh," tegasku. Nyengir menoleh, menggenggam tongkatnya lebih erat. "Kamu enggak boleh kayak gitu sama Kara. Biarkan dia tenang."

"But, it is true," Nyengir mengedikkan bahu, "Kara ada dalam dirimu. Pikirmu, mengapa semua memorimu tercampur dengan memori Kara?"

Oh.

"Kamu sempat kebingungan, bukan? Mengapa kamu seolah mengenal saya, tetapu kamu tidak mengetahui nama saya."

Iya, bener. Dia enggak salah; aku sempet kebingungan.

"Saya kemari, dalam kurun waktu yang singkat, untuk meminta sebuah pertolongan kepadamu."

Wah, jiwa kedua yang minta tolong setelah Kara. Enggak, sih. Kara lebih ke perjanjian. Dia kayaknya emang jujur-jujuran pengen bantuan aja. Mungkin nemenin Chita dan Elin?

Lo, Eris narsis. Ckck, tak patut.

"Apa?" tanyaku.

Ketika pertanyaan singkat itu terlontar, tubuh Nyengir mulai memudar. Gerakan tangannya yang lentik menghasilkan suara, "Manfaatkanlah Kara sebaik mungkin. Dia mengorbankan hidup dan memorinya untukmu; untuk kalian. Memori itu hal yang krusial, Eristan."

Belum sempat bertanya lebih jauh, dia keburu ngilang, ninggalin aku di sisi lapangan yang masih diselimuti kabut, di sebelah sebuah gedung tua yang dindingnya ditempelin poster anjing hilang.

Aku menatap kedua teljari-jariku; menggerakan jari-jariku dengan pelan seolah cacing yang menggeliat.

"Pergilah, kamu sudah bisa sendiri sekarang."

Kedua tanganku terkepal.

Nyengir enggak salah. Aku harus nunjukin para makhluk mematung itu kalau Kara bisa banyak hal, 'kan?

Epiphany Kara enggak akan jatuh ke tangan yang sia-sia.

"Kara," aku berbisik, "mereka bakal lihat sinarmu melalui tanganku."

1.472 kata.

Maaf, tak jelas, ya? 😭 nulisnya buru-buru, lagi kuliah sksks.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top