3. Hear The Prodigies
your presence conjures forth
a fleeting dream of days gone by,
where gentle warmth
and solace emerge
as sunlight graces the morn.
Saya ingin memberikan ruang kepada Steven dan Key untuk kembali bertegur sapa. Mereka bertiga bukanlah satu-satunya manusia yang harus saya jaga. Maka, pergilah saya ke sudut lain Kota Yorkshire buatan ini, menyisir pandang hingga menemukan dua orang tengah menyusuri jalan yang diapit oleh apartemen dan beberapa perkantoran.
Mereka tengah bergumam, sesekali berhenti untuk berbincang, kemudian kembali berjalan menyusuri jalan tersebut hingga akhirnya mendapati perempatan. Kedua gadis itu menghela napas, melirik ke kanan dan kiri, lalu memperhatikan jalan yang ada di hadapan mereka secara bergantian.
"Kita enggak familiar sama tempat ini," gumam Elin. "Nanti malah tersesat, enggak bagus juga."
"Iya, ih," Chita menyilangkan kedua tangan di depan dada, "Si Kakek mana enggak ngasih tahu kita bakal terdampar di sini."
Elin tertawa kecil. "Saya enggak expect bakal mencarnya di kota gede kayak gini. Saya pikir di lokasi yang terbatas juga, kayak mal itu."
"Emang enggak jelas," imbuh Chita. "Mana dia ngilang buat ke Steven dan Lav duluan."
Teman bicaranya tidak menjawab. Mereka akhirnya jatuh ke dalam kesunyian dan pikiran masing-masing. Agaknya, saya membuat mereka kesal karena tidak memberikan arahan yang baik maupun jelas.
Mau bagaimana lagi, saya belum pernah menjadi mentor sebelumnya, dan pola pikir muda-mudi generasi ke-21 itu asing bagi saya. Walau demikian, sepanjang perjanjian, mereka sangat dapat diandalkan.
Saya berjalan mendekat, merentangkan tangan dengan kasar untuk melunturkan "jubah tak kasatmata" (itu yang akan disebut oleh Kara maupun Mela, dan kalian sepertinya hanya familiar dengan nama itu, ya?) agar kembali nampak pada mata awam.
"Hei, Elin," panggil Chita dengan kepalanya yang tertunduk.
Elin hanya menyahut dengan sebuah suara kecil yang terdengar seperti "hm".
"Do you think---" Chita mengurungkan kalimatnya, kembali menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Tanpa menunggu Chita melanjutkan apa pun yang ingin disampaikannya, Elin mengembuskan napas tipis. "Do I think The Man only needs us to break the gate? I'm starting to feel so."
...?
"I mean, it's okay, I guess," Chita mengedikkan bahunya tanpa mengalihkan pandang dari ujung trotoar pada sisi kiri perempatan, "tapi kalau dia beneran percaya sama kita, kenapa harus ... I don't know, ngasih tahu Steven dan Lav kalau mereka juga capable of things we're doing for him?"
Oh.
"Jelek," gerutu Elin. "Enggak apa-apa, sih, bener. Cuma saya ngerasanya agak gimana gitu. Maksudnya, dia 'kan dateng ke kita. Katanya kita yang bisa ngebantu, kita yang bisa diandelin, tapi kenapa yang lain juga dia datengin? Ya, kalau gitu, dari awal dia ke sana aja."
Chita menendang udara kosong. "Jelek, enggak, sih? To feel this way."
Gadis di sampingnya menggelengkan kepala. "Saya juga pengen diandalkan, kok. Rasanya kalau dari awal kita dikasih tahu we're involved in something huge and we have the power to stir it, 'kan kita merasa ... relevant."
"Aku tahu, kok, ada orang lain yang lebih bisa," Chita berkacak pinggang, "tapi enggak usah, 'kan, bikin kita ngerasa berguna when in reality, we're doing nothing of use."
Elin menganggukkan kepala. "I don't like the feeling of being useless too. Jadi, sekarang kita buat apa? Kalau udah hancurin gerbang, beres, gitu? Dia bahkan enggak ngecek kita lagi."
Teman berbincangnya berdecak. "Nyari 'prodigy' lain yang lebih capable, kali. Kakek jelek."
"Jamet," imbuh Elin.
Saya kelepasan tertawa.
Suara tawa saya yang lepas tanpa diizinkan membuat kedua gadis di hadapan saya, yang semula memunggungi, berbalik dengan cepat. Tatapan yang mereka berikan kepada saya terlihat sangat jengkel.
"Dih, nguping!" seru Chita. "Jelek, ngapain balik lagi?"
"Kami lagi jalan-jalan, bisa kok tanpa Kakek," tambah Elin.
Sebelum saya membangunkan Steven dan Lav, saya memastikan bahwa Chita dan Elin mendarat dengan aman. Banyak pertanyaan yang mereka berikan kepada saya, seperti mengapa saya tidak bisa membangunkan dua orang itu di sini, dan apakah saya akan lama.
Ada beberapa alasan mengapa saya tidak membangunkan Steven dan Lav bersama Chita dan Elin. Namun, saya tidak akan memberitahu alasannya, bahkan kepadamu, penonton. Bukankah itu tidak akan menarik?
Saya menyukai hal-hal yang berkembang dengan sendirinya. Jadi, apabila mereka harus berpetualang untuk memahami apa yang sedang menimpa mereka, kamu pun harus merasakan itu.
Dengan begitu, bukankah kamu---mereka---akan lebih mudah beradaptasi, daripada saya beritahu langsung dan akhirnya menjadi informasi yang menumpuk? Oh, itu tidak akan baik.
Saya sempat mengatakan kepada Chita dan Elin bahwa saya akan mengawasi Steven dan Lav beberapa saat sambil menyampaikan kepada mereka bahwa mereka memiliki sebuah peran yang terbilang penting.
Agaknya, itu menyinggung mereka. Saya tidak berpikir hal tersebut akan membuat mereka merasa seolah tidak dihargai.
Sayangnya, deduksi mereka cukup lucu.
"Memiliki sebuah peran bukan berarti mereka sama seperti kalian," ucap saya. "Kalian harus memahami itu."
Chita memutar bola matanya, kembali menyilangkan kedua tangan di depan dada (ini sudah yang ketiga kalinya, haha). Sementara itu, Elin mendengkus sebal, melirik ke arah lain seolah enggan menatap saya.
Samar-samar, saya mendapati sekelebat memori yang jarang menghinggapi benak saya.
Saya melihat sebuah gedung, terlihat tua tetapi hangat, dengan beberapa anak kecil berlarian di halamannya. Ekspresi yang tengah dipasang oleh Chita dan Elin merupakan ekspresi yang sama seperti salah dua kanak-kanak itu ketika mereka tidak diberikan suatu hadiah.
"Kalau enggak sama," Chita membuka suara sembari sesekali melirik kepada saya, "terus gimana? Peran mereka 'kan enggak kecil. Bahkan kamu sampai datengin mereka, 'kan? Berarti penting banget."
"Sebenernya," Elin ikut membuka mulut, "kami bakal terus ngebantu sampai kapan? Apa sampai sini aja?"
"Iya," Chita kini berkacak pinggang, "sekalian, yang kamu lihat di kami tuh apa, sih? Ada Aldo, lo, padahal. Dia deduksinya bagus, pinter, lincah. Ada Steven, sama tuh, pinter; bisa karate. Ada Kak Resti yang gesit, ada Andrew yang bisa jaga rahasia dengan baik."
"Ada Kak Rav," Elin melanjutkan, "Kak Qila, ada Kak Icha, banyak! Yang lain lebih mampu, 'kan?"
"Kami cuma dua orang emosional yang enggak bisa bertindak banyak dan ceroboh. Jadi, kenapa kami?" tanya mereka berdua secara bersamaan.
Ketika pertanyaan itu keluar dari mulut mereka masing-masing, saya tahu itu bukan karena mereka marah, melainkan karena penyampaian dan arahan saya yang cukup ambigu. Saat ini, mereka sedang meragukan diri masing-masing.
Sejak saya seorang kanak-kanak, saya memang bukan orang yang terlalu cerdas untuk menyusun kalimat maupun menyampaikan pendapat. Agaknya, kekurangan itu terbawa sampai saya meninggal dan berkeliaran di Eldorath, haha.
"Kalian lebih daripada yang kalian kira," ucap saya.
"Bullcrap," bantah Chita sembari memutar bola mata. "Kamu juga enggak yakin sama kita, 'kan?"
Saya tidak paham dengan pertanyaan itu.
"Makanya kamu ngasih tugas ke yang lain," Elin ikut bersuara, "karena kamu tahu kami enggak cukup."
Dengan satu tarikan singkat pada tangan kanan saya yang menggenggam tongkat, saya mengentakan benda tersebut pada aspal yang tengah kami pijak.
Entakan tersebut membuat gelombang suara yang menengahi percakapan mereka, diiringi gelombang jaring ungu mennyala yang melingkar lalu melebar ke segala arah, dan akhirnya menghilang ke udara kosong.
Chita dan Elin membungkam. Walau terlihat terkejut, mereka tetap memasang tatapan jengkel dengan sedikit air pada pelupuk mata mereka masing-masing.
Setelah beberapa saat berdiam dalam hening, saya membuka mulut. "It doth trouble me how ye address yourselves with such disdain."
"Ka---"
Sebelum Chita maupun Elin menyelesaikan kalimat apa pun itu, saya menyela, "Now is the time for ye to be silent as the grown one is speaking."
Mereka menuruti.
"Terpilihnya kalian bukanlah suatu keputusan acak yang saya buat," saya mulai membantah setiap pernyataan asal yang mereka buat, "melainkan sesuatu yang saya timbang-timbang secara matang."
Mereka tidak membantah walau masih terlihat jengkel.
"Apa yang saya lihat dalam diri kalian merupakan hak saya untuk disimpan. Apabila kalian ingin mengetahui mengapa, you shalt need to earn it through effort."
Kali ini, Chita menengadah dengan kedua alis mengerut. "Kenapa enggak langsung dikasih tahu aja, sih? Emang susah?"
"Tinggal bilang---kalau emang beneran enggak random," imbuh Elin.
"Akankah kalian percaya dan tidak membantah saya seperti sekarang apabila saya menyampaikannya begitu saja?"
Mereka tidak membantah. Namun, keduanya menyilangkan tangan di depan dada dan mengalihkan pandang; agaknya kesal dengan pernyataan saya yang pasti benar.
Anak muda. Saya lupa betapa keras kepalanya mereka.
Saya berjalan melewati mereka, lalu berhenti untuk mendapati ekspresi kesal masih terpampang pada wajah-wajah Chita dan Elin.
"Mau ke mana?" tanya Elin.
Saya tertawa. "Come hither, my prodigies. I shall reveal unto ye the reason for my choice."
***
Walau awalnya enggan, mereka tetap mengikuti saya menuju taman yang cukup luas dan sepi; bertempat di ujung jalan lurus pada perempatan tadi. Kami hanya perlu berjalan santai selama---kurang-lebih---15 menit untuk sampai di sini.
Tidak seperti taman yang saya ingat, taman ini memiliki begitu banyak semak-semak, pepohonan, dan sebuah air mancur yang cukup besar. Semasa saya hidup, air mancur hanya ada di kebun personal milik para orang kaya.
Taman ini pun cukup luas, membentang seolah lapangan olahraga dengan jalur berpetak untuk berkeliling. Tempat umum modern ternyata kelihatan sangat nyaman, ya?
Haha, saya merasa tua hanya dengan mengatakan kalimat itu.
"Ngapain kita ke sini?" tanya Chita dengan nada yang ketus.
Saya tidak menjawab.
"Dih," cibir Chita.
Tidak ada dari kami yang mengatakan apa pun, setidaknya sampai Elin bertanya, "What's your name anyway?"
"Mengapa, memang?" tanya saya. "Selama ini, kalian berdua memanggil saya dengan sebutan Kakek, bukan?"
"Iya," Elin mengedikkan bahu sembari melihat-lihat sekeliling, "tapi enggak ada salahnya kami tahu nama asli Kakek."
Kalimat tersebut membuat saya terdiam sejenak. "Telah berabad-abad lamanya saya mati; saya tidak terlalu mengingat nama saya."
"TUA BANGET," seru Chita. "I know you came from an old time, but DAMN. Berabad-abad?"
"Kak!" Elin menegur sembari tertawa kencang. Hm, sepertinya itu bukan teguran; mereka tertawa bersama.
Saya ikut tertawa. "Kalian bisa memberikan saya nama, jika mau."
"Dan," ucap Chita.
Elin mengangguk. "Nice name, tapi ambigu sama bahasa Indonesia."
"Oh, iya. Apa, ya ...."
Mereka terdiam sampai Elin menjentikan jarinya. "Alfre---jangan, nanti kita jadi Batman."
Apa itu Batman?
"Gramps aja enggak, sih?" celetuk Chita. "Singkat, padat, tua."
Elin tertawa kencang. "NGAKAK BANGET---"
Saya senang mereka sudah lebih ceria sekarang.
Kami berhenti setelah kami menemukan sebuah patung di ujung taman; berdiri kokoh dengan tangan kanan yang menghilang. Patung itu terlihat diukir sedemikian rupa sehingga detail lipatan bajunya saja seolah nyata.
Patung yang ada di hadapan kami merupakan patung anak-anak yang memegang balon, menengadah ke atas untuk memandangi balon miliknya. Dengan topi baret berpita dan kaos berdasi, patung kanak-kanak itu kelihatan sangat ... aman.
"Kami enggak tertarik sama patung," ucap Elin.
Saya menggelengkan kepala sembari tertawa. "Gunakanlah Epiphany yang telah saya berikan untuk kalian berdua."
"Buat apa?" tanya mereka berdua serempak.
"Untuk menghancurkan patung itu," jawab saya sembari menunjuk patung tersebut dengan tongkat saya.
Elin mengernyit. "Ngapain?"
Saya tidak menjawab.
"Dih," cibir Chita. "Ya, udah. Caranya gimana?"
"Ye understand how."
"Dih," cibir Chita dan Elin.
Ketika wajah jengkel mereka kembali, tawa saya lepas. Saya meminta mereka untuk maju, berdiri bersebelahan di hadapan saya agar lebih dekat dengan patung yang ada di depan kami.
Saya menuturkan untuk fokus pada apa yang mereka rasakan di balik dada mereka masing-masing. Setelah protes dan menggerutu bahwa mereka tidak mengerti bagaimana cara melakukan hal seperti itu, akhirnya mereka mencoba juga.
Sebuah napas pendek berhasil lolos dari hidung saya (jangan tanya untuk apa, ini refleks karena saya terbiasa bernapas saat hidup, haha). "Apa yang kalian rasakan?"
"Nyengat," jawab Chita.
"Berat," jawab Elin.
Sebuah anggukan kepala saya lakukan walau mereka tidak sedang menatap saya. "Salurkan perasaan itu ke tangan kalian; bayangkan saja perasaan tersebut menjalar ke lengan kalian, lalu berhenti di tangan. Imajinasi kalian bagus, benar?"
Tanpa mengatakan apa pun, mereka sepertinya tengah mencoba; terlihat dari tangan-tangan mereka yang dikepal.
"Bayangkan alat apa pun yang bisa kalian gunakan untuk menghancurkan patung itu," pinta saya. "Lalu, buka kepalan tangan kalian."
Tidak ada suara apa pun yang terdengar selagi mereka kelihatannya sedang mencoba. Saya memperhatikan patung di hadapan, terletak di bawah dedaunan pohon yang cukup rindang.
Angin sepoi-sepoi terasa, berembus pelan seolah hendak membisikan banyak rahasia dari tempat ini.
Chita dan Elin akhirnya membuka kepalan tangan mereka, menyebabkan sinar keunguan yang menyerupai petir melesat keluar dari lengan kanan atas masing-masing, menjalar menuju telapak tangan, dan akhirnya memadat; menyerupai benda yang mereka bayangkan.
Pada genggaman Chita, terdapat sebuah palu besar yang kelihatannya kokoh walau masih terbuat dari cahaya keunguan. Sementara itu, pada genggaman Elin, sebuah tongkat bisbol yang menyala keunguan nampak.
Mereka memekik, menatap satu sama lain kemudian menatap saya.
Saya mengangguk. "Hancurkan patung itu."
Walau masih kelihatan syok, mereka menuruti. Didekatinya patung itu, lalu mereka menggenggam senjata yang telah mereka bayangkan hanya dengan imajinasi.
Chita memutar tubuhnya guna membuat momentum untuk memukul tubuh patung, sementara Elin memukul ubun-ubunnya. Ketika pukulan mereka mendarat pada patung tersebut, ledakan cahaya yang menyilaukan mata terjadi.
Patung bocah itu tidak lagi ada di sana; pecah berkeping-keping, berhamburan ke mana-mana.
Chita dan Elin mengerjap, memandangi kedua tangan mereka yang kini kosong dan kepingan-kepingan patung tadi secara bergantian.
"We can do THAT?" seru Chita. Dia menoleh ke arah saya yang telah berjalan guna mendekati mereka. "Kenapa waktu di mal, kami enggak boleh berantem sama monster-monster itu kalau kami bisa melalukan ini?"
Elin mengangguk. "Iya, kenapa Gramps yang serang? Apa---"
"Bukan karena saya tidak percaya," saya menyela, "melainkan karena saya belum nengajarkan kalian bagaimana caranya; seperti sekarang."
Melihat wajah mereka yang masih kebingungan, saya bertanya, "Dost ye perceive that ye are capable of much more now?"
Mereka berdua tidak kunjung bersuara.
Elin mengedikkan bahu sembari menoleh ke arah lain. "Maksudnya apa?"
"Hanya dengan imajinasi dan tenaga yang kalian miliki, kalian bisa memanifestasikan Epiphany saya dengan baik; tidak semua orang bisa melakukan itu."
Kedua gadis di hadapan saya menatap rerumputan yang tengah kami pijak.
Saya mengapit tongkat milik saya pada ketiak sebelah kanan (haha, ketiak), lalu merentangan kedua tangan untuk menepuk puncak kepala masing-masing Chita dan Elin dengan singkat.
"Ye have the capacity to encompass my power," saya menjelaskan, "I take pride in you."
Mereka menatap saya dengan kedua alis yang terangkat dan tangan yang meraih puncak kepala mereka dengan ragu---walau akhirnya diurungkan juga.
"Dih," cibir Elin. "Pegang-pegang."
"Tahu, tuh." Chita memutar bola mata.
Saya tertawa. "Saya akan membiarkan kalian untuk berkeliling sendiri sekarang. Akankah itu baik-baik saja?"
Chita dan Elin mengangguk singkat sembari memain-mainkan masing-masing jari mereka.
"Pergi aja," ujar Chita sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada diikuti dengan anggukan kepala Elin.
Dengan konfirmasi tersebut, saya kembali menghilang (dengan jubah tak kasatmata. Saya tidak pergi; masih mengawasi. Mereka tidak tahu saja, haha).
2.376 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top